Hari Mubahalah jatuh pada tanggal 24 bulan Dzulhijjah dan pada hari itu, Rasulullah Saw menawarkan mubahalah kepada Nasrani Najran yang menolak kebenaran dan mereka pun menerima tantangan ini.
Mubahalah adalah saling melaknat atau saling mendoakan agar laknat Allah Swt ditimpakan kepada kaum zalim dan mereka yang berdusta tentang kebenaran.
Rasulullah Saw datang ke lokasi mubahalah bersama keluarga terdekatnya yaitu Fatimah az-Zahra dan Imam Ali as serta kedua cucunya, Imam Hasan dan Imam Husein as. Dengan menyaksikan wajah-wajah suci ini, Nasrani Najran membatalkan mubahalah dan menyadari bahwa kebenaran berada di pihak Rasulullah.
Pada tahun kesepuluh Bitsat, Nabi Muhammad Saw menulis surat kepada Uskup Najran untuk menyeru kaum Nasrani kepada Islam. Mereka diberi pilihan yaitu memeluk Islam atau membayar jizyah (pajak) dengan tetap tinggal di negara Islam.
Uskup Agung Nasrani, Abu Haritsah membentuk sebuah dewan untuk membicarakan masalah tersebut dan pada akhirnya mereka memutuskan mengirimkan sebuah delegasi ke Madinah untuk berdialog dengan Rasulullah. Delegasi ini berjumlah 10 tokoh Nasrani dan ditugaskan untuk berdialog dengan Nabi Muhammad Saw di Madinah dan menyelidiki argumen-argumen kenabian akhir zaman.
Rasulullah Saw membuka dialog di Madinah dengan membacakan ayat al-Quran untuk memperkenalkan Islam dan mengajak mereka kepada agama Ilahi. Uskup Agung berkata, “Jika maksud engkau dari memeluk Islam adalah beriman kepada Tuhan, kami sudah beriman kepada Tuhan dan menjalankan hukum-hukumnya.”
Rasulullah menjawab, “Menerima Islam ada tanda-tandanya dan apa yang kalian yakini dan lakukan, tidak sesuai dengan tanda-tanda ini. Kalian meyakini Tuhan memiliki anak dan menganggap Isa al-Masih as sebagai anak Tuhan, padahal keyakinan ini bertentangan dengan penyembahan Tuhan Yang Maha Esa.”
Namun, delegasi Nasrani tetap mempertahankan konsep Trinitas dan menyebut Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Menurut mereka, Isa adalah anak Tuhan karena ia lahir tanpa perantaraan seorang ayah. Menurut ulama Nasrani, jika Isa adalah hamba dan makhluk Tuhan, lalu siapa ayahnya? Manusia adalah makhluk dan ia wajib punya ayah.
Pada saat itu, turunlah Malaikat Jibril as untuk menyampaikan ayat 59 surat Ali Imran kepada Rasul. “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, Jadilah (seorang manusia), maka jadilah dia."
Rasul Saw berkata kepada mereka, “Jika ketiadaan ayah merupakan bukti atas Uluhiyah (ketuhanan) Isa, maka Nabi Adam – yang tidak punya ayah dan ibu – lebih layak atas posisi Uluhiyah. Sungguh tidak demikian, keduanya adalah hamba dan makhluk Tuhan.”
Pada kesempatan itu, Allah Swt mengingatkan Rasulullah bahwa kaum Nasrani sengaja mencari-cari alasan agar bisa menolak kebenaran. Oleh karena itu, Dia memerintahkan Rasul untuk melakukan mubahalah dengan kaum Nasrani yang mengikutsertakan keluarga dan orang-orang terdekat dari kedua kelompok.
"… Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran, ayat 61)
Setelah turun ayat ini, dua pendeta besar Nasrani berkata, “Jika Muhammad bersama kebenaran, ia akan datang dengan keluarga terdekatnya (Ahlul Bait). Jika ia datang bersama anak-anak dan orang terdekatnya, jangan lakukan mubahalah, karena jelas bahwa dia adalah Rasul dan orang yang jujur dan punya iman yang kuat sehingga membawa orang-orang terdekatnya. Tetapi jika ia datang bersama para komandan dan pasukannya, jelas ia adalah pendusta.”
Satu hari kemudian, para pembesar Nasrani menyaksikan bahwa Rasulullah hanya ditemani oleh empat orang untuk bermubahalah. Rasul memegang tangan Sayidina Hasan sambil memangku Husein dan berjalan ke luar kota bersama Ali dan Fatimah as.
Ketika menyaksikan pemandangan itu, Uskup Agung Nasrani, Abu Haritsah bertanya kepada kaumnya, “Siapa mereka yang bersama Nabi Saw?” Kaumnya menjawab, "Yang di depan itu anak paman dan suami putrinya serta orang yang paling dicintai olehnya. Dua anak itu adalah putra-putranya dari putrinya dan wanita itu adalah Fatimah, putrinya yang paling dicintai."
Kaum Nasrani mulai menyadari bahwa Islam berada pada kebenaran dan mereka membatalkan mubahalah. Dalam ayat mubahalah, Imam Hasan dan Imam Husein disebut sebagai Abna’ana (anak-anak kami), kata Nisa’ana mengacu pada Sayidah Fatimah az-Zahra as, dan kata Anfusana merujuk pada Imam Ali as.
Sekelompok mufassir Ahlu Sunnah seperti, Zamakhsyari, Fakhrul Razi, dan Ibnu Atsir juga berbicara tentang peristiwa mubahalah dalam bukunya. Menurut catatan Zamakhsyari, Uskup Agung Najran, Abu Haritsah berkata, "Aku menyaksikan wajah-wajah yang jika mereka memohon kepada Tuhan untuk mengangkat sebuah gunung dari tempatnya, gunung tersebut akan terangkat. Jadi jangan bermubahalah. Jika kalian lakukan itu, kalian akan binasa dan tidak ada seorang Nasrani pun yang tersisa di bumi ini."
Zamakhsyari menyebut ayat mubahalah sebagai bukti terkuat atas keutamaan Ahlul Bait Nabi as dan saksi hidup atas kebenaran ajaran Islam.
Seorang mufassir besar Syiah, Allamah Sayid Muhammad Husein Tabatabaei mengatakan, “Mubahalah adalah salah satu mukjizat Islam yang tersisa. Setiap orang yang beriman, dapat melakukan mubahalah – dengan mengikuti Rasulullah Saw – dengan penentangnya untuk membuktikan kebenaran Islam dan memohon kepada Allah agar diturunkan siksa kepada pihak penentang (kebenaran).”
Kaum Yahudi dan Nasrani – yang disebut sebagai Ahlul Kitab oleh al-Quran – mengetahui tentang kebenaran Rasulullah Saw dan Ahlul Bait. Mereka menemukan nama Muhammad dalam kitab Taurat dan Injil serta mempelajari tentang Nabi akhir zaman dan kedatangan juru selamat. Namun, sebagian mereka menolak memeluk Islam setelah kedatangan Rasulullah.
Allah Swt menyinggung pembangkangan ini pada ayat 146 surat al-Baqarah dan menyebut mereka sebagai orang-orang yang menyembunyikan kebenaran. Allah berfirman, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”
Sejumlah ayat dalam al-Quran menyinggung tentang kabar gembira yang diberikan oleh Taurat dan Injil mengenai kedatangan Rasulullah, di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani juga menantikan kedatangan ini, mereka bahkan mengenal sosok Muhammad seperti mengenal anak-anaknya sendiri.
Di ayat lain disebutkan bahwa Ahlul Kitab selain mengenal Rasulullah Saw, juga mengetahui tentang masyarakat yang akan dibentuk oleh Nabi akhir zaman di mana orang-orang yang bersamanya saling mengasihi.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil…” (QS. Al-Fath, ayat 29)
Peristiwa mubahalah menunjukkan perilaku mulia dan rasional yang dibarengi dengan kelembutan dan kepalangan dada Rasulullah Saw dengan Ahlul Kitab. Rasulul tetap menawarkan dialog meskipun ia berada di puncak kekuatan politik dan militer pada waktu itu.
Rasul Saw memperlakukan orang-orang yang menentangnya dengan lembut dan terus berusaha membimbing mereka. Beliau membuktikan kebenaran Islam dengan argumentasi logis dan menyeru mereka pada kebenaran.