Hari Raya Qurban; Hari Ketaatan Hamba Mukmin

Rate this item
(0 votes)
Hari Raya Qurban; Hari Ketaatan Hamba Mukmin

 

Hari raya Qurban kembali mengingatkan kisah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Keduanya simbol kepatuhan total terhadap perintah Tuhan. Tradisi kurban di hari Raya Idul Adha mengingatkan perilaku Nabi Ibrahim yang dengan patuh menjadikan orang yang paling disayanginya sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sementara Allah Swt yang menyaksikan kepatuhan dan penghambaan Ibrahim, mengirim domba sebagai ganti Ismail.

Hari-hari besar Islam seperti Hari Raya Idul Fitri, Mab’ats, Ghadir dan Idul Adha (Kurban) selain menorehkan momen penting di kehidupan manusia, juga merupakan poin konstruktif, strategis dan memiliki banyak pelajaran bagi manusia. Hari raya adalah hari ketika nikmat Allah Swt turun kepada orang-orang mukmin. Di literatur Islam, hari ketika manusia tidak berbuat dosa juga di sebut sebagai hari raya.

Ied berarti kembali dan Qurban artinya berkurban atau segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu, Idul Adha dapat diartikan kembalinya manusia ke derajat mendekatkan diri kepada Tuhan. Maqam ini diraih melalui perlawanan terhadap hawa nafsu dan dibarengi dengan penyucian diri serta memanfaatkan peluang yang ada.


Para peziarah Baitullah (jamaah haji) yang setelah mencicipi beragam kepahitan serta menghindari kekotoran duniawi sampai pada persinggahan terakhir dan mereka yang menganggap hari tersebut sebagai hari khusus, juga merayakan hari raya Qurban.

Secara bahasa, Qurban berasal dari bahasa Arab, Qurb yang artinya dekat. Hal ini  menjelaskan bahwa dalam setiap berkurban, mendekatkan diri kepada Allah Swt atau kekuatan mutlak, selalu menjadi tujuan. Berkurban sudah ada sejak zaman Nabi Adam as, dan perselisihan antara Habil dan Qabil juga dipicu oleh berkurban ini. Allah Swt menerima kurban Habil yang dilakukan dengan kejujuran dan keikhlasan, namun menolak kurban dari Qabil.

Berkurban hewan adalah simbol dari berkurban dan menyembelih sisi kebinatangan manusia. Hal itu mengajarkan kepada kita bahwa untuk mencapai kesempurnaan kemanusiaan, kita tidak boleh membiarkan nafsu hewani kita tumbuh dan muncul.

Di hari raya Qurban, umat muslim mengenang kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Dengan mengenang pengorbanan besar dua nabi ini, umat Islam kembali memerangi egoisme dan jihad akbar melawan hawa nafsunya sehingga meraih kemenangan besar.

Nabi Ibrahim as pada kisah ini memberi contoh kepada kita, untuk bisa hadir di hadapan Tuhan, kita harus mensucikan diri dari segala kekotoran batin dan membersihkan cermin diri dari kekotoran akibat dosa sehingga cahaya hakikat bisa terpancar.

Untuk mendengar suara kebenaran, kita harus memerangi kesombongan diri dan keinginan nafsu sehingga kita layak hadir di hadapan-Nya. Idul Adha adalah kesempatan yang baik untuk melakukan jihad ini. Namun setiap orang harus bisa memahami apa batas kebergantungan dan kecintaan pada dunia itu.

Semakin dekat seorang manusia kepada Allah Swt, maka kasih sayangnya kepada sesama pun akan semakin besar. Penghambaan kepada Tuhan melahirkan cinta dan kasih sayang kepada makhluk-Nya. Di bawah penghambaan Tuhan inilah manusia menjalankan kehidupan yang bersih dan suci.

Idul Qurban dan mengorbankan seluruh kelezatan dunia akan membawa kenikmatan spiritual yang sedemikian tinggi, di sanalah manusia bisa meraih nilai luhur kemanusiaan, keutamaan, kemuliaan, kesucian dan kemenangan atas riya, sifat selalu membanggakan diri dan merasa diri paling unggul dari orang lain.


 

Idul Qurban dengan mengenang kisah Ibrahim dan Ismail, merupakan simbol penyerahan dan kepatuhan mutlak dihadapan perintah Ilahi dan pelajaran bagi mukmin sejati. Kisah dua manusia besar ini mengajarkan kepada Muslim bahwa mereka tidak hanya mengakui Keesaan Tuhan dan meyakini kebenaran kenabian Rasul dengan ucapan dan perilakunya, tapi mereka juga harus taat dan patuh terhadap kebenaran dengan segenap hati.

Imam Ali as di salah satu hari raya Qurban terkait memutus ketergantungan tergada dunia berkata, “Waspadalah! Sehingga dunia ini berakhir dan telah mengucapkan selamat tinggal. Kebaikannya tetap tidak diketahui, ia dengan cepat membalikkan punggungnya dan berlalu. Itu menyebabkan penghuninya menuju kehancuran dan membuat tetangganya mati ... Wahai hamba-hamba Allah! Pindah dari rumah yang akhirnya hancur. Jangan biarkan keinginan menguasai kalian [jangan berpikir bahwa Anda akan hidup selamanya].

Idul Qurban, hari raya mendekatkan diri kepada Tuhan. Artinya hal ini hanya dapat diraih dengan memotong segala bentuk keterikatan duniawi.

Seluruh manasik haji dari awal hingga akhir, meski dilakukan dalam berbagai bentuk, namun memiliki semangat kohesif dan kehidupannya terjadi di bawah semangat ini, yakni sampai pada derajat kedekatan diri dengan Tuhan. Hal ini terjadi secara simbolis dengan memotong hewan kurban, karena tradisi ini mengingatkan pengorbanan Nabi Ibrahim as yang ingin meraih derajat kedekatan dengan Tuhan secara patuh dan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan siap mengorbankan orang yang paling dicintainya, yakni Ismail as. Allah Swt yang menyaksikan penyerahan dan penghambaan tulus serta ikhlas ini, kemudian mengirim kambing kepada Ibrahim sebagai ganti dari Ismail.

Islam menolak tradisi pengorbanan manusia yang marak di berbagai kaum sebelumnya termasuk Kan’an, Mesir dan Eropa serta berkurban untuk berhala dan membakar hidup-hidup kurban. Tapi Islam menganjurkan untuk menyembelih kurban di hari tertentu, yakni Hari Raya Qurban sebagai bentuk ibadah dan kemudian daging kurban dibagikan kepada kaum miskin.


Fakhrurrazi, mufasir besar Ahlu Sunnah mengatakan, kaum jahiliyah tidak memakan hewan kurban, karena mereka menganggap dirinya lebih tinggi dari kaum miskin; kemudian Tuhan memerintahkan kaum muslim untuk memakan daging kurban sebagai bentuk penentangan terhadap kaum kafir serta menyamakan diri dengan kaum miskin dan melatih diri untuk tawadhu. Mungkin alasan Islam mengharamkan puasa di hari besar ini karena semua manusia dianjurkan untuk memakan hewan kurban mereka sebagai sebuah rezeki dan jangan menolak memakannya dengan alasan sedang berpuasa.

Manusia dengan berkurban demi meraih keridhaan Tuhan, sejatinya telah menghidupkan semangat pengorbanan dan istiqomah di dalam dirinya. Sejatinya hikmah berkurban adalah mendekatkan diri dan meninggikan derajat orang yang berkurban. Berkurban sebuah amalan yang membuat Tuhan ridha dan sebuah tangga bagi ketinggian manusia.

Al-quran mengingatkan bahwa daging dan darah hewan kurban tidak menguntungkan Tuhan, tapi apa yang sampai adalah ketakwaan. Seperti yang disebutkan di ayat 36 surah al-Hajj bahwa kurban sumber kebaikan dan berkah dan di ayat ke 37 disebutkan berkurban sumber ketakwaan dan keselamatan. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Menurut ayat ini yang terpenting adalah spiritualitas yang diraih oleh orang yang berkurban dan dengan meniti jalan penghambaan, ia semakin dekat dengan Tuhan. Sejatinya menurut ayat ini, al-Quran menyebutkan tolok ukur diterimanya sebuah amal perbuatan adalah takwa dan diakhir ayat ini disinggung nikmat menundukkan dan menangkap hewan.


Kisah dan ujian Ibrahim, Hajar dan Ismail menceritakan seluruh hamba saleh Tuhan dan teladan bagi seluruh pengikut agama Samawi. Di kisah Ibrahim, ia menyerahkan seluruh harapannya sebagai kurban demi meraih kedekatan terhadap Tuhan dan ia keluar sebagai pemenang.

Sementara Hajar berulang kali diuji dengan ketakutan dan harapan serta dengan berwakkal kepada Tuhan, ia telah mencapai derajat kesabaran. Adapung sang kurban,yakni Nabi Ismail rela dengan keridhaan Tuhan dan berserah diri sepenuhnya.

Keridhaan Ibrahim, kesabaran Hajar dan penyerahan diri Ismail, seluruhnya menjadi guru abadi manusia dan teladan kemanusiaan serta pelajaran kekal bagi dunia.

Read 896 times