کمالوندی

کمالوندی

Senin, 15 Januari 2024 14:42

Dunia dalam Pandangan Imam Hadi as

 

Hari ini tanggal 3 Rajab bertepatan dengan peringatan Haru Syahadahnya Imam Hadi as, Imam kesepuluh Ahlul Bait as. Manusia suci ini dibunuh oleh penguasan Dinasti Abbasiah karena merasa terancam kekuasaannya atas keberadaan beliau.

Sejarah Islam menunjukkan kehadiran orang-orang besar dan mulia yang begitu berjasa bagi umat manusia. Mereka adalah para penerus risalah para Nabi dan Rasul yang mengenalkan jalan kebahagiaan sejati dan keselamatan bagi umat manusia. Ahlul Bait Rasulullah Saw menjadi pelita penerang umat dari kegelapan.

Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw mencurahkan hidupnya untuk membimbing manusia dengan ketinggian ilmu dan keutamaan akhlaknya. Salah satu dari Ahlul Bait Rasulullah saw adalah Imam Hadi yang telah menunjukkan keagungannya sejak kecil hingga akhir hayatnya.

Imam Ali al-Hadi lahir tanggal 15 Dzulhijjah 212 H di kota Madinah. Ketika ayahnya Imam Jawad syahid, Imam Hadi memegang tanggung jawab kepemimpinan umat Islam. Beliau memberikan petunjuk dan bimbingan kepada masyarakat selama 33 tahun.

Kepemimpinan Imam Hadi semasa dengan enam orang penguasa dari dinasti Abbasiah. Di masa kepemimpinan beliau inilah Ahlul Bait Rasulullah Saw banyak mengalami tekanan dari pihak penguasa lalim. Salah satu dari enam khalifah yang sezaman dengan beliau dan paling membenci Ahlul Bait adalah Mutawakkil.

Keimamahan Imam Ali al-Hadi menjadi ancaman bagi musuh-musuh Ahlul Bait, terutama penguasa lalim. Untuk itulah, mereka berupaya memisahkan Imam dari umat Islam. Bahkan sejak kecil, para imam mendapat tekanan dari penguasa lalim. Tapi tekanan tersebut tidak menghalangi para Imam dalam membimbing masyarakat bahkan sejak usia kecil beliau.

Kehidupan sosial dan politik Ahlul Bait menunjukkan betapa sensitifnya tanggung jawab yang mereka pikul dalam melindungi dan menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat. Periode kehidupan mereka penuh dengan peristiwa yang mengancam masyarakat Islam, akibat kebodohan masyarakat waktu itu atau oleh para penguasa zalim. Di masa kehidupan Imam Ali al-Hadi as muncul sejumlah pemikiran dan keyakinan di tengah-tengah umat Islam. Pembahasan seperti melihat Tuhan, keyakinan akan Jabr (Determinasi) atau sebaliknya lebih menekankan kebebasan manusia. Sebagian lagi justru cenderung pada tasawwuf yang kemudian berusaha merasuki pikiran masyarakat umum.

Munculnya fenomena seperti ini berasal dari perubahan dalam kebijakan budaya penguasa Bani Abbasiah dan serangan pemikiran filsafat materialistik dari bangsa-bangsa lain ke tengah masyarakat Islam. Para khalifah pasca Ma’mun telah mengalokasikan dana luar biasa untuk menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani. Bahkan disebutkan bahwa para penerjemah mendapat upah emas seberat buku yang diterjemahkan.

Salah satu ajaran penting dan kunci dari pernyataan Imam Hadi as yang mencerahkan adalah perhatian yang diberikan kepada dunia fana dan perannya dalam mempromosikan kebahagiaan manusia. Imam Hadi as memperkenalkan dunia sebagai pasar di mana kelompok mendapat manfaat darinya dan kelompok lainnya merugi. Di mata Imam, yang tercela adalah keterikatan akan dunia dan cinta dunia, bukan dunia itu sendiri, tetapi karena manusia mencari keuntungan di pasar akan terikat pada dunia. Keterikatan pada kesenangan duniawi ini adalah sumber kesalahan manusia dan penderitaannya karena melakukan dosa. Penderitaan ini dalam materi yan fana dan keinginan duniawi, menghancurkan manusia dan menjadi sarana bagi kejatuhan dan kemerosotannya. Keuntungan dan kerugian pasar dunia bergantung pada banyak faktor dan keadaan.

Sebagian orang melihat dunia sebagai tempat peralihan dan mencoba membangun cadangan untuk akhirat di dunia. Mereka adalah orang yang di pasar dunia menempatkan metode Nabi Saw dan Ahlul Bait as yang melangkah di jalur penghambaan diri kepada Allah dan berusaha keras di jalan kebenaran dan keadilan. Orang-orang seperti ini akan sampai pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.  Tetapi mereka yang menganggap dunia sebagai sesuatu yang permanen dan stabil, adalah tawanan hawa nafsu dan mengikuti setan serta dunia sebagai tujuannya. Mereka menjadi mainan dunia yang berkilau dan dosa yang mereka lakukan membuat mereka merugi dan akhirnya mereka mendapat azab ilahi di akhirat.

Dalam hadis lain, Imam Hadi as mengatakan, "Allah telah menempatkan dunia sebagai tempat ujian dan akhirat sebagai rumah terakhir dan konsekuensi dunia. Ujian dan peristiwa dunia akan mendapat pahala di akhirat, sebaliknya pahala di akhirat sebagai ganti ujian di dunia."

Imam Hadi as memulai perjuangannya melawan para penguasa Abbasiah secara tidak langsung dengan penyadaran sosial, budaya dan pendidikan. Ahlul Bait Rasulullah Saw mengajarkan pondasi pemikiran dan keyakinan yang kokoh dan logis  kepada masyarakat yang berada di bawah tekanan politik penguasa lalim.

Tekanan berat dari sisi politik dan menyebarnya kerancuan pemikiran dan keyakinan merupakan dua fenomena yang muncul di zaman Imam Hadi as. Tanpa beliau, dasar keyakinan dan pemikiran Islam bakal terancam.

Sebelum Imam Hadi as dipindahkan ke Samara oleh pasukan Abbasiah, beliau tinggal di Madinah yang menjadi pusat keilmuan dan fikih dunia Islam. Aktifitas Imam Hadi di Madinah memicu kekhawatiran dari para penguasa zalim. Oleh karena itulah mereka memaksa Imam Hadi as untuk meninggalkan Madinah dan selama 10 tahun beliau hidup dalam tekanan berat di masa kekuasaan Bani Abbasiah.

Tekanan berat politik para penguasa Abbasiah terhadap Imam Hadi  menyulitkan masyarakat untuk bisa menemui beliau. Hal ini dilakukan mereka dengan harapan bahwa ketidakhadiran Imam Hadi di tengah-tengah masyarakat bakal memunculkan masalah keyakinan.

Situasi dan kondisi demikian secara perlahan-lahan memunculkan aliran-aliran sesat di tubuh umat Islam. Hal ini membuat agama Islam betul-betul berada dalam bahaya. Untuk menghadapi kondisi sulit ini, Imam Hadi as memperkuat "Lembaga Perwakilan" dan menyebarkannya ke daerah-daerah guna menciptakan koordinasi antara sesama pengikut Ahlul Bait yang tersebar di daerah-daerah.

Imam Hadi sebagaimana pendahulunya, Imam Ali bin Abi Thalib menjalani kehidupan secara sederhana, zuhud, saleh dan senantiasa membantu orang miskin maupun orang yang membutuhkan.

Imam Hadi berperan besar dalam menyampaikan nilai-nilai Al-Quran kepada umat Islam di zamannya. Mengenai Al-Quran, salah satu pernyataan beliau di antaranya, "Allah Yang Maha Kuasa tidak menempatkan Al-Qur'an hanya untuk waktu tertentu. atau untuk orang-orang khusus saja. Sebab Al-Qur'an berlaku sampai hari kiamat, dan senantiasa baru untuk zaman apapun, dan bangsa manapun,".

 

Pusat Komando Militer Amerika Serikat di Timur Tengah, CENTCOM, mengumumkan Yaman, menembakkan rudal anti-kapal laut ke salah satu kapal perusak AS, di Laut Merah.

Fars News, Senin (15/1/2024) melaporkan, tidak lama setelah serangan AS dan Inggris, ke Yaman, yang dilakukan untuk menghentikan dukungan Yaman, atas Gaza, AS mengaku kapal perang miliknya diserang rudal Yaman.
 
CENTCOM mengklaim terjadi serangan oleh Yaman, ke kapal perang AS, di Laut Merah, namun sampai sekarang berita ini belum dikonfirmasi atau dibantah oleh pihak Yaman.
 
"Hari Minggu sekitar pukul 16:45, sebuah rudal jelajah anti-kapal laut, ditembakkan dari wilayah yang dikuasai Houthi, dukungan Iran, ke arah kapal perusak USS Laboon," kata CENTCOM.
 
Kapal perusak USS Laboon, yang menjadi target serangan rudal Yaman, sedang bertugas menjalankan operasinya di wilayah selatan Laut Merah.
 
AS mengklaim, sebuah jet tempur Amerika, berhasil menembak jatuh sebuah rudal yang ditembakkan dari Yaman, di dekat pantai Al Hudaydah, dan penembakan rudal itu tidak menyebabkan korban luka atau kerusakan fisik.
 
Klaim CENTCOM, ini disampaikan setelah AS dan Inggris, melancarkan serangan ke Yaman, dan pemerintah Yaman, berjanji akan membalasnya.

 

Komandan Angkatan Laut Militer Iran terkait penyitaan kapal tanker afiliasi Amerika Serikat, mengatakan, menurut istilah Rahbar, era "pukul lalu lari", sudah berakhir.

Laksamana Shahram Irani, Senin (15/1/2024) menuturkan, "AS mencuri kapal Iran, dan menginjak-injak hak rakyat Iran, sehingga hak itu harus direbut kembali, maka kami bertindak sesuai hukum internasional, dan merebut kembali apa yang sudah dicuri."
 
Dalam acara peluncuran simulator helikopter di lingkungan AL Militer Iran, di Bushehr, Irani menerangkan, "Prioritas pertama di Angkatan Bersenjata Iran, adalah pendidikan dan pengajaran terutama penguasaan keterampilan sehingga setiap personel dapat menjalankan misi khusus."
 
Ia menambahkan, "Dapat dipastikan media pembelajaran terpenting adalah simulator, dan karena media serta industri ini tidak dimiliki Iran, sebelumnya, maka industri Kementerian Pertahanan Iran, terjun sehingga hari ini kita memiliki simulator tercanggih dan terbaik di kawasan."
 
"Semua yang diproduksi dan dipasang adalah buah dari pengetahuan dalam negeri, dioperasikan oleh universitas, dan perusahaan-perusahaan berbasis sains dengan fokus industri pertahanan nasional," imbuhnya.
 
Menurut Komandan AL Militer Iran, dikarenakan sanksi, Iran, tidak diperbolehkan memiliki sampel simulator helikopter tersebut, tapi berkat tekad dan kerja keras akhirnya Iran, berhasil memproduksi simulator yang sama dengan produk luar negeri namun harga lebih terjangkau.

 

Mantan Penasihat keamanan dalam negeri Rezim Zionis, mengutip pejabat Amerika Serikat, memperingatkan siapa pun di Israel, yang menginginkan perang dengan Hizbullah Lebanon.

Eyal Hulata, Senin (15/1/2024) seperti dikutip Bloomberg, memperingatkan perang berikutnya melawan Hizbullah Lebanon, akan lebih mematikan dari perang tahun 2006 silam.
 
Mengutip pejabat AS, Eyal Hulata, memperingatkan perang di dua front melawan Hamas dan Hizbullah, adalah skenario mimpi buruk yang bisa merusak sumber daya, dan perekonomian Israel.
 
"Setiap perang melawan Hizbullah, akan lebih mematikan dibandingkan perang tahun 2006, dan mungkin saja jumlah orang Israel, yang tewas mencapai 15.000 orang," imbuhnya.
 
Mantan Penasihat keamanan dalam negeri Israel menjelaskan, "Para pejabat AS, sudah memperingatkan jenderal dan menteri-menteri Israel, yang ingin berperang di dua front melawan Hizbullah dan Hamas."
 
Menurut Hulata, nilai mata uang Shekel pada November dan Desember 2023 meski disebutkan perang hanya terbatas di Gaza, mengalami pelemahan, dan menjadi mata uang terburuk di dunia setelah anjlok 3,5 persen di hadapan dolar Amerika.
 
"Presiden AS, Joe Biden, tidak puas dengan tingkat pengaruh Washington, terhadap Kabinet Tel Aviv, dibandingkan dengan perang-perang sebelumnya," kata Eyal Hulata.
 
Sebelumnya koran Washington Post menulis, "Israel menganggap Hizbullah berbeda dari Hamas. Israel melihat Hizbullah sebagai pasukan dengan pendidikan canggih, dan arsenal lengkap terdiri dari 150.000 rudal. Orang-orang Israel, takut pemerintah mereka sekali lagi menganggap remeh ancaman mematikan Hizbullah." 

 

Menteri Luar Negeri Iran, mengatakan Tehran, mendukung penuh keamanan pelayaran, dan navigasi di kawasan Asia Barat, dan memperingatkan Amerika Serikat serta Inggris, supaya menghentikan perang terhadap Yaman.

Hossein Amir Abdollahian, Senin (15/1/2024) dalam jumpa pers bersama Menlu India Subrahmanyam Jaishankar menuturkan, "Kunjungan Menlu India ke Iran, merupakan langkah penting bagi pengembangan dan perluasan kerja sama dua negara di berbagai bidang."
 
Ia menambahkan, "Sebagai sahabat lama, dan mitra yang dapat dipercaya, hari ini kami melakukan pembicaraan yang sangat penting dalam kerangka kepentingan dua bangsa."
 
Menurut Abdollahian, hubungan bilateral Iran dan India, dan hambatan-hambatannya dibahas dalam pertemuan hari ini. Keduanya sepakat untuk menggelar pertemuan di tingkat tim ahli guna mengatasi hambatan-hambatan implementasi kesepakatan.
 
Menlu Iran menegaskan, "Perlu diperhatikan oleh semua negara, penghentian segera perang dan genosida di Gaza, dan pencegahan perluasan perang ke wilayah lain merupakan penegasan bersama Iran dan India."
 
Terkait keamanan pelayaran dan navigasi di perairan internasional Abdollahian menjelaskan, "Ini merupakan penekanan dalam hubungan bersahabat Iran, dengan Pemerintah Penyelamatan Nasional Yaman."
 
"Kami memperingatkan AS dan Inggris, untuk segera menghentikan perang terhadap Yaman. Kami memperingatkan AS dan Rezim Zionis, untuk menghentikan perang dan genosida terhadap Gaza. Jalan keluar sama sekali bukan militer," pungkasnya. 

Jumat, 05 Januari 2024 19:28

Muhammad Taqi Shirazi

 

Muhammad Taqi Shirazi lahir tahun 1256 H di kota Shiraz, Iran, tapi sejatinya ia adalah keturunan suku Kurdi Zangana Provinsi Kermanshah.

Muhammad Taqi Shirazi dikenal sebagai Shirazi kedua. Ia seperti Mirza Agung (Buzurg) Shirazi adalah warga kota Shiraz di Iran. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Mirza Kedua dan termasuk ulama besar Syiah abad ke-14 Hijriah.

Mohammad Taqi Shirazi lahir di Shiraz pada tahun 1256 H, namun sebenarnya ia merupakan keturunan dari marga Zangana di Kermanshah, yang berasal dari suku Kurdi Iran. Seperti banyak ulama lainnya, ia berangkat ke Najaf Ashraf setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar agama untuk melengkapi ilmunya dan mengikuti pelajaran Mirza di sana. Ketika Mirza Agung memutuskan untuk pergi ke Samarra, ia pun berangkat ke Samarra bersama murid-murid Mirza lainnya. Karena penguasaannya terhadap mata pelajaran, maka Mirza Buzurg  memilihnya untuk mengajar, dan sejak saat itu beberapa mata pelajaran diajarkan oleh Mirza kedua kepada murid-muridnya, bukan Mirza yang pertama.

Sepeninggal Mirza Agung (Mirza pertama) pada tahun 1312 H, pengeloaan wilayah Samarra dan kelanjutan sekolah sang guru dipercayakan kepada Mirza Kochak (Mirza kedua), dan tugas tersebut ia jalankan dengan sungguh-sungguh hingga akhir hayatnya. Salah satu pelajaran terpenting dari sekolah besar Mirza Shirazi; Itu adalah perjuangan melawan kolonialisme dan tirani. Beliau selalu menekankan, baik dalam perkataan maupun praktik, bahwa dominasi orang asing dan orang kafir terhadap masyarakat Islam tidak dapat diterima.

Mirza Kedua, yang dibesarkan di sekolah ini, berusaha mencapai tujuan ini sepanjang hidupnya yang diberkati. Ia menganggap perjuangan melawan arogansi dan kolonialisme sebagai tujuan terpentingnya. Pada tahun 1329 H, ketika para agresor Rusia mulai membunuh para pejuang kemerdekaan di utara Iran, Mirza Kedua mengeluarkan fatwa tentang perlunya memerangi dan menghadapi para agresor. Menurutnya, dominasi kaum kafir terhadap umat Islam tidak mempunyai akibat apa-apa selain terbunuhnya umat Islam, yang terlihat jelas dalam kasus agresi Rusia terhadap Iran, sehingga mereka menganggap wajib bagi seluruh umat Islam untuk melawan agresi tersebut serta tidak membiarkan kekufuran menggantikan syiar agama.

Pada tahun 1332 H atau 1914 M, dimulailah Perang Dunia Pertama, dan sejak saat itu, kekuasaan Mirza Muhammad Taqi Shirazi bertepatan dengan invasi terbuka Inggris dan sekutunya ke wilayah Islam. Pasukan sekutu menyatakan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah, dan setelah itu, para ulama dan otoritas Islam mengeluarkan fatwa jihad untuk mempertahankan wilayah Islam. Pada tahun-tahun ini, Mirza Kedua berusaha keras untuk mencegah orang-orang kafir menyerbu dan mendominasi wilayah Islam dengan menciptakan aliansi antara ulama Najaf dan Karbala dan juga dengan menciptakan aliansi antara berbagai kelas masyarakat. Untuk mencapai tujuannya, ia bahkan mengirim anak-anaknya ke medan perang, tetapi setelah empat tahun (tahun 1336 H), Kesultanan Utsmaniyah dikalahkan, dan pihak yang menang perang, Inggris dan sekutunya, dengan mengabaikan hak dan keinginan masyarakat di wilayah tersebut, meresmikan protektorat Irak oleh Irak.

Selama ini, Mirza Shirazi kedua berusaha membuat suara rakyat Irak didengar dengan menulis surat kepada para pemimpin negara-negara Eropa dan Arab. Bersama sejumlah ulama, ia mengirimkan surat kepada penguasa Arab Saudi dan Suriah dan meminta mereka, selain mendukung hak rakyat Irak untuk menentukan nasibnya sendiri, juga menyebarkan berita pendudukan Irak melalui media bebas di seluruh dunia. Mirzai kedua bersama Sheikh Al Sharia Al Isfahani juga menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat saat itu, dan mengumumkan bahwa keinginan rakyat Irak adalah terbentuknya negara Islam yang merdeka dan terpilihnya seorang raja Muslim dan kedua terikat pada Majelis Nasional.

Inggris, yang menderita banyak kerusakan ekonomi selama tahun-tahun perang, sedang mencari cara untuk mengelola wilayah pendudukan dengan cara yang biayanya lebih murah. Sebaliknya di negeri-negeri Islam seperti Irak, pemberontakan rakyat melawan kolonialisme Inggris terus berlanjut dan para ulama tidak henti-hentinya menentang Inggris. Pengendalian keadaan ini sangat menyulitkan Inggris. Oleh karena itu, negarawan Inggris memutuskan untuk mengadakan pemilu untuk memilih orang yang menguasai Irak, yang tampaknya merupakan pilihan rakyat, namun kenyataannya mengikuti kebijakan kolonial Inggris. Para cendekiawan Islam sangat menentang diadakannya pemilu ini karena pengetahuan mereka tentang kolonialisme Inggris kuno. Selama tahun-tahun ini, Mirza Kedua, yang bertanggung jawab atas marjaiyah penuh Syiah, mengumumkan dalam sebuah fatwa bahwa "tidak ada Muslim yang berhak memilih non-Muslim untuk memerintah dan memerintah umat Islam."

Bersamaan dengan fatwa Mirza kedua ini, putranya Mohammad Reza Shirazi, yang ditugaskan oleh ayahnya untuk mengorganisir kekuatan rakyat Irak, mendirikan sebuah organisasi bernama "Jamiyah Islami" di Karbala, di mana para ulama terkemuka Irak berpartisipasi. Tujuan kelompok ini adalah untuk membebaskan Irak dan melawan kekuasaan Inggris. Dalam waktu singkat, para pemimpin komunitas ini ditangkap dan diasingkan ke India. Mirzai Kedua memutuskan berangkat ke Iran dan dari sana mengeluarkan fatwa jihad dan melawan kolonialisme Inggris. Para ulama Irak dari Najaf, Karbala dan Kadhimain ikut serta dalam keputusan ini. Mengikuti langkah-langkah ini, pemerintah Inggris di Irak, yang melihat situasi tidak stabil, mengembalikan orang-orang buangan ke Irak dalam waktu kurang dari empat bulan.

Mirza Mohammad Taqi Shirazi memulai proses perjuangan baru pada tahun 1338 H, ketika musim semi kedelapan puluh dalam hidupnya yang penuh berkah telah berlalu. Di Najaf Ashraf, Mirza Kedua mengundang sejumlah ulama, kepala suku, dan pemimpin Efrat Tengah ke pertemuan rahasia. Dalam pertemuan ini, mereka memutuskan untuk memulai fase baru dalam menghadapi penjajah Inggris. Sejalan dengan tujuan tersebut, Mirza Mohammad Taqi Shirazi dalam fatwanya melarang pekerjaan di British Guardianship for Muslim.

Setelah fatwa ini, sejumlah besar pegawai departemen tersebut mengundurkan diri dan proses ini meningkat seiring berjalannya waktu. Mirza menulis surat kepada umat Islam Irak dan menyerukan mereka untuk mengadakan demonstrasi damai. Ia meminta masyarakat menuntut tuntutan mereka, termasuk pembentukan pemerintahan Islam dan kemerdekaan Irak, dengan tetap menghormati keamanan dan perdamaian.

Meskipun demonstrasi ini berlangsung damai, tentara Inggris menembak salah satu orang dan hal ini menyebabkan gelombang protes baru dari para tetua dan ulama Irak terhadap Inggris. Dalam suratnya, Mirza juga meminta para ulama untuk tidak membiarkan rasa takut dalam menuntut hak umat. Selama kampanye ini, putra Mirzai Kedua, bersama sebelas tokoh Irak lainnya, ditangkap dan diasingkan. Namun dalam fatwanya, Mirza menyatakan dilarang tunduk pada tirani dan bahkan dalam beberapa kasus, ia menyetujui jihad bersenjata.

Akhirnya kaum revolusioner berhasil merebut kota Karbala dari kendali Inggris. Mirza Kedua dengan cepat membentuk dua dewan untuk mengelola kota; Salah satunya adalah Dewan Tinggi Perang dan yang lainnya adalah Dewan Ilmiah, yang pertama bertanggung jawab untuk membangun keamanan kota dan jalan-jalan di sekitarnya, dan yang kedua bertanggung jawab untuk menanggapi masalah agama dan menyelesaikan konflik kerakyatan. Dengan cara ini, sebuah contoh kecil dari apa yang dicita-citakan Mirza sebagai pemerintahan Islam terbentuk dan bisa dijalankan sampai batas tertentu.

Hanya dua bulan setelah keberhasilan ini, pada tanggal 13 Dzulhijjah 1338 H, ketika Mirza yang berusia delapan puluh tahun, seperti seorang pemuda yang bersemangat, telah mencapai puncak perjuangannya melawan kolonialisme Inggris, dia meninggal secara mencurigakan. Beberapa orang percaya bahwa agen Inggris meracuni dan membunuhnya. Jenazahnya yang suci dimakamkan di komplek suci makam Imam Husein as, dan orang-orang berduka atas kehilangan seorang pemimpin pemberani.

Jumat, 05 Januari 2024 19:27

Allamah Ashtiani

 

Tahun 1248 H, di dekat kota suci Qom, di daerah Ashtian, lahir seorang anak laki-laki bernama Mohammad Hasan.

Mohammad Hasan Ashtiani seperti Mirza Shirazi, kehilangan ayahnya di usia tiga tahun, dan ia merasakan kehidupan seorang yatim, tapi berkat asuhan ibu yang mulia dan pecinta Ahlul Bait as, kehidupan Mohammad Hasan berada di jalur meraih ilmu-ilmu agama.

Ibunya mengirim Mohammad Hasan Ashtiani ke guru agama dan ia belajar ilmu-ilmu dasar agama hingga usia 13 tahun di bawah bimbingan sang guru. Kemudian Mohammad Hasan pergi ke Burujerd untuk melanjutkan pendidikannya. Saat itu, Hauzah Ilmiah (Seremoni) Burujerd termasuk hauzah paling aktif dan terkenal di kalangan Syiah. Selama di Hauzah Ilmiah Burujerd, Mohammad Hasan mempelajari ilmu sastra, fiqih dan usul fiqih hingga mahir, dan sebelum menginjak usia 16 tahun, ia telah mendapat posisi tinggi dan diijinkan untuk mengajar, sementara murid-muridnya rata-rata berusia di atasnya dan bahkan da yang telah berusia tua.

Di usia 18 tahun, Mirza Ashtiani merindukan Imam Ali as dan ingin selalu berada dekat dengan makam sang imam, dan untuk melanjutkan jenjang pendidikannya, ia berangkat ke kota Najaf di Irak. Perjalanannya memiliki banyak kesulitan, anak berusia tujuh belas tahun ini jatuh sakit selama perjalanan yang menyakitkan dan melewati kota dan gurun pasir. Namun keinginan untuk belajar dan mengabdi pada mazhab Ahlul Bait as, tidak menghentikannya untuk melanjutkan perjalanannya.

Mirza tiba di makam Amirul Mukminin Ali as dengan tubuh meradang dan demam, dan ketika dia gembira dengan kegembiraan mengunjungi guru yang saleh, dia berlindung di sudut kompleks makam dan ia memohon pengobatan untuk rasa sakit dan menyelesaikan kesulitan masalah serta kesempatan untuk menimba ilmu dengan bertawassul kepada sang imam.

Setelah bertawssul dan ziarah, Mirza muda keluar dari kompleks makam Imam Ali as untuk memulai jalan pendidikan dan kehidupan yang sulit, bermil-mil jauhnya dari tanah air dan keluarganya. Kecuali makam suci sang Imam, dia merasa terasing dimana-mana di kota ini, dan rasa sakit akibat penyakitnya telah melipatgandakan kesedihannya. Saat meninggalkan makam Imam Ali, di antara kerumunan orang asing, dengan rahmat Tuhan, dia bertemu dengan salah satu teman lama ayahnya yang tinggal di Najaf selama bertahun-tahun. Kenalan lama ini, yang sangat gembira bertemu dengan Mohammad Hassan muda, membawanya ke kamarnya dan memberinya kenyamanan dan pendidikan. Bertentangan dengan ekspektasi, penyakit Mirza muda sembuh dalam waktu singkat dan dia bisa memulai studinya di Najaf dan mengikuti pelajaran Sheikh Murtadha Ansari. Sheikh Murtadha Ansari adalah salah satu ahli fiqih (fuqaha) dan ulama paling terkemuka di abad ke-13 H.

Di kota Najaf Ashraf, semua murid Sheikh Murtadha Ansari lebih tua dari Muhammad Hassan muda, sampai-sampai dia merasa malu karena usia mudanya dan duduk di balik tirai dan mendengarkan pelajaran sang guru. Suatu hari, Mohammad Hassan mengajukan pertanyaan dalam pelajaran. Sheikh Ansari senang dengan pertanyaan bijaksana dari murid muda Ashtiani dan menyadari tingkat pengetahuan dan penguasaan murid muda ini.

Setelah itu Sheikh Ansari memberikan perhatian khusus kepada Mirza, sebagai murid istimewa Sheikh Ansari, Mirza diberi keleluasaan untuk datang dan pergi ke rumah sang guru, dan Sheikh Ansari mengirimkan murid-muridnya yang lain kepadanya untuk menyelesaikan permasalahan. Muhammad Hassan menjadi terkenal karena kefasihan dan catatan indahnya dalam pelajaran Sheikh Ansari.

Pada tahun 1281 H, setelah wafatnya Sheikh Murtadha Ansari, Mirzai Ashtiani dan murid Sheikh lainnya bermusyawarah dan memilih Mirzai Shirazi sebagai marji dan pemimpin Syi'ah dunia. Setelah kejadian inilah Mirza Ashtiani berencana untuk kembali ke Iran, dan pada saat itulah Naser al-Din Shah, raja keempat dinasti Qajar, telah memberikan banyak kelonggaran (konsesi) kepada Barat dan mengetahui bahwa kesadaran dan persatuan rakyat akan menjadi masalah baginya. Shah khawatir dengan kekuatan sosial ulama karena ia tahu bahwa ulama adalah poros utama persatuan umat.

Bertentangan dengan keinginan Shah, Mirza Ashtiani, yang kini menjadi mujtahid terkenal dan dihormati di kalangan ulama dan masyarakat, memasuki Tehran dengan sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Dia memulai seminari (hauzah ilmiah) di Tehran dan mulai mengajar ilmu-ilmu hukum (yurisprudensi). Setiap hari, minat masyarakat terhadap ulama besar ini semakin bertambah, dan tingkat keagungan serta kesempurnaannya menjadi lebih jelas bagi para ulama. Selain ketelitian dan kecermatannya dalam berdiskusi di bidang fiqih, penjelaannya juga mudah, indah dan menarik, oleh karena itu ia unik dalam menyampaikan topik-topik ilmiah dan keagamaan kepada para pendengarnya.

Salah satu ciri Mirza Ashtiani adalah perhatiannya yang khusus terhadap permasalahan sosial umat Islam. Ia menganggap mereformasi masyarakat dan menangani permasalahan masyarakat sebagai tugas seorang ulama, dan ia tidak segan-segan menghabiskan hidup, uang, dan reputasinya dengan cara ini. Kepekaan dan kehati-hatian Mirza Ashtiani menjadikannya penggagas gerakan boikot tembakau di Tehran pada tahun 1306 H.

Ketika Nasser al-Din Shah memberikan hak eksklusif untuk membeli dan menjual tembakau di Iran kepada perusahaan Inggris bernama Regie, Mirza Mohammad Hassan Ashtiani melalui surat dan pertemuan menyampaikan penentangan serius para ulama dan masyarakat kepada  Naser al-Din Shah, namun Shah tidak menghiraukannya. Mirza bahkan mengeluarkan fatwa boikot tembakau, tetapi karena kepatuhan terhadap perintah ini bukanlah kewajiban Syariah bagi marji lain dan para pengikutnya, langkah ini tidak dapat membuat Shah dan kroninya untuk membatalkan keputusan tersebut.

Dalam situasi seperti ini, Mirza Ashtiani, yang belajar di bawah bimbingan Sheikh Ansari bersama Mirza Shirazi selama bertahun-tahun, menulis surat kepada marji Syiah dan sambil menjelaskan situasinya, dia meminta mereka untuk campur tangan dalam masalah ini sebagai marji Syiah.

Selain surat Allamah Ashtiani, surat-surat lain juga sampai ke tangan Mirza Shirazi yang semuanya berbicara tentang ketidakpuasan masyarakat dan ulama Iran terhadap situasi saat ini. Surat-surat ini dan desakan Shah untuk melanjutkan proses sebelumnya, mendorong marji Syiah untuk melarang penggunaan tembakau. Selain untuk menyelesaikan permasalahan umat dan menegakkan keadilan sosial, penerapan fatwa ini juga dianggap sebagai kewajiban syariat bagi seluruh penguasa dan para pengikutnya (muqallid), sehingga menjadi alasan persatuan umat Islam dalam menentang perjanjian Regie.

Sementara itu, untuk memecah persatuan masyarakat, Shah memutuskan bahwa Ayatullah Ashtiani harus merokok hookah di depan umum dan membatalkan fatwa atau meninggalkan Iran. Menanggapi hal tersebut, Mirza mengatakan keputusan ini dikeluarkan oleh otoritas (marji) Syiah Mirza Shirazi dan pembatalannya juga merupakan kewenangan otoritas tersebut. Kemudian dia mulai mempersiapkan diri meninggalkan Iran. Rakyat sangat marah setelah mendengar berita ini, mereka bergerak menuju istana raja dan bentrok dengan para pengawal istana, tujuh orang tewas dalam bentrokan ini. Dengan adanya pergerakan rakyat ini, Shah mengurungkan keinginannya dan meminta Mirzai Ashtiani untuk tetap tinggal di Tehran. Dia juga berjanji untuk membatalkan kontrak tembakau dalam waktu tiga hari.

Ayatullah Ashtiani, terlepas dari perannya yang efektif dan penuh warna dalam perkembangan politik dan sosial pada masanya, tidak mengabaikan penulisan dan kompilasi karya ilmiah penting. Banyak kitab dan risalah yang tersisa darinya, yang terpenting adalah kitab “Bahr al-Fawaid” dalam uraian “Rasail” Sheikh Ansari. Menurut para ulama senior, Bahr al-Fawaid adalah yang terbaik dan terlengkap dari semua tafsir yang ditulis mengenai Rasail Sheikh Ansari.

Menurut para ahli sejarah, mendiang Ashtiani merupakan orang pertama yang menyebarkan pandangan Sheikh Ansari di Iran. Kehadirannya di Tehran sama dengan kehadiran sekolah dan diskusi Sheikh Ansari di Tehran. Ini merupakan kesempatan besar bagi mereka yang mendengar kemasyhuran Sheikh Ansari namun tidak mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan kehadirannya. Lebih dari dua ratus ulama senior berkumpul di sekitar mendiang Ashtiani untuk belajar catatan Sheikh Ansari. Di antara mereka, kita dapat menyebutkan Ayatullah Shahabadi, guru Imam Khomeini (semoga Tuhan mengasihaninya); Selain itu, sebagian besar guru, profesor, dan sesepuh di wilayah Tehran adalah murid Ayatullah Ashtiani, beberapa di antaranya terjun ke bidang politik dan sosial.

Ayatullah Ashtiani juga sangat rajin beribadah dan Tahajud, serta tidak meninggalkan ziarah Asyura dan shalat malam serta mustahabnya. Dia sangat komitmen untuk membaca ziarah Jamiah Kabirah setiap malam. Putranya meriwayatkan bahwa ketika mendiang Ashtiani sedang sakit dan terbaring di tempat tidur, dia sibuk membaca Ziyarat Jamiah Kabirah, dan ketika dia sampai pada kalimat “Dan siapakah yang mendatangi kalian akan selamat dan barang siapa yang tidak datang akan celaka?”, dia menyerahkan nyawanya kepada sang pencipta. Keesokan harinya, untuk menghormatinya, Tehran menggelar upacara pemakaman rinci untuk mendiang Ashtiani, dan jenazahnya dimakamkan di Najaf di mausoleum Sheikh Jafar Shooshtari sesuai dengan wasiatnya.

 

Jumat, 05 Januari 2024 19:26

Ayatullah Sayid Ali Akbar Falabadi

 

Salah satu ulama dan marji' Syiah yang berperan dalam perilisan dan penyebaran fatwa Mirza Shirazi adalah Sayid Ali Akbar Falasiri. Sayid Falasiri lahir tahun 1256 H di desan Asir, kota Lamerd di Provinsi Fars.

Dalam dua episode sebelumnya kita telah membahas salah satu pemimpin besar Syiah, yakni Mirza Shirazi. Kami telah memberi tahu Anda bagaimana lelaki tua sederhana yang tinggal di Samara ini mengalahkan kerajaan terbesar pada masanya hanya dengan menulis satu kalimat. Dia adalah pemimpin kebangkitan rakyat terbesar pada masanya, dan tentu saja, Mirza yang agung tidak sendirian dalam kebangkitan ini. Jika marji Syiah lainnya dan rakyat Iran tidak menaati fatwa Mirza yang agung, kolonialisme Inggris tidak akan pernah merasakan kekalahan. Salah satu marji besar yang berperan penting dalam mengeluarkan dan menyebarkan fatwa Mirza Shirazi adalah Sayid Ali Akbar Falasiri. Ia dilahirkan pada tahun 1256 H di sebuah desa bernama Asir di Kabupaten Lamerd, Provinsi Fars.

Sayid Ali Akbar berusia empat belas tahun ketika menyelesaikan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1270 H, ia berangkat ke seminari (Hauzah Ilmiah) Shiraz untuk melanjutkan pendidikan dan melengkapi ilmu agamanya. Di Shiraz, ia belajar ilmu-ilmu agama kepada “Sheikh Mehdi Kojouri” dan setelah mencapai derajat ijtihad, ia berangkat ke Najaf Ashraf untuk meningkatkan taraf akademiknya. Falasiri melanjutkan pendidikan agamanya di Seminari Najaf di bawah bimbingan "Mirza Habibullah Rashti" dan menjadi ulama mujtahid dan ahli hukum yang berpengetahuan luas tentang urusan sosial dan kondisi politik pada masanya.

Para sesepuh Shiraz dan orang-orang yang datang mengunjungi Najaf Ashraf berkali-kali memintanya untuk kembali ke Shiraz agar masyarakat dapat mengambil manfaat dari ilmunya untuk mengatur urusan agama dan duniawi serta akan aman dalam bayang-bayang kesadaran politik dan sosialnya akan penindasan. Namun Ayatullah Falasiri menolak permintaan tersebut karena dia bermaksud untuk tinggal selamanya di Najaf Ashraf dan menghabiskan hidupnya di sebelah makam suci Imam Ali as.

Harapan dan cita-cita Ayatullah Falasiri untuk menepat selamanya di Najaf Ashraf tidak pernah terealisasi, karena atas permintaan gurunya, Habibollah Rahsti, ia akhirnya menerima kepemimpinan warga Shiraz, dan tahun 1277 H, ia kembali ke kota Shiraz. Ia sibuk mengajar ilmu-ilmu agama di Hauzah Ilmiah Shiraz, menulis risalah amaliah (fatwa), dan memimpin shalat jamaah di Masjid Vakil Shiraz.

Pada tahun-tahun pertama kedatangan Ayatullah Falasiri di Shiraz, pengaruh Inggris menyebar di kota ini dan masyarakat merasakan beban kolonialisme lebih dari sebelumnya, namun Ayatullah Falasiri tidak dapat menanggung situasi ini dan setiap hari entah bagaimana menunjukkan penentangannya. Dia, seperti otoritas dan cendekiawan Islam lainnya, menentang orang asing yang mendominasi wilayah Islam dan sangat menentang apa pun yang menandakan supremasi ini.

Pada suatu hari, Ayatullah Falasiri yang sedang pergi ke mesjid untuk salat dan membaca ziarah Asyura, melihat seseorang yang mengenakan pakaian adat dan sedang menunggang kuda dengan sangat gagah. Dia bertanya kepada teman-temannya siapa dia. Mereka bilang itu konsul Inggris. Ayatullah Falasiri menghadang jalan konsul Inggris, memerintahkannya untuk turun dari kudanya dan mulai sekarang ia harus berjalan kaki di jalan tersebut dan menyapa setiap Muslim yang ditemuinya.

Pada tahun 1303 H, ketamakan gubernur baru Fars dan penimbunan gandum dan biji-bijian oleh kerabatnya menyebabkan harga roti naik beberapa kali lipat. Selain harganya yang mahal, penimbunan gandum membuat roti menjadi komoditas langka bagi masyarakat, dan pada malam hari masyarakat miskin tidak punya apa-apa untuk dimakan. Untuk memprotes situasi kacau ini, sekitar enam ribu orang berkumpul di Masjid Vakil. Sayid Ali Akbar Falasiri juga bergabung dengan masyarakat dalam protes ini dan mengirimkan telegram ke Tehran. Atas nama massa yang melakukan protes, ia menuntut pemecatan penguasa dan penanganan situasi kacau di Shiraz.

Nasir Shah memutuskan untuk menyembunyikan keluhan masyarakat dibandingkan menanganinya. Dia menugaskan Zal al-Stan, yang merupakan penguasa Isfahan, untuk melakukan hal ini. Para ulama Isfahan yang mengetahui keputusan Syah ini, demi mendukung masyarakat dan mencegah konflik, meyakinkan Zal Sultan untuk menjaga situasi mahalnya harga roti di Shiraz, sebagai imbalannya masyarakat harus berhenti melakukan protes dan berkumpul dan berhenti menuntut pemecatan penguasa. Hal ini menjadi perhatian Ayatollah Fal Asiri dan beliau, yang melihat kehidupan orang-orang dalam bahaya, menyuruh mereka pulang dan mengakhiri pertemuan tersebut.

Nasser al-Din Shah Qajar malah memilih menumpas protes warga, ketimbang memahami dan menyelesaikannya. Ia menunjuk Zell-e Soltan, guburner Isfahan untuk menumpas protes warga Shiraz. Sementara itu, ulama Isfahan yang mengetahui keputusan ini, demi mendukung rakyat dan mencegah bentrokan, membujuk Zell-e Soltan untuk menyelesaikan masalah kelangkaan dan harga roti yang mahal di Shiraz, dengan imbalan warga mengakhiri protesnya serta tidak menuntut pencopotan gubernur. Masalah ini sampai ke telinga Ayatullah Falasiri, dan ia yang melihat nyawa warga terancam, menyeru warga kembali ke rumah dan mengakhiri protes mereka.

Selama protes ini, masyarakat terbebas dari kelaparan dan mahalnya harga roti, namun Ayatullah Falasiri diasingkan ke Isfahan. Karena Zell-e Soltan takut akan pemberontakan rakyat Shiraz lagi, dia memberikan penampilan yang sangat terhormat pada pengasingan ini. Dia dengan penuh hormat mengundang Ayatullah Falasiri ke Isfahan dan kemudian secara paksa menahannya di Isfahan dan akhirnya setelah beberapa tahun dia bisa kembali ke Shiraz.

Pada tahun 1307 H, dalam kisah kontrak Regie yang tercela dan pengalihan hak untuk membeli dan menjual seluruh tembakau Iran kepada perusahaan Inggris, Ayatullah Falasiri adalah salah satu orang pertama yang bersuara untuk memprotes. Dengan semangat yang tak terlukiskan, dia menyerukan orang-orang untuk menentang kontrak ini dan dia sendiri yang mendahului semua orang. Karena Shiraz adalah pusat utama produksi tembakau di Iran pada saat itu, Ayatullah Falasiri ingin mencegah pelaksanaan kontrak ini dengan tidak mengizinkan pekerja Inggris memasuki Shiraz, dan untuk tujuan ini, dia mengumumkan jihad kepada masyarakat.

Penguasa Shiraz yang melihat kehadiran Ayatullah Falasiri merugikan pemerintah, memerintahkan pengasingannya ke Bushehr. Pejabat pemerintah tidak berani menangkap Falasiri di tengah kota atau di rumahnya, sehingga ketika dia keluar kota untuk membaca doa ziarah Asyura, mereka menyerangnya, melucuti pakaian ulama dan membawanya ke Bushehr. Mereka menahan Ayatullah Falasiri di Bushehr selama beberapa hari dan selama itu tidak mengizinkannya bertemu dengan siapa pun dan kemudian mengirimnya ke Basra.

Ketika warga Shiraz menyadari pengasingan Ayatullah Falasiri, mereka bergerak melawan pemerintah. Mereka menggelar aksi mogok massal dan demo di masjid-masjid, serta menuntut pemulangan Ayatullah Falasiri, tapi pemerintah secara brutal membantai seluruh rakyat.

Setelah memasuki Basra, Ayatullah Falasiri tidak berhenti berusaha. Dia pergi mengunjungi Sayid Jamaluddin Asadabadi dan memintanya untuk menulis surat kepada Mirza Shirazi, marja absolut Syiah di dunia, dan menjelaskan kepadanya kisah pengkhianatan Nasser al-Din Shah terhadap Islam dan Muslim. Falasiri sendiri yang menyampaikan surat tersebut kepada Mirza Shirazi di Samarra, sehingga menyebabkan Mirza Shirazi mengeluarkan fatwa bersejarahnya. Fatwa yang berujung pada pemberontakan rakyat Iran dan akhirnya kekalahan kolonialisme Inggris.

Masjid Vakil di Shiraz
Dalam bagian telegram yang dikirimkannya kepada Nasser al-Din Shah, Mirza Shirazi sempat mengungkapkan ketidaksenangannya atas perilaku tidak pantas pejabat pemerintah terhadap ulama, termasuk Ayatullah Falasiri. Hal ini menyebabkan Nasser al-Din Shah mengirimkan perwakilannya ke Mirza Shirazi untuk meminta maaf. Akhirnya, setelah dua tahun, atas undangan perwakilan Shah, Ayatullah Falasiri kembali ke Shiraz dengan bermartabat dan terhormat serta tinggal di sana selama sisa hidupnya.  

Ayatullah Ali Akbar Falasiri setelah berjuang tanpa henti melawan kezaliman, akhirnya meninggalkan dunia fana di usia 63 tahun pada 1 Rabilul Awwal 1319 H di Shiraz. Jenazahnya dimakamkan di Taman Hafiziyah karena kecintaan mendalamnya kepada Hafiz Shirazi, penyair terkenal Iran. Sementara itu, pasar-pasar di Shiraz libur selama tiga hari untuk menghormati kepergian ulama besar ini. Acara duka, pembacaan tahlil, doa dan al-Quran digelar di Masjid Vakil, tempat Ayatullah Ali Akbar Falasiri memimpin shalat jamaah.

Jumat, 05 Januari 2024 19:25

Mirza Shirazi dan Fatwa Haram Tembakau

 

Salah satu langkah politik terpenting Mirza Shirazi adalah fatwa bersejarah boikot tembakau. Sebuah fatwa yang menjadi cikal bakal sebuah kebangkitan besar rakyat di Iran.

Kebangkitan tembakau tercatat sebagai salah satu peristiwa bersejarah kontemporer terpenting di Iran. Ceritanya, pada tahun 1307 H (1889 M), tepat satu tahun setelah meninggalnya Allamah Mulla Ali Kani, yang dengan surat celaannya kepada Naser al-Din Shah telah menyebabkan pembatalan kontrak tercela Reuter, Shah memutuskan untuk pergi ke negara-negara Eropa untuk ketiga kalinya. Pencapaian perjalanan bagi rakyat Iran adalah sebuah kontrak bahwa hak istimewa untuk menanam, mendistribusikan dan menjual tembakau Iran diberikan kepada salah satu penasihat dan rekan dekat Perdana Menteri Inggris bernama "Gerald Talbot". Dalam situasi di mana tembakau dianggap sebagai salah satu produk pertanian terpenting di Iran, kontrak ini dapat membahayakan perekonomian Iran dan kehidupan banyak orang Iran.

Masyarakat Shiraz, Isfahan, Tabriz dan Tehran, yang dipimpin oleh para ulama, menentang dan menentang kontrak ini. Mirza Ashtiani di Tehran bahkan mengeluarkan perintah untuk mengembargo tembakau, namun tidak satupun dari tindakan tersebut menyebabkan Shah dan para bangsawan meninggalkan kontrak yang telah mereka tandatangani dan membatalkannya. Raja menekan pemberontakan rakyat dan menangkap serta mengasingkan semua pemimpin pemberontakan rakyat.

Seyyed Ali Akbar Fal Asiri, pemimpin pemberontakan rakyat Shiraz, diasingkan ke Basra, namun ia terus mengejar tujuannya. Di kota ini, ia bertemu dengan Sayid Jamaluddin Asadabadi dan meminta santri militan dan anti kolonialis tersebut untuk menulis surat kepada Mirza Bozorg atau Mirza Shirazi dan menjelaskan apa yang terjadi pada bangsa Iran. Sayid Jamaluddin, yang telah belajar dengan Mirza Shirazi selama beberapa waktu dan mengenalnya dengan baik, menulis surat rinci kepada  Mirza dan sambil menjelaskan kejadian tersebut, dan memintanya untuk mengakhiri pertengkaran ini dengan keagungan yang diberikan Tuhan kepadanya di hati rakyat.

Setelah surat Sayid Jamaluddin dikirimkan, pada tanggal 1 Dhul Hijjah 1308, sebuah telegram rinci sampai ke tangan Naser al-Din Shah Qajar. Dalam telegram tersebut, Mirza Shirazi menegaskan bahwa kontrak tembakau atau kontrak Regji bertentangan dengan aturan Al-Qur'an dan juga akan menyebabkan hilangnya independensi pemerintah dan ketertiban negara.

Naser al-Din Shah, yang menyadari pengaruh perkataan Mirza dan posisi sosial dan agamanya, meminta pengusaha Iran di Bagdad untuk membenarkan kontrak ini dan mendapatkan persetujuannya. Namun Mirza menilai alasan pengusaha dan pemasok ini tidak bisa dibenarkan dan memperingatkannya, jika pemerintah tidak mampu menangani tugas ini, saya sendiri yang akan menghancurkannya, Insya Allah.

Shah dan para abdi dalem, yang menganggap Mirza Shirazi adalah seorang mujtahid seperti yang lain, percaya bahwa ancamannya hanyalah kata-kata yang tidak akan pernah ditindaklanjuti, sehingga mereka terus mengabaikannya. Akhirnya, pada tahun 1308 H, Mirza Shirazi, yang menganggap diskusi tersebut sia-sia, menyatakan semua penggunaan dan penjualan tembakau haram melalui sebuah fatwa. Teks fatwa singkat ini adalah sebagai berikut: "Bismillah...Sejak hari ini penggunaan tembakau dalam bentuk apa pun hukumnya seperti perang melawan Imam Zaman (Imam Mahdi)."

Mengikuti fatwa ini, yang perkataannya tidak melebihi satu baris pun, seluruh rakyat Iran, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, cendekiawan, pedagang, petani, dan bahkan non-Muslim, bersatu dalam menghadapi kolonialisme Inggris, dan pemberontakan melawan Perjanjian Regie meliputi seluruh Iran. Orang-orang menghancurkan hokah, banyak petani membakar tanaman tembakau mereka, pemberontakan ini bahkan sampai ke bagian dalam istana Shah.

Anis al-Dawlah yang merupakan ratu Iran saat itu memerintahkan semua hokah dikumpulkan dari istana. Ketika Naser al-Din Shah menanyakan alasannya, Anis al-Dawlah menjawab bahwa orang yang sama yang membuatku halal untukmu kemarin telah menjadikan tembakau haram saat ini. Setelah itu, bahkan raja sendiri tidak berani meminta hokah kepada hambanya karena dia tahu permintaannya tidak akan dikabulkan.

Setelah fatwa yang bersejarah dan efektif ini, Shah dan para pejabat istana berusaha keras untuk mendapatkan pendapat para ulama di Tehran dan kota-kota lain, namun mereka semua merujuknya ke Mirza Shirazi dan tidak ada seorang pun yang bersedia melanggar keputusan Mirza. Hampir lima puluh hari setelah fatwa bersejarah Mirza Shirazi, kontrak Regie dibatalkan dan sekali lagi tangan kolonialisme dipotong dari kekayaan rakyat Iran. Ya, seperti inilah seorang lelaki tua yang hidup sederhana, di Samarra, mengalahkan sebuah kerajaan hanya dengan menulis satu kalimat.

Mirza Shirazi diketahui banyak menangis usai insiden embargo tembakau dan pembatalan kontrak Regie. Ketika orang sekitar menanyakan alasannya, Mirza Shirazi berkata, “Tangisan dan kesedihan saya adalah karena musuh-musuh Islam saat ini telah mengetahui di mana kekuatan Islam berada, dan mereka berupaya menghancurkan kekuatan tersebut.”

Mungkin itulah sebabnya Mirza Shirazi membutuhkan waktu satu tahun untuk mengumumkan pelarangan tembakau. Ia ingin kekuatan Islam tetap tersembunyi dari musuh, namun Tuhan ingin kekuatan ini terlihat dan menyilaukan mata musuh Islam.

Satu tahun setelah penghentian pengendalian tembakau di Iran, raja boneka Afghanistan menyerang wilayah Syiah di Afghanistan dengan dalih tidak membayar pajak dan menghasut perasaan keagamaan masyarakat Sunni. Dalam insiden ini, ribuan warga Syiah Afghanistan dibunuh atau ditangkap dan harta benda mereka dijarah. Berita kejahatan ini diberitahukan kepada Mirza Shirazi oleh Mulla Kazem Dorafashai, salah satu ulama Syiah Afghanistan.


Mirza segera mengirimkan telegram kepada Naser al-Din Shah dan memintanya bertanya kepada Ratu Inggris mengapa kejadian seperti itu bisa terjadi. Dia juga menulis surat protes kepada Ratu Inggris dan sambil mengutuk tindakan ini, dia meminta Ratu Inggris untuk memperingatkan bonekanya agar tidak melakukan hal tersebut. Dengan tindakan ini, Mirza Shirazi menunjukkan kepada semua orang di mana akar permusuhan dan perpecahan dan siapa yang menginginkan perbedaan dan manfaat Syiah-Sunni. Intervensi Mirza dalam insiden ini mengakhiri konflik dan perdamaian serta keamanan kembali ke wilayah tersebut.

Kolonialisme lama Inggris yang selama beberapa tahun banyak mendapat luka dari pemimpin bangsa Islam, kali ini mencoba menciptakan kerusuhan antara Syiah dan Sunni di Samarra, tempat tinggal Mirza Shirazi, guna mengalahkan musuh di rumahnya sendiri. Kali ini, Mirza Shirazi bahkan tidak mengizinkan konsul Inggris di Baghdad untuk mengunjunginya dan memberinya pesan bahwa Inggris tidak perlu ikut campur dalam masalah yang bukan urusannya dan mengingatkannya bahwa Syiah dan pemerintah Ottoman agama, Kiblat dan Al-Quran yang sama, dan jika ada perselisihan, mereka akan menyelesaikannya sendiri. Mirza Shirazi bahkan tidak mengizinkan kekuatan pemerintah Ottoman untuk ikut campur dalam pekerjaan ini dan dia sendiri yang menggagalkan konspirasi tersebut. Pada tahun 1311 H, dengan memenangkan peristiwa ini, ia kembali membawa kolonialisme Inggris lama ke jurang kekalahan.

Akhirnya marja tertinggi ini wafat pada malam Rabu tanggal 24 Sya'ban 1312 H dalam usia delapan puluh dua tahun di kota Samarra. Jenazahnya dibawa dari Samarra ke Najaf di hadapan para ulama dan banyak pelayat. Dalam perjalanan dari Samarra ke Najaf, orang-orang datang menemuinya sambil menangis, meratap dan memukuli dada. Di sekitar Baghdad, seluruh penduduk kota, bahkan non-Muslim menyambut jenazahnya dan Rajab Pasha mengirimkan pasukan kesultanan untuk menyambutnya dengan tembakan senapan sebagai tanda kesedihan dan duka.


Jenazah suci Mirza dibawa mengelilingi makam suci Imam Hussain dan Abbas bin Ali bin Abi Thalib  dan kemudian dibawa mengelilingi makam suci Imam Ali as dan dimakamkan pada malam terakhir bulan Syaban. Setelah itu, acara pembacaan Fatiha untuk Mirza diadakan di seluruh kota dan semua pasar tutup pada hari-hari tersebut. Duka atas bapak yatim piatu bangsa Islam dan manusia super yang telah mengalahkan sebuah kerajaan hanya dengan menulis sebaris kalimat berlanjut selama hampir setahun di negara Islam.

Jumat, 05 Januari 2024 19:22

Mirza Shirazi

 

Dalam kesempatan kali ini kami akan mengenalkan kepada Anda salah satu ulama Syiah terkenal di abad 14 Hijriyah. Ulama yang dikenal karena kecerdasan dan kekuatannya, Sayid Mohammad Hassan yang dikenal dengan Mirza Shirazi.

Di pertengahan bulan Jumadi al-Awwal tahun 1230 H, di rumah salah satu keturunan Nabi Islam tercinta, yang merupakan salah satu ulama Shiraz dan juga terkenal dengan pakar kaligrafi, seorang anak laki-laki lahir yang bernama Muhammad Hasan. Sayid Mohammad Hassan baru berusia tiga tahun ketika dia kehilangan ayahnya dan menjadi yatim piatu. Setelah ayahnya, pamannya, Majd al-Ashraf, mengambil alihnya dan ketika melihat kepintaran dan kecerdasannya, dia menugaskannya untuk belajar Alquran dan sastra Persia pada usia empat tahun.

Hanya butuh dua tahun bagi Sayid yang berusia empat tahun ini untuk lulus dari ilmu-ilmu dasar dan sastra Persia. Dia menghabiskan waktunya untuk belajar sastra Arab sejak usia enam tahun, dan dia baru berusia delapan tahun ketika dia belajar teknik pidato dan ilmu-ilmu agama konvensional seperti fikih, usul fikih dan kalam. Selama tahun-tahun inilah, meski usianya masih muda, dia naik mimbar untuk pertama kalinya atas permintaan guru dan berkhotbah.

Saat remaja, Sayid Mohammad Hassan mempelajari kitab "Sharh al-Lum'ah", yang merupakan salah satu sumber terpenting yurisprudensi Syiah, dari ulama terbesar di Shiraz. Pada usia lima belas tahun, dia mencapai derajat guru dan mulai mengajar di seminari (Hauzah). Namun, ini hanyalah awal dari kejeniusan muda kami. Untuk memperkaya ilmunya, ia bersusah payah bepergian dan berada jauh dari kota dan desanya dan pergi ke Seminari Isfahan. Dia melanjutkan studinya di Isfahan di bawah bimbingan guru besar seperti Sayid Hassan Bid'abadi dan mencapai derajat ijtihad sebelum usia dua puluh tahun, tetapi bahkan mencapai derajat ijtihad tidak menghentikannya untuk belajar.

Pada usia 29 tahun, Sayid Mohammad Hassan pergi ke Seminari (Hauzah Ilmiah) Najaf Ashraf bersama istri dan anak-anaknya dan sementara lebih dari sembilan tahun telah berlalu sejak dia memperoleh gelar Ijtihad dan dia sendiri adalah seorang mujtahud penuh, dia dengan rendah hati berpartisipasi dan hadir dalam kuliah di ulama besar seperti Mohammad Hassan Najafi yang dikenal sebagai Sahib Jawahir, Hassan Kashif al-Ghita dan Sheikh Murtadha al-Ansari. Dengan cara ini, siswa muda ini, dengan selera dan perilaku yang baik, memahami kehadiran dua otoritas absolut Syiah, Sahib Jawahir dan Sheikh Ansari, dan memanfaatkan anugerah mereka. Selama sesi kelas Sheikh Ansari, dia dan Sayid Jamaluddin Asadabadi, seorang siswa anti-kolonial dan mujahid Afghanistan, saling mengenal, dan kenalan ini berbuah banyak di tahun-tahun berikutnya.

Sayid Muhammad Hassan dikenal sebagai Mirza Shirazi di Najaf Ashraf, dan setelah beberapa waktu ia menjadi salah satu murid dan sahabat khusus Sheikh Murtadha al-Ansari, sehingga Sheikh Ansari sering menekankan hal itu; "Saya mengajarkan pelajaran saya kepada tiga orang". Salah satu dari tiga orang ini adalah Sayid Mohammad Hassan Shirazi. Dia jarang berbicara di kelas Sheikh Ansari, dan ketika dia berbicara, suaranya sangat pelan sehingga Sheikh harus mencondongkan tubuh ke arahnya untuk mendengarnya dan Sheikh berkata kepada murid-muridnya, "Diam,  Mirza sedang berbicara." Kemudian dia akan membacakan kata-kata Mirza kepada yang lain.

Sayid Mohammad Hassan, atau Mirza Shirazi, tidak ada teladan dalam perilakunya yang menyenangkan dan ucapan manisnya, tidak ada yang setara dengannya dalam kepemimpinan, dan dia bahkan tidak membalas orang yang zalim kecuali dengan kebaikan, dan ini adalah akhlak yang agung yang dia miliki yang diwarisi dari Nabi besar Islam. Dia berada di ujung kesempurnaan dalam menyelenggarakan ritual keagamaan dan berdiri untuk memenuhi kewajiban syariah, dan semua orang mengenalnya dengan sifat-sifat ini sehingga para ulama saat itu memberinya gelar pembaharu dan yang menghidupkan mazhab.

Pada tahun 1281 H, ketika Sheikh Murtadha al-Ansari, marji mutlak Syi'ah, meninggal, murid-muridnya yang terkemuka berkumpul dan setelah berkonsultasi, mereka semua sepakat bahwa Mirza Shirazi harus menjadi orang pertama yang menduduki posisi kepemimpinan Syi'ah dunia. Mereka berdebat dan berdiskusi dengan Mirza Shirazi selama berjam-jam untuk menerima masalah penting ini, dan akhirnya Mirza menerima masalah ini dengan air mata dan tangis yang nyaris tak terbendung.

Ya, seperti inilah ulama besar yang sudah mencicipi cita rasa anak yatim sejak kecil ini menjadi bapak ummat yang tak terbantahkan. Seorang ayah yang bijaksana, berani, kuat dan anti tirani. Selama kepemimpinan kebapakannya, beliau telah memberikan banyak jasa kepada umat Islam, mulai dari membangun masjid, sekolah, dan pasar hingga meruntuhkan struktur adat negara yang salah tempat, dari melawan penjajahan hingga upaya menjaga dan mengkonsolidasikan persatuan umat Islam di dunia.

Pada masa Mirza Shirazi, sudah menjadi kebiasaan bahwa ketika raja-raja negara Islam datang, para ulama akan mengunjungi mereka, dan ini akan meningkatkan wibawa raja di mata masyarakat. Tetapi pada tahun 1287 H, ketika Naser al-Din Shah Qajar, raja Iran, pergi berziarah ke Irak, Mirza Shirazi mengambil kesempatan itu dan melanggar kebiasaan yang tidak pantas ini. Bertentangan dengan praktik masa lalu, dia tidak bertemu raja di tempat tinggalnya, tetapi dia bertemu dengannya di makam suci Amir al-Mu'minin Imam Ali as, dan dia juga menolak untuk menerima hadiah raja. Pertemuan ini menghancurkan kekaguman dan keagungan Shah dan menunjukkan bahwa Qajar Shah tidak dipercaya dan dihormati oleh ulama Islam.

Mirza Shirazi adalah penguasa seluruh Syi'ah di dunia, dan tidak aneh jika dia menerima banyak harta berupa Wujuhat al-Syar'i (seperti zakat, khumus dll) dari Timur dan Barat dunia Islam. Dia dengan hati-hati mencoba yang terbaik untuk memastikan bahwa harta yang dianggap sebagai perbendaharaan umat Islam ini digunakan untuk pelestarian dan pengembangan agama dan penghidupan umat Islam, sesuai dengan perintah dan keputusan Islam.

Dia memiliki seorang wakil khusus di setiap kota dan wilayah yang melaluinya dia mengirimkan dana kepada para ulama dari berbagai daerah. Dia secara anonim membantu para pedagang dan pengusaha yang bangkrut, atau mereka yang memiliki masalah keuangan karena alasan apa pun. Orang-orang yang menerima bantuan ini baru setelah kematian Mirza Shirazi mereka menyadari siapa yang selalu memikirkan mereka.

Pada tahun 1288 H, kelaparan yang sangat besar dan meluas muncul di negara-negara Irak dan Iran. Orang-orang Iran menderita banyak kesulitan di tahun-tahun ini, tetapi karena perhatian dan bantuan Mirza Shirazi, rakyat Irak tidak terlalu menderita kelaparan ini. Setelah kejadian ini, kompetensi dan kerja sama Mirza dalam memecahkan masalah sosial menjadi lebih jelas bagi masyarakat umum, tetapi para bangsawan dan pembesar Najaf, yang takut akan kebesaran status sosial Mirza, memutuskan untuk mengurangi kebesaran dan legalitas ini dengan cara apa pun. Alih-alih bekerja sama dan menemani Mirza, mereka merujuk orang kepadanya dalam setiap masalah kecil dan besar dan membawa masalah tersebut ke titik di mana orang yang berhati sederhana mengharapkan Mirza melakukan segalanya. Inilah yang membuat Mirza kesulitan dan karena dia tahu bahwa para pembesar kota memiliki tangan gaib dan tak terlihat dalam mengobarkan hasutan ini, dia melihat solusinya adalah meninggalkan Najaf dan akhirnya pada tahun 1291 H, dia meninggalkan kota ini.

Setelah meninggalkan Najaf, Mirzai Shirazi pergi ke Karbala untuk berziarah pada awal Rajab, dan pada pertengahan Sya'ban tahun yang sama, dia pindah ke Samarra dan akhirnya memutuskan untuk tinggal di kota ini. Dengan hijrahnya Mirza Shirazi ke Samarra, banyak cendekiawan dan pelajar yang pergi ke kota ini, dan praktis bidang ilmu agama Syiah dipindahkan ke Samarra. Mirza Shirazi mendirikan sekolah untuk pelajar yang masih dikenal dengan nama Sekolah Mirza. Mirza juga memberi dana dan beasiswa kepada pelajar dan cendekiawan Sunni seperti yang diterima oleh pelajar dan cendekiawan Syiah, dan ia selalu menganggap persatuan semua kelompok Muslim sebagai alasan kelangsungan hidup, kehormatan dan kebesaran masyarakat Islam.

Kehadiran Mirza Shirazi penuh berkah bagi masyarakat Samarra. Dia membangun dua pemandian, pasar dan Husseiniyah untuk penduduk kota ini, yang kebanyakan Sunni pada waktu itu. Dia membangun rumah untuk banyak tetangga Samarra dan menjalani kehidupan banyak Sunni miskin dengan amal dan kemurahan hati. Orang Samarra harus menyeberangi sungai untuk urusan bisnis, dan orang Belmadaran terkadang menjarah harta benda orang miskin di tengah sungai. Untuk mengakhiri situasi semrawut ini, Mirza membangun jembatan di atas sungai ini untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat. Setelah kehadiran Mirza di Samarra, kota ini menjadi simbol persatuan Syiah dan Sunni, dan inilah yang ditakuti para diktator dan penjajah.

Sejauh ini kita telah mengulas sekilas kehidupan pribadi Mirza dan sebagian kecil dari kehidupan sosialnya, namun aksi politik terpenting Mirza Shirazi adalah keluarnya fatwa sejarah pelarangan tembakau. Fatwa yang mengarah pada pembentukan gerakan rakyat besar di Iran. Jika ingin mendengar kisah hidup Mirza Shirazi selanjutnya, tetaplah bersama kami di seri berikutnya.