SHALAT, secara harfiah, berarti doa. Dalam konteks ini, yang dimaksud shalat adalah doa yang disampaikan dengan tata cara—syarat dan rukun—yang khas dalam bentuk bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan tertentu. Dalam bahasa syariah, inilah yang disebut dengan ash-shalawât al-qâ’imah (shalat-shalat yang didirikan), terdiri atas shalat wajib 5 waktu dan berbagai shalat sunnah. Kata “shalat” juga memiliki akar kata yang sama dan memiliki hubungan makna dengan kata “shi-lah”, yang bermakna “hubungan”. (Contohnya, “shilah al-rahim” bermakna “silaturahmi” atau “hubungan kasih-sayang”.) Dalam kaitannya dengan kata “shilah” ini, shalat bermakna medium hubungan manusia dengan Allah Swt. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “shalat adalah mi‘râj-nya orang-orang beriman”. Dengan kata lain, sebagaimana Rasulullah bertemu dengan Allah Swt. ketika ber-mi‘râj, orang beriman (dapat) bertemu dengan-Nya melalui shalat.
Meski ada riwayat yang menyatakan bahwa Allah mewahyukan tentang shalat pada saat Rasulullah ber-mi‘râj, banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Rasul—bersama Siti Khadijah dan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib—telah melakukan shalat, bahkan sebelum beliau melakukan dakwah terang-terangan. Tak kurang pula indikasi dalam Al-Quran dan hadis, serta pandangan para ulama dan sufi—sebagiannya dikutip dalam buku ini—bahwa kewajiban shalat telah dilakukan oleh para rasul sebelum Muhammad Saw. Para peneliti Bibel—antara lain Thomas McElwain—malah merasa yakin telah menemukan ayat-ayat dalam kitab suci orang-orang Nasrani ini petunjuk-petunjuk gerakan yang mirip dengan tata cara shalat orang Muslim. Jadi, meski tak harus sepenuhnya sama, tampaknya tata cara shalat sudah dikenal sebelum datangnya Islam.
Al-Quran memberikan tempat utama kepada ibadah shalat ini. Demikian pula Rasulullah Saw. Dalam Al-Quran tersebut tak kurang dari 234 ayat mengenai shalat. Di antaranya, sebuah ayat yang mengisahkan orang-orang yang dijebloskan ke dalam Saqar—suatu lembah di Neraka Jahanam:
(Kepada mereka ditanyakan): “Apakah yang memasuk-kan kamu ke dalam Saqar?” (Mereka menjawab): “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al-Muddatstsir [74]: 42-43)
Sementara itu, dengan tegas Rasulullah menyatakan, “Tak ada pembeda antara orang Mukmin dan orang kafir kecuali shalat.” Di kesempatan lain disabdakannya pula, “Shalat adalah pilar agama,” dan “Yang paling awal diperhitungkan dari seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya, baiklah seluruh amalnya yang selebihnya. Jika buruk shalatnya, buruk pulalah seluruh amalnya yang selebihnya.”
Di dalam Al-Quran, shalat disebutkan dengan berbagai fungsi shalat.
Pertama, shalat adalah pencegah dari perbuatan buruk. “Sesungguhnya, shalat (yang benar—HB)mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS Al-‘Ankabût [29]: 45). Perbuatan keji adalah semua perkataan dan perbuatan yang mengotori kehormatan dan kesucian diri, sementara yang mungkar adalah apa saja yang ditolak oleh syariat.
Kedua, shalat adalah sumber petunjuk. Rasulullah bersabda, “Shalat adalah sumber cahaya.” Barang siapa yang memeliharanya, ia akan mendapatkan cahaya dan petunjuk. Dan barang siapa yang tidak memeliharanya, maka tiada cahaya atau petunjuk baginya.
Ketiga, shalat adalah sarana kita meminta pertolongan dari Allah Swt. “Mintalah pertolongan dengan sabar (dalam sebagian tafsir, sabar diartikan sebagai puasa dan shalat)” (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Keempat, shalat adalah pelipur jiwa. Allah Swt. berfirman, “… dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS Thâ Hâ [20]: 13-14). “Dan bukankah dengan mengingat-Ku, hati menjadi tenteram?” (QS Al-Ra‘d [13]: 28). Diriwayatkan bahwa setiap kali Rasul mengalami kesedihan atau kegundahan, beliau akan memerintahkan kepada Bilal, “Senangkan kami, wahai Bilal.” Maksud beliau, hendaklah Bilal mengumandangkan iqamah agar Rasul dan para sahabatnya dapat melakukan shalat setelah itu. Pada kesempatan lain, beliau menyatakan, “Dijadikan bagiku shalat sebagai penyejuk-jiwaku.”
Kelima, selain mendatangkan kebahagiaan, shalat yang dilakukan secara teratur akan dapat melahirkan kreativitas. Psikologi mutakhir—yang biasa disebut sebagai psikologi positif—telah menunjukkan besarnya pengaruh ketenangan terhadap kreativitas. Mihaly Csikszentmihalyi, ahli psikologi ini, memperkenalkan suatu keadaan dalam diri manusia yang disebutnya sebagai “flow”. Bukan saja “flow” adalah sumber kebahagiaan, ia sekaligus adalah sumber kreativitas. Shalat yang khusyuk menghasilkan kondisi “flow”dalam diri pelakunya.
Keenam, berdasar penemuan-penemuan mutakhir yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh dan penyakit sebenarnya berasal dari penyakit jiwa, dan bahwa banyak penyakit tubuh sesungguhnya dapat disembuhkan melalui ketenangan jiwa, maka shalat dapat dilihat sebagai sarana kesehatan tubuh juga. Dan, sehubungan dengan ini, telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat manfaat mengerjakan shalat secara teratur bagi kesehatan tubuh.
Dapat disimpulkan dari berbagai manfaat shalat tersebut di atas bahwa sesungguhnya shalat—di samping fungsi utamanya sebagai sarana beribadah kepada-Nya, mengembangkan keimanan kepada suatu Zat Mahakuasa dan Maha Penyayang yang kepada-Nya kita dapat mempertautkan kecintaan dan keimanan, serta memperhalus akhlak—adalah fasilitas yang dianugerahkan-Nya kepada kita untuk meningkatkan kualitas hidup kita sehari-hari. Banyak orang bersusah payah mencari jalan dalam mencapai hal ini dengan mengembangkan berbagai bentuk meditasi transendental, hipnosis, mencari konsultasi psikologis dan medis, bahkan lari kepada obat-obat penenang atau, kalau tidak, mesti hidup dalam kebingungan serta tekanan stres dan depresi. Padahal, sebagai Muslim, kita telah diajari teknik-teknik foul proof yang datang dari Dia Yang Mahatahu. Masihkah, setelah ini, kita akan menyia-nyiakan shalat dengan tidak menjalankannya?
Dari sini, marilah kita lanjutkan pembicaraan kita tentang shalat dan berbagai seluk-beluknya itu, bi ‘aunil-Lâhi Ta‘âlâ.