
کمالوندی
Ahlul Bait Nabi, Wasiat Nabi yang Dilupakan
Artikel ini melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai peristiwa Saqifah dan dilupakannya wasiat Nabi kepada umat Islam supaya memperhatikan Ahlul Baitnya.
Ahlul Bait Rasulullah Saw memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Kecintaan terhadap Rasulullah Saw dan Ahlul Bait merupakan perintah Allah swt, dan Nabi Muhammad Saw hanya menjalankan perintah ilahi mengenai masalah tersebut. Oleh karena itu, semua orang yang telah menunjukkan kebencian terhadap Ahlul Bait, alih-alih kasih sayang, sejak awal Islam tidak diragukan lagi menunjukkan penentangan terhadap perintah Allah swt.
Anggota Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw yang pertama kali disebut oleh Rasulullah adalah puterinya, Siti Fatimah. Allah swt menurunkan surat Al-Kautsar kepada Nabi yang mengenai berita gembira akan kelahiran bayi puterinya. SelaIn itu, mengenai di surat al-Ahzab ayat 33, dijelaskan mengenai kedudukan ahlul bait yang disucikan oleh Allah swt.
Berdasarkan banyak hadis dari sumber-sumber muktabar baik Syiah maupun Sunni, Nabi Muhammad Saw menunjukkan kedudukan penting Fatimah, sebagaimana salah satu sabdanya, "Allah akan murka apabila Fatimah marah, dan senang ketika ia bahagia." (Musnad 353, Amali Sheikh Mufid 256). Hadis ini jelas menunjukkan ketinggian posisi Siti Fatimah Az-Zahra di hadapan Allah swt. Di bagian lain, Rasulullah Saw bersabda, "Ya Tuhanku, ini putriku dan ciptaan-Mu yang terkasih bersamaku." (Musnad, 205)
Suatu hari Nabi Muhammad Saw mengambil tangan putrinya, Siti Fatimah dan berkata, "Semua orang tahu dan orang yang belum tahu saya kenalkan ini adalah putri Muhammad. Dia bagian dariku. Hati, dan jiwanya bagian dari tubuhku. Jadi siapa pun yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku, dan siapa pun yang menimbulkan kemarahanku, maka telah menyebabkan kemurkaan Tuhan,". (Musnad hal.162 - Hadis 27)
Di luar dari posisi tinggi Siti Fatimah yang digambarkan dalam hadis dan ayat yang turun mengenai beliau, orang-orang yang dekat dengan Rasulullah Saw seperti istri Nabi, Siti Aisyah berkata, "Saya tidak pernah melihat orang yang lebih dekat dengan Rasulullah seperti Fatimah. Ketika ia datang, beliau berdiri sebagai bentuk penghormatan dan mendatanginya, Beliau Mencium dan menyambutnya, kemudian memegang tangannya dan menempatkan di tempat duduknya."(Kashf Al-Ghummah, vol. 2, hlm. 79.)
Sekarang setelah kita berkenalan dengan posisi putri Nabi, Siti Fatimah Zahra dan suaminya Imam Ali sampai batas tertentu, kita menelusuri sejarah untuk melihat bagaimana para penguasa memperlakukan Ahlul Bait Rasulullah ini. Apakah mereka menghormatinya, ataukah sebaliknya merusak martabat mereka demi meraih tujuannya.
Syekh Thusi mengutip dari Ibnu Abbas berkata, "Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah menangis tersedu-sedu hingga janggutnya basah. Ketika itu beberapa orang bertanya kepadanya, mengapa Anda menangis begitu sedih. Rasulullah menjawab, saya mengkhawatirkan sikap umatku terhadap anak-anakku setelahku, seolah-olah aku melihat putriku Fatimah dalam keadaan tertindas setelah kepergianku, dan dia berteriak kepada ayahnya, dan tidak ada yang membantunya,".
Ketika dia mendengar cerita ini, Sayidah Zahra banyak menangis. Nabi berkata kepadanya, jangan menangis seperti itu putriku." Siti Fatimah menjawab, "Kami tidak menangisi apa yang akan mereka lakukan padaku setelah aku tertindas, tetapi karena kesedihan berpisahan denganmu. Nabi Muhammad Saw berkata, "Putriku, bersukacitalah karena kamu adalah Ahlul Bait pertama yang bergabung denganku" (Musnad hal. 100 Hadis 9)
Riwayat ini menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad Saw telah meramalkan masa depan getir yang menimpa umat Islam, masa depan di mana kepalsuan akan menggantikan kebenaran, dan nilai-nilai agama akan jatuh menjauh dari masyarakat Islam.
Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw dilupakan oleh umatnya sendiri dengan ditinggalkannya wasiat penting beliau mengenai Ahlul Baitnya. Amat disayangkan, umat Islam yang telah bersama Nabi selama dua puluh tiga tahun, setelah kepergiannya melakukan kelaliman terhadap Ahlul Baitnya, termasuk menimpa puteri beliau.
Kondisi sosial politik umat pasca wafatnya Rasulullah Saw, dan tekanan terhadap Ahlul Bait menjadi perhatian Sayidah Fatimah Zahra. Lambat laun kesehatannya menurun dan jatuh sakit.
Siti Fatimah berada di dalam tekanan yang meningkat ketika Imam Ali dipaksa harus menerima hasil dan keputusan dewan Saqifah Bani Saidah, bahkan mereka memaksa meminta baiat hingga mendatangi rumahnya. Fatimah Zahra menutup pintu rumahnya, tapi mereka memaksa masuk tanpa izin. Ketika itu, putri Rasulullah Saw berdiri di rumahnya dan berkata, "Aku tidak melihat bangsa yang lebih buruk dari kalian, Anda meninggalkan jenazah Nabi di hadapan kami dan mengambil keputusan untuk berkuasa tanpa bermusyawarah dengan kami. Ketahuilah, apa yang Anda lakukan terhadap kami (bertentangan dengan perintah Allah swt). Anda tidak menghargai hak kami".(Amali, Sheikh Mufid).
Perampasan Fadak dan Duka Ahlul Bait
Sekelompok sahabat pendukung syura Saqifah Bani Sa'idah mendatangi rumah Sayidah Fatimah az-Zahra as untuk mengambil bai'at secara paksa dari Ali bin Abi Thalib as. Namun mereka mendapat perlawanan dari putri Rasulullah Saw itu.
Lalu, mengapa putri Rasulullah Saw melakukan perlawanan dan tidak tunduk pada tuntutan para perampas kekuasaan?
Jelas bahwa jika Fatimah dan Ali as memilih tunduk, ini bermakna mereka merestui penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Jika itu disetujui, sikap mereka juga akan sama seperti para tokoh Saqifah yang melanggar perintah Allah Swt di Ghadir Khum dan mengabaikan keputusan Rasulullah Saw dalam masalah pengangkatan khalifah setelah wafatnya.
Fatimah dan Ali as menolak terlibat dalam sebuah tragedi yang sengaja diciptakan di tengah umat dan tidak bekerjasama dengan para perampas posisi khalifah dan imamah.
Imam Ali as tidak mengambil tindakan apapun demi menjaga Islam yang mendapat rongrongan dari dalam dan luar, serta demi menjaga persatuan dan kekuatan kaum Muslim.
Para tokoh Saqifah sayangnya mengambil tindakan baru tanpa memperhatikan keprihatinan Ali dan Fatimah tentang masa depan Islam dan umat. Penguasa merebut Tanah Fadak dari tangan Sayidah Fatimah sehingga Ahlul Bait tidak lagi memiliki pemasukan untuk membantu kaum lemah dan fakir-miskin.
Fadak adalah sebuah desa di wilayah Hijaz, Arab Saudi, dengan kebun dan pohon kurma yang luas di dekat Khaibar. Menurut literatur sejarah, setelah penaklukan benteng Khaibar oleh kaum Muslim, setengah dari kebun dan desa Fadak berdasarkan pada sebuah perjanjian damai diserahkan oleh kaum Yahudi kepada Rasulullah Saw. Karena Fadak diperoleh tanpa peperangan, maka sesuai dengan hukum al-Quran ia disebut khalishah (terkhusus untuk) Nabi. Beliau kemudian memberikan Tanah Fadak kepada putrinya, Sayidah Fatimah.
Demi memuluskan skenario perampasan Tanah Fadak, para tokoh Saqifah mengarang sebuah hadis palsu dan berkata, "Rasulullah Saw bersabda bahwa kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah."
Tanah Fadak di dekat Madinah.
Sayidah Fatimah – sebagai pemilik sah Tanah Fadak – mendatangi penguasa untuk membela haknya. Jika ia memilih diam, maka sikap ini bertentangan dengan nash (teks dalil) al-Quran dan wasiat Nabi Saw. Al-Quran menjelaskan bahwa ghanaim (harta rampasan perang) yang sampai kepada kaum Muslim tanpa perang, maka pemiliknya adalah Nabi Saw.
"Setiap harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda dan (tidak pula) seekor unta pun. Tetapi Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada para rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Hasyr: 6)
Oleh karena itu, pembelaan Sayidah Fatimah bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu itu (Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah), ia pergi ke masjid dan menyampaikan pidato untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Dengan demikian, generasi saat ini juga menjadi tahu bahwa sebuah penyimpangan besar telah terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya telah membuat Ahlul Bait Nabi terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as di Karbala.
Dalam pidatonya (Khutbah Fadakiyyah), Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)
Ia kemudian mengutip ayat-ayat lain dari al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6) Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)
"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah.
Semua hadirin terdiam dan Sayidah Fatimah mengakhiri khutbahnya dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk pelanggaran sumpah, dan tindakan tercela ini akan kekal dan akhir dari tindakan tersebut adalah neraka.
Setelah peristiwa perampasan Fadak, Sayidah Fatimah benar-benar marah kepada orang-orang yang telah merampas hak kekhalifahan dan Fadak dan ia tetap marah sampai akhir hayatnya. Ia menyimpan kesedihan yang mendalam setelah wafat Nabi, peristiwa Saqifah, perampasan kekhalifahan, dan penyitaan Tanah Fadak.
Selama periode singkat kehidupannya (75 atau 95 hari) setelah wafat Nabi Saw, Sayidah Fatimah memanfaatkan masa itu untuk melakukan protes dan menyatakan sikapnya atas kondisi saat itu, yang diciptakan oleh para perampas kekuasaan. Kegiatan ini dilakukan dengan menyampaikan khutbah atau melakukan pertemuan dengan perempuan Muhajirin dan Anshar.
Sebagai bukti atas kemarahan dan kesedihannya yang mendalam, Sayidah Fatimah berwasiat kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib agar acara pemakaman dan penguburannya dilakukan pada malam hari dan merahasiakan makamnya. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang pernah menzalimi dan membuatnya murka, tidak datang melayat.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (al-Quran) dan 'itrahku (Ahlul Bait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat."
Namun, para tokoh Saqifah telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw yaitu memisahkan antara al-Quran dan Ahlul Bait. Selanjutnya mereka melarang penafsiran ayat-ayat al-Quran. Kedua tindakan ini bertentangan dengan pesan Rasulullah Saw dan juga perintah Allah Swt. Mereka berkata, "Pisahkanlah al-Quran dari sesuatu yang lain dan jangan menafsirkannya dan kurangi menukil hadis dari Rasulullah." (Syarah Nahjul Balaghah Ibn Abi al-Hadid)
Para ulama meyakini bahwa salah satu tujuan sebagian tokoh Saqifah melarang penafsiran al-Quran karena pengetahuan masyarakat tidak cukup untuk memahami esensi kaum mukmin dan munafik atau hakikat para pencari kebenaran dan kaum oportunis.
Jelas bahwa penyingkapan fakta dan hakikat itu bertentangan dengan tujuan dan kepentingan para penguasa.
Konsekuensi Pelarangan Penukilan Hadis
Putri Rasulullah Saw, Sayidah Fatimah Azzahra as telah menyampaikan argumentasinya dengan ayat-ayat al-Quran untuk mempertahankan Tanah Fadak yang telah diberikan oleh Rasulullah Saw kepadanya atas perintah Allah Swt. Namun, beliau tidak mampu untuk mempertahankan tanah tersebut. Para perampas membuat hadis palsu yang dikaitkan kepada Rasulullah agar bisa menguasai Fadak.
Pembelaan Sayidah Fatimah atas Tanah Fadak bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi bertujuan untuk membela hukum al-Quran dan Islam yang murni. Untuk mematahkan hadis palsu (bahwa para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang ditinggalkan adalah sedekah), Sayidah Fatimah pergi ke masjid dan menyampaikan pidato pencerahan kepada masyarakat.
Pidato tersebut mengungkap sebuah penyimpangan besar yang terjadi pada permulaan Islam dan rentetan peristiwa setelahnya, di mana peristiwa itu telah membuat Ahlul Bait Nabi Saw terzalimi, termasuk pembunuhan Imam Husein as, cucu Rasulullah Saw di Karbala.
Dalam Khutbah Fadakiyyah, Sayidah Fatimah as berkata, "Mengapa engkau merampas Fadak yang diberikan Rasulullah kepadaku atas perintah Allah dan ingin menjauhkanku dari memperoleh hak yang sah? Bukankah Allah berfirman dalam al-Quran, "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud." (QS. Al-Naml: 16)
Beliau kemudian mengutip ayat-ayat lain al-Quran dan berkata, "Bukankah Zakariya telah mengangkat tangan untuk berdoa dan berseru, "…Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub." (QS. Maryam: 5-6)
Sayidah Fatimah juga menukil sebuah ayat lain, "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)
"Wahai sahabat Nabi, apakah aku bukan anak dari Rasulullah?" tegas Sayidah Fatimah
Sayid Fatimah tidak ridha atas perbuatan sekelompok sahabat pendukung Saqifah Bani Sa'idah. Beliau juga menunjukkan protesnya dengan berwasiat kepada suaminya, Sayidina Ali bin Abi Thalib as untuk merahasiakan makam beliau. Dengan begitu, tanda protes tersebut berlanjut hingga sekarang, dan umat Islam menjadi tahu tentang apa sebenarnya yang terjadi pasca peristiwa Saqifah dan perlakuan buruk terhadap Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw.
Para pemimpin dan pendukung Saqifah memiliki tujuan untuk mengeluarkan keluarga suci Rasulullah Saw dari semua aktivitas agama dan politik. Mereka bahkan melaksanakan perencanaan baru untuk mencegah para sahabat menukil hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.
Untuk bisa merealisasikan rencana tersebut, pasca wafatnya Rasulullah Saw muncul kondisi di mana para sahabat berselisih ketika ada yang menukil hadis beliau. Perselisihan ini meningkat seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, mereka kemudian mencegah dan melarang penukilan hadis dari Rasulullah Saw. (Tazkiratul Huffaz, jilid 1 halaman 3).
Bagaimana mungkin mereka yang mengklaim diri sebagai pengganti dan penerus Rasulullah Saw tetapi pada saat yang sama mereka mencegah penukilan hadis-hadis beliau, padahal hadis-hadis Rasulullah Saw adalah sunnah dan penjelas bagi semua urusan individu dan sosial. Allah Swt memperkenalkan Rasulullah Saw sebagai Uswah Hasanah bagi umat.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Surat al-Ahzab ayat 21)
Apakah mungkin bisa meneladani perilaku, ucapan dan perbuatan Rasulullah Saw tanpa mengetahui sunnah beliau yang tercatat dalam hadis-hadis yang dinukil oleh para sahabat?
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam ayat tersebut adalah bahwa "…suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat", sebab, pada hari kebangkitan nanti, semua perbuatan dan perilaku kita akan dievaluasi dengan sunnah Rasulullah Saw. Sayangnya, sebagian para pendukung Saqifah melakukan perbuatan berbahaya itu untuk menghapus hadis-hadis beliau.
Pada hari itu, Sayidah Fatimah as tentunya telah mengkhawatirkan peristiwa tersebut. Untuk itu, beliau berkonfrontasi dengan para pendukung Saqifah dengan menyampaikan argumentasi yang berdasarkan al-Quran untuk menafikan riwayat palsu yang mereka kaitkan kepada Rasulullah Saw.
Putri tercinta Rasulullah Saw itu memahami bahwa jika penyimpangan itu tidak dicegah dan dilawan, maka akhir yang pahit akan menimpa umat Islam, yaitu, akhir di mana tidak ada jejak tafsir-tafsir al-Quran berdasarkan penjelasan Rasululllah Saw dan juga tidak ada lagi tanda dari sunnah beliau yang masih ada untuk bisa diterapkan dalam kehidupan.
Tak ada keraguan bahwa langkah untuk mencegah pengumpulan hadis dan bahkan membakarnya sangat bertentangan dengan pandangan Nabi Muhammad Saw. Beliau dalam sebuah khutbah pada Haji Wada' bersabda, semoga Tuhan membahagiakan (memberkahi) orang yang mendengar perkataanku dan menjaganya serta menyampaikannya kepada mereka yang belum mendengarnya. (Sunan Ibnu Majah 1/84).
Berdasarkan riwayat lain, beliau bersabda, beritahukan kepada orang lain apa yang kalian dengar dariku, namun jangan kalian ucapkan kecuali perkataan yang benar. Barang siapa menyampaikan kebohongan atas namaku, maka neraka adalah tempat tinggalnya. (Qawaidul Hadis, halaman 50).
Perlu dicatat bahwa Nabi Muhammad Saw –agar semua umat Islam merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan hadis-hadisnnya– beliau bersabda, ketahuilah bahwa mereka yang telah mendengar perkataanku memiliki kewajiban untuk memberitahukan dan menyampaikannya kepada mereka yang tidak hadir. (al-Kafi 1/402 dan Bihar 2/152).
Dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as –yang selalu berada di samping Nabi Muhammad Saw dalam menyebarkan Islam–, dinukil bahwa Rasulullah Saw bersabda, semoga Tuhan merahmati para penggantiku. Beliau mengucapkan hal itu hingga tiga kali yang menandakan pentingnya masalah tersebut. Lalu para sahabat bertanya, siapa para penggantimu itu Ya Rasulullah? Beliau menjawab, mereka datang setelahku dan meriwayatka hadis-hadis dan sunnahku serta mengajarkannya kepada masyarakat. (Maani al-Akhbar)
Dengan memperhatikan penjelasan yang sangat terang yang dikutip dari sumber-sumber otentik Syiah dan Sunni itu, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk membenarkan langkah-langkah penyimpangan yang dilakukan setelah peristiwa Saqifah, yaitu mencegah penukilan dan pengumpulan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dan bahkan pembakaran untuk melenyapkannya.
Ada satu hal yang menarik dan mengejutkan dalam kasus tersebut, di mana para pendukung Saqifah menjustifikasi rencananya dengan mengklaim bahwa tujuan mereka mencegah penukilan hadis adalah untuk menjaga keaslian al-Quran. Padahal Allah Swt yang menurunkan al-Quran dan telah berjanji untuk menjaganya.
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." ( Surat al-Hijr ayat 9)
Selain itu, Rasulullah Saw telah menjelaskan al-Quran, di mana dengan menukil hadis-hadis beliau, maka kebenaran al-Quran akan terungkap dan pemahaman atas Kita Suci ini juga bisa diperoleh. Bukankah ayat-ayat al-Quran itu memiliki ayat nasikh dan mansukh, muhkamat dan mutasyabihat, dan khusus dan umum yang memerlukan penjelasan dari hadis-hadis Rasulullah Saw? Jika tafsir dan hadis dari beliau tidak digunakan, lalu bagaimana bisa menjelaskan maksud ayat-ayat itu?
Bagaimana mungkin bisa diterima bahwa para pendukung Saqifah mencegah penukilan hadis dan bahkan membakarnya dengan alasan menjaga keaslian al-Quranul Karim.
Perjuangan Imam Husein Menegakkan Kebenaran
Sejarah selalu menjadi saksi atas perang antara hak dan batil, pertempuran para nabi dan orang-orang saleh dengan para tiran, kaum jahiliyah, dan kelompok sesat. Nabi Ibrahim as bangkit melawan Namrud, Musa as melawan Fir'aun, dan Nabi Muhammad Saw berjuang menghadapi kafir Quraisy.
Perang antara hak dan batil bergema hingga Karbala ketika Imam Husein as dan para sahabatnya bangkit melawan musuh agama. Para ksatria Karbala berjuang di sebuah medan jihad yang berat dan tidak seimbang demi menegakkan kebenaran dan keadilan.
Hari Asyura dimulai dengan penuh ketegangan dan keheningan. Imam Husein as bersama 72 sahabat setianya sedang menatap pasukan Umar bin Sa'ad di sisi lain Padang Karbala. Wibawa dan kegagahan orang yang paling mirip dengan Rasulullah Saw ini membuat barisan musuh tercengang.
Umar bin Sa'ad mendandani pasukannya dengan garang dan meminta mereka untuk mengayunkan pedang dan tombak demi menakut-nakuti pasukan Imam Husein as. Sesaat kemudian ia mengeluarkan perintah serangan.
Imam Husein memanfaatkan saat-saat genting itu untuk menyadarkan musuh dan berteriak lantang:
"Wahai manusia! Dengarkan kata-kataku dan jangan kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasihat yang mana kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian dan putra washinya, orang pertama yang beriman kepada Nabi-Nya? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar, yang memiliki dua sayap di surga kelak adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa dua putra ini adalah pemuka pemuda surga?
Jika kalian ragu dalam hal itu, maka apakah kalian juga ragu bahwa aku adalah anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anak dari putri Nabi kalian selain diriku. Celakalah kalian! Adakah kalian hendak menuntut darahku sedangkan aku tidak pernah membunuh siapa pun di antara kalian? Adakah kalian akan meng-qisasku sedangkan aku tidak pernah mengusik harta benda kalian atau melukai seseorang dari kalian?"
Semua orang terdiam mendengar kata-kata Imam Husein as. Saat itulah Imam melanjutkan pidatonya, "Tidak! Aku bersumpah demi Allah, aku tidak akan tunduk pada kehinaan dan tidak akan lari seperti para budak."
Putra Fatimah az-Zahra ini kemudian membacakan dua ayat suci al-Quran dengan suara lantang, "Sesungguhnya aku hanya berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari kehendak kalian untuk merajamku." (QS. Ad Dukhaan: 20)
"Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap manusia takabur yang tak beriman kepada hari pembalasan." (QS. Ad Dukhaan: 27)
Dzuhur Asyura pun tiba dan tidak berapa lama lagi pasukan musuh akan menerkam tubuh Imam Husein as. Para sahabatnya terjun ke medan perang dengan gagah berani untuk membela kebenaran dan kebebasan. Mereka semua berharap dihidupkan kembali setelah syahid agar bisa mengorbankan dirinya untuk putra Rasulullah Saw.
Ketika dzuhur tiba, Imam Husein meminta sedikit waktu untuk bermunajat kepada Allah untuk terakhir kalinya. Musuh menolak permintaan itu, tetapi Imam tetap mendirikan shalat tanpa peduli dengan tekanan dan hujanan panah musuh, dua sahabatnya gugur syahid dalam peristiwa itu.
Kekhusyukan dan ketenangan Imam Husein dalam shalat membuat para sahabatnya menitikkan air mata. Fenomena ini mengingatkan mereka pada sosok ayahnya, Imam Ali as dimana ia tidak pernah melewatkan shalat dalam perang dan berkata, "Kita berperang untuk menegakkan shalat."
Seorang pemuda yang tampan dan gagah datang meminta izin untuk berjihad. Ia adalah putra sulung Imam Husein, Ali al-Akbar. Saat akan berpisah, Imam menatap Ali al-Akbar dengan penuh cinta dan berdoa, "Ya Tuhanku! Jadilah saksi bahwa cara berjalan dan berbicara, wajah, dan kepribadian orang yang maju ke medan perang saat ini menyerupai Nabi-Mu. Jika kami, Ahlul Bait, rindu untuk menatap Rasulullah Saw, kami selalu memandang Ali al-Akbar dan terobatilah kerinduan kami. Ya Tuhanku! Hilangkanlah karunia duniawi atas para tentara itu dan jadikanlah mereka ling-lung dan mendapat bencana, sehingga mereka tidak dapat menguasai kami. Mereka telah mengundang kami untuk datang kemari, namun mereka juga memusuhi kami dan siap untuk membantai dan membunuh kami.”
Ali al-Akbar kemudian menerjang barisan musuh dan memukul mereka hingga tersungkur dari punggung kudanya. Terik matahari Karbala membuatnya tak kuasa menahan dahaga. Ali al-Akbar kembali ke kemah Imam Husein dan berkata, “Ayah, dahaga mencekik leherku. Jika setetes air membasahi rongga leherku, niscaya aku akan memenangkan pertempuran ini.”
Mendengar ucapan putranya itu, mata Imam Husein sembab, karena ia pun sudah berhari-hari tak mendapatkan seteguk air di Karbala. Ali al-Akbar kembali ke medan perang dalam kehausan yang mencekik. Pasukan musuh kali ini serentak mengepungnya dan menyerangnya dari segala penjuru. Serangan bertubi-tubi menghujam dan menyambar tubuh Ali al-Akbar. Tebasan pedang musuh menorehkan luka di sekujur tubuhnya. Ketika anak panah menancap tepat di dada dan perutnya, saat itu pula Ali al-Akbar membentur bumi dan gugur syahid di Karbala.
Setelah semua sahabatnya gugur syahid, sekarang hanya Imam Husein as yang tersisa, ia terkepung barisan musuh yang congkak dan hina. Ia datang mendekati kemah Ahlul Bait dan berpesan kepada Sayidah Zainab as (putri Imam Ali dan Sayidah Fatimah as), “Bawalah putraku Ali al-Asghar kemari, aku ingin berpamitan dengannya.”
Imam Husein memeluk anaknya yang masih bayi itu. Melihat pemandangan itu, Zainab berkata, “Wahai kakakku! Bayi ini sudah lama tidak minum air. Mintalah seteguk air untuknya dari pasukan itu.”
Imam membawa putranya itu di hadapan pasukan musuh dan berkata kepada mereka, “Wahai kalian semua, jika kalian enggan berbelas kasih kepadaku, maka berbelas kasihlah kepada bayi yang menyusui ini. Apakah kalian tidak menyaksikan bagaimana ia membuka dan menutup mulutnya karena rasa haus yang mencekik?”
Namun hanya sesaat setelah Imam Husein as menyelesaikan ucapannya itu, tiba-tiba anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang pasukan Kufah yang bernama Harmalah bin Kahil al-Asadi, tepat mengenai leher Ali al-Asghar yang seketika itu juga menemui ajalnya.
Imam Husein as sangat terpukul dengan kejadian ini, ia menangis dan berseru kepada Allah Swt, “Ya Allah, Engkaulah yang menjadi saksi dan hakim antara kami dan mereka. Mereka telah mengajak kami untuk menjadi penolongnya, namun mereka justru membantai dan membunuh kami.”
Imam Husein as kemudian memenuhi telapak tangannya dengan darah putranya itu dan memerciknya ke langit sambil berkata, “Setiap kesulitan yang aku hadapi, itu mudah bagiku untuk memikulnya, karena ini adalah kehendak Allah.” Setelah itu, Imam turun dari kudanya dan menggali sebuah liang dengan ujung pedangnya untuk menguburkan jasad Ali al-Asghar.
Matahari perlahan menyingsing di ufuk Barat, tetesan darah menutupi butiran pasir di Karbala. Suara lantunan doa Imam Husein as memecah keheningan, ia berseru kepada Allah Swt, “Aku bersabar atas qadha dan qadar-Mu wahai Tuhan yang tiada Tuhan lain selain-Mu… Wahai Tuhan yang menimbang setiap orang dengan amalannya, putuskanlah antara aku dan mereka, karena Engkau adalah sebaik-baiknya hakim.”
Sebuah tragedi besar terjadi pada sore hari Asyura. Pasukan musuh memisahkan kepala cucu Rasulullah Saw ini dari badannya dan kemudian menancapkannya di ujung tombak. Namun, darah Imam Husein dan para sahabatnya telah membangkitkan sebuah gerakan besar dalam sejarah, yang menjadi inspirasi bagi semua gerakan pembebasan.
Imam Husein as menjadi teladan abadi bagi kemanusiaan dan jalan sucinya menjadi teladan untuk semua generasi yang merindukan kebenaran.
Salam atasmu wahai Husein, wahai putra Rasulullah. Salam atasmu dan atas jiwa-jiwa yang suci yang mengorbankan jiwa mereka untukmu, engkau telah mengorbankan darahmu sehingga manusia terbebas dari kebodohan dan kesesatan. Semoga rahmat Allah selalu tercurahkan untukmu.
Taktik Imam Sajjad Membongkar Kelicikan Yazid
Berdasarkan catatan sejarah, Imam Ali bin Husein as yang dijuluki Zainal Abidin as-Sajjad gugur syahid pada tanggal 12 Muharram. Imam Sajjad hadir bersama ayahnya di Karbala, tetapi ia tetap hidup atas takdir Allah Swt untuk melanjutkan misi menjaga Islam dari penyimpangan.
Pasukan Nabi Muhammad Saw hampir sampai di gerbang kota Makkah. Para pembesar kafir Quraisy mulai ketakutan, karena mereka selama ini menyakiti dan memerangi Rasulullah. Abu Sufyan terlihat sangat takut dibanding semua pembesar Quraisy dan ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Muhammad Saw dengannya.
Namun, rahmat dan kasih sayang Allah Swt membuat kota menjadi aman untuk semua orang. Nabi Muhammad Saw dengan suara lantang berkata, “Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Kalimat ini menyelamatkan keluarga Bani Umayyah dari kematian dan kehinaan, tetapi rasa dendam tetap membara di hati mereka. Para leluhur mereka tewas di tangan kaum Muslim dalam Perang Badr dan Hunain. Mereka sekarang menyimpan sebuah dendam lain setelah dicap sebagai orang-orang (tawanan) yang telah dibebaskan.
Bani Umayyah selalu mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap Ahlul Bait Nabi sehingga amarahnya hilang, dan kesempatan ini datang pada periode kekuasaan Yazid bin Mu’awiyah. Ia adalah keturunan dari orang-orang yang terbunuh dalam Perang Badr dan orang-orang yang dibebaskan selama penaklukkan Makkah. Yazid ingin menebus semua kekalahan dan kehinaan yang diterima keluarganya. Ia menyimpan dendam terhadap orang-orang dari Ahlul Bait Nabi.
Yazid bin Mu’awiyah mengeluarkan perintah pembunuhan dua pemuda penghulu surga dan penawanan keluarganya. Pasca Imam Husein as gugur syahid di Karbala, Irak, anggota keluarganya digiring ke Syam, pusat kekuasaan Yazid. Tangan dan kaki mereka dirantai dan terkadang dicambuk, mereka juga diistirahatkan di gubuk rusak. Kali ini Yazid ingin menampilkan Bani Umayyah sebagai pemenang, kemenangan yang diperoleh setelah membunuh cucu Rasulullah Saw.
Ketika rombongan tawanan tiba di Syam, Yazid telah menanti di salah satu istananya di gerbang kota Damaskus. Dari balkon istananya, ia menyaksikan kepala-kepala suci para syuhada Karbala dan melantunkan syair berikut:
“Tatkala barang-barang bawaan dan kepala-kepala yang tertancap di atas tombak mulai terlihat dan matahari-matahari ini muncul dari balik bukit Jiroun, tiba-tiba burung gagak mulai bernyanyi. Aku berkata kepada gagak itu, engkau menyanyi atau tidak, aku sudah membalaskan dendamku pada orang yang seharusnya menerima balasan.”
Salam atasmu wahai Zainab al-Kubra, Ummul Mashaib.
Rasa gembira dan suka cita Yazid tidak berlangsung lama. Ia kehilangan kemampuan untuk mengendalikan para tawanan demi keuntungannya. Di semua tempat di dunia, para tawanan biasanya membisu dan jika pun ingin berkata sesuatu, mereka tidak diizinkan untuk berbicara. Akan tetapi di kota Syam, pusat kekuasaan Bani Umayyah, para tawanan mampu menaklukkan musuhnya.
Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad dan rombongan adalah para tawanan yang telah membungkam Yazid dan pengikutnya. Rombongan ini kelelahan karena perjalanan jauh, hati mereka berduka, mereka kelaparan dan menanggung derita, tetapi mereka tetap tampil hebat dan kuat meski tangan dan kakinya terbelenggu. Lisan tajam Sayidah Zainab as dan kefasihan Imam Sajjad as telah menghancurkan skenario Yazid, dan cahaya kebenaran mulai bersinar.
Pesta kemenangan yang disiapkan Yazid seketika kacau dengan teriakan Sayidah Zainab. Ia memanggil Yazid yang sedang mabuk di atas takhtanya dengan sebutan, Yabna at-Tulaqa (anak orang yang telah dibebaskan). Zainab berkata, “Yabna at-Tulaqa! Apakah ini adil yaitu memberikan tabir penutup kepada perempuan dan budakmu, sementara putri-putri Rasulullah engkau giring dari satu kota ke kota lain sebagai tawanan…?”
Yazid yang berniat menggelar sebuah pesta pora, benar-benar terkejut dengan ucapan itu dan tidak menemukan kata-kata untuk membalasnya selain diam. Semua penghuni istana memahami maksud ucapan Zainab yaitu wahai Yazid, Rasulullah Saw membebaskan para leluhurmu yang kafir, tetapi engkau telah merampas kebebasan dari putri-putri Nabi. Ini adalah hal yang memalukan bagi dirimu dan keluargamu.
Setelah Sayidah Zainab selesai berpidato, sekarang tiba giliran Imam Sajja as untuk membongkar kebusukan Bani Umayyah. Pidato Imam Sajjad di depan masyarakat dan tokoh-tokoh Syam telah menciptakan sebuah perubahan besar dan merusak perhitungan Yazid.
Setelah naik ke mimbar, Imam Sajjad memulai pidatonya dengan memuji Allah Swt. Ia kemudian memperkenalkan dirinya kepada hadirin, sebab propaganda Yazid dan Mu'awiyah yang menyesatkan telah membuat masyarakat Syam benar-benar melupakan wasiat Rasulullah Saw tentang Ahlul Baitnya.
Ia kemudian memperkenalkan dirinya dengan berkata, “Siapa pun yang mengenalku, maka itulah aku, dan siapa pun yang tidak, maka ketahuilah bahwa aku adalah putra Makkah dan Mina, aku adalah putra Zamzam dan Safa. Aku adalah putra dari dia yang diangkat ke surga, aku adalah putra Utusan Allah, dan aku adalah putra Ali.” Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata, "Aku adalah putra Fatimah az-Zahra, penghulu semua wanita di dunia."
Imam Sajjad berkata, “Wahai manusia! Allah telah memberi kami enam hal dan keutamaan kami atas orang lain dibangun atas tujuh pilar. Enam hal yang Dia berikan kepada kami adalah: pengetahuan, kesabaran, kedermawanan, kefasihan, keberanian, dan cinta yang tulus dari orang-orang mukmin. Allah menghendaki agar orang-orang setia mencintai kami dan ini tidak mungkin untuk dicegah dengan cara apapun.”
Ilustrasi penggiringan anggota keluarga Imam Husein as ke Syam.
Pidato Imam Sajjad as membuat hadirin menangis dan berteriak histeris. Yazid semakin khawatir dan gemetar sehingga memerintahkan mu’azzin untuk mengumandangkan adzan. Ia berniat menghentikan pidato Imam Sajjad dan Imam pun memilih diam mendengar suara adzan.
Namun ketika mu’azzin melantunkan kalimat, “Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.” Imam Sajjad mengangkat sorban dari kepalanya dan berkata, “Wahai mu’azzin, demi kebenaran Muhammad, diamlah sejenak.” Ia menghadapkan wajahnya ke arah Yazid dan bertanya, “Apakah Nabi yang mulia ini kakekmu atau kakek kami? Jika engkau berkata ia adalah kakekmu, semua tahu engkau telah berdusta, dan jika engkau berkata ia adalah kakek kami, lalu mengapa engkau membunuh putranya, Husein? Mengapa engkau membunuh putranya? Mengapa engkau menawan perempuan dan anak-anaknya? Mengapa engkau merampas hartanya?”
Kalimat ini telah memicu kegaduhan di masjid dan para hadirin mulai meneteskan air mata dan memukul-mukul diri sebagai penyesalan.
Imam Sajjad as membongkar semua kelicikan Yazid di hadapan hadirin dan ia pun tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi aksi berani itu. Yazid kemudian mengeluarkan kata-kata hujatan kepada Ibnu Ziyad, walikota Kufah dan bahkan mencela pasukan yang membawa tawanan ke Syam.
Yazid ingin menyalahkan Ibnu Ziyad atas pembunuhan Imam Husein as. Namun, Imam Sajjad membongkar konspirasi ini dan berkata kepadanya, “Wahai Yazid, tidak ada orang yang membunuh Imam Husein as selain engkau.”
Yazid – demi memulihkan wibawanya dan keluarganya – memerintahkan agar Ahlul Bait dipulangkan ke Madinah dengan rasa hormat. Ia meminta unta-unta rombongan dihias dengan kain warna-warni sehingga tidak terlihat jejak duka Ahlul Bait.
Imam Sajjad as kembali membongkar konspirasi Yazid dan berkata lantang, “Kami sedang berduka! Tutupilah karavan ini dengan kain hitam.”
Pidato Sayidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as telah membongkar semua kelicikan dan kebusukan Yazid dan Bani Umayyah. Dengan begitu, sejarah Karbala dan kebangkitan Asyura selalu dikenang sampai hari ini.
Mutiara dari Marv, Mengenang Syahadah Imam Ridha as
Pada hari terakhir bulan Shafar dan pada peringatan syahadah Imam Syi'ah yang Kedelapan, Imam Ali bin Musa al-Ridha as, komplek makam suci Razavi dipenuhi oleh para peziarah yang tertinggal dalam pawai Arbain dan mereka yang tinggal di dekatnya demi meringankan kepedihan dan kerinduan mereka kepada junjungannya Ali bin Musa ar-Ridha as.
Lautan manusia yang berziarah dengan penuh antusias ini telah datang pada hari peringatan syahadah Imam mereka, bercucuran air mata dan berusaha menghilangkan karat dari hatinya lalu menyegarkan jiwa mereka di Mashad ar-Ridha dan tempat suci ini. Hati begitu sedih, tetapi kegembiraan berada di halaman Imam Ridha as tak terlukiskan. Memang benar bahwa ziarah Imam Ridha as adalah haji orang-orang miskin, tetapi selain itu, Imam Ridha as juga merupakan tujuan mereka yang tertinggal dari ziarah Karbala.
Mereka yang tidak berhasil menghadiri konvoi Karbala karena alasan tertentu berharap doa teman-teman mereka dan mengirim mereka untuk menjadi wakil mereka dalam berziarah, tetapi kerinduan ini harus diringankan dan seruan serak ini harus dipecahkan di suatu tempat ... ketika langkah-langkah ini Itu tidak mencapai Baina al-Haramain dan tidak berjalan di jalan cinta, satu-satunya cahaya harapan adalah hati Ali ibn Musa al-Ridha as dan satu-satunya perlindungan adalah Imam Ridha as.
Banyak peziarah menggantungkan hati mereka di jendela baja yang mengarah ke tempat suci Imam Ridha as. Dari sana mereka dapat berseru agar keinginan untuk berduka dan berkabung dalam penderitaan Zainab al-Kubra dan penyesalan atas ketidaksempatan mereka menuju Karbala ... Bagaimana Anda melihat Allah ... ! Mungkin bagi Karbala tahun depan mereka akan mendapat tanda tangan imam yang baik hati!
Imam Ridha as adalah Imam Kedelapan Syiah dan menjadi Imam ketika berusia 35 tahun. Karena ayah beliau, Imam Kazhim as berada dipenjara Basrah dan Baghdad serta terputusnya hubungan dengan pengikut Syiah, Imam Ridha as menjadi lingkaran penghubungan pertama Imam Kazhim as dengan masyarakat. Periode Imamah dari Imam Ridha as bertepatan dengan tiga penguasa Bani Abbasiah; Harun al-Rasyid, Amin dan Makmun. Lima tahun terakhir dari masa Imamahnya seiring dengan kekuasaan Makmun, satu dari khalifah Abbasiah paling jahat dan licik. Sejak awal Makmun mengusulkan untuk memberikah kekhalifahan kepada Imam Ridha as, tapi ketika Imam menolak usulan tersebut, ia memaksa bahwa bila tidak menerima kekhalifahan, ia harus menerima sebagai putra mahkota.
Makmun memiliki berbagai motif ketika menawarkan Imam Ridha as sebagai putra mahkota, ia sebenarnya telah kehilangan sebagian besar popularitasnya di kalangan rakyat, terutama di Ahli Sunnah, karena pembunuhan saudaranya, Amin. Karena Ahli Sunnah setia dan pendukung Amin, maka dengan memanfaatkan kehadiran Imam Ridha as di kekuasaannya dan memanfaatkan posisi beliau, Makmun berusaha mendapatkan legitimasinya. Bani Abbas juga kesal dengan dia karena membunuh Amin, jadi Makmun meminta Imam untuk mengancam dan memaksa mereka untuk patuh.
Reaksi pertama Imam Ridha as menolak datang ke Marv, pusat pemerintahan Makmun, sehingga para petugas Makmun memaksa Imam ke Marv. Namun perlu dicatat bahwa penerimaan posisi putra mahkota adalah prestasi yang dibuat Imam Ridha as untuk komunitas Islam pada waktu itu. Imam Ridha as menggunakan pengangkatannya sebagai putra mahkota untuk memperkenalkan hak Ahlul Bait as dan menghidupkan agama Rasulullah Saw.
Di Iran dan bagian timur dunia Islam, sejumlah orang datang dan memeluk Syiah secara langsung atau melalui wakil-wakil Imam sebelumnya dan banyak orang tidak mengetahui Ali ibn Musa al-Ridha as. Oleh karena itu, dengan posisi putra mahkota Imam Ridha as, para pecinta Ahli Bait as menjadi kuat secara spiritual dan tekanan pada mereka berkurang, dan Ahlul Bait Nabi as berkat Imam Ridha as dihormati dengan kebaikan dan keagungan. Mereka yang tidak menyadari kebajikan Ahlul Bait akhirnya berkenalan dengan orang-orang besar ini.
Terlepas dari kehadiran Imam Ridha as dalam debat dan diskusi yang diselenggarakan Makmun dengan tujuan mempertanyakan citra ilmiah beliau dan di tempat-tempat tersebut ia mengundang para ulama dari agama lain, ternyata upaya itu justru meningkatkan status keilmuan Imam Ridha as. Para ulama dari berbagai agama datang untuk memahami pengetahuan tak terbatas dari Imam as dan mengakui penguasaan beliau atas sumber-sumber agama.
Pertarungan tersembunyi dan terarah Imam Ridha as dengan akar-akar tirani begitu efektif sehingga setelah bertahun-tahun propaganda negatif pemerintah terhadap keluarga Nabi, status karunia dan spiritual para imam yang tertindas menjadi lebih menonjol dan ruang publik komunitas akhirnya membuka lisan pujian terhadap Ahlul Bait as, khususnya Imam Ridha as. Dengan demikian, Makmun yang kembali gagal mencapai tujuannya dan tidak mampu meraih manfaat dari posisi putra mahkota Imam Ridha as untuk mendekatkan beliau secara lahiriah kepadanya, berusaha untuk mempertahankan kekhalifahannya dan berniat untuk menggugursyahidkan cucu suci Rasulullah Saw.
Imam Ridha as seperti para leluruh sucinya, gugur syahid di jalan memerangi kezaliman dan penindasan, tetapi tidak pernah tunduk pada kehinaan bekerja sama dan mendukung pemerintah otoriter dan penindas. Rakyat Iran bangga menjadi tuan rumah bagi kepribadian yang begitu hebat dan menikmati sumber rahmat dan belas kasihannya setiap hari.
Imam Ridha as memiliki banyak keutamaan ilmu dan etika. Memiliki lautan pengetahuan ilahi yang tak terbatas dan dihiasi dengan etika Muhammad yang baik, ia selalu bersikeras untuk menghormati hak-hak semua segmen masyarakat. Sulaiman bin Ja'far Abu Hasyim Ja'fari, salah satu perawi terkenal dan tepercaya Syiah dan merupakan salah satu dari sahabat dari empat Imam Syiah termasuk Imam Ridha, Imam Jawad, Imam Hadi dan Imam Hasan Askari, menukil, suatu hari saya mendatangi Imam untuk sebagian pekerjaan. Ketika pekerjaanku selesai, saya meminta diri untuk kembali, tetapi Imam berkata, “Tinggallah bersama kami malam ini!”
Waktu itu matahari akan terbenam dan para pelayan Imam tengah sibuk kerja membangun sesuatu. Imam melihat seorang asing di antara mereka dan bertanya, "Siapa dia?" Mereka berkata: "Dia seorang pekerja, dia membantu kita dan kita akan memberinya sesuatu." Imam Ridha as bertanya, “Sudahkah Anda menetapkan upahnya?” Mereka berkata, "Tidak! Apa pun yang kita berikan, dia menerimanya." Imam menjadi kesal dan berkata, "Saya telah berulang kali mengatakan kepada mereka untuk tidak membawa siapa pun bekerja kecuali Anda menetapkan upahnya sebelum bekerja. Seseorang yang melakukan sesuatu tanpa kontrak dan penentuan gaji, jika Anda membayar tiga kali lebih banyak dari gajinya, ia masih berpikir Anda kurang dalam membayarnya, tetapi jika Anda kontrak dengannya dan membayar sejumlah uang kepadanya sesuai kontrak, ia akan senang bahwa Anda telah melakukan sesuai kontrak, dan jika Anda memberinya lebih dari jumlah yang ditetapkan, Anda tahu, meskipun kecil, ia akan lebih bersyukur."
Berusaha mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga adalah salah satu keutamaan dan kebajikan terpenting yang disebutkan untuk manusia yang beriman. Menurut ajaran Islam, mencari nafkah sama dengan "jihad di jalan Allah" dan orang yang kehilangan nyawanya dengan cara ini dianggap sebagai "syahid" di hadapan Tuhan. Jadi, keringat seorang pekerja sama dengan darah seorang syahid yang tercurah di jalan Allah dan di jalan kebenaran. Imam Ridha as menggambarkan pahala dari para pekerja yang berusaha keras, "Sesungguhnya, orang yang berupaya menambah mata pencahariannya untuk menghidupi keluarganya bersamanya lebih dihargai daripada para mujahidin di jalan Allah."
Ini adalah rekomendasi ilahi dari Imam Kedelapan as yang dapat digunakan dalam semua situasi praktis dan merupakan kebutuhan kita saat ini. Mempertimbangkan hak asasi manusia dari semua bagian masyarakat adalah faktor terpenting dalam membangun interaksi sosial dan keagamaan yang benar dan konstruktif dalam masyarakat Islam. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja harus mempertimbangkan hak asasi manusianya terlebih dahulu dan terutama, elemen kunci yang memberikan hak penuh kepada pekerja.
Islam adalah agama yang menjaga martabat manusia, itulah sebabnya Imam Ridha as mengatakan tentang mengetengahkan agama seperti itu, "Jika orang mendengar keindahan dan kebaikan pidato kita, mereka akan tertarik ke pemikiran kami." Karena itu sangat penting bagi kita semua untuk menjaga martabat pekerja dan untuk mengingat bahwa penghormatan terhadap para pekerja pada kenyataannya adalah suatu kehormatan bagi hamba-hamba Tuhan yang berusaha untuk mencari nafkah dan mencari rezeki yang halal."
Kembali kami mengucapkan bela sungkawa mendalam atas kesyahidan Imam Ridha as dan di akhir makalah khusus ini, kami menarik perhatian Anda pada hadis Imam Ridha as dalam buku mulia "Uyun Akhbar ar-Ridha" yang ditulis oleh almarhum Syeikh Saduq. Imam Ridha as mengatakan, "Siapa pun yang menziarahi saya, sekalipun jaraknya jauh dan menziarahi saya dari kejauhan, saya akan datang membantunya dalam tiga posisi pada Hari Kiamat untuk menyelamatkannya dari ketidaknyamanan pada waktu itu; Yang pertama adalah ketika surat-surat amal didistribusikan dari kanan dan dari kiri. Kedua, pada saat melintasi Shirath al-Mustaqim dan ketiga, pada amal perbuatannya diukur. "
Hamas Respon Serangan Israel terhadap Pos-pos Muqawama
Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) saat merespon serangan rezim Zionis Israel terhadap pos-pos muqawama di Jalur Gaza menyatakan, muqawama akan membalas serangan ini.
Seperti dilaporkan IRNA, Jubir Hamas Fauzi Barhum Sabtu (02/11) seraya menjelaskan bahwa serangan Israel terhadap warga tak berdosa indikasi rencana sistematis rezim ini merusan dan menghancurkan Gaza, menambahkan, muqawama akan memberi balasan tegas atas serangan Israel ini.
Jet tempur Israel Sabtu dini hari dilaporkan membombardir berbagai wilayah Jalur Gaza dan mengakibatkan satu orang tewas dan tiga lainnya terluka.
Sejumlah pos pengintai kubu muqawama di barat laut Gaza juga menjadi sasaran serangan jet tempur Israel.
Muslim di Jerman Semakin tak Aman
Salah satu tokoh Muslim Jerman mengkonfirmasi eskalasi ketidakaamanan umat Muslim di negara ini.
Burhan Kesici, ketua Dewan Islam Jerman Jumat (01/11) dalam wawancaranya dengan Kantor Berita Anadolu mengatakan, di tahun 2019 terjadi lebih dari 80 serangan ke masjid di Jerman, kondisi keamanan sangat parah dan muslim tidak memiliki rasa aman yang cukup.
"Petinggi keamanan membutuhkan kerja sama dekat dengan masyarakat Islam untuk meningkatkan pemahaman, musyawarah dan meraih informasi tentang mereka," papar Kesici.
Kepala Dewan Islam Jerman ini merilis statemennya sehari setelah polisi Jerman terpaksa mengosongkan sebuah masjid di kota Cologne setelah ada ancaman bom.
Setelah melakukan penyisiran dan pemeriksaan teliti, polisi tidak menemukan adanya bom di masjid tersebtu dan menyatakan ini sebuah ancaman palsu.
Jerman selama beberapa tahun terakhir dilanda eskalasi Islamophobia. Di tahun 2018, lebih dari 100 masjid dan Islamic Center Jerman menjadi target serangan sayap kanan ekstrim negara ini.
Polisi Jerman tahun lalu mencatat lebih dari 813 kasus kejahatan terhadap Muslim termasuk pelecehan verbal, surat ancaman, dan serangan fisik yang sedikitnya mencidrai 54 etnis Muslim.
Jerman dengan populasi lebih dari 81 juta, temasuk negara Eropa barat yang memiliki populasi terbanyak.
Hizbullah: Berani Langgar Lebanon, Drone Israel akan Langsung Ditembak
Hizbullah Lebanon memperingatkan Israel bahwa drone rezim ini akan langsung ditembak jatuh jika berani melanggar zona udara Lebanon.
FNA Sabtu (02/11) melaporkan, central-media.org (Al-'Alam al-Harbi) Lebanon yang dekat dengan Hizbullah seraya merilis video pendek dengan subtitle Bahasa Ibrani yang memperingatkan rezim Zionis Israel, bahwa setiap pesawat nirawak Israel yang memasuki zona udara Lebanon akan ditembak jatuh.
Media Israel menganggap video ini sebagai pesan tegas untuk Israel bahwa drone mereka akan menjadi target serangan sebagaimana yang dijanjikan Hizbullah.
Sampai saat ini sejumlah drone mata-mata Israel ditembak jatuh oleh Hizbullah di Lebanon selatan.
Israel berulang kali melanggar resolusi 1701 Dewan Keamanan dengan menerobos zona udara Lebanon.
Resolusi 1701 Dewan Keamanan PBB yang dirilis pasca berakhirnya perang 33 hari Israel dengan Lebanon tahun 2006, memperingatkan Israel atas langkah permusuhan terhadap Beirut, namun rezim ini tanpa mengindahkan resolusi ini, senantiasa melanggar zona udara, darat dan laut Lebanon.
Jaksa Agung Israel Halangi Kelanjutan Posisi PM Netanyahu
Jaksa Agung Israel mengkonfirmasi akan mencegah kelanjutan posisi perdana menteri Benjamin Netanyahu jika ia terbukti bersalah di berkas skandal korupsi.
Kanal 13 televisi Israel Sabtu (02/11) melaporkan, Jaksa Agung Israel Avichai Mandelblit pekan ini akan berunding dengan hakim, pengacara, pakar hukum dan pemerintah terkait berkan 4000, berkas paling berat mengenai tudingan terhadap Netanyahu. Ia berusaha meraih kesimpulan untuk mengambil keputusan terkait berkas ini di akhir bulan November.
Jaksa Agung Israel bulan Februari lalu mengumumkan berencana mengadili Netanyahu 2 Oktober terkait tiga bekas skandal korupsi.
Polisi Israel tengah menyelidiki empat berkas skandal korupsi perdana menteri Benjamin Netanyahu.
Ketika Netanyahu bersaing dengan rival politiknya untuk membentuk kabinet dan mengambil kekuasaan, berkas hukum Netanyahu akan sangat berpengaruh pada kesuksesan dalam membentuk kabinat serta menempati posisi perdana menteri. Artinya berkas ini juga menentukan masa depan politik Israel.