کمالوندی

کمالوندی

Rabu, 06 November 2019 18:15

Kisah Abu Nawas; Sandal Ajaib

 

Suatu hari, Abu Nawas berangkat menuju pasar untuk berjualan mencari rezeki tambahan. Sesampainya di pasar ia langsung menggelar tikar sebagai lapaknya berjualan. Kebetulan pada hari itu ia berjalan sandal yang diberi nama “ajaib”

Abu Nawas mulai berteriak-teriak menawarkan barang dagangannya kepada para orang-orang di pasar.

“Sandal ajaib…sandal ajaib….sandal ajaib !!” Teriak Abu Nawas berkali-kali di pasar.

Sesaat kemudian datang seorang pemuda menghampirinya dan melihat-lihat barang dagangannya.

“Silahkan Tuan, mau membeli sandal?” Tanya Abu Nawas.

“Ya,,,apakah ini sandal ajaib?” Tanya pemuda.

“Tentu saja tuan.” Jawab Abu Nawas.

“Saya ingin mencari sandal yang bisa merubah hidupku yang miskin ini.” Kata pemuda itu.

“Apa maksud tuan?” Tanya Abu Nawas lagi.

“Saya ini sudah lama hidup miskin dan ingin sekali kaya raya. Saya ingin membeli barang yang bisa memberikan saya keberuntungan.” Kata pemuda itu.

Sejurus kemudian Abu Nawas menunjukkan salah satu sandal ajaibnya. Ia mengatakan bahwa sandal itu akan membuat pemiliknya dari tidak berada menjadi berada.

Karena tertarik dengan kata-kata Abu Nawas, tanpa berpikir panjang pemuda itu langsung membeli sandal ajaib yang dijual Abu Nawas.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Tanya Satu Jawab Tiga

Pemuda itu langsung memakai sandal ajaib tersebut kemudian meninggalkan Abu Nawas dan berkeliling kampung dengan harapan semoga keberuntungan segera berpihak kepadanya.

Pemuda tersebut terus menerus berjalan mengitari kampung-kampung dengan menggunakan sandal “ajaib”nya tersebut. Namun, harapannya tidak kunjung terwujud juga. Bukannya keberuntungan, si pemuda malah mendapat kemalangan. Ia hampir saja dihakimi warga, karena dikira pencuri yang sedang wara-wiri mengintai mangsa.

Hari sudah menjelang sore, dengan perasaan marah dan kecewa ia akhirnya mencari Abu Nawas meminta pertanggungjawabannya. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya ia menemukan Abu Nawas.

“Assalamu’alaikum…” Sapa pemuda itu.

“Wa’alaikum salam…, eh ternyata Tuan, bagaimana kabar Tuan?” Tanya Abu Nawas.

“Kabar buruk. Aku tidak merasakan keberuntungan apa-apa setelah memakai sandal ini.Malahan hampir saja aku celaka dihajar warga kampung gara-gara dikira pencuri. padahal engkau sudah mengatakan jika sandal ini akan membawa keberuntungan kepada pemiliknya. Mana buktinya??” Protes si pembeli.

“Seingat saya,  tidak pernah saya mengatakan seperti itu Tuan?” Sanggah Abu Nawas.

“Saya hanya mengatakan bahwa sandal ini akan membuat orang yang tidak berpunya menjadi berpunya. buktinya adalah tuan sebelumnya belum memiliki sanda “ajaib” sekarang sudah memilikinya.” Kata Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas, pemuda itu diam, ia akhirnya sadar bahwa dirinya sedang salah menafsirkan.

“Lalu mengapa engkau mengatakan bahwa sandal ini ajaib?” Tanya pemuda.

“Oh….jika itu memanglah namanya sandal Ajaib bukan sandalnya yang ajaib.”Jawab Abu Nawas.

“Jangan percaya kepada barang ajaib, karena percaya pada sesuatu selain Allah SWT bisa membuat kita syirik dan akan mendapatkan kesusahan di dunia dan akhirat kelak. Buktinya yang Tuan alami ini hari ini, oleh karena itu, segeralah bertobat kepada Alloh SWT.” Tambah Abu Nawas.

Akhirnya dengan perasaan malu, pemuda itu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Ia menya dari jika ia telah melakukan kesalahan karena mengharap sesuatu kepada selain Allah SWT dan tanpa berusaha, mulai saat itu pun ia langsung bertobat.

 

Anak yang soleh adalah sebuah harta yang sangat berharga bahkan lebih berharga dari setiap dollar yang kita punya. Itu semua karena mempunyai anak soleh selain mampu berikan kebahagiaan di dunia juga mampu beri kebahagiaan di akhirat. berikut ini adalah salah satu cerita hikmah tentang anak soleh.

Nu Online mengabarkan bahwa suatu hari seorang alim bermimpi bertemu dengan para ahli kubur. Dalam mimpinya ia melihat para ahli kubur sedang berebut dan memungut berbagai macam bingkisan yang berserakan. Tak lama kemudian ia melihat ada satu orang yang sedang duduk acuh tidak tergiur sama sekali dengan berbagai barang berharga yang sedang diperebutkan tersebut. Orang alim ini pun dibuat heran dan penasaran.

“Mengapa anda diam saja tidak seperti mereka mengambil barang-barang itu?” tanya sang alim kepada orang tersebut.

Mendapat pertanyaan itu, ia langsung menjawab bahwa mereka yang sedang sibuk itu sedang mengambil ‘paket kiriman’ dari umat Islam yang mendoakan ahli kubur berupa bacaan Al-Qur’an, sedekah dan doa.

“Saya sendiri tidak butuh ‘bingkisan’ itu sebab saya sudah punya semuanya,” jawab laki-laki itu dengan mantap.

“Dari mana Anda bisa mendapatkan barang-barang itu?” tanya sang alim yang tambah penasaran.

“Saya punya anak yang berjualan kue di pasar X, setiap hari dia selalu mengirim bacaan Al-Qur’an dan doa kepadaku,” jawabnya

Tidak lama kemudian, sang alim ini terbangun dari tidurnya dan semua yang terjadi dalam mimpinya itu sangat jelas teringat hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi pasar X dan mencari seseorang yang menjual kue.

Berangkatlah sang alim ini menuju pasar X dan tidak perlu waktu lama untuk menemukan penjual kue di sana. Firasat orang alim ini semakin kuat ketika melihat mulut penjual kue ini tidak henti-hentinya bergerak seperti sedang membaca sesuatu.

“Saya melihat mulut Anda dari tadi tidak berhenti bergerak, kalau boleh tahu apa yang sedang dibaca?” tanya orang alim itu.

“Oh, saya sedang membaca Al-Qur’an dan dikirimkan khusus untuk orang tuaku yang sudah meninggal,” jawabnya.

Jawaban itu cukup memuaskan sang alim sebab apa yang disampaikan penjual kue itu ternyata memiliki hubungan dengan mimpi yang dialaminya kemarin.

Beberapa waktu kemudian, sang alim ini kembali bermimpi sebagaimana sebelumnya, namun ada sesuatu yang berbeda. Ia melihat orang yang dulu hanya duduk manis, sekarang juga ikut memungut ‘bingkisan’ dengan para ahli kubur lainnya. Sang alim tak sempat berkomunikasi, sebab orang itu terlihat begitu sibuk.

Ketika sudah bangun dari tidurnya, sang alim ini sedikit kebingungan hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali menemui sang penjual kue di pasar.

Namun saat sampai di pasar, sang alim tidak menemukan penjual kue itu sebab menurut informasi yang didapat, penjual kue yang waktu itu selalu membasahi bibirnya dengan bacaan Al-Qur’an ternyata sudah meninggal dunia.

Akhirnya sang alim pun menyimpulkan bahwa orang yang di mimpi pertama hanya duduk manis kemudian di mimpi kedua sibuk berebut ‘bingkisan’ itu ternyata sudah tidak lagi mendapat kiriman doa dari anaknya.

Dzikir yang berisi doa dan bacaan ayat suci Al-Quran atau juga sedekah yang dilakukan orang hidup kemudian ‘dikirimkan’ untuk orang yang sudah meninggal dunia sesungguhnya bisa sampai dan memberi manfaat bagi ahli kubur. Hal ini dibahas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2 halaman 143.

Syaikh Bakri Syata Ad-Dimyati, sang penulis kitab tersebut mengutip hadits Rasulullah dan pendapat para ulama dalam membahas pentingnya ziarah dan mengirim doa untuk orang meninggal dunia sebagaimana kisah inspiratif ini.

Rabu, 06 November 2019 18:13

Kisah Abu Nawas; Menyindir Pejabat

 

Suatu ketika Abu Nawas menerima undangan untuk sebuah jamuan makan malam oleh baginda. Dalam undangan tersebut, ia diminta untuk berpidato mengisi acara jamuan dengan tausyiah agama.

Abu Nawas datang ke istana lebih awal menghadiri undangan baginda. karena itu, Abu Nawas dipersilahkan duduk di bagian depan. Di depan, ia seakan-akan seperti menjadi tamu yang sangat istimewa.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Sandal Ajaib

Beberapa saat kemudian, para undangan yang lain mulai berdatangan satu per satu langsung menempati kursi-kursi yang disediakan. Kemudian, menyusul para pejabat kerajaan yang datang dan langsung menuju kursi yang paling depan. Akan tetapi, salah seorang pejabat yang hadir sedikit terlambat  sangat terkejut melihat kursi paling depan sudah penuh dan salahsatunya sudah diisi oleh Abu Nawas.

pejabat tersebut langsung protes keras pada panitia penyelenggara makan malam.

“Kenapa saya yang lebih terhormat berada di belakang dan justru Abu Nawas yang hanya rakyat biasa berada di depan?” Protes pejabat tersebut.

“Tuan seharusnya menanyakan langsung kepada Abu Nawas sendiri?” Kata salah seorang panitia.

Karena merasa posisinya disamakan dengan orang biasa, pejabat tersebut tidak terima. Ia berjalan ke depan menghampiri Abu Nawas kemudian berbisik padanya bahwa yang pantas duduk di kursi itu adalah dirinya yang merupakan pejabat kerajaan terhormat.

“Wahai Abu Nawas, kamu tidak pantas duduk di sini, karena kursi depan seharusnya diisi oleh pejabat seperti saya.” Tegas pejabat itu dengan sombong.

Mendengar teguran pejabat yang merendahkannya, Abu Nawas membela diri. Maka terjadilah perdebatan diantara mereka, hingga para tamu lain juga mendengarnya.

“Saudara pejabat yang terhormat, pada kenyataannya Anda itu tidak lebih dari seorang pesulap,” kata Abu Nawas mulai angkat bicara.

“Wah, tidak bisa begitu, saya adalah pejabat kerajaan bukan pesulap. Engkau yang pesulap,” Cetus pejabat tersebut.

Semua tamu yang hadir dibuat tegang dan tertuju pada mereka berdua.

“Sekalipun saya adalah pesulap, tapi ketika naik panggung, saya bisa bertindak sesuai janji. Saat saya berjanji mengubah sapu tangan menjadi kelinci, maka bim salabim, sapu tangan itu benar-benar berubah menjadi kelinci.” Kata Abu Nawas.

“Apa maksudmu? Apa hubungannya denganku?” Tanya pejabat.

“Anda seperti seorang pesulap yang gagal di atas panggung, berjanji mengubah bunga menjadi kelinci tapi anda tidak berhasil mewujudkannya !!? Kata Abu Nawas yang membuat suasana semakin panas.

“Apa maksudmu?”  Tanya pejabat itu marah.

“Sebelum menjadi pejabat Anda berjanji akan merubah nasib rakyat kecil menjadi lebih baik. Tapi, setelah menjadi pejabat, keadaan rakyat kecil sama saja seperti sebelum Anda menjadi penjabat.”  Jelas Abu Nawas.

Wajah Pejabat tersebut menjadi merah, ia diam terdunduk dipermalukan Abu Nawas di depan para tamu yang hadir. Abu Nawas kembali bertanya padanya,

“Nah, kalau begitu, mana yang lebih lebih pantas duduk di sini?”  Tanya Abu Nawas kembali.

Pejabat tersebut tidak menjawab pertanyaan Abu Nawas, Dengan perasaan kesal dan malu pejabat itu langsung beranja meninggalkan Abu Nawas dan duduk di belakang.

 

Pada saat malam Takbiran, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib terlihat sibuk membagi-bagikan gandum dan Kurma. Beliau bersama istrinya, Sayyidah Fathimah az-Zahra putri Rasulullah Saw, Sayyidina Ali menyiapkan tiga karung gandum dan dua karung Kurma. Terihat, Sayyidina Ali memanggul gandum, sementara istrinya Sayyidah Fatimah menuntun Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Mereka sekeluarga mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni.

Esok harinya tiba Shalat ‘Idul Fitri. Mereka sekeluarga khusyuk mengikuti Shalat jama’ah dan mendengarkan khutbah. Selepas khutbah ‘Id selesai, keluarga Rasulullah Saw itu pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri.

Sahabat beliau, Ibnu Rafi’i bermaksud untuk mengucapkan selamat ‘Idul Fitri kepada keluarga putri Rasulullah Saw. Sampai di depan pintu rumah, alangkah tercengang Ibnu Rafi’i melihat apa yang dimakan oleh keluarga Rasulullah itu.

Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein yang masih balita, dalam ‘Idul Fitri makanannya adalah gandum tanpa mentega, gandum basi yang baunya tercium oleh sahabat Nabi itu.

Seketika itu Ibnu Rafi’i berucap Istighfar, sambil mengusap-usap dadanya seolah ada yang nyeri di sana. Mata Ibnu Rafi’i berlinang butiran bening, perlahan butiran itu menetes di pipinya.

 

Kecamuk dalam dada Ibnu Rafi’i sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah Saw.
Sesampainya tiba di depan Rasulullah, “Ya Rasulullah, ya Rasulullah, ya Rasulullah, putri baginda dan cucu baginda,” ujar Ibnu Rafi’i. “Ada apa wahai sahabatku?” tanya Rasulullah.

“Tengoklah ke rumah putri baginda, ya Rasulullah. Tengoklah cucu baginda Hasan dan Husein.”

“Kenapa keluargaku?”

“Tengoklah sendiri oleh baginda, saya tidak kuasa mengatakan semuanya.”

Rasulullah Saw pun bergegas menuju rumah Sayyidah Fatimah. Tiba di teras rumah, tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah dan kedua putranya.

Mata Rasulullah pun berlinang. Beliau menangis melihat keluarga putri tercinta dan dua cucunya yang hanya makan gandum basi dihari Raya Idul Fitri.

Di saat semua orang berbahagia, di saat semua orang makan yang enak-enak. Keluarga Rasulullah Saw penuh tawa bahagia dengan hanya makan gandum yang baunya tercium tak sedap.

“Ya Allah, Allahumma Isyhad…Ya Allah, Allahumma Isyhad… (Ya Allah saksikanlah, saksikanlah) Di hari ‘Idul Fitri keluargaku makanannya adalah gandum yang basi. Mereka membela kaum papa, ya Allah. Mereka mencintai kaum fuqara dan masakin. Mereka relakan lidah dan perutnya mengecap makanan basi, asalkan kaum fakir-miskin bisa memakan makanan yang lezat. Allahumma Isyhad, saksikanlah ya Allah, saksikanlah,” bibir Rasulullah berbisik lembut.

Sayyidah Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, sang ayah sedang berdiri tegak. “Duhai ayahnda, ada apa gerangan ayah menangis?”

Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar,
“Surga untukmu, Nak…Surga untukmu.”

Demikianlah, menurut Ibnu Rafi’i, keluarga Rasulullah Saw pada hari ‘Idul Fitri menyantap makanan yang basi dan bau.

Ibnu Rafi’i berkata, “Aku diperintahkan oleh Rasulullah Saw agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap ‘Idul Fitri dan aku pun simpan kisah itu dalam hatiku.

Namun, selepas Rasulullah Saw wafat, aku takut dituduh menyembunyikan Hadits, maka aku ceritakan hal ini agar menjadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin.”

(Musnad Imam Ahmad, jilid 2, hlm. 232).

Allahumma Shalli ‘Alaa Sayyidina Muhammad Wa ‘Alaa Aali Sayyidina Muhammad.

Rabu, 06 November 2019 18:11

Keajaiban Membaca Basmalah Setiap Hari

 

Bacalah Basmalah ketika kita hendak beraktifitas dan di setiap pekerjaan kita. Percayalah selain aktifitas kita akan berjalan lancar juga akan berkah. Selain itu dengan membaca Basmalah, inshaAllah akan ada pahala di setiap pekerjaan yang kita lakukan.

NuOnline mengabarkan bahwa ada seorang perempuan yang bersuamikan seorang lelaki munafik. Perempuan itu selalu mengucap basmalah sebelum melakukan sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan.

Suaminya suatu saat berujar, “Sungguh aku akan mempermalukannya sebab kebiasaannya itu.”

Kemudian ia memberikan sebuah bungkusan kepada istrinya untuk disimpan.

Istrinya pun menaruh bungkusan itu pada suatu tempat dan menguncinya.

Suaminya berusaha agar istrinya lupa. Lalu ia mengambil bungkusan itu beserta isinya dan membuangnya ke dalam sumur.

Kemudian ia bertanya kepada istrinya tentang bungkusan itu.

Istrinya langsung menuju tempat penyimpanan bungkusan tersebut seraya mengucapkan bismillâhirrahmânirrahîm.

Allah Ta’ala memerintahkan malaikat Jibril agar lekas turun dan mengembalikan bungkusan itu ke tempatnya semula.

Kemudian istrinya mengambil bungkusan itu.

Ternyata bungkusan tadi tetap pada tempatnya semula.

Sang suami pun terheran-heran dan akhirnya dia bertobat kepada Allah Ta’ala.

Kisah ini bisa dibaca dalam kitab An-Nawadir karya Syaikh Ahmad Syihab al-Din Ibn Salamah al-Qalyubi (w. 1069 H), pada bab “Keutamaan Basmalah”.

 

 الحكاية الأولى: في فضل البسملة

حكي: أن امرأة كان لها زوج منافق وكانت تقول على كل شيء من قول أو فعل باسم الله، فقال زوجها لأفعلن ما أخجلها به فدفع إليها صرة وقال لها: احفظيها، فوضعتها فى محل وغطتها. فغافلها وأخذ الصرة وأخذ ما فيها ورماها في بئر في داره، ثم طلبها منها، فجاءت إلى محلها وقالت باسم الله، فأمر الله تعالى جبريل أن بنزل سريعا ويعيد الصرة إلى مكانها فوضعت يدها لتأخذها فوجدتها كما وضعتها، فتعجب زوجها وتاب إلى الله تعالى

Rabu, 06 November 2019 18:11

Kisah Abu Nawas; Melarang Ruku Dan Shalat

 

Suatu hari, baginda raja Harun Al Rasyid sangat murka kepada Abu Nawas, ia ingin sekali menghukum berat Abu Nawas bahkan memancungnya. Bagaimana tidak, Baginda menerima informasi bahwasanya Abu Nawas telah berani menyebar fitnah melarang rukuk dan sujud di dalam ibadah shalat dan menuduh baginda raja sebagai orang yang suka fitnah.

Baginda yang sudah sangat marah kemudian memerintahkan pengawal istana untuk menangkap Abu Nawas dan menghadirkan dia ke istana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Setelah Abu Nawas diseret keistana, baginda kemudian bertanya kepadanya,

“Wahai Abu Nawas, apakah benar engkau berpendapat rukuk dan sujud tidak diperlukan di dalam shalat?” Tanya baginda.

“Benar, Baginda Raja !” Jawab Abu Nawas dengan santai.

Meski baginda ingin sekali memancung Abu Nawas karena jawabannya itu, beliau masih berupaya sabar dan kembali mengajukan pertanyaan lain kepada Abu Nawas,

“Benarkah engkau berkata kepada orang-orang bahwa aku adalah orang yang suka fitnah?” Tanya baginda.

“Benar Paduka !”  Jawab Abu Nawas kembali dengan santai.

Kali ini baginda tidak bisa lagi membendung amarahnya, dengan sangat marah baginda berkata kepada Abu Nawas,

“Wahai Abu Nawas, Engkau pantas dihukum mati karena telah melanggar Syariat Islam dan menyebarkan fitnah tentang junjunganmu !”  Kata baginda geram.

“Tunggu dulu baginda !!, janganlah tergesa-gesa mengambil keputusan. Izinkan hamba sedikit membela diri” Pinta Abu Nawas.

“Baiklah, jelaskan sekarang!” Kata baginda.

“Memang hamba akui dua pendapat tadi. Akan tetapi sepertinya, kedua pendapat hamba tersebut datang kepada paduka dalam keadaan tidak lengkap dan seolah-olah hamba bersalah dan melanggar syariat Islam, hamba merasa difitnah.” Jelas Abu Nawas.

“Wahai Abu Nawas, apa maksudmu? Kenapa engkau membela diri jika mengaku bersalah?” Tanya baginda.

Abu Nawas kemudian segera memberikan penjelasan rinci,

“Ampun Paduka yang mulia, Hamba memang melarang rukuk dan sujud dalam shalat, tapi bukanlah shalat lima waktu atau shalat lainnya, melainkan shalat jenazah. Memang pada waktu itu hamba sedang menjelaskan shalat jenazah.” Jelas Abu Nawas.

Baginda Raja Harun Al Rasyid mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Abu Nawas. Meski sebelumnya emosinya mulai muncul, namun raja membenarkan apa yang menjadi pendapat Abu Nawas tersebut.

“Lalu bagaimana tentang pernyataanmu tentangku yang suka fitnah?” Tanya baginda.

“Oh, jika hal tersebut kebetulan pada saat itu hambasedang menjelaskan tentang Surat Al-Anfal ayat 28 yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya:

“dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

“Nah,baginda sebagai seorang raja yang memiliki harta banyak dan sebagai seorang ayah yang menyayangi anak-anak baginda, baginda termasuk orang-orang yang menyukai fitnah (cobaan/ujian) itu, karena baginda menyayangi harta dan anak-anak baginda.” Lanjut Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas, baginda merasa malu. karena kata-kata Abu Nawas tersebut bukan hanya untuk pembelaan diri semata, melainkan sebuah sindiran dan teguran terhadapnya yang selama ini terlalu larut dalam kesenangan dunia semata. padahal kenikmatan yang ia dapatkan itu adalah ujian dari Allah SWT.

Baginda raja akhirnya meminta maaf kepada Abu Nawas karena telah berburuk sangka kepadanya. Hal itu terjadi karena beberapa orang pegawai kerajaan tidak senang melihat kedekatan Abu Nawas dengan baginda. Oleh sebab itu mereka sengaja menyampaikan informasi yang salah agar Abu Nawas celaka.

Rabu, 06 November 2019 18:10

Empat Nasihat Allah SWT Pada Nabi Adam As

 

Allah swt berfirman kepada Nabi Adam as, “Aku akan mengumpulkan semua firman-Ku dalam empat kalimat.”

“Apa itu?” tanya Nabi Adam.

Allah swt berfirman, “Salah satu dari empat hal ini adalah punya-Ku dan salah satunya lagi untukmu. Yang ketiga adalah punya-Ku dan untukmu. Yang keempat adalah untuk dirimu dan umatmu.”

“Wahai Tuhanku! Jelaskanlah semuanya padaku!” pinta Nabi Adam.

Allah berfirman;

Sesuatu yang hanya untuk-Ku adalah engkau harus menyembah hanya kepada-Ku dan janganlah menyekutukan-Ku.
Hal untukmu adalah Aku akan memberikan pahala amal baikmu yang mana pada waktu itu engkau akan lebih memerlukannya (dari yang lainnya).
Sedangkah hal untuk-Ku dan untukmu ialah engkau berdoa dan Aku akan mengabulkannya.
Lalu sesuatu yang hanya untukmu dan umatmu adalah janganlah melakukan sesuatu pada orang lain yang mana engkau sendiri tidak akan menyukainya jika orang lain melakukannya padamu. Dan lakukanlah hal yang disukai orang lain sebagaimana engkau menyukainya jika orang lain melakukannya padamu.

 

Ratusan ayat al-Quran dan riwayat mengatakan bahwa amal baik dan dan buruk seorang manusia berpengaruh pada kehidupannya di akhirat. Amal baik menjadi sebab kebaikan di dunia juga akhirat. Amal buruk dan dosa menjadi sebab kehinaan ruh dan azab di dunia serta menjadi pendosa di akhirat.

أَمْ حَسِبَ الَّذينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ سَواءً مَحْياهُمْ وَ مَماتُهُمْ ساءَ ما يَحْكُمُونَ

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (Surah Al-Jatsiyaah, ayat 21)

Dari ayat di atas kita akan mendapatkan hal mendasar terkait perbedaan antara orang-orang yang beriman dan melakukan amal baik dengan mereka yang kufur dan berdosa.

Apakah bisa antara cahaya dan kegelapan, ilmu dan kebodohan, kebaikan dan keburukan, iman dan kufur, dihitung sebagai satu hal yang sama? Apakah mungkin sesuatu yang berbeda mempunyai hasil yang sama?

Jawabannya adalah tidak akan pernah sama. Mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh akan terpisah dengan para pendosa yang tidak beriman. Iman dan kufur, kebaikan dan keburukan akan memberikan warna tersendiri pada kehidupan dan kematian mereka.

Hal ini juga tercantum Firman Allah swt dalam surah Shaad ayat 28.

“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat?”

Rabu, 06 November 2019 18:09

Maaf, Apakah Engkau Itu Tuhan?

 

Anak kecil bergerak-gerak di atas salju dalam keadaan kaki bertelanjang berharap rasa dingin tidak mengganggu telapak kakinya. Lalu ia menempelkan wajahnya pada kaca salah satu toko dan menatap tajam pada isi toko itu.

Lalu matanya tertuju pada sesuatu. Seakan-akan dengan tatapan matanya itu ia memintanya pada Tuhan.

Seorang wanita yang hendak masuk ke toko berhenti sejenak dan melihat anak kecil tersebut lalu masuk ke toko. Selang beberapa menit wanita tersebut keluar dengan membawa sepasang sepatu.

“Hai anak kecil! Ke sini sebentar!” panggil wanita itu.

Anak laki-laki  kecil pun menengoknya dan pergi ke arah wanita itu. Dia kaget dan terharu melihat sepasang sepatu yang dibawa oleh wanita itu dan berkata, “Apakah Anda itu Tuhan?” tanya anak kecil.

“Tidak aku hanya seorang hamba Tuhan.” Jawab wanita itu.

“Oh seorang Hamba Tuhan! aku tahu pastinya engkau punya hubungan dengan Tuhan”.

Seorang hamba Tuhan pasti punya hubungan dengan Tuhan sekecil apapun. Dari kisah ini, kita bisa memetik hikmah bahwa seorang hamba Tuhan harus mempunyai sifat seperti Tuhan. Yakni jika Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang maka seorang hama Tuhan mestinya menjadi seorang yang pengasih dan penyayang juga.

Rabu, 06 November 2019 18:08

Kisah Abu Nawas; Ibu Yang Asli

 

Kisah Abu Nawas; Kisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika masih muda. Entah sudah berapa hari kasus seorang anak bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama sangat ingin memiliki anak. Hakim pun rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang menjadi ibu bayi itu sebenarnya.

Kasus ini sudah berlarut-larut tanpa ada keputusan yang jelas, hakim akhirnya menghadap Baginda Raja untuk meminta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah  anaknya. Baginda pun putus asa.

Baca juga: Kisah Abu Nawas; Wajah Bertemu Tuhan

Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan. Baginda pun berpikir mungkin perlu memanggil Abu Nawas meminta bantuannya. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang  mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan oleh hal lain, yaitu seorang algojo yang harusnya masuk dalam taktik Abu Nawas tidak berada di tempat.

Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggil algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja.

“Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” Kata kedua perempuan itu saling memandang.

“Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?”Kata Abu Nawas.

“Tidak, bayi itu adalah anakku!!” Kata kedua perempuan itu serentak.

“Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata dan membaginya kepada kalian.”  Kata Abu Nawas mengancam dengan spontan.

Perempuan pertama girang bukan kepalang, setuju akan tindakan yang akan dilakukan Abu Nawas, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.

“Jangan, tolong jangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu.” Kata perempuan kedua.

Abu Nawas tersenyum lega. pemilik sebenarnya bayi tersebut sudah diketahui. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan kedua.

Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tidak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih. Apalagi di depan mata.

Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Sebagai rasa terima kasih, Baginda memberikan sejumlah hadiah atas bantuannya yang sangat berguna.