Salah satu tujuan mulia dan transformatif para Nabi adalah melawan rezim lalim yang menindas masyarakat. Para Nabi juga meletakkan dasar bagi perubahan sosial menuju perbaikan di tengah masyarakat.
Para Nabi mengusung perjuangan tauhid bangkit melawan para penguasa korup dan lalim. Mereka juga datang untuk melakukan reformasi dan perbaikan di muka bumi ini. Alquran menjelaskan perjuangan para Nabi melakukan reformasi melawan para penguasa lalim sebagaimana dalam surat ash-Shuara ayat 151-152 yang berbunyi, "Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan".
Imam Hussain bin Ali mengambil jalan perjuangan Nabawi melawan rezim lalim Yazid. Beliau dalam salah satu perkataannya menunjukkan tujuan perlawanan dengan mengatakan, "ُSesungguhnya, perjuangan yang aku lakukan bukan untuk meraih kekuasaan, tamak atau menyulut kerusuhan maupun penindasan, tetapi tujuanku untuk memperbaiki urusan kakekku (Nabi Muhammad Saw)".
Dengan pernyataan ini, Imam Hussein menyangkal kampanye hitam dan perang psikologis Bani Umayyah yang mencoba menunjukkan perjuangannya demi meraih kekuasaan, sekaligus mengungkap sifat ambisius dan haus kekuasaan dari Yazid bin Muawiyah.
Kemudian, Imam Hussein memperkenalkan motivasi utamanya memerangi yazid untuk memberantas kezaliman, korupsi dan kerusakan yang merajalela di tengah masyarakat. Lebih jauh, ia berupaya menciptakan reformasi di kalangan umat Islam dan mengembalikan tatanan sosial yang telah melenceng menuju jalan kenabian yang agung.
Nabi Muhammad Saw yang menjadi acuan dari perjuangan Imam Hussein bersabda, "Manusia terbaik adalah yang orang yang melakukan perbaikan untuk urusan masyarakatnya."
Pertanyaan penting yang muncul di benak kita dalam hal ini adalah di mana dan bagaimana memulai reformasi dalam sistem dan masyarakat yang korup? Untuk menjawab pertanyaan mendasar ini, tampaknya harus merujuk pada perjuangan Imam Husein yang menjadikan Al-Quran dan Sunnah rasulullah Saw sebagai pijakannya.
Pada tahap pertama, reformasi harus dilakukan dengan mengubah cara pandang dan cakrawala berpikir, sebagaimana yang dilakukan semua Nabi ilahi. Dalam hal ini, Al-Quran surat An-Nahl ayat 36 menjelaskan,"Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di ant orang yang telah pasti kesesatan kasihan. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan menunggulah bagaimana cara kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)."
Pemikiran reformis yang berpijak dari pandangan tauhid adalah penyangkalan terhadap kekuatan berhala atau dalam bahasa al-Quran disebut "Taghut", yang muncul dalam berbagai bentuk, terutama pemerintaha lalim dan despotik sebagaimana ditampakkan Yazid yang diperangi Imam Hussein.
Hussein Ibn Ali dengan sikap tauhid yang begitu dalam telah menunjukkan siapa yang layak memerintah dan memimpin umat Islam dengan mengatakan, "Pemimpin hanya berhak dipegang oleh orang yang layak, berpegang tegung pada kitab suci dan menegakkan keadilan serta membela kebenaran, serta keberadaannya didedikasikan di jalan ilahi,".
Sementara itu, para pemimpin dan penguasa dinasti Umayyah bertentangan dengan jalan yang diambil semua Nabi. Mereka bukan hanya tidak berusaha menegakkan dan mengibarkan panji keadilan, tetapi juga melanggar semua batas agama dan kemanusiaaan, dengan melakukan berbagai kejahatan. Dalam hal ini, Imam Hussein berkata, "Lihatlah bagaimana mereka tidak menegakkan kebenaran, dan tidak melarang kebatilan. Di zaman seperti ini, orang yang beriman dan berkomitmen terhadap jalan kebenaran harus mempersiapkan dirinya untuk berjuang di jalan ilahi dan bertemu dengan Tuhannya."
Pencerahan ini diilhami oleh al-Quran, yang menggambarkan karakteristik pemimpin dan pemimpin yang layak sebagaiman dijelaskan dalam surat Al-anbiya ayat 73, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah,".
Penguasa lalim Bani Umayyah, terutama Yazid bin Mu'awiyah, bukan hanya tidak memiliki salah satu sifat mulia yang dimiliki Imam Hussein, bahkan bertentangan dengannya. Mereka menjadikan yang haram sebagai halal, dan juga sebaliknya, mereka melanggar aturan ilahi dan puncaknya menciptakan tragedi besar sepanjang sejarah seperti Asyura demi menghancurkan nilai-nilai Islam.
Imam Hussein bangkit untuk melakukan reformasi di bidang agama, moral, sosial, budaya dan politik umat Islam. beliau berkata: "Tuhanku, engkau tahu kami tidak mengumpulkan kekayaan, tetapi tujuan kami demi memulihkan kondisi saat ini dan menegakkan nilai-nilai agama-Mu, dan membela orang-orang yang tertindas,".
Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan Imam Hussein adalah membebaskan umat Islam dari dominasi anti-agama dan ambisi politik rezim lalim demi membela orang-orang yang tertindas dan menegakkan keadilan.
Sayangnya, ribuan orang yang menulis surat kepada Imam Hussein dengan tujuan yang sama, akhirnya berbalik arah karena takut menghadapi ancaman dan godaan. Mereka melupakan semua tanggung jawab agama, moral dan kemanusiaannya. Sikap mereka ini dikecam al-Quran sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Araf ayat 179 yang berbunyi, "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai,".
Langkah Imam Hussein dalam gerakan reformasinya adalah mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana dibawa Nabi Muhammad Saw, yang telah mengalami penyimpangan di masa dinasti Umayah. Ajaran Islam mengalami penyimpangan yang dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw karena adanya pemisahan antara Al-Quran dengan Ahlul Baitnya, dan puncak penyimpangan ini terjadi pada masa pemerintahan Yazid.