Masjid – sebagai Baitullah dan tempat ibadah – merupakan tempat yang paling istimewa dan mulia di bumi. Masjid adalah poros cahaya yang bersumber dari cahaya Ilahi yang menyinari seluruh penjuru bumi.
Rasulullah Saw bersabda, "Masjid adalah cahaya Allah." Masjid adalah poros ikatan hati dan jiwa manusia dengan Tuhan dan tempat untuk mendengarkan seruan-Nya menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan.
Ada banyak anjuran yang menyeru individu Muslim untuk sesering mungkin mengunjungi masjid dan menunaikan shalat-shalat wajib di sana. Sudah menjadi tugas kita sebagai seorang Muslim untuk memenuji seruan itu dan mengerjakan segala bentuk ibadah di masjid. Hal ini karena Allah Swt telah menjadikan masjid sebagai tempat untuk bertemu dan bercengkrama dengan-Nya. Dia akan memberi perlakuan khusus kepada orang-orang yang bertamu ke Baitullah.
Masjid adalah rumah Allah Swt di muka bumi dan sudah menjadi hak tuan rumah untuk memulikan orang-orang yang mengunjungi dan memakmurkan masjid. Para pengunjung ingin mendapat perhatian khusus dari pemilik rumah dengan cara mengerjakan amal ibadah dengan ikhlas.
Bumi memiliki berbagai belahan dan tempat. Namun di antara semua belahan itu, masjid adalah sebuah tempat yang sangat istimewa dan mulia di bumi ini. Disebutkan bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw bertanya kepada Malaikat Jibril, "Bagian bumi yang mana yang lebih dicintai di sisi Allah?" "Masjid," jawab Jibril singkat. Masjid adalah sebaik-baik tempat di muka bumi ini. Ia merupakan tempat peribadatan seorang hamba kepada Allah Swt dan memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah semata.
Manusia tentu saja akan mendapat kasih sayang Tuhan ketika memasuki tempat yang paling dicintai di muka bumi ini. Dalam banyak hadis disebutkan, "Barang siapa mengambil wudhu dan pergi ke masjid serta melaksanakan adab berkunjung, maka ia akan termasuk dari para pengunjung rumah Allah." Sangat penting bagi orang yang ingin berkunjung ke masjid untuk mempelajari adab-adab memasuki tempat suci itu, karena setiap ibadah yang dilakukan dengan makrifat, tentu akan memiliki nilai yang lebih besar.
Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Barang siapa yang masuk ke sebuah masjid, maka ketahuilah bahwa ia telah datang ke rumah Sang Maha Raja, di mana tidak ada yang menginjakkan kakinya di sana kecuali dalam keadaan suci dan hanya orang-orang yang jujur yang pantas memasukinya… di hadapan-Nya, jadilah seperti orang-orang yang paling miskin dan bersihkanlah hatimu dari hal-hal yang telah membuat engkau berpaling dari-Nya dan menciptakan tirai antara dirimu dan Dia, karena Dia tidak akan menerima kecuali hati yang paling suci dan paling ikhlas." (Misbah al-Shari'ah)
Rasulullah Saw pernah memberikan nasihat kepada sahabat setianya, Abu Dzar al-Ghifari tentang adab dan tata cara mengunjungi masjid. Beliau bersada, "Wahai Abu Dzar! Siapa saja yang menjawab seruan Allah dan berusaha memakmurkan masjid, maka ia akan memperoleh balasan surga dari sisi Allah." Kata memakmurkan bisa meliputi pembangunan awal masjid dan perawatannya, dan juga bisa mencakup kegiatan berkunjung dan beribadah di dalamnya.
Oleh karena itu Abu Dzar kemudian bertanya kepada Rasulullah Saw, "Ayah dan ibuku menjadi tebusan engkau, Wahai Rasulullah! Bagaimana kami akan memakmurkan masjid?" Beliau menjawab, "Memakmurkan masjid berarti tidak meninggikan suara di dalamnya, meninggalkan perbuatan batil dan sia-sia, tidak melakukan jual-beli di sana. Selama engkau masih di masjid, maka jauhilah setiap (perkataan dan perbuatan) yang sia-sia dan jika tidak, maka pada hari akhirat janganlah mencela kecuali dirimu sendiri."
Dalam sabda itu, Rasulullah Saw memberitahu beberapa tata cara memasuki masjid kepada Abu Dzar; pertama, masjid adalah tempat ibadah dan meninggikan suara di dalamnya tentu akan mengganggu kekhusyukan orang lain. Mereka akan kehilangan konsentrasi dalam shalat dan ibadahnya. Berteriak di tengah kerumunan orang juga merupakan bentuk ketidaksopanan dan sudah sepantasnya kita bersikap sopan dan mulia di masjid serta meninggalkan perbuatan yang tidak pantas.
Jadi, salah satu bentuk memakmurkan masjid adalah kita harus bersikap tenang dan tidak riuh ketika berada di tempat suci itu. Jika ingin menyampaikan sesuatu, kita harus berbicara dengan nada rendah dan tidak mengganggu orang lain. Kedua, meninggalkan pembicaraan batil dan sia-sia yang merupakan bentuk pelecehan terhadap masjid. Dan ketiga, meninggalkan kegiatan jual-beli di dalam masjid. Karena jika transaksi perdagangan dilakukan di masjid, maka manusia tidak akan lagi mengingat Tuhan dan malah menyibukkan diri dengan perkara dunia di rumah Allah Swt.
Padahal, masjid adalah tempat untuk berzikir dan mengingat Allah Swt dan setiap pekerjaan yang dapat mengalihkan konsentrasi masyarakat kepada selain Tuhan harus ditinggalkan, sehingga benar-benar tercipta nuansa untuk berzikir dan beribadah. Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Pada suatu hari, Rasulullah melihat seseorang yang sedang mengasah anak panahnya di dalam masjid, beliau melarang perbuatan itu seraya bersabda, masjid tidak dibangun untuk pekerjaan-pekerjaan seperti itu." (Wasail al-Shia, jilid 3)
Pada segmen ini, kita akan kembali melanjutkan kajian tentang Masjidil Haram sebagai tempat yang paling suci di dunia ini. Literatur sejarah mencatat bahwa Nabi Ibrahim as bersama putranya Ismail as sedang sibuk membangun Ka'bah, dan ketika dindingnya makin tinggi hingga membuat Ibrahim as tidak mampu lagi menjangkaunya, maka Ismail membawakan sebuah batu untuk pijakan bagi Nabi Ibrahim. Ia kemudian berdiri di atas batu itu dan menyelesaikan pembangunan Ka'bah.
Mereka terus memindahkan posisi batu tersebut sehingga berada persis di depan pintu Ka'bah. Ibnu Abbas, ahli tafsir dan sejarah era permulaan Islam berkata, "Karena Ibrahim berdiri di atas batu itu, maka ia dikenal dengan sebutan Maqam Ibrahim. Karena batu ini menjadi tempat pijakan Ibrahim, maka dua telapak kakinya membekas di sana." Maqam Ibrahim dianggap sebagai salah satu titik yang paling suci di Masjidil Haram karena ada bekas telapak kaki Nabi Ibrahim as.
Bentuk jejak kaki di Maqam Ibrahim memiliki kedalaman yang berbeda. Satu bagian sedalam 10 sentimeter, sedangkan satu bagian lagi sedalam sembilan sentimeter. Panjang jejak adalah 22 sentimeter, sedangkan lebarnya 11 sentimeter. Warna Maqam Ibrahim menyerupai warna perunggu, agak kehitam-hitaman. Sejak masa Mahdi al-Abbasi dan setelahnya, Maqam Ibrahim telah dilapisi emas dan diletakkan di dalam kotak tembaga berbentuk persegi empat. Di atasnya terdapat kubah yang bertopang pada empat buah itiang.
Karena kubah itu memakan tempat yang cukup luas di samping Ka’bah, maka pada tahun 1385 Hijriyah (1956 Masehi), pemerintah Arab Saudi menghancurkan tempat tersebut dan kemudian menggantinya dengan sebuah kotak kaca. Meski sudah berusia ribuan tahun, Maqam Ibrahim masih tetap terjaga dari berbagai bencana alam dan peristiwa sejarah.
Maqam Ibrahim merupakan salah satu syi'ar Allah Swt dan dalam surat al-Baqarah ayat 125 disebutkan, "Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian Maqam Ibrahim tempat shalat…" Posisi Maqam Ibrahim yang berada di samping Ka'bah merupakan bukti atas keagungan dan kemuliaan Nabi Ibrahim as, sang penyeru tauhid. Pada dasarnya, posisi istimewa ini merupakan keteladanan untuk mencapai derajat sebagai khalifatullah di muka bumi.
Salah satu bagian Ka'bah yang sangat dimuliakan adalah batu Hajar Aswad. Ia merupakan sebuah batu berwarna hitam agak kemerah-merahan yang terletak pada dinding Ka'bah di Masjidil Haram. Thawaf dimulai dan berakhir di Hajar Aswad dan disunahkan juga menyentuh Hajar Aswad dan mencium sekadarnya ketika memulai thawaf. Pada dasarnya, Hajar Aswad merupakan salah satu syi'ar besar agama dan rahasia antara Tuhan dan hamba-Nya. Menyentuh Hajar Aswad berarti memperbaiki bai'at dengan Allah Swt.
Orang yang pertama kali membangun Baitullah adalah Nabi Adam as dan kemudian memasang Hajar Aswad di sisi kiri Ka'bah. Nabi Ibrahim as membangun kembali Baitullah dan pada masa itu, Hajar Aswad ditemukan tergeletak di Jabal Abu Qubais di dekat Masjidil Haram. Nabi Ibrahim as kemudian memasang kembali Hajar Aswad di tempat semula.
Ketika Muhammad Saw berusia 35 tahun dan belum diutus sebagai rasul, kabilah Quraisy membangun kembali Ka'bah yang rusak akibat banjir. Mereka merenovasi bagian-bagian Ka'bah yang menjadi kewajibannya dan tidak timbul perselisihan. Hingga sampai pada masalah peletakan kembali Hajar Aswad ke tempatnya, masing-masing kabilah berebut dan merasa paling berhak untuk meletakkannya.
Dalam situasi yang tegang, Muhammad Saw – yang dikenal dengan sebutan al-Amin – membuka sehelai kain dan meletakkan Hajar Aswad di dalamnya dan memerintahkan kelompok yang berselisih untuk mengangkat ujung-ujung kain itu. Mereka pun mengangkatnya. Setelah sampai pada tempatnya, Rasulullah Saw mengangkat Hajar Aswad dan meletakkan pada posisinya.