Umat manusian sejak penciptaan telah berupaya memahami dan mengevaluasi sumber dan esensi keberadaan dan ingin tahu tentang hubungannya dengan Tuhan, alam and lingkungan. Karena ketidakmampuan kita memahami aspek-aspek besar tertentu dari eksistensi kita, maka agama-agama ilahiyah diperkenalkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Banyak sarjana percaya bahwa penderitaan manusia saat ini dan depresinya yang akut berasal dari kelalaian pada spiritualitas dan hati nuraninya yang telah ditindas di bawah tekanan pemikiran materilistik. Persoalan ini dapat disampaikan dengan cara berpikir baru dan konseptualisasi nilai-nilai sosial dan individual berdasarkan prinsip-prinsip ilahiyah.
Sayangnya, masyarakat-masyarakat Barat yang menyandarkan pada pengertian material dan klise tentang “persamaan” hanya mempertimbangkan status perempuan yang dangkal. Teori-teori itu -- diciptakan para sarjana Barat -- berasal dari pengalaman masyarakat Barat dan sejarah chauvinisme dalam masyarakat-masyarakat itu. Mereka tidak mengenal secara mendalam atau mengembangkan kemampuan dan potensi wanita.
Budaya dan ideologi materialistik membatasi dunia hanya pada alam dan lingkungan dan mereka tidak mengenal masalah-masalah supranatural.. Jadi, mereka tak mampu memberikan pengetahuan yang komprehensif tentang makhluk manusia (Yasin: 24).
Hanya ada satu jalan untuk berurusan dengan masalah sosial dan budaya yang berbeda dan itu adalah meninjau kembalu nilai-nilai ilahiyah dan meletakkan pendirian baru berdasarkan pada keadilan yang sesungguhnya. Untuk membangun fondasi demikian, kita perlu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang sebenarnya. Untuk melakukannya, kita perlu memiliki pengertian yang luas dan mendalam serta filsafat setiap fenomena, termasuk tempat manusia di jagat raya, hubungan antara makhluk manusia dan khususnya hubungan lelaki dan perempuan.
Sejumlah besar utusan Tuhan dari Adam, Nuh, Yakub, Ibrahim, Isak, Musa, Yesus, dan Nabi Muhammad SAW telah dikirim oleh Allah dengan pesan ilahiyah untuk tujuan tunggal: menuntun umat manusia.
Dalam Islam, prinsip yang mendasar adalah Tauhid – kesatuan ras manusia dan kedaulatan Tuhan Yang Mahaesa, Tuhan Alam Semesta. Pesan damai Islam menegaskan persamaan seluruh umat manusia dan menolak segala diskriminasi berdasarkan ras, klas dan jenis kelamin (jender).
“Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan petrempuan. Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan berbagai puak, supaya kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu bagi Allah, Ialah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahaseempurna pengetahuan-Nya.” (Surah Al-Hujarat:13).
Al-Qur’an telah dikirim Allah Yang Mahakuasa untuk mendidik dan mensucikan jiwa manusia dan semangat atau (ruh) eksistensi abstrak yang tidak membagi menurut jenis kelamin dalam bentuk pria atau wanita (Saad:72).
Berdasarkan konteks Al-Qur’an.
“Lelaki dan perempuan telah diciptakan dari esensi yang sama (An-Nisa:1, Al-Araf: 189, dan Zummar: 6).
Kata umat manusia merujuk pada lelaki dan peremuan secara sama.
Untuk menjadi perempuan atau lelaki hanya berkaitan dengan tubuh lelaki atau wanita serta aspek material dan bukan ruh atau spirit keduanya. Itu sebabnya pendidikan Al-Qur’an menargetkan jiwa atau “nafs”. Itu sebabnya “Nafs” berbeda dari tubuh (Al-Syams: 7).
Kata-kata Nafs-e Wahede (An-Nisa:1, dan Al-Zummar:6) dalam berbagai ayat Al-Qur’an merujuk pada esensi sesungguhnya dari umat manusia, apakah ia berkelamin lelaki atau perempuan. Ia merujuk pada umat manusia. Itu sebabnya, lelaki dan wanita sebagai dua unsur dari esensi yang sama melengkapi satu sama lain.
Ini berarti pria adalah makhluk yang komplit dan sempurna ketika ditempatkan di samping wanita dan sebaliknya. (Rasyid Yazdi). Karena alasan inilah Islam menganggap saling melengkapi ini, yaitu perkawinan, sebagai ibadah.
Al-Qur’an menganggap perkawinan sebagai jalan menuju kesempurnaan dan saling melengkapi antara perempuan dan laki-laki, dan karena alasan inilah kata talak dalam Al-Qur’an disamakan dengan keretakan dan perpisahan atau (sheghagh) yang berarti terpisah menjadi dua dari nukleus atau tubuh yang sama (An-Nisa: 35).
Di samping prinsip keadilan yang berlaku di setiap aspek jagat raya, tak ada tempat bagi penindasan dan ketidakadilan dalam kehidupan abadi dan akhirat. Jika ada ketidakadilan, kita harus menyalahkan diri kita dan melihat mengapa kita tidak meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa Sunnatullah jauh dari setiap jenis diskriminasi dan penindasan (Al-Kahf: 49, Al-Fusilat: 46, dan Al-Imran).
Allah yang Mahakuasa tidak hanya adil dan mencintai keadilan tapi juga mengundang orang kepada keadilan dan persamaan dan di atas segalanya mempersembahkan kepada mereka kriteria keadilan (Al-‘Araf: 24).
Karena tidak ada penindasan dalam ketertiban jagat raya, seseorang apakah lelaki atau perempuan tidak dapat mengklaim dizalimi atau telah diberikan pilihan dan prioritas kepada yang lain dalam ras, warna kulit, jenis kelamin, dsb, kecuali pada tingkat kebajikan dan takwanya.
Ada banyak wanita yang telah meninggalkan jejak dalam sejarah. Mereka besar dalam berbagai aspek kehidupan. Dari Hajar (isteri Nabi Ibrahim Alaihissalam), Asiah (isteri Fir’aun, yang membesarkan dan melindungi Nabi Musa Alaihissalam), Ibu Maryam (Alaihissalam), Ibu Nabi Isa (alaihissalam), Khadijah (Alaihissalam), isteri Nabi Muhammad SAW, dan puteri mereka yang tercinta, Ibu Fatimah Az-Zahra (alaihissalam). Perempuan-perempuan terkemuka dalam agama-agama ilahiyah ini telah memainkan peran penting dalam masalah sosial dan dalam mengangkat masyarakat.
Watak para ibu ini yang ada, yang bicara, yang hidup, yang memainkan perannya dalam tempat-tempat ibadah, dalam masyarakat, dan melatih anak-anak di rumah dalam perjuangan sosial keluarga terdokumentasi dengan baik.
Fakta menarik lain tentang wanita dalam Al-Qur’an adalah bahwa Allah menceritakan langsung ketika wanita menerima wahyu. Allah mengirim utusan-Nya yang membawa pesan-Nya kepada Maryam, Ibu Nabi Isa (Alahissalam).
Allah juga “berbicara” kepada ibu Nabi Musa:
“Lalu Kami ilhamkan kepada Ibunda Musa, “Susilah (anakmu), Dan pabila kau kuatir tentang dirinya, Lemparkan dia ke dalam sungai. Janganlah takut ataupun sedih, Karena Kami ‘kan kembalikan ia kepadamu. Dan Kami jadikan ia salah seotang Rasul.” (Al-Qasas: 7).
Kita juga membaca kisah Balqis, Ratu Syeba dan praktek-praktek politik dan keagamaannya (An-Namel: 22-231).
Konsep keadilan jenis kelamin merupakan hal terbaik yang dicontohkan oleh banyak ayat Al-Qur’an Persamaan, tanggung jawab, dan pertanggungjawaban bagi pria dan wanita adalah tema yang berkembang baik dalam Islam.
Dalam Islam wanita dikenal sebagai unsur kebaikan dan kegairahan dalam keluarga dan dia dianggap sebagai faktor penting untuk menghidupkan perasaan kebaikan, kegairahan, suka memaafkan dan murah hati di kalangan anggota keluarga, yang merupakan guru, dan pendidik generasi dan masyarakat masa depan.
Seluruh unsur keluarga, yang merupakan pria, wanita dan anak-anak diatur dalam cara yang seimbang dan tepat. Status dan peran dipercayakan kepada masing-masing tiga unsur keluarga ini, tidak hanya menjelaskan kepada mereka hak-hak dan kewajiban sosial dan hukumnya tapi juga nilai-nilai sosial dan legal mereka.
Pendiri Republik Islam di Iran, pemikir Islam besar dan filosof, mendiang Imam Khomeini, yang telah menghabiskan tahun-tahun yang panjang dalam melakukan penelitian agama, lapangan politik dan sosial melukiskan dengan sangat baik status mulia perempuan. Saya mengutipnya:
“Umat manusia memperoleh mi’raj dari pangkuan ibu. Wanita adalah pendidik umat manusia.”
Meskipun pria dan wanita sama di hadapan Allah Yang Mahakuasa, tetapi dalam beberapa aspek wanita lebih dekat dan berharga bagi Tuhan, bahwa menjadi wanita menikmati status khusus, eksklusif, dan fungsi ayah dari umat manusia. Al-Qur’anul Karim mengangkat ini secara khusus dalam Surah An-Nisa:1. Ini hal terpenting untuk memahami bahwa dalam ayat ini Al-Qur’an menyamakan status wanita sebagai penghasil umat manusia.
Wanita merupakan setengah dari masyarakat manusia, secara alamiah mereka memiliki peran penting dalam perkembangan masyarakat. Wanita, akibat peran pentingnya sebagai pendidik besar pada taha-tahap kritis anak-anak, ditempatkan pada posisi yang lebih baik untuk menjalankan pengaruh mereka dan mendapatkan hasil dalam perjalanan dialog dan hubungan sosial. Mereka dikenal karena kreativitas dan menikmati kemampuan spesialnya untuk menghadapi dan mengurusi emosi dan mampu membantu menumbuhkan, bekerja sama dan kerukunan. Salah satu hasil tidak langsung dari partisipasi dan keterlibatan wanita dalam masalah sosial dianggap peran penting mereka dalam perdamaian dunia.
Peradaban Islam mengajak perlunya mengakui fakta bahwa “keluarga” adalah satuan primer dari struktur masyarakat dan merupakan fondasi perkembangan dan pertumbuhan umat manusia. Jaminan masa depan masyarakat yang aman adalah dalam mendefinisikan dan menentukan status dan peran individualnya dan bakat dan sumbangsih kreatif mereka untuk menciptakan generasi masa depan serta perkembangan moral, politik, dan budaya masyarakat. Lembaga keluarga perlu dihormati dan dijaga agar memungkinkan masyarakat mengatasi seluruh problem masyarakat.
Seluruh unsur keluarga, yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak diatur dalam cara yang seimbang dan akurat. Status dan peran yang dipercayakan kepada masing-masing tiga unsur keluarga ini, tidak hanya menjelaskan kepada mereka hak-hak dan kewajiban sosial dan hukum mereka, tapi juga nilai-nilai sosial dan legalnya.
Dalam kesimpulan, saya ingin menyampaikan kepada hadirin yang mulia bahwa momentum yang sangat dinamis telah diciptakan dalam negara saya. Untuk menguji kembali seluruh seruan bagi hubungan yang seimbang dan rasional antara pria dan wanita, kami sangat yakin bahwa nilai-nilai yang stereotype berdasarkan pada ideologi yang materialistik dan mengurusi masalah jenis kelamin dalam cara yang abstrak dan eksklusif tidak membawa pada suatu hasil dan perlu dievaluasi serta dinilai kembali dalam cara yang komprehensif berdasarkan ajaran-ajaran ilahiyah.
Kita harus mengkonseptualisasikan kembali masalah gender dan telah menawarkan untuk mengganti persamaan gender dengan keadilan gender.
Akhirnya, saya ingin mengungkapkan penghargaan kepada Yang Mulia Prof. Meutia Farida Hatta, Menteri Negera untuk Pemberdayaan Wanita Republik Indonesia dan koleganya di departemennya atas upaya dan dukungan tulus dan berharga mereka yang membaut pertemuan Agustus menjadi mungkin dilakukan hari ini.
Akhirnya, tapi bukan yang terakhir, Saya harus menyebut Mr. Rabbani, Konsuler Kedutaan Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia bagi upaya kerasnya membawa ke sini banyak tokoh-tokoh dan peserta yang terhormat, semoga Allah Yang Mahakuasa memberkati kita semua dan memberikan kita wawasan untuk membawa kita kepada jalan-Nya yang benar.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh.