کمالوندی

کمالوندی

 

Asisten khusus Ketua Majelis Syura Islam Iran urusan internasional menyebut Amerika Serikat sebagai pelaku pembunuhan terhadap lebih dari 1 juta warga Irak.

IRIB (8/11/2019) melaporkan, Hossein Amir Abdollahian, Jumat (8/11) di laman Twitternya kepada Menteri Luar Negeri Amerika, Mike Pompeo mengatakan, masyarakat kawasan mengetahui dengan baik Gedung Putih adalah pelaku utama pendudukan militer di Irak, menciptakan kelompok teroris Daesh, meningkatkan ketidakamanan dan menyebarluaskan korupsi serta membunuh lebih dari 1 juta warga Irak.
 
Abdollahian menambahkan, tidak diragukan, tanpa intervensi dan gangguan Amerika, Irak dan kawasan akan aman dan stabil.
 
Sejumlah warga Irak sejak 1 Oktober 2019 menggelar unjuk rasa di beberapa kota negara itu memprotes pelayanan publik yang buruk, tidak adanya kesempatan kerja dan korupsi. 

 

Sebuah surat kabar Amerika Serikat mengklaim, Iran dalam salah satu suratnya untuk Organisasi Maritim Internasional, IMO memberikan informasi seputar serangan ke tiga kapal tankernya yang terjadi dalam kurun waktu 6 bulan.

Fars News (7/11/2019) melaporkan, surat kabar Amerika menginformasikan kepada IMO bahwa tiga kapal tankernya dalam waktu 6 bulan menjadi sasaran serangan di Laut Merah.
 
The Wall Street Journal menulis, Iran pada 30 Oktober 2019 melayangkan surat kepada IMO dan mengabarkan bahwa jalur perdagangan di Laut Merah tidak aman.
 
Wall Street Journal menambahkan, serangan pertama terjadi pada tanggal 1 April 2019 yang menyebabkan kapal tanker Iran, Happiness 1 mengalami kerusakan pada mesin sehingga kehilangan kontrol.
 
Menurut keterangan koran Amerika itu, serangan berikutnya terhadap tanker Iran, HELM bulan Agustus 2019 yang mengakibatkan kerusakan teknis, dan serangan ketiga terjadi 11 Oktober 2019. Ketiga serangan tersebut semuanya terjadi di dekat pesisir pantai Arab Saudi.
 
Pada surat tertanggal 11 Oktober 2019 itu, pihak Iran mengatakan, kami percaya serangan ini dilakukan oleh satu atau beberapa negara secara terorganisir, karena dua kapal tanker lain berbendera Iran juga menjadi target serangan di wilayah ini.
 
"Kekhawatiran mendalamnya adalah substansi serangan yang terorganisir dan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama di lokasi yang sama, sehingga menyebabkan Laut Merah menjadi jalur pelayaran yang tidak aman bagi kapal-kapal dagang," tegasnya.

 

Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Pentagon mengumumkan, pesawat nirawak yang baru-baru ini ditembak Iran bukan milik Amerika.

Fars News (8/11/2019) melaporkan, Dephan Amerika mengabarkan bahwa drone yang ditembak jatuh Iran baru-baru ini bukan miliknya.
 
Hari Jumat (8/11) dinihari sebuah drone asing ditembak jatuh sistem pertahanan udara Mersad milik Pasukan Pertahanan Udara Militer Iran di wilayah Mahshahr.
 
Menurut keterangan Komandan Pasukan Pertahanan Udara Militer Iran, drone itu ditembak jatuh sebelum sampai ke lokasi sensitif. 

 

Khatib Jumat kota Tehran mengatakan, kebencian rakyat Iran terhadap kubu arogansi dunia pimpinan Amerika Serikat adalah bukti dalamnya kesadaran atas sebuah bahaya yang mengintai negara ini, dan mengancam kemanusiaan, perdamaian, keamanan serta hak asasi manusia.

Hujatulislam Kazem Sedighi, Jumat (8/11/2019) menyinggung partisipasi luas warga Iran dalam pawai 13 Aban untuk memperingati Hari Nasional Melawan Arogansi Global pada 4 November 2019 lalu dan menuturkan, Amerika sejak 40 tahun lalu tidak pernah berhenti melakukan konspirasi dalam kerangka permusuhan terhadap Iran.
 
Khatib Jumat Tehran kembali mengingatkan perundingan Iran dengan Kelompok 5+1 dan penandatanganan kesepakatan nuklir JCPOA.
 
"Apa hasil dari JCPOA ? apakah sanksi terhadap Iran dicabut ? bukan hanya tidak dicabut, bahkan sanksi baru ditambahkan," ujarnya.
 
Sedighi menekankan bahwa perang ekonomi harus diserahkan kepada para pemuda unggul, berbakat dan mereka yang menganggap masalah rudal sebagai sumber kemuliaan negara serta merupakan poros perlawanan.
 
Ia menambahkan, dalam menghadapi perang ekonomi, para pemuda revolusioner harus dikerahkan.
 
Hujatulislam Sedighi kepada pejabat pemerintah Iran mengatakan, apa yang menyebabkan masalah bertambah adalah memberi harapan kepada orang lain, dan menanti harapan dari negara lain.

Jumat, 08 November 2019 19:16

Iran Tembak Jatuh Drone Asing di Mahshahr

 

Komandan Pasukan Pertahanan Udara Militer Iran mengabarkan penembakan jatuh sebuah pesawat nirawak asing oleh sistem pertahanan udara negara ini di Mahshahr, barat daya Iran.

Brigjen Alireza Sabahifard, Jumat (8/11/2019) mengatakan, penembakan dilakukan oleh sistem pertahan udara Iran karena drone asing tersebut melanggar zona udara negara ini, sebelum sampai ke lokasi sensitif.

Sabahifard menambahkan, jaringan terpadu pertahanan udara Iran dengan kesiapan penuh, akan menindak tegas segala bentuk pelanggaran udara Iran.

Pada hari Jumat (8/11) dinihari sumber lokal Iran mengaku mendengar suara ledakan di pelabuhan kota Mahshahr, Provinsi Khuzestan, barat daya Iran, yang kemudian ledakan tersebut diketahui bersumber dari penembakan jatuh drone asing oleh sistem pertahanan udara Iran.

Kota Mahshahr adalah zona ekonomi petrokimia terbesar di Timur Tengah, dan pelabuhan Imam Khomeini merupakan salah satu pelabuhan terbesar Iran yang terletak di wilayah itu. (

 

Seorang pejabat Uni Eropa memprotes kebijakan tekanan maksimum Amerika Serikat terhadap Iran dan mengatakan, Eropa berusaha mewujudkan diplomasi maksimum dengan Iran.

Surat kabar Inggris, Financial Times (7/11/2019) melaporkan, di tengah kencangnya tekanan Amerika, pejabat Eropa sampai saat ini masih percaya ada kesempatan untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir JCPOA dengan cara memajukan proposal Presiden Perancis, Emmanuel Macron.

Koran Inggris itu menulis, seorang pejabat senior Eropa yang tidak mau diungkap identitasnya menuturkan, Uni Eropa berusaha menerapkan strategi diplomasi maksimum untuk menggantikan kebijakan tekanan maksimum Amerika terhadap Iran.

Menurut pejabat Eropa itu, menggunakan mekanisme perselisihan untuk merespon langkah Iran akan menghentikan inspeksi IAEA, merusak kesepakatan dan meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.

Rabu, 06 November 2019 18:31

Banyak-banyaklah Mengingat Allah

 

Zikrullah adalah aktivitas Anbiyah as dan para Aimmah as, mereka tidak pernah lepas dari mengingat Allah SWT. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, II, hal. 439, Rasulullah saww sampai menyebut Imam Ali as sebagai orang yang selalu berzikir (da’im az-zikr). D

“Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36).

 

Dari ayat suci ini jelas dan terang, bahwa untuk tidak terjebak pada penguasaan syaitan maka kita tidak boleh lalai apalagi berpaling dari mengingat Allah SWT. Keutamaan mengingat Allah bukan sekedar agar terhindar dan terlepas dari godaan dan gangguan syaitan, namun lebih dari itu, mengingat Allah adalah ibadah yang lebih besar keutamaannya dibanding ibadah-ibadah yang lain. Allah SWT berfirman, “…dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Qs. Al-Ankabut: 45). Dikatakan mengingat Allah (dzikrullah) lebih besar keutamaannya karena pada hakikatnya setiap ibadah yang dilakukan (shalat, zakat, puasa, naik haji, jihad, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lain) adalah dalam rangka semata-mata untuk mengingat Allah. Ayatullah Husain Mazhahiri dalam kitabnya Jihad an-Nafs menafsirkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Qs. Thaha: 41) dengan mengartikan, “Tidak ada Tuhan yang memberikan pengaruh di alam wujud selain Aku, dan wajib atas kamu beribadah kepada-Ku dengan tujuan mengingat Aku, yang merupakan sebesar-besarnya kewajiban.”

 

Hal lain yang menunjukkan keutamaan dzikrullah dibanding ibadah lain, misalnya dalam shalat, haji, zakat, puasa ataupun jihad pengamalannya memiliki syarat-syarat, batasan-batasan, situasi dan kondisi tertentu, dan waktu-waktu yang telah ditentukan, sementara zikir tidak. Allah SWT memerintahkan, “Hai orang-orang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Qs. Al-Ahzab: 41). Jika ibadah lain yang dituntut adalah kualitasnya, zikir sedikit berbeda, yang dituntut adalah kuantitasnya. Puasa misalnya, kita hanya diwajibkan untuk melakukannya di bulan Ramadhan saja, haji hanya pada Dzulhijjah saja, shalat fardhu pada waktu-waktu dan tempat yang telah ditentukan namun zikir bisa dilakukan kapan, dimana saja dan dalam setiap keadaan. Perintah Allah untuk berzikir sebanyak-banyaknya, menunjukkan tidak ada batasan waktu untuk berzikir. Allah menyifatkan ibadah-ibadah yang lain dengan ‘amalan shâlihâ bukan ‘amalan katsîrâ. Namun khusus untuk zikir, Al-Quran memakai kata sifat dzikran katsîrâ bukan dzikran shâlihâ. Ini juga bisa diartikan, betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita tetap dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Zikir dianjurkan untuk dilakukan dalam setiap keadaan, sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, bahkan dalam keadaan sibuk mencari rezeki sekalipun. Allah SWT berfirman, “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Jumuah: 10). 7. Sungguh indah Allah SWT yang menyampaikan, “Kaum laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Qs. An-Nur: 37-38).

 

Orang-orang yang senantiasa mengingat Allah disebut oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang berakal (Ulil Albab). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-Imran: 190-191). Jika Allah SWT menjadikan zikir sebanyak-banyaknya sebagai tanda dari Ulil Albab (orang-orang yang berakal) maka bagi yang zikirnya sedikit, Allah menyebutnya sebagai tanda kemunafikan. Allah SWT berfirman tentang orang-orang munafik, “…dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisa’: 142). Sedangkan bagi yang sama sekali lalai dan berpaling dari zikrullah maka Allah menyifatkannya sebagai teman-teman syaitan, “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36). Bahkan dalam ayat lain dikatakan termasuk dalam golongan syaitan, “Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. (Qs. Al Mujaadilah: 19). Naudzubillah.

 

Zikrullah adalah aktivitas Anbiyah as dan para Aimmah as, mereka tidak pernah lepas dari mengingat Allah SWT. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, II, hal. 439, Rasulullah saww sampai menyebut Imam Ali as sebagai orang yang selalu berzikir (da’im az-zikr). Dalam banyak ayat, secara khusus Allah SWT memerintahkan kepada kekasih-Nya Muhammad saww untuk senantiasa berzikir, “…Dan sebutlah nama Tuhan-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan di malam hari, bersujud dan bertasbihlah kepada-Nya pada sebagian besar malam.” (Qs. Al-Insan: 25-26). Zikir bisa dilakukan dengan dua cara, zikir secara lisan (lafzhi) sebagaimana dalam perintah, “Sebutlah!”dan zikir dengan hati (qalbi) sebagaimana dalam perintah, “Ingatlah!”.. Keduanya sangat berpengaruh pada jiwa. Lewat berzikir dan mengingat Allah maka pintu-pintu jalan bagi syaitan untuk memberi pengaruh akan tertutup rapat, baik syaitan dari kalangan jin maupun manusia. Zikir juga dapat menghilangkan was-was, keraguan dan menentramkan batin, Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar Ra'd: 28).

 

Terakhir, untuk tulisan ini. Ada hadits qudsi yang diriwayatkan secara muttafaq ‘alaihi, yakni diriwayatkan oleh dua Imam ahli hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga sulit untuk melemahkan kedudukannya, sayangnya sering dipenggal secara sepihak oleh pihak tertentu. Dari Abu Hurairah, Allah SWT berfirman lewat lisan Nabiullah Muhammad saw, “Aku terserah kepada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika ia mengingat-Ku (berzikir) dalam dirinya, Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam sebuah jama’ah, Aku akan menyebutnya di dalam jama’ah yang lebih baik dari mereka”.

 

Ya, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, dalam setiap keadaan, dalam keadaan berkesendirian, dalam keadaan berjama'ah....

Rabu, 06 November 2019 18:30

Keridhaan Allah Selalu Lebih Besar

 

Keridhaan Allah sesungguhnya adalah sebesar-besarnya karunia Allah yang diberikan-Nya kepada manusia. Melalui Kumayl ibn Ziyad, imam Ali as mengajarkan kepada kita sebuah rangkaian do’a yang panjang, yang dikenal dengan nama Do’a Kumayl atau Do’a Hadhrat Khaidir. Diantara penggalannya, Imam Ali as bermunajat dengan mengucap, “…wa taj’alani biqismika radhiyan qani’an, wa fi jami’il-ahwali mutawadhi’an, dan jadikan aku ridha dan qana’ah akan pemberian-Mu, dan dalam segala keadaan tunduk dan patuh kepada-Mu.” Pada penggalan do’a ini, kita melihat, Imam Ali as lebih mendahulukan memohon maqam keridhaan dan qana’ah dibanding memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.

 Ridha berasal dari bahasa arab yang secara etimologi terbentuk dari kata-kata rhadiya-yardhaa,  yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang biasa kita padankan dengan kata ikhlas atau puas menerima ataupun telah merestui sesuatu bagaimanapun keadaannya. Di antara asma’ul husna (nama-nama Allah yang indah) kita mengenal, Ar-Ridhwan, yang artinya, yang Maha Meridhai. Kata ridha dalam berbagai variannya terulang setidaknya 32 kali dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an.

Dari beberapa ayat tersebut, kita bisa mengklasifikasikan kelompok orang-orang yang diridhai Allah. Pertama, orang-orang yang beriman, takut kepada Tuhannya dan mengerjakan kebajikan. Terdapat dalam surah Al-Bayyinah ayat 7 dan 8. Allah SWT berfirman, “Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” Juga pada surah Al-Mujaadilah ayat 22 dan Al-Haaqqah ayat 21.
Kedua, Assabiquna awwalun, generasi awal Islam yang pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. (baca Qs. At-Taubah: 100 dan juga Al-Fath ayat 29).

Ketiga, orang-orang yang benar. Allah SWT berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. Al-Maidah: 119).
Keempat, orang-orang yang ridha terhadap pemberian dan keputusan Allah. Allah SWT berfirman, “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Qs. At-Taubah: 59).
Kelima, orang-orang yang bersegera menuju Allah, “Dia (Musa) berkata, ‘…aku bersegera kepada-Mu ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Qs. Taahaa: 84). Ataupun dalam surah Al-Fajr ayat 28, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

Keenam, orang-orang yang setia pada perjanjiannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath: 18).
Ketujuh, orang-orang yang bersyukur, “…dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu” (Qs. Az-Zumar: 7).
Kedelapan, orang-orang yang diberi izin untuk memberi syafaat termasuk orang-orang berdosa yang disyafaati, “Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Qs. Thaahaa: 109). Juga terdapat dalam surah Al-Anbiyaa’ ayat 8 dan surah An-Najm ayat 26).
Kesembilan, orang-orang yang menyeru untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, “Dan ia menyuruh ahlinya (umatnya) untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Qs. Maryam: 55). Juga pada surah ar-Rum ayat 38-39. Termasuk orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari (Qs. Al-Kahfi: 28).
Kesepuluh, orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan jiwanya tenang dalam ketaatan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Qs. Al-Fajr: 27-28).
Kesebelas, orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah (baca surah Al-Lail ayat 20, Al-Insan ayat 9, Al-Baqarah: 265 dan lain-lain).
Keduabelas, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat pertama, Al-Hasyr ayat 8 dan Al-Ankabut ayat 69.
Ketigabelas, orang-orang yang senantiasa berkurban. (Qs. Al-Hajj: 37) Juga pada surahAl-Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Dari penjabaran di atas, setidaknya ada tiga belas kelompok yang mendapat keridhaan Allah. Sementara yang tidak diridhai Allah hanya ada tiga kelompok. Pertama, orang-orang kafir, “Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Qs. Az-Zumar: 7). Kedua, kelompok orang-orang yang berkhianat, “..dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52). Ketiga, orang-orang yang fasik, “Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (Qs. At-Taubah: 96). Jika dibandingkan jumlah kelompok mereka yang diridhai dibanding yang tidak, menunjukkan keridhaan Allah lebih besar dalam banyak hal. Ada satu hal lagi yang mesti kita perhatikan, ayat yang berbunyi, “Rhadiallahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” dan yang semakna dengan itu hanya berulang setidaknya empat kali. Hal ini berarti, keridhaan Allah terhadap hamba-Nya jauh lebih besar dari keridhaan hamba kepada Tuhan-Nya.
 
Ridha Ilahi, Karunia Terbesar

Keridhaan Allah sesungguhnya adalah sebesar-besarnya karunia Allah yang diberikan-Nya kepada manusia. Melalui Kumayl ibn Ziyad, imam Ali as mengajarkan kepada kita sebuah rangkaian do’a yang panjang, yang dikenal dengan nama Do’a Kumayl atau Do’a Hadhrat Khaidir. Diantara penggalannya, Imam Ali as bermunajat dengan mengucap, “…wa taj’alani biqismika radhiyan qani’an, wa fi jami’il-ahwali mutawadhi’an, dan jadikan aku ridha dan qana’ah akan pemberian-Mu, dan dalam segala keadaan tunduk dan patuh kepada-Mu.” Pada penggalan do’a ini, kita melihat, Imam Ali as lebih mendahulukan memohon maqam keridhaan dan qana’ah dibanding memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.
Pada umumnya di antara kita, menilai sebesar-besarnya karunia Allah pada hamba-Nya adalah keimanan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya (sehingga sering diulang-ulang di setiap khutbah). Namun, setidaknya oleh Imam Ali as, tidak. Karunia terbesar Allah adalah keridhaan-Nya. Mengapa?. Ayatullah Husain Mazhahiri ketika mensyarah penggalan do’a tersebut membantu kita menemukan jawabannya. Dalam kitab Syarh_e wa Tafsir_e Dua_ye Kumayl, beliau menulis, “Sebab, bahkan oleh Rasulullah saww sendiri dengan berbagai ibadah yang beliau lakukan, ketaatan, perjuangan dan kesetiaannya di jalan Allah, kemudian semuanya itu diletakkan pada satu sisi timbangan, sementara anugerah berupa akal, pemikiran, kekuatan, kemaksuman dan anugerah lainnya berada pada sisi timbangan lainnya, maka karunia dan pemberian Ilahi masih lebih berat dibanding semua ibadah, ketaatan dan perjuangan beliau saww.” Beliau (semoga Allah merahmatinya) melengkapkan jawabannya dengan menukilkan, kisah Nabi Musa as dan Nabi Daud as yang berkata, “Bagaimana mungkin kami mampu untuk bersyukur kepada-Mu dengan sepenuhnya. Sementara kecenderungan untuk bersyukur kepada-Mu itu sendiri adalah anugerah dan karunia dari-Mu, dan itu juga memerlukan syukur yang lain?”. Allah kemudian menurunkan wahyu kepada keduanya, “Jika demikian, maka Aku telah ridha akan syukurmu.”
Ya, demikianlah, pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil. Sebab jika sekiranya perlakukan Allah pada hamba-hamba-Nya berdasarkan pada keadilan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang bisa meraih kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan  akhirat, terlebih lagi kenikmatan dunia bagi orang-orang yang kafir dan durhaka kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabiullah saww itu beristighfar, memohon ampun kepada Allah setiap harinya sampai 70 kali. Kalau kita ingin sedikit kritis, sebenarnya, apa faedah Rasulullah saww memohon ampun kepada Allah, sementara yang beliau lakukan  keseluruhannya adalah kebaikan yang dijadikan tauladan, terlebih lagi bukankah beliau telah disucikan oleh Allah?. Bagi Rasulullah, istighfar bukan hanya untuk memohon pengampunan dari kesalahan dan dosa, namun juga berkaitan dengan amal kebaikan. Yakni, permohonan ampun dari setiap kebaikan yang telah dilakukan, dimaksudkan adalah sudilah kiranya Allah mengampuni kekurangan dan cacat dari amal kebaikan yang telah dilakukan. Kita sadar, bahwa kebaikan semacam apapun pada akhirnya tetaplah kurang dan cacat jika dibanding dengan kebaikan Allah yang tercurah buat kita. Istighfar Rasulullah adalah, permohonan agar kiranya dalam memperhitunngkan setiap amal ibadah, Allah lebih mendahulukan keridhaan-Nya dan bukan keadilan-Nya. Bisa jadi inilah falsafahnya, dalam bacaan shalat mayyit, kita diminta untuk membaca do’a, “Allahummagfirh lihadzal mayyit, Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.” Kita tidak diminta untuk mendoakan, “Semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas kebaikan-kebaikannya”, namun sayangnya, doa semacam ini yang sering kita hadiahkan buat si mayyit.
Ada banyak kesalahan dan kekurangan tentunya, namun semoga Allah ridha terhadap tulisan ini…
“Wa ridhawaanum minallahi akbaru, …. dan keridhaan Allah, (selalu) lebih besar.”
 (Qs. At-Taubah: 72)

Wallahu’alam bishshawwab

Rabu, 06 November 2019 18:30

Sadarnya Fitrah

 

Tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tidak terpengaruh oleh kondisi-kondisi apapun, bahkan saat manusia menghadapi kesulitan, kemudahan, musibah, sehat walafiat, kesempitan hidup atau kesejahteraan hidup, sehat dan sakit, dalam semua keadaan itu manusia hanya melihat tuhan yang memiliki pengaruh dan kekuatan.

Terkadang fitrah terlelap dalam tidur karena sebagian peristiwa dan karena sebagian peristiwa yang lain ia sadar dan bangun dari tidurnya dan kembali kepada dirinya: “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” QS. Al `Ankabut: 65). Dari ayat ini dapat dipahami dengan baik bahwa ketika manusia menghadapi suatu bahaya maka fitrah akan tersadarkan dan fitrah akan memohon pertolongan dari penolong yang sesungguhnya dan pemilik sejati alam, yaitu Allah Swt, namun ketika manusia sampai ke daratan dan bahaya telah hilang darinya dan kembali menjalani kehidupan sehari-hari dan sibuk dengan berbagai kebiasaan dan adat istiadat, fitrah pun tertidur lagi. maka tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tidak terpengaruh oleh kondisi-kondisi apapun, bahkan saat manusia menghadapi kesulitan, kemudahan, musibah, sehat walafiat, kesempitan hidup atau kesejahteraan hidup, sehat dan sakit, dalam semua keadaan itu manusia hanya melihat tuhan yang memiliki pengaruh dan kekuatan. Barangkali di sini kami perlu mengingatkan satu poin penting dan sangat tepat bila kami melakukan hal ini adalah bahwa mungkin salah satu hikmah-hikmah adanya berbagai bencana dan musibah adalah dalam rangka menggugah fitrah dan membangunkan fitrah yang terlelap, sehingga manusia melalui fitrahnya itu kembali ke jalan tuhan, ketika manusia tertimpa suatu bencana dan merasakannya dimana dia melihat bahwa selain tuhan tak ada lagi yang dapat membantunya, maka dia dapat begitu baik mengenal Tuhan, tetapi apabila keadaan normal kembali maka kesempatan seperti itu tidak akan di dapatkannya. Tentu kajian tentang fitrah secara terperinci akan kami singgung pada penjelasan berikutnya.

Rabu, 06 November 2019 18:29

Keridhaan Allah Selalu Lebih Besar

 

Pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil.

Ridha berasal dari bahasa arab yang secara etimologi terbentuk dari kata-kata rhadiya-yardhaa,  yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang biasa kita padankan dengan kata ikhlas atau puas menerima ataupun telah merestui sesuatu bagaimanapun keadaannya. Di antara asma’ul husna (nama-nama Allah yang indah) kita mengenal, Ar-Ridhwan, yang artinya, yang Maha Meridhai. Kata ridha dalam berbagai variannya terulang setidaknya 32 kali dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an.

Dari beberapa ayat tersebut, kita bisa mengklasifikasikan kelompok orang-orang yang diridhai Allah.

Pertama, orang-orang yang beriman, takut kepada Tuhannya dan mengerjakan kebajikan. Terdapat dalam surah Al-Bayyinah ayat 7 dan 8. Allah SWT berfirman, “Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” Juga pada surah Al-Mujaadilah ayat 22 dan Al-Haaqqah ayat 21.

Kedua, Assabiquna awwalun, generasi awal Islam yang pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. (baca Qs. At-Taubah: 100 dan juga Al-Fath ayat 29).

Ketiga, orang-orang yang benar. Allah SWT berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. Al-Maidah: 119).

Keempat, orang-orang yang ridha terhadap pemberian dan keputusan Allah. Allah SWT berfirman, “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Qs. At-Taubah: 59).

Kelima, orang-orang yang bersegera menuju Allah, “Dia (Musa) berkata, ‘…aku bersegera kepada-Mu ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Qs. Taahaa: 84). Ataupun dalam surah Al-Fajr ayat 28, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

Keenam, orang-orang yang setia pada perjanjiannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath: 18).

Ketujuh, orang-orang yang bersyukur, “…dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu” (Qs. Az-Zumar: 7).

Kedelapan, orang-orang yang diberi izin untuk memberi syafaat termasuk orang-orang berdosa yang disyafaati, “Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Qs. Thaahaa: 109). Juga terdapat dalam surah Al-Anbiyaa’ ayat 8 dan surah An-Najm ayat 26).

Kesembilan, orang-orang yang menyeru untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, “Dan ia menyuruh ahlinya (umatnya) untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Qs. Maryam: 55). Juga pada surah ar-Rum ayat 38-39. Termasuk orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari (Qs. Al-Kahfi: 28).

Kesepuluh, orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan jiwanya tenang dalam ketaatan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Qs. Al-Fajr: 27-28).

Kesebelas, orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah (baca surah Al-Lail ayat 20, Al-Insan ayat 9, Al-Baqarah: 265 dan lain-lain).

Keduabelas, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat pertama, Al-Hasyr ayat 8 dan Al-Ankabut ayat 69.

Ketigabelas, orang-orang yang senantiasa berkurban. (Qs. Al-Hajj: 37) Juga pada surahAl-Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Dari penjabaran di atas, setidaknya ada tiga belas kelompok yang mendapat keridhaan Allah. Sementara yang tidak diridhai Allah hanya ada tiga kelompok. Pertama, orang-orang kafir, “Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Qs. Az-Zumar: 7). Kedua, kelompok orang-orang yang berkhianat, “..dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52). Ketiga, orang-orang yang fasik, “Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (Qs. At-Taubah: 96). Jika dibandingkan jumlah kelompok mereka yang diridhai dibanding yang tidak, menunjukkan keridhaan Allah lebih besar dalam banyak hal. Ada satu hal lagi yang mesti kita perhatikan, ayat yang berbunyi, “Rhadiallahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” dan yang semakna dengan itu hanya berulang setidaknya empat kali. Hal ini berarti, keridhaan Allah terhadap hamba-Nya jauh lebih besar dari keridhaan hamba kepada Tuhan-Nya.

Ridha Ilahi, Karunia Terbesar

Keridhaan Allah sesungguhnya adalah sebesar-besarnya karunia Allah yang diberikan-Nya kepada manusia. Melalui Kumayl ibn Ziyad, imam Ali as mengajarkan kepada kita sebuah rangkaian do’a yang panjang, yang dikenal dengan nama Do’a Kumayl atau Do’a Hadhrat Khaidir. Diantara penggalannya, Imam Ali as bermunajat dengan mengucap, “…wa taj’alani biqismika radhiyan qani’an, wa fi jami’il-ahwali mutawadhi’an, dan jadikan aku ridha dan qana’ah akan pemberian-Mu, dan dalam segala keadaan tunduk dan patuh kepada-Mu.” Pada penggalan do’a ini, kita melihat, Imam Ali as lebih mendahulukan memohon maqam keridhaan dan qana’ah dibanding memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.

Pada umumnya di antara kita, menilai sebesar-besarnya karunia Allah pada hamba-Nya adalah keimanan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya (sehingga sering diulang-ulang di setiap khutbah). Namun, setidaknya oleh Imam Ali as, tidak. Karunia terbesar Allah adalah keridhaan-Nya. Mengapa?. Ayatullah Husain Mazhahiri ketika mensyarah penggalan do’a tersebut membantu kita menemukan jawabannya. Dalam kitab Syarh_e wa Tafsir_e Dua_ye Kumayl, beliau menulis, “Sebab, bahkan oleh Rasulullah saww sendiri dengan berbagai ibadah yang beliau lakukan, ketaatan, perjuangan dan kesetiaannya di jalan Allah, kemudian semuanya itu diletakkan pada satu sisi timbangan, sementara anugerah berupa akal, pemikiran, kekuatan, kemaksuman dan anugerah lainnya berada pada sisi timbangan lainnya, maka karunia dan pemberian Ilahi masih lebih berat dibanding semua ibadah, ketaatan dan perjuangan beliau saww.” Beliau (semoga Allah merahmatinya) melengkapkan jawabannya dengan menukilkan, kisah Nabi Musa as dan Nabi Daud as yang berkata, “Bagaimana mungkin kami mampu untuk bersyukur kepada-Mu dengan sepenuhnya. Sementara kecenderungan untuk bersyukur kepada-Mu itu sendiri adalah anugerah dan karunia dari-Mu, dan itu juga memerlukan syukur yang lain?”. Allah kemudian menurunkan wahyu kepada keduanya, “Jika demikian, maka Aku telah ridha akan syukurmu.”

Ya, demikianlah, pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil. Sebab jika sekiranya perlakukan Allah pada hamba-hamba-Nya berdasarkan pada keadilan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang bisa meraih kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan  akhirat, terlebih lagi kenikmatan dunia bagi orang-orang yang kafir dan durhaka kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabiullah saww itu beristighfar, memohon ampun kepada Allah setiap harinya sampai 70 kali. Kalau kita ingin sedikit kritis, sebenarnya, apa faedah Rasulullah saww memohon ampun kepada Allah, sementara yang beliau lakukan  keseluruhannya adalah kebaikan yang dijadikan tauladan, terlebih lagi bukankah beliau telah disucikan oleh Allah?. Bagi Rasulullah, istighfar bukan hanya untuk memohon pengampunan dari kesalahan dan dosa, namun juga berkaitan dengan amal kebaikan. Yakni, permohonan ampun dari setiap kebaikan yang telah dilakukan, dimaksudkan adalah sudilah kiranya Allah mengampuni kekurangan dan cacat dari amal kebaikan yang telah dilakukan. Kita sadar, bahwa kebaikan semacam apapun pada akhirnya tetaplah kurang dan cacat jika dibanding dengan kebaikan Allah yang tercurah buat kita. Istighfar Rasulullah adalah, permohonan agar kiranya dalam memperhitunngkan setiap amal ibadah, Allah lebih mendahulukan keridhaan-Nya dan bukan keadilan-Nya. Bisa jadi inilah falsafahnya, dalam bacaan shalat mayyit, kita diminta untuk membaca do’a, “Allahummagfirh lihadzal mayyit, Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.” Kita tidak diminta untuk mendoakan, “Semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas kebaikan-kebaikannya”, namun sayangnya, doa semacam ini yang sering kita hadiahkan buat si mayyit.

Untuk tidak membuat tulisan ini terlalu panjang, insya Allah nanti kita lanjutkan.

Ada banyak kesalahan dan kekurangan tentunya, namun semoga Allah ridha terhadap tulisan ini…

“Wa ridhawaanum minallahi akbaru, …. dan keridhaan Allah, (selalu) lebih besar.”

 (Qs. At-Taubah: 72)

Wallahu’alam bishshawwab