Kehidupan Mahdawi adalah kehidupan yang didasari oleh orientasi dan jiwa serta kehidupan terbentuk bedasarkan dua hal tersebut sehingga menemukan identitas. Kehidupan model ini adalah berusaha untuk meraih keridhaan Allah Swt sebagai satu-satunya orientasi.
Keluarga merupakan institusi sosial terkecil yang memainkan peran utama dalam membentuk masyarakat serta mempersiapkan peluang bagi struktur identitas dan emosi seseorang di masyarakat. Jika setiap keluarga ingin menggambarkan tujuan jangka panjang dan nilai-nilai tinggi bagi dirinya, maka mereka harus mengikuti prinsip dan koridor tertentu.
Jika sebuah keluarga Muslim ingin mengambil tindakan mendasar bagi perkembangan dan pendidikannya, maka ia tidak harus fokus pada pemenuhan kebutuhan materi anggotanya, tapi harus juga memperhatikan kebutuhan spiritual anggota keluarganya.
Penghambaan kepada Tuhan dan melaksanakan apa yang dianjurkan di proses ibadah harus mendominasi di lingkungan dan kehidupan keluarga. Penghambaan yang ikhlas kepada Tuhan mengarahkan anggota keluarga ke jalan kebenaran dan hidayah serta hati-hati mereka samakin baik berhubungan di bawah naungan kasih sayang Ilahi.
Setiap anggota keluarga harus menumbuhkan pengetahuan dan pemahaman terkait Tuhan dan rasul-Nya serta para imam maksum, sehingga mereka mencapai perkembangan spiritualitas. Saat itu, mereka akan menyadari pentingnya keberadaan seorang Imam dan mereka akan menyadari semakin dalam alasan sabda Rasul, “Sebaik-baik amalan umatku adalah penantian Faraj (datangnya kelapangan).”
Menunggu kemunculan kembali Imam al-Zaman (as) selama ketidakhadirannya adalah deklarasi penerimaan perwalian dan imamah dari wali terakhir Nabi Khatam (pbuh) dan menyebabkan kaum Shiah mempertahankan kontak dengan Imam mereka, meskipun dengan cara yang tulus dan spiritual. Keluarga Mahdavi adalah keluarga yang, dengan memahami keberadaan Wali Allah dalam konteks kehidupan, mencoba menyesuaikan perilakunya dengan kesenangan Wali Allah dan mengembangkan tujuannya di jalan yang mengarah pada kemunculan bangsawan itu.
Anggota keluarga harus mengenal Imam Zaman as dan meyakini bahwa beliau masih hidup, dan kedua mengawasi umatnya serta keghaibannya bukan berarti ia tidak hadir yang sama artinya dengan tidak akan muncul. Imam Zaman tidak tampak, tapi ia hadir dan mengawasi. Keluarga Mahdawi harus menyadari bahwa Imam Zaman as menyadari keadaan mereka, karena Imam ketika menghendaki akan mengetahui apa yang ia inginkan.
Kinerja kehidupan Mahdawi yang dikuasai oleh orientasi dan ruh serta kehidupan terbentuk pada kedua hal tersebut serta menemukan identitasnya, satu-satunya upaya yang ditempuh adalah untuk meraih keridhaan Wali Allah Swt. Sama seperti yang beliau pesankan kepada pengikutnya, “Setiap dari kalian harus berbuat memanfaatkan setiap sarana yang mendekatkan kepada Kami, dan jauhilah sesuatu yang mendekatkan kepada kemarahan dan kesedihan Kami.”
Kekhawatiran keluarga Mahdawi bukan hanya kebahagiaan individu, tapi interaksinya dengan yang lain seperti yang dijelaskan bahwa segala sesuatu menjadi sarana bagi kemunculan Imam. Di keluarga Mahdawi, kekhawatiran utama adalah kekhawatiran Imam, bukan kekahwatiran diri sendiri. Oleh karena itu, selain berpikir memberbaiki diri sendiri juga harus memikirkan untuk memperbaiki orang lain.
Manusia dan keluarga Mahdawi harus siap berkorban sehingga mampu membuat agama semakin tinggi dan berkembang. Keluarga Mahdawi harus bergerak dan menjadikan amal perbuatannya di jalan ke arah pemerintahan yang dijanjikan oleh Tuhan kepada seluruh nabi dan auliya’. Serta pada dasarnya tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk meraih pemerintah Ilahi. Sama seperti kita baca di doa Iftitah selama malam penuh berkah di bulan Ramadhan: «اللَّهُمَّ إِنَّا نَرْغَبُ إِلَیْکَ فِی دَوْلَةٍ کَرِیمَةٍ تُعِزُّ بِهَا الْإِسْلامَ وَ أَهْلَهُ وَ تُذِلُّ بِهَا النِّفَاقَ وَ أَهْلَهُ» Ya Allah! Aku sangat merindukan pemerintahan yang mulia, di mana Islam dan pengikutya Kamu muliakan dan nifak serta orang-orang munafik menjadi hina.
Setan berjanji akan menyesatkan dan membujuk hamba Allah hingga hari Kiamat seperti yang dijelaskan oleh ayat 39 surat Al-Hijr, «... لَأُزَیِّنَنَّ لَهُمْ فِی الْأَرْضِ وَلَأُغْوِیَنَّهُمْ أَجْمَعِینَ»،....pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
Di era ghaibah yang sangat sensitif dan kebenaran serta kebatilan bercampur serta tidak mudah untuk menentukan jalan yang benar, kubu setan tidak duduk diam. Mereka dengan beragam trik dan menciptakan kefasadan senantiasa ingin menangguhkan kemunculan sang juru selamat umat manusia. Tapi kehendak Allah adalah orang-orang saleh pewaris utama bumi seperti yang dijelaskan ayat 105 surat al-Anbiya yang mengisyaratkan janji Ilahi ini: وَ لَقَدْ کَتَبْنا فِی الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّکْرِ أَنَّ الْأَرْضَ یَرِثُها عِبادِیَ الصَّالِحُون» Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.
Di seluruh agama Samawi dijelaskan pembahasan mahdawiyah, juru selamat umat manusia, masa depan yang jelas, pemerintahan mulia dan sejumlah peristiwa akhir zaman. Oleh karena itu, kebijakan makro keluarga Mahdawi juga harus dijelaskan di koridor ini dan sikap setan serta iblis yang ingin memadamkan cahaya Ilahi harus dijelaskan kepada seluruh anggota keluarga dan dipaparkan mekanisme anti kubu arogan serta melawan serangan ini.
Keluarga harus menjadi institusi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anggotanya, dan memperkuat pengenalan terhadap musuh. Melalui pemberian wawasan dan peningkatan pengetahuan, mereka dikenalkan budaya Mahdawi. Karena jika tidak demikian, bisa saja selain mengikuti jalan kesesatan dan perilaku menyimpang akibat fanatisme buta, mereka akan menyerah terhadap anasir negatif di masyarakat.
Pengaruh budaya Mahdawiyah dapat ditelurusi di tiga bidang. Pertama di manusia itu sendiri dan di keluarga yang membesarkan seseorang serta di masyarakat. Pertama kita akan membahas pengaruh Mahdawiyah di dalam diri seseorang.
Budaya mahdawi pada manusia memotivasi mereka untuk menjalani kehidupan yang bertujuan dan berusaha untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini dan akhirat. Budaya ini dapat menyelamatkan seseorang dari kekosongan dan kesesatan, karena harapan untuk masa depan yang cerah menghilangkan keraguan dalam esensi kehidupan dan memaksa orang untuk bergerak ke arah yang benar.
Budaya mahdisme meningkatkan kekuatan pemikiran itu sendiri dan mengarahkan manusia ke pengetahuan diri. Itu juga membuatnya tahan terhadap kesulitan, siap menerima bahaya kehidupan, karena masa depan tidak pasti baginya dan akan selalu penuh dengan harapan dan pencerahan. Manusia Mahdawi menghabiskan saat-saat dalam hidupnya untuk meraih keridhaan Imam Mahdi dan menggunakan upaya terbaiknya untuk mencapai keadilan dalam ucapan, perilaku, dan akhlaknya. Manusia Mahdawi berusaha mendekatkan masyarakat dengan masyarakat ideal pada saat kemunculannya dengan menciptakan lebih banyak ikatan antara dirinya dan imam pada masanya.
Budaya Mahdawi memiliki peran mendasar dan menentukan dalam hubungan antara individu dan keluarga. Jika budaya keluarga didasarkan pada pemikiran Mahdavi, dan anggota keluarga, terutama kepala politiknya, sang ayah, dan ketua pendidikan, sang ibu, mencoba membangun budaya Mahdawi dalam keluarga, mereka akan membawa kedamaian dan kebahagiaan satu sama lain. Tentu saja, mencapai tujuan ini harus disertai dengan perencanaan dan tinjauan ke masa depan.
Program ibadah, rekreasi, dan budaya dalam keluarga semestinya seperti menghidupkan kembali ingatan terhadap Imam Mahdi di lingkungan rumah dan wilayah Imam mengendalikan perilakunya. Misalnya, pertemuan doa, tawassul, dan pembacaan Alquran harus diadakan dengan perhatian khusus pada budaya Mahdawi dalam keluarga. Pergi ke tempat ziarah dan masjid harus dilakukan dengan perencanaan khusus dan sebagai keluarga. Bahkan belajar dan menuntut ilmu, berolahraga, silaturahmi, membantu orang lain, dan menghibur mereka, harus dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Imam al-Zaman (as) dan mendapatkan keridhaannya.
Budaya Mahdavi juga harus dikristalisasi dalam masyarakat. Tempat tinggal, tempat kerja, kota atau negara di mana seseorang tinggal dapat dihiasi dengan budaya Mahdawi. Manusia sedang menunggu tugas untuk menyebarkan budaya Mahdisme di tempat tinggalnya. Manajemen politik negara dapat mengambil langkah-langkah efektif ke arah ini dengan mendorong rencana menuju aturan budaya Mahdawi dan penerapan keadilan, dan dengan demikian masyarakat dapat menghirup aroma "Keadilan Mahdawi" yang menyenangkan. Di arena internasional, individu dapat mengekspor budaya ini ke negara lain sesuai dengan tanggung jawab dan konteks kegiatan sosial mereka, dan memberikan landasan bagi kepentingan publik dan global dalam keadilan penuh dan tertinggi di dunia.
Budaya Mahdisme adalah budaya intidhar (menanti). Intidhar sebuah bentuk protes permanen atas ketidakadilan, dan penyelamatan atas keterpurukan serta senantiasa siap dan terlibat di medan. Intidhar faraj (menanti juru selamat) adalah upaya sistematis yang tidak selaras dengan diam dan kemalasan. Intidhar atau penantian Imam Zaman as memiliki peran utama di konstruksi, dinamisme dan mereformasi individu dan masyarakat di masa ghaibat.
Jika manusia yang menanti menjalankan tugas yang diberikan kepadanya maka ia akan menemukan teladan yang tepat, mampu melawan penyimpangan dan dengan meneladani ajaran para Imam, mereka aktif berjihad dan berjuang demi memperbaiki diri dan masyarakat.