Bagaimana konsep dosa itu?

Rate this item
(0 votes)
Bagaimana konsep dosa itu?

Hakikat Dosa dan Dampaknya Bagi Manusia

Pertanyaan: Bagaimana konsep dosa itu? Apakah dosa itu hanya merupakan sebuah aktifitas dalam memberikan kerugian kepada orang lain maupun merampas hak-hak orang lain? Apa jalan keluar dari dosa dan maksiat?

Jawaban global:

Ada empat poin yang perlu diutarakan guna menjawab pertanyaan di atas:

1.       Hakekat dosa: dosa di dalam bahasa arab disebut sebagai itsm atau ‘ishyan yang artinya adalah ketidakpatuhan terhadap segala perintah Tuhan, kesalahan dan ketergelinciran. Seseorang melakukan dosa lantaran takluk oleh godaan hawa nafsu dan mengesampingkan akal sehat. Dengan melakukan dosa sebenarnya seseorang telah menghianati diri sendiri dan membahayakannya. Dosa adalah perangkap setan yang dalamnya adalah api dan luarnya adalah kenikmatan yang sangat singkat. Orang yang lalai akan dengan mudah tertipu dengannya dan akan menyesal hingga datang azab dari Allah swt.

2.       Pengaruh dosa: Dosa memiliki pengaruh yang buruk bagi diri dan sosial. Efek bagi diri misalnya: kering dan kerasnya hati, terjauhnya dari makrifat dan rahasia-rahasia ilahi, hati menjadi tempat bernaungnya setan, dosa menjadi hijab untuk mengenal diri dan Tuhan, hilangnya kenikmatan di kala munajat, tidak diterimanya amal ibadah, menjadikan manusia ingkar kepada hari kiamat dan hari pembalasan.

Adapun efek sosialnya misalnya: kemunduran masyarakat, meskipun secara lahir masyarakat telah maju, akan mengalami kerusakan mental, nilai-nilai kemanusiaan dan moral akan menurun bahkan menghilang dari muka bumi.

3.       Pemicu Dosa: para ulama berpendapat bahwa kebodohan dan kelalaian adalah doa sebab utama pendorong terjadinya kemaksiatan. Kelalaian adalah senjata dan sarana utama setan untuk menyusup kedalam diri manusia. Adapun kebodohan, ia adalah sumber kemungkaran; kebodohan dalam nilai-nilai kemanusiaan; kebodohan dalam efek kesucian dan harga diri, kebodohan dalam pengaruh dosa dsb.

4.       Jalan keluar: ada beberapa jalan keluar dari dosa:

a.       Taubat dan Istighfar: taubat adalah niat untuk kembali kepada Allah swt dan tekad untuk tidak mengulang dosa.

b.      Mengingat-ingat dosa.

c.       Mengingat Allah.

d.      Tekad manusia.

Jawaban rinci:

Dosa di dalam tata bahasa Arab disebut sebagai itsm, atau ‘ishan (dengan shad). Yang berarti ketidakpatuhan, kesalahan, ketergelinciran dan penentangan terhadap perintah dan larangan Tuhan. Dengan kata lain: segala perbuatan yang menurut Tuhan tidak baik dan salah. Karena hal-hal tertentu memiliki kerugian dan bahaya bagi diri manusia maka hal tersebut dilarang, dan sebaliknya dalam hal-hal tertentu Allah mewajibkan manusia untuk menjalankan suatu hal karena hal tersebut memang mesti dilakukan demi maslahat manusia. Walhasil, dosa merupakan bentuk penentangan dengan nilai-nilai kehambaan manusia terhadap Tuhannya.

Manusia memiliki tiga potensi dalam jiwanya, yaitu potensi Ghadhabiah, Syahwat dan akal. Seseorang akan menjadi manusia sempurna apabila potensi ghadabiah dan syahwatnya dapat tunduk dibawah kepemimpinan akal. Seseorang melakukan dosa dikarenakan potensi ghadabiah dan syahwatnya tak mau tunduk kepada potensi akalnya, malah kedua syahwat tersebut sepenuhnya menguasai dirinya. maka segala perbuatan yang dilakukannya merupakan hasil dari dorongan syahwatnya maupun dorongan ghadhabnya. Apabila seseorang tak memenangkan akal praktisnya atas potensi ghadhab dan syahwatnya, atau tau memenangkan akal teoritisnya atas khayalan dan dugaan semunya maka sesungguhnya ia menzalimi dan menghianati dirinya. apabila seseorang telah berkhianat kepada dirinya sendiri ia akan berkhianat kepada selain dirinya dan tak akan mempedulikan hak-hak dirinya dan orang lain.[1]

Dosa adalah perangkap setan: dalam riwayat Ahlul Bait disebutkan bahwa kenikmatan duniawi diibaratkan sebagai perangkap dan jebakan. Adapun dosa diibaratkan sebagai tali untuk mengikat mangsa. Artinya dosa adalah sebuah wasilah bagi setan untuk mengikat mangsanya, yaitu manusia. dan perlu diperhatikan bahwa tali yang digunakan setan untuk mengikat manusia itu beraneka ragam. Setan memilih tali khusus untuk setiap manusia sesuai dengan kelemahan-kelemahan masing-masing. Sebagian dipancing dengan harta, sebagian dengan kedudukan dan pengaruh, sebagian dengan godaan seksual dan lain sebagainya.

Api neraka terhimpun dari kelezatan semu dan syahwat. yakni perangkap yang dalamnya adalah api dan luarnya adalah syahwat dan kelezatan duniawi. Manusia apabila tertipu dengan penampakan luarnya akan terjerumus ke dalam jilatan api yang pedih.[2]

Pengaruh dosa dan maksiat: pengaruh buruk dosa dan maksiat dibagi menjadi dua: individu dan sosial.

1.       Pengaruhnya terhadap individu:

1.       Dosa hakikatnya adalah nanah dan kotoran yang hanya menggelapkan ruh dan hati. Karena dosa, seseorang tak dapat memiliki tidur yang baik sehingga mendapatkan ilham dan makrifat di dalam mimpinya, tidak pula akan memiliki keterjagaan (dari tidur) yang baik sehingga ia tidak akan dapat menyingkap suatu ilmu dan pengetahuan tertentu maupun menyalurkan ilmunya kepada orang lain. Maka dari itu, apabila hati dan ruh telah menghitam banyak sekali rahasia-rahasia dan hakekat menjauh darinya yang semestinya tanpa dosa tersebut dapat ia dapatkan. Dan sebaliknya Ruh yang bercayaha karena bersih dari maksiat akan menjadi sumber dan tempat bersemayamnya ilham ilahi. Maka dari itu para salik sedikit sekali berbicara dan sangat berhati-hati terhadap makanannya. Yang mana dengan pembersihan hati, mereka akan dapat mendengarkan suara hikmah dari Tuhannya. Karena bila seseorang ingin mendengarkan sebuah suara, ia hendaknya mengkondisikan dirinya untuk diam lalu mendengarkannya.[3]

2.       Ketika seseorang berada di bawah kekuasaan setan dan telah terhasut oleh bisikan setan dan juga melakukan perbuatan yang berasaskan kedua hal tersebut, maka secara bertahap hatinya menjadi singgasana setan. Mengenai hal ini al-Quran telah mengisyaratkan dalam surat Syuara 221-222, yang mana disebutkan bahwa hati seorang pendusta merupakan tempat turun dan bersemayamnya setan. Namun seseorang yang amanah dan jujur kepada ilmu maupun yang amanah dan menepati janji dalam permasalahan harta dan perbuatan bukanlah tempat bernaungnya setan.[4]

3.       Dosa merupakan hijab makrifatun nafs. Karena dosa, seseorang melalaikan dan melupakan Tuhannya. Kelalaian ini menjadi hijab bagi seseorang untuk dapat mengetahui dirinya (makrifatun nafs) dan tak membiarkan orang lain pun mengetahui dirinya.[5]

Apabila seseorang mengahancurkan dirinya sendiri, maka sampai kapanpun ia tak akan dapat menyingkap hakikatnya. Ia mengikat dirinya sendiri dari menyingkap hakekat dan sampai kapanpun ia takkan mampu melepasnya bahkan api neraka jahannam pun tak mampu membakar ikatan tersebut; karena meskipun api dapat melelehkan besi sekalipun, namun ikatan tersebut adalah api itu sendiri, maka api jahannam itu sampai kapanpun tak akan mampu melelehkan api ikatan itu.[6]

4.       Dosa dapat menjegah seseorang dari nikmatnya bermunajat meskipun ia selalu merasa menyesal karena ia tak dapat mereguk kenikmatan itu. Namun, dikarenakan dosa-dosa dan kerasnya hati ia menghancurkan segala sarana yang akan mengantarkannya ke sana. Syaikh Shaduq dalam kitabnya “Al-Tauhdi” dari Imam Ridho as menukilkan bahwa suatu saat seseorang bertanya kepada Imam as: Mengapa Tuhan terhijab (terhalang) dari pandangan? Beliau menjawab: “Dia tidak terhijab, namun engkau lah yang tak melihat-Nya dikarenakan banyaknya dosa-dosa yang bagaikan sebuah tirai yang menghalangi pengelihatan (batin dan fitrah) mu dan (dosa-dosa itu) tak membiarkan manusia menyaksikan Tuhannya dengan mata fitrahnya.”[7]

Banyak sekali disebutkan di dalam riwayat yang menyatakan bahwa dosa menjadi hijab bagi manusia. misalnya:

A.      Rasulullah saw bersabda: “Ketika seseorang melakukan dosa timbullah setitik noda hitam di dalam hatinya. Apabila ia menghindari dosa ataupun setelah itu ia menyesali dan bertaubat maka hatinya akan menjadi bersih, namun apabila ia mengulangi lagi dosa tersebut titik hitam itu akan membesar dan akhirnya akan menguasai seluruh hatinya.”[8]

B.      Rasulullah saw bersabda: “Banyak dosa mengakibatkan hati seseorang menjadi rusak dan hancur.”

C.      Imam Ja’far as-Shadiq as bersabda: “Aku berwasiat kepada kalian untuk kalian bertakawa dan berwaspada terhadap segala dosa, juga untuk bersungguh-sungguh dan mementingkan ibadah. Ketahuilah bahwa ibadah bila tak dibarengi dengan meninggalkan hal-hal yang haram tak memiliki faedah sama sekali.”

D.      Rasulullah saw bersabda kepada Abuzar al-Ghifari: “Inti agama adalah meninggalkan dosa. Rahasia agama adalah ketaatan kepada Allah dan ketahuilah bahwa apabila badanmu bungkuk bagaikan busur panah karena banyaknya salat, maupun badanmu bagaikan senar yang tipis sekalipun karena banyaknya puasa, tak akan berguna sedikitpun bagimu kecuali hal itu dibarengi dengan wara’ dan meninggalkan kemaksiatan. Hai Abuzar! Mereka yang meninggalkan kenikmatan haram di dunia dan memilih untuk hidup zuhud adalah para auliya dan kekasih Allah swt.” [9]

 

5.       Ingkar kepada hari kiamat: sering kali seseorang mengimani hari kiamat. Namun keimanan dan pengetahuannya terhadap hari kiamat tersebut tak memberikan efek dalam perbuatannya.[10] Dalam surah al-Muthaffifin ayat 11-14 diisyarahkan tentang segolongan orang yang secara global mengingkari hari kiamat, lalu Allah dalam sebuah ayat berfirman: “Bukti-bukti kebenaran hari kiamat sangatlah jelas, hanya orang-orang yang durhaka dan pendosa yang mengingkarinya. Sampai kapanpun mereka tak akan tunduk kepada tanda-tanda Allah, maka dari itu setiap ayat-ayat Tuhan dibacakan kepada mereka mereka akan menjawab: itu semua hanyalah dongeng dan cerita-cerita orang-orang terdahulu.” Dapat dipahami dari ayat di atas bahwasanya dosa dapat menghilangkan kesucian hati, sedemikian rupa sehingga hakikat-hakikat ilahi tak akan dapat termanifestasikan di dalam hati. Padahal, tanda-tanda ilahi khususnya dalam konsep tauhid dan hari pembalasan sangatlah jelas.[11]

Pengaruh dosa dalam sosial: dosa dapat mempengaruhi kemunduran sosial masyarakat dan meningkatnya keriminalitas dan kefasikan. Maka pergerakan dan kemajuan para aktifis dan pembangun masyarakat akan tersendat. Bahkan masyarakat barat, para kriminal merupakan tingkat massyarakat terendah dari masyarakat.

Pendorong dosa adalah lalai dan kebodohan: senjata terampuh setan dan jalan terbaiknya untuk mempengaruhi manusia adalah dengan memanfaatkan kelalaian manusia. Apabila setan mampu menjadikan manusia lalai, maka ia akan dengan mudah menerima serangan berikutnya, yaitu kebodohan. Kebodohan sumber dan pendorong kriminalitas dan kemaksiatan. Ayat yang berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf as menunjukkan bahwa cinta yang dilumuri dosa dan penyelewengan seksual bersumberkan kebodohan. Kebodohan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kebodohan terhadap efek dan urgensi kesucian, kebodohan terhadap pengaruh-pengaruh buruk dosa dan juga kebodohan terhadap perintah-perindah dan larangan Tuhan.[12]

Jalan Keluar dari Dosa: ada beberapa jalan untuk menyelamatkan diri dari dosa, doantaranya:

1. Taubat[13] dan Istighfar[14]: taubat secara bahasa berarti kembali. Ketika seorang “hamba” kembali kepada tuannya dikatakan ia telah bertaubat (dalam tata bahasa arab). Allah swt memerintahkan kepada setiap mukmin untuk selalu bertaubat.

2. Memperhatikan dan merenungi bahaya dosa.[15]

3. Memperkuat tekat.[16]

4. Mengingat Allah.[17]

 

 



[1] Jawadi Amuli, Abdullah, Marahele akhlaq dar Qoran, hal 332-334.
[2] Nahj al-Balaghah, Khotbah ke 176; Jawadi Amuli, Abdullah, mabadi e akhlaq dar Qoran, hal 318; Mulla Mahdi Naraqi, Jamiu as-Saadat, hal 194; Jawadi Amuli, Abdullah, Tasnim, hal 400.
[3] Jawadi Amuli, Abdullah, Marahele akhlaq dar Qoran, hal 155-159.
[4] Jawadi Amuli, Abdullah, Mabadi e akhlaq dar Qoran, hal 112.
[5] Mojadalah, 19.
[6] Jawadi Amuli, Abdullah, Mabadi e akhlaq dar Qoran, ha 235-236.
[7] Tauhid e Shaduq, hal 252; Jawadi Amuli, Abdullah, Fitrat dar Qoran, hal, 103.
[8] Tafsir al-Qurthubi, jilid 10, hal 705; Ruh al-Ma’ani, jilid 30, hal 73.
[9] Kulaini, Ushul al-Kafi, jilid 2, bab dzunub, riwayat 1 dan 13; Makarim Shirazi, Payam e Qoran, jilid 1, hal 360-367; Dur al-Mantsur, jilid 6, hal 326; Allamah Majlisi, Hilyatu al-Muttaqin, hal 98.
[10] Jassiyeh, 23; Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Nasnim, jilid 2, hal 203.
[11] Makarim Shirazi, Payam e Qoran, jilid 1, hal 361; Tafsir Fakhrurrazi, jilid 31, hal 94.
[12] Makarim Shirazi, Nasir, Payam e Qoran, jilid 1, hal 88; Jawadi amuli, Abdullah, Tasnim, jilid 3, hal 397.
[13] Q.S Nur ayat: 31.
[14] Nahj al-Balaghah, hal 128, hikmah ke 409; Mulla Ahmad Naraqi, Mi’raju as-Sa’adah, hal 669; Shahid Mutahari, Falsafe e Akhlaq, hal 164.
[15] Jawadi Amuli, Abdullah, Mabadi e Akhlaq, hal 55-56.
[16] Q.S Al-Ahzab ayat; 41
[17] Jawadi Amuli, Abdullah, Mabadi e Akhlaq, hal 55-56.

Read 5475 times