کمالوندی

کمالوندی

Sabtu, 18 Desember 2021 14:40

Berbagai Manfaat Shalat Berjamaah

 

Kewajiban-kewajiban sosial agama tidak hanya memiliki ganjaran yang banyak, tapi juga mempunyai pengaruh luar biasa dan positif dalam kehidupan individual maupun sosial kaum Muslimin. Salah satunya adalah shalat berjamaah. Berikut ini pengaruh positif shalat berjamaah bagi individu maupun sosial umat Islam:

1.Pengaruh spiritual shalat berjamaah

Paling besar pengaruh spiritual shalat jamaah adalah ganjaran dari Allah Swt.

Dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa suatu malam Imam Ali as sibuk beribadah hingga waktu sahur. Karena telah tiba waktu shubuh, ia mendirikan shalat shubuh sendirian lalu ia istirahat. Rasulullah Saw tidak melihat Imam Ali as dalam shalat shubuh berjamaah. Oleh karena itu beliau pergi ke rumahnya. Sayidah Fathimah sa berbicara soal keterjagaan Imam Ali as semalam yang membuatnya tidak hadir di masjid. Rasulullah Saw bersabda, “Pahala yang hilang dari Ali as karena tidak ikut serta dalam shalat shubuh berjamaah lebih besar daripada pahala ibadah sepanjang malam.”

“Bagiku shalat shubuh berjamaah lebih aku cintai daripada terjaga di malam hari untuk beribadah hingga waktu shubuh,” tambah Rasulullah.

Mengingat keutamaan dan ganjaran shalat berjamaah, terlebih lagi ketika yang berjamaah lebih dari sepuluh orang, maka jika seluruh langit adalah kertas, lautan-lautan adalah tinta dan pohon-pohon sebagai pena serta para malaikat menuliskan pahala satu rakaat shalat berjamaah, mereka tidak akan mampu untuk menulisnya.  Shalat jamaah di akhir waktu lebih baik dari shalat sendiri di awal waktu.

Shalat jamaah dapat menghilangkan segala kebencian dan kekeruhan serta buruk sangka. Ia juga dapat meningkatkan pengetahuan, penghambaan serta kekhusukan pada mereka yang ikut serta dalam shalat berjamaah.

2.Pengaruh sosial shalatberjamaah

Shalat jamaah adalah langkah awal menyatukan barisan, mendekatkan hati serta menguatkan jiwa persaudaraan. Kehadiran dalam pertemuan tanpa sebuah formalitas dan sebaik-baiknya cara untuk saling mengenal.

Shalat jamaah adalah sebaik-baiknya, sebanyak-banyaknya, sebersih-bersihnya dan semurah-murahnya modal bersosial di dunia ini. Pertemuan, perhatian atas masalah dan kebutuhan satu sama lain dan saling kerjasama antar individu umat Islam. Pada masyarakat yang seperti ini, tidak ada jalan bagi kemunafikan, kebencian, pesimisme serta ketidakpuasan dan begitu pula perbedaan status sosial. Dengan kecintaan dan kelembutan, memberikan rasa persaudaraan dan penyetaraan bagi dua tempat ini.

3.Pengaruh politik shalat berjamaah

Shalat jamaah menunjukkan kekuatan kaum Muslimin, menyelaraskan hati serta meluruskan barisan. Shalat jamaah juga dapat menghilangkan perpecahan dan memberikan rasa takut di hati para musuh, membuat kaum munafik putus asa dan sebagai duri bagi mata orang-orang yang menginginkan kejahatan. Shalat jamaah adalah pertunjukkan dalam pentas serta hubungan antara imam dan umat.

4.Pengaruh moral dan pendidikan shalat jamaah

Dalam shalat jamaah orang-orang berada dalam satu barisan. Keistimewaan-keistimewaan yang terdiri atas ras, bahasa, kekayaan dan lain-lain tersisihkan. Akan tumbuh rasa keintiman dan rasa pertemanan dalam hati. Orang-orang beriman dengan bertemu satu sama lain dalam barisan ibadah akan merasakan kepercayaan, kekuatan dan harapan.

Shalat jamaah adalah faktor keteraturan dan kedisiplinan, menyatukan barisan dan mengetahui waktu. Shalat jamaah akan melenyapkan jiwa individualime dan keterasingan. Shalat jamaah adalah peperangan dengan kesombongan dan keegoisan.

Shalat jamaah mengajarkan untuk menyatukan ucapan, arah dan tujuan dengan imam. Oleh karena itu, seorang imam haruslah orang yang paling bertakwa dan paling layak. Ini adalah jenis pendidikan dan pemberi inspirasi ilmu pengetahuan, ketakwaan dan keadilan.

Shalat jamaah dapat menghilangkan segala kebencian dan kekeruhan serta buruk sangka. Ia juga dapat meningkatkan pengetahuan, penghambaan serta kekhusyukan pada mereka yang ikut serta dalam shalat berjamaah.

Mengingat seluruh pengaruh positif terkait shalat berjamaah, umat Islam diwasiatkan agar melakukannya. Imam Muhammad Bagir as berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan shalat berjamaah karena keengganannya dan tanpa sebuah alasan maka tidak ada shalat baginya.”

5.Dampak positif shalat berjamaah dalam aktifitas pekerjaan

Shalat berjamaah dapat menambah keintiman antara karyawan dan atasan. Dan ia menjadikan antara keduanya sehati dan serasi. Persahabatan dan keintiman ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan persiapan dan kemajuan aktifitas pekerjaan.

Ada beberapa keuntungan shalat berjamaah dalam aktifitas pekerjaan:

Partisipasi dan Kerjasama

Partisipasi membentuk inti dan dasar shalat jamaah. Hubungan jiwa secara menyeluruh dalam pekerjaan dan partisipasi secara menyeluruh dalam segala urusan adalah sebagian dari pengaruh shalat berjamaah. Shalat berjamaah memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses menuju perbaikan dan perkembangan program kerja.

Sekecilapapun gerakan yang menunjukkan partisipasi dalam kesedihan dan kebahagiaan orang lain sebagai tanda kemanusiaanterhitung kebaikan dalam islam. Oleh karena itu, partisipasi dalam pekerjaan dan memiliki jiwa kerjasama serta kolaborasi dalam segala hal adalah poin yang harus diperhatikan. Ruh dan jiwa shalat berjamaah akan merasuk ke dalam tubuh para jamaah serta akan mengantarkan mereka menuju kesuksesan dan keberhasilan dalam pekerjaan.

Keikutsertaan dalam kesedihan dan kegembiraan serta kesulitan dan kemudahan orang lain baik untuk semua. Namun akan lebih baik jika yang ikut serta adalah atasan dan bahkan ada kalanya belasungkawa dan bantuan ini wajib bagi atasan sebagaimana yang kita saksikan dalam cara yang dilakukan pemimpin orang-orang bertakwa Imam Ali as.

Islam memandang salah satu bukti masyarakat yang berkembang dan masyarakat yang bersosial adalah masyarakat yang saling bersimpati dan saling membantu. Islam pertama kali menginginkan ini dari para atasan karena sebagaimana ungkapan Imam Ali as yang mengatakan bahwa perbuatan ini memiliki dua pengaruh, salah satunya adalah sumber ketenangan jiwa orang miskin dan bawahan dan pengaruh yang lainnya adalah penyebab tercegahnya pemberontakan orang zalim, orang kaya, atasan dan direktur.

Shalatber jamaah adalah kristalisasi dari upaya kolektif untuk mencapai keberhasilan. Salah satu segi keikutsertaan yang paling penting dan paling berharga adalah selain mendorong pekerja untuk usaha yang maksimal juga inovasi, kreativitas dan rasa ingin membangun akan lebih berkembang.

Dalam kondisi tertentu, para karyawan akan merasa bahwa atasan merupakan teman bertukar pikiran dan sahabat yang dekat dengan mereka. Mereka saling bahu membahu dan kerjasama dalam usaha mereka. Hasil riset dan pengalaman para peneliti membuktikan bahwa partisipasi semacam ini akan menambah efisiensi, meningkatnya kualitas, mengurangi konflik, mengurangi resistensi negatif dan meningkatkan produktivitas masyarakat.

Jika atasan sehati dan serentak dengan bawahannya dan ia membayangkan dirinya dalam situasi pemikiran, pekerjaan dan ekonomi maka hasil pekerjaan secara subtansial akan bertambah.

Musyawarah

Satu lagi dari manfaat shalat berjamaah adalah musyawarah. Musyawarah adalah mendapatkan bantuan dari pikiran dan pengalaman orang lain. musyawarah ini selain dapat menyebabkan meningkatnya kekuatan, dapat juga menyebabkan tumbuh kembangnya talenta serta meningkatnya potensi manusia dan pada akhirnya akan menyebabkan terbukanya jalan baru.

Musyawarah adalah duduk bersama antara para atasan dan para karyawan. Dengan demikian, akan meningkatkan kekuatan, keluasan dan kedalaman wawasan serta kinerjanya. Musyawarah akan menunjukkan kesalahan-kesalahan kepada manusia. Ini adalah uji coba dimana dengan cara ini dapat merealisasikan kekuatan pikiran, akurasi dan belas kasih para atasan dan para karyawan.

Shalat berjamaah merupakan suatu proses dimana para jamaah memberikan pengaruh dalam mengatur program, menentukan kebijakan-kebijakan serta rencana yang berbeda kepada satu sama lain. Shalat berjamaah akan melenyapkan jiwa individualis dan sifat ujub yang dapat menyebabkan keterbelakangan dalam pekerjaan serta kehancuran dan kesengsaraan.

Seyogianya shalat didirikan dengan berjamaah. Shalat berjamaah didirikan oleh rakyat, untuk rakyat dan dari rakyat. Tanpa ada keistimewaan apapun antara mereka baik dalam ras, iklim maupun kondisi ekonomi.

Shalat berjamaah dapat meningkatkan tolak ukur penerimaan dan popularitas antara atasan dan karyawan. Shalat jamaah berperan sebagai peranan kunci dan penting dalam mewujudkan suasana “membangun kepercayaan”.

Shalat berjamaah dapat menambah keintiman antara karyawan dan atasan. Dan ia menjadikan antara keduanya sehati dan serasi. Persahabatan dan keintiman ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan persiapan dan kemajuan aktifitas pekerjaan.

Shalat berjamaah membersihkan semangat kemunafikan dan bermuka dua yang muncul dari perbedaan antara perkataan dan perbuatan. Justru ia akan memberikan benih persahabatan dan kecintaan. Dari sisi masalah psikologi juga shalat jamaah amat penting. Motivasi duniawi para karyawan dan atasan akan berubah menjadi motivasi ukhrawi. Kecemasan dan ketidakamanan dalam sebuah kelompok masyarakat akan menjauh. Shalat jamaah akan memberikan jiwa ketaatan yang mana ini adalah bagian dari rukun shalat berjamaah.

Keteraturan dan Pendidikan

Pengaruh lain dari shalat berjamaah adalah keteraturan dan pendidikan yang bersembunyi di jantung shalat jamaah. Keteraturan dan pendidikan dalam pekerjaan serta memiliki pengaturan yang baik dapat memperoleh tujuan dan hasil dengan cepat dan memiliki peran yang efektif dalam pengaturan segala perkara.

Kesimpulan yang bisa diambil dari pemaparan-pemaparan tentang manfaat-manfaat salat jamaah adalah bahwa seyogianya shalat didirikan dengan berjamaah. Shalat berjamaah didirikan oleh rakyat, untuk rakyat dan dari rakyat. Tanpa ada keistimewaan apapun antara mereka baik dalam ras, iklim maupun kondisi ekonomi.

Sabtu, 18 Desember 2021 14:37

Ulama Sunni yang Tak Anti Maulid Nabi Saw

 

Umumnya, seseorang akan berbahagia saat menyambut kelahiran manusia ke dunia. Hal ini tak terikat dengan keyakinan seseorang. Siapa pun mereka, akan bahagia menyambut kelahiran sosok manusia. Artinya, kebahagiaan atas kelahiran manusia adalah perihal yang wajar dan lumrah, yang hampir ada di setiap diri kita.

Kalau kelahiran manusia biasa saja kita turut berbahagia, lalu bagaimana dengan kelahiran sosok manusia agung sekaliber Nabi Muhammad Saw. Tentu, kita sebagai umatnya, secara fitrah akan berbahagia atas kelahirannya ke dunia ini. Dan kebahagian itu biasanya kita curahkan dalam bentuk puji-pujian untuknya.

Namun, sebagian ulama, terutama ulama Wahabi membid’ahkan perbuatan itu. Mereka melarang perayaan maulid nabi tersebut dengan alasan tidak tercantum di dalam syariat Islam. Meski begitu, di sisi lain, tak sedikit para ulama yang membolehkan memperingati maulid nabi. Bahkan mereka meyakini keutamaannya, seperti yang diutarakan oleh Syekh Ali Jumu’ah.

Senada dengan pemikiran Mufti Mesir tersebut, Syamsudin Al-Jazari, ulama besar Sunni juga membolehkan hal yang sama. Pernyataan itu ia tuangkan di dalam kitabnya yang berjudul ‘Arfu Ta’rif bi Maulid As-Syarif.

وقد بلغنا عن النبی نکتة: إذا کان أبو لهب الکافر الذی نزل القرآن بذمه جوزی فی النار بفرحه لیلة مولد النبی، فما حال المسلم الموحد من أمة محمد [الذی] یُسَرُّ بمولده ویبذل ما تصل إلیه قدرته فی محبته، لعمری إنما یکون جزاؤه من الله الکریم أن یدخله بفضله جنات النعیم.

Telah sampai pesan dari nabi ke kita, jika Abu Lahab yang kafir, yang sudah dikecam di dalam Al-Quran saja, lantaran bergembira atas kelahiran Nabi Muhammad, ia mendapatkan pahala, lalu bagaimana dengan seorang Muslim yang bertauhid dari umatnya yang juga bergembira atas kelahirannya, dan dengan kekuatannya, meraka melakukan  itu (peringatan maulid nabi) di atas kecintaannya kepada Baginda Nabi Saw?

Aku bersaksi atas jiwaku bahwa dengan keutamaan-Nya, Allah akan memberikan pahala baginya (Muslim) dengan cara memasukkannya ke dalam surga.[1]

Dari ungkapan ulama tersebut makin memantapkan hati kita, bahwa memperingati maulid nabi merupakan perihal yang memiliki keutamaan yang luar biasa di sisi Allah, apalagi dibarengi dengan kecintaan kepada baginda Nabi Saw, dan semangat untuk terus meneladani jejak kehidupannya.

[1] ‘Arfu Ta’rif bi Maulid As-Syarif, Syamsudin Al-Jazari, hal. 22, penerbit: Darul Hadis al-Kitaniah.

 

Setiap rumah tangga merupakan salah satu unsur pembentuk struktur masyarakat. Ketika keluarga itu sehat, ketika mereka berperilaku baik, maka struktur masyarakat yaitu keadaan masyarakat juga akan sehat.

Untuk menuju kepada kondisi itu, maka kita harus komitmen terhadap adab dan hukum agama yang sudah ditentukan untuk rumah tangga.  Segala sesuatu yang menyebabkan terjaganya ikatan dan lembaga rumah tangga baru ini, maka itu baik dan diridai Allah. Untuk menempuh jalan yang lurus, maka sudah selayaknyalah kita menjaga aturan-aturan syariat dan menganggap penting akhlak rumah tangga yang sudah ditentukan oleh syariat. Rumah tangga adalah tempat ketenangan manusia. Tidak seorang manusiapun akan mencicipi rasanya kehidupan dan rasanya kehidupan manusia yang hakiki tanpa memiliki sebuah rumah tangga yang tenang dan nyaman. Setiap rumah tangga merupakan sebuah tempat untuk tumbuh kembang bagi beberapa manusia. Himpunan rumah tangga akan menumbuhkan dan mengembangkan kumpulan manusia.

Manusia diciptakan sedemikian rupa oleh Allah, pertama, sebagai makhluk yang harus belajar. Kedua, dalam lingkungan hidup ayah dan ibu, dengan kasih sayang dengan keakraban dengan kejelian, dari sisi kejiwaan tidak akan memiliki kekurangan bila tumbuh dengan baik. Bila ia keluar dari lingkungan keluarganya sejak awal masa kanak-kanak, maka ia tidak akan tumbuh berkembang sebagaimana seharusnya. Inilah ciri khas manusia.

Oleh karena itulah Allah menetapkan kasih sayang di hati ayah dan ibu. Dengan kasih sayanglah anak manusia tumbuh berkembang. Kasih sayang ini merupakan salah satu tabiat manusia. Oleh karena itulah setiap anak memiliki hubungan kasih sayang dengan ayah dan ibunya. Ayah dan ibu juga memiliki kasih sayang kepada kalian, sebagaimana kalian memiliki kasih sayang kepada anak-anak. Anak juga akan memiliki kasih sayang kepada anak-anaknya. Dan pernikahan memiliki ciri khas seperti ini yakni membentuk lingkungan rumah tangga.

 

Hendaknya kita sebagai muslim ketika menjalankan aktivitas pribadi maupun sosial itu berdasarkan kecintaan pada Allah swt. Untuk lebih jelasnya mari kita saksikan soal jawab di bawah ini.

Suatu hari ada yang bertanya pada seorang Ustadz mengenai aktivitas sehari-harinya.

“Jika semua kegiatan dan hubungan pribadi, sosial, juga budaya dalam kehidupan saya didasari oleh keuntungan pribadi diri sendiri yakni strategi saya 100% hanya untuk mencari keuntungan, manfaat, dan hidup secara sudut pandang materi. Kemudian ketika saya pergi ke suatu tempat atau berteman dengan seseorang, atau memberikan keuntungan untuk orang lain yang mana memberi keuntungan juga untuk saya, dan pekerjaan yang jika tidak ada untungnya untuk saya maka saya tidak akan melakukannya.”

Pertanyaannya apakah saya harus menjalankan setiap kegiatan dan hubungan baik sosial maupun keluarga saya dengan dasar Ilahi dan niat yang tulus?

Kemudian sang Ustadz menjawab;

“Sebaiknya seorang mukmin mempunyai tujuan kemaslahatan yang lebih mulia dari tujuan yang kamu ucapkan tadi. Sehingga hubungan yang kamu jalin dengan mukmin lainnya adalah berdasarkan kecintaan pada Allah swt.”

“Ada hadits dari cucunda baginda Nabi Muhammad saw, Imam Shadiq ra mengatakan siapa saja yang berteman berdasarkan cinta pada Allah swt dan mempunyai musuh berdasarkan Allah dan juga memberi serta menahan di jalan Allah swt maka imannya itu sempurna.”

 

“Tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezeki kepadanya.” (QS. Hud: 6)

Sebuah pertanyaan timbul setelah memerhatikan ayat di atas. Mengapa di dunia saat ini dan juga di sepanjang sejarah masih juga terdapat sekelompok manusia yang meninggal karena kelaparan? Apakah ini berarti bahwa rezeki mereka belum terjamin?

Dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus memerhatikan poin-poin berikut ini:

Pertama, jaminan terhadap rezeki bukan berarti bahwa rezeki tersebut telah diantarkan di depan pintu-pintu rumah atau dihaluskan lalu disuapkan ke dalam mulut manusia yang berakal dan mempunyai kecerdasan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan rezeki adalah tersedianya lahan di mana usaha manusia menjadi syarat bagi terwujudnya rezeki dan lahan itu terbuka.

Bahkan ketika Sayyidah Maryam hendak melahirkan si mungil Isa a.s. di tengah gurun yang gersang. Di tengah terik membakar, dalam keadaan yang begitu susah, Allah Swt memanifestasikan rezekinya dalam bentuk setangkai kurma muda yang masih bergantung di pohonnya. Allah memerintahkan kepadanya dengan firman-Nya: “Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu.” (QS. Maryam: 25)

Kedua, adanya manusia serakah yang senantiasa merampas hak-hak orang lain dan mengambil apa yang telah menjadi rezeki orang lain secara kejam dan sewenang-wenang. Dengan kata lain, selain persoalan usaha dan upaya, wujudnya keadilan dalam komunitas masyarakat pun menjadi syarat bagi terwujudnya pembagian rezeki secara adil.

Apabila mereka menanyakan: “Mengapa Allah tidak menghalangi kezaliman para pembuat kerusakan ini?”

Sebagai jawaban, kami akan menegaskan bahwa prinsip kehidupan manusia terletak pada kebebasan berkehendak sehingga ia mendapatkan ujian, bukannya pemaksaan. Karena apabila tidak demikian, maka tidak akan pernah terwujud apa yang dinamakan sebagai kesempurnaan.

Tidak seharusnya kita melupakan bahwa dataran-dataran yang ada di bumi Afrika yang kebanyakan penduduknya mati karena kelaparan, pada kenyataannya, sebagian dari negara-negara tersebut merupakan daerah yang paling kaya di seluruh dunia. Akan tetapi, faktor-faktor perusak yang membuat rezeki itu terhalang dan membuat kehidupan mereka menjadi kelam sebagaimana yang terlihat saat ini.

Ketiga, terdapat begitu banyak sumber pangan untuk manusia di bumi ini yang bisa ditemukan dan dimanfaatkan dengan menggunakan otak dan ketelatenan. Apabila manusia menyepelekan persoalan ini, maka ini karena kesalahan manusia sendiri.

 

Mempunyai seorang anak adalah keinginan para pasangan suami istri yang telah berumah tangga. Hanya saja mungkin sebagian dari pasangan mereka yang telah berumah tangga mempunyai anak adalah hanya sebuah keinginan belaka.

Bagi pasangan yang normal mungkin ketika berumah tangga pastinya menginginkan untuk mendapatkan anak dan buah hati. Sehingga keluarga mereka menjadi lengkap.

Namun untuk sebagian pasangan suami istri memiliki anak hanya sebuah impian. Mereka belum mendapatkan buah hati.

Janganlah putus asa. Tetaplah berdoa dan berusaha. Mungkin Allah swt masih belum menganugerahi kalian seorang anak sekarang tapi insyaAllah di kemudian hari Allah akan memberikan kalian anak-anak yang saleh serta salehah.

Dalam artikel ini, kami akan memberikan sebuah hadits yang muatannya membahas bagaimana amalan yang harus dikerjakan sebagai orangtua supaya dianugerahi anak.

Seseorang datang menghampiri cucunda baginda Nabi Muhammad saw, Imam Muhammad al-Baqir ra kemudian berkata, “Aku tidak mempunyai anak. Tolong ajarkan aku (amalan) sehingga aku bisa memiliki anak.”

Kemudian Imam berkata, “Beristigfarlah sebanyak 100 kali setiap hari atau malam hari.” (Biharul Anwar, jil 15, hal 108)

Dalam hadits ini dikatakan bahwa jika ingin dikarunia anak maka salah satu ikhtiarnya adalah dengan membaca istighfar sebanyak 100 kali di siang hari atau malam hari.

Ini hanya sebuah usaha. Jika disertai dengan niat yang ikhlas dan juga doa serta usaha yang lainnya, insyaAllah Allah akan segera mengabulkan keinginan kalian.

Kemudian Imam menjawab, “Beristighfarlah sebanyak 100 kali setiap hari atau setiap malam.

Sabtu, 18 Desember 2021 13:47

Salah Paham Amar Ma’ruf Nahi Munkar

 

Memasuki era dewasa ini, perkembangan fenomena keagamaan semakin bervarian dan dengan beragam ekspresi. Oleh karenanya, beragam pula respon yang dihadapi masyarakat terkait fenomena yang berkembang di tengah masyarakat yang multikultural, layaknya Indonesia. Terlebih dari segi keagamaan (Islam) sebagai masyoritas, menjadi simbol kemajuan peradaban Islam di Indonesia.

Sebagaimana Islam yang ditumbuhkembangkan oleh Nabi Muhammad Saw, upaya mengimplementasikan nilai agama dengan santun, damai, cinta kasih, dan toleran begitu diharapkan dalam kehidupan. Akan tetapi, Sihabuddin Afroni dalam karyanya dengan judul “Makna Ghuluw dalam Islam: Benih Ekstrimisme Beragama”, menyebutkan bahwa tidak sedikit pula ada kelompok Islam ekstrem (ghuluw) juga mulai berkembang di Indonesia, dimana mereka kerap kali menyandarkan pada teks-teks atau dalil dalam merespon segala hal.

Salah satu respon yang acap kali digaungkan oleh kelompok Islam tersebut adalah prinsip dalil ‘amar ma’ruf nahi munkar. Memang perintah tersebut sudah termaktub dalam al-Qur’an sebagai kitab suci, dan beberapa seruan untuk melakukan kebaikan, membela yang benar dengan bijak. Akan tetapi, seiring berkembangnya waktu, pemaknaan teks ‘amar ma’ruf nahi mungkar oleh beberapa kelompok Islam yang condong pada tindakan dan pemikiran ekstrim disalahtafsirkan.

Sebagaimana dalam kasus beberapa tahun silam ketika kelompok Front Pembela Islam yang mengobrak-abrik (merusak) warung dengan dalih mengasnamakan agama. Ekstrem dalam KBBI bermakna: a). paling keras, paling ujung, paling tinggi: b). sangat teguh, fanatik, keras. Dengan begitu, ekstrimitas merupakan suatu hal (perbuatan/tindakan) yang keluar dari batas.

Jika diposisikan dalam terminologi syariat Islam, sikap demikian disebut dengan ghuluw (berlebihan dalam suatu perkara). Atau juga bisa didefinisikan sebagai suatu sikap yang melampaui batas. Secara istilah, ghuluw merupakan tipe atau model keberagamaaan yang mengakibatkan seseorang yang menempuh jalan tersebut tidak sesuai dengan syariat.

Namun, terdapat istilah lain dalam konteks tersebut, seperti halnya ifrat (mempersempit), tanattu’ (bersikap keras), takalluf (memaksakan diri) atau tashaddud (menyusahkan sesuatu). Secara garis besar, sikap tersebut dibagi menjadi dua bagian. Pertama ekstrem dalam segi akidah, seperti halnya ghuluw orang-orang Nasrani terhadap konsep Trinitas yang begitu mengagunggkan Nabi Isa As, bahkan menganggapnya sebagai Tuhan atau anak Tuhan.

Dalam Islam sendiri sikap demikian juga dianut oleh kelompok Syiah Rafidhah yang kala itu memposisikan Ali bin Abi Thalib lebih tinggi dari para sahabat dan Rasulullah Saw. Bahkan yang lebih ekstrem mereka menganggap Ali sebagai manifestasi dari Allah SWT. Salah satu contoh ekstrem lainnya yaitu ketika seorang sufi yang menganggap gurunya yang paling benar dan tidak mungkin salah/keliru.

Sedangkan makna teks amar (al-amr) sendiri berakar dari kata bahasa Arab yang artinya perintah, menyuruh atau juga memerintahkan. Ma’ruf sendiri berartikan diketahui, dikenal, serta diakui baik oleh masyarakat, akal sehat bahkan syariat Islam. Teks ma’ruf, didefinisikan sebagai suatu kebaikan yang sudah diakui dan dikenal oleh kebiasaan (‘uruf) yang sudah melekat di tengah kehidupan masyarakat.

Seperti halnya yang ditulis oleh Muhbib Abdul Wahab dalam karyanya yang bertajuk “Kontekstualisasi Amar Ma’ruf  Nahi Munkar”, contoh kecil dapat kita lihat seperti menyingkirkan batu dan duri di jalan, bersalaman dengan orang yang lebih tua, aktivitas gotong royong dan sebagainya.

Sedangkan sambungan teks tersebut yaitu nahi munkar (an-Nahyu ‘an al-munkar) berarti mencegah segala hal yang ditolak, melarangnya, dinilai tidak masuk ruang lingkup kebaikan, dibenci, dan dinilai tidak sesuai dengan tatanan norma dan syariat Islam. Sepeti contoh, membuang sampah sembarangan, korupsi, merampok, mencuri, melakukan kerusakan, berjudi, dan hal yang senada.

Sebagaimana umumnya diketahui, ciri khas Islam ekstrem yaitu menyandarkan segala sesuatu kepada teks keislaman, bahwa memandang hal yang tidak sependapat dengan pemikirannya adalah tindakan yang yang tidak tepat secara syariat. Tindakan demikian kurang tepat implementasinya jikalau menggunakan kekerasan dan pengerusakan seperti halnya FPI yang acap kali merusak fasilitas dan hak milik orang lain atas nama agama.

Konsep amar ma’ruf nahi munkar pada hakikatnya bertujuan untuk memperbaiki dan merubah situasi kondisi masyarakat/manusia ke arah kehidupan yang lebih baik. Hal ini termaktub dalam QS. Ali-Imaran: 104:. Redaksi dalam ayat tersebut memerintahkan dan mengajak kepada umat Islam kepada kebaikan serta mencegah kemungkaran. Dalam hal ini pada akhirnya memunculkan istilah dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Dakwah yang dimaksud di sini adalah secara luas, dalam artian tidak terbatas hanya dengan lisan (pidato, ceramah, orasi, dan hal yang senada), akan tetapi juga mencakup bagaimana bertindak berperilaku yang baik, adil, memberdayakan umat, menegakkan hukum.

Terlebih pada kasus yang kerap kali terjadi seperti halnya kelompok Islam Front Pembela Islam pada beberapa tahun terakhir melakukan tindak kerusuhan, maka tidak sejalan dengan tujuan awal diturunkannya teks Al-Qur’an tersebut. Kesalahpahaman dan penafsiran yang dangkal menjadikan pemahaman Islam ekstrem pun sempit dan menghalalkan segala cara dalam meraih keinginannya, bahkan dengan cara kekerasan sekali pun.

Khaled abou el-Fadl menjuluki kelompok tersebut dengan puritan, eksklusif, intoleran, tekstualis dan ekstrem. Dalam konteks kekinian, Islam ekstrem di Indonesia diwakili oleh kelompok FPI, LDII, HTI, Mujahidin Indonesia Timur dan sekte yang senada. Bahkan hal demikian juga menjamur pada ranah Universitas yang kini dikenal dengan Gema Pembebasan yang begitu semangat menggaungkan isu negara Khilafah sebagai patokan paten dalam bernegara ala Islam.

Begitu pula dengan adanya jargon jihad fi sabilillah yang dimaknai dengan memerangi kebathilan dengan cara apa pun. Mengatasnamakan agama dalam memberantas segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan pemikirannya semakin gencar dalam membumikan dakwah yang menurutnya benar. Jihad dipandang juga sebagai salah satu jalan perang suci yang harus dilaksanakan dengan penuh semangat, bahkan siapa pun penganut aliran ekstrem jika gugur dalam proses jihad tersebut, maka balasan yang mereka yakini adalah syurga dan sahid.

Seperti halnya aksi pengeboman dan bahkan aksi teror di berbagai instansi pemerintahan maupun khalayak umum dengan dalih atas nama membela Islam. Padal dalam Islam sendiri, pemahaman secara teks saja tidak cukup dalam memahami makna berislam ala Nabi Muhammad Saw yang penuh dengan kesantunan dan toleransi dalam penerapannya. Bahkan Islam sediri dalam realitasnya dalam al-Qur’an banyak menyeru tentang kebaikan dan seruan perdamaian tanpa kekerasan.

Dengan begitu, tindakan yang dilakukan kelompok Islam ekstrem dalam memahami teks amar ma’ruf nahi munkar tersebut terdapat kesalahpahaman jika masih terdapat unsur kekerasan atau pengerusakan di dalamnya. Sesuai dengan prinsip Islam yang damai dan santun kepada siapapun, konsep rahmatan lil ‘alamin, merupakan upaya implementasi yang tepat untuk dibumikan di Indonesia.

 

Apakah ada cara untuk menghilangkan was-was? Apakah Islam mempunyai nasihat bagaimana menghilangkan was-was?!

Salah satu cara setan untuk mengganggu amal ibadah manusia adalah dengan menciptakan waswas dalam diri manusia.

Setan bisa membuat rasa was-was dalam diri manusia sehingga manusia merasa ragu akan ibadahnya. Misalnya saja ketika seseorang mengambil air wudhu kemudian setelah berwudhu dan hendak pergi untuk melakukan shalat lalu di dalam hatinya berkata “Apakah wudhuku sudah benar apa belum ya?” “Tadi aku basuh tangan dengan benar atau belum ya?”

Dikarenakan was-was tersebut si fulan bahkan bisa mengulang-ngulang wudhu hingga tak pernah melakukan shalat. Hal ini merupakan sesuatu hal yang tidak baik.

Lalu bagaimana caranya untuk menangani was-was ini?

Baginda Nabi Muhammad saw dan ahlul bait beliau pernah berpesan bahwa untuk mengamalkan dan mengulang dzikir ini sehingga terhidar dari was-was. Dzikir tersebut ialah;

اعوذ بالله السمیع العلیم من الشیطان الرجیم و اعوذ بالله ان یحضرون ان الله هو السمیع العلیم

Audzubillahis samiul aliim minas syaitanir rajiim wa audzubillah an yahdharuna. Innallaha huwa samiul aliim.

Selain itu untuk menghilangkan rasa was-was, Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata untuk banyak membaca shalawat –Allahumma shali ala Muhammad wa ala ali Muhammad- dan juga berpuasa di hari Rabu di pertengahan bulan serta hari Kamis di awal dan akhir bulan.

Sabtu, 18 Desember 2021 13:38

Hak-Hak Anak Menurut Imam Sajad As

 

Manusia lahir dan tumbuh besar di sebuah lingkungan kecil yang disebut keluarga. Kepribadiannya akan terbentuk sedikit demi sedikit di bawah pengaruh berbagai faktor yang berhubungan dengan dirinya. Dengan kata lain, kumpulan potensi dan kemampuan yang ada diri seorang anak dan dipengaruhi oleh pendidikan keluarga akan menjadi faktor yang dominan dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Mengingat dominasi faktor-faktor tersebut dalam membentuk kepribadian manusia, Islam menetapkan serangkaian hak untuk anak dalam keluarga sehingga ia akan tumbuh di tengah keluarga dengan pendidikan yang benar untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakatnya.

Dalam kitab Risalatul Huquq, Imam Sajjad as menjelaskan beberapa hal mengenal pendidikan anak. Beliau berkata, “Tentang hak anak, cintai dan sayangilah ia. Didiklah ia dan maafkanlah kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya selaku anak kecil, perlakukanlah dengan lemah lembut dan bantulah ia. Sebab cara itu bisa mencegah terulangnya kesalahan, melahirkan kasih sayang dan tidak memprovokasinya. Cara itu adalah jalan paling pintas untuk perkembangannya.”

Imam Sajjad menekankan bahwa kasih sayang terhadap anak kecil adalah hak baginya yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang yang dewasa. Sebab, anak kecil memiliki jiwa yang sangat lembut dan suci. Cinta dan kasih sayang terhadapnya adalah pemenuhan tuntutan fitrah suci yang ada pada diri mereka. Cinta dan kasih sayang ibarat air kehidupan yang mengurai kesulitan-kesulitan jiwa manusia. Kasih sayang yang diiringi dengan keramahan adalah faktor pemikat hati dalam hubungan antar manusia. Imam Ali as menyebut keramahan dan persahabatan sebagai separuh kebijaksanaan. Beliau mengingatkan bahwa seorang pendidik mesti memerhatikan raut muka yang harus selalu dihiasi senyuman dan nada pembicaraan yang baik.

Salah satu unsur penting dalam pendidikan adalah mengajarkan ilmu dan akhlak kepada anak yang dibarengi dengan sikap memaafkan kesalahan yang mungkin dilakukannya. Hal itu akan membantu pertumbuhan dan aktualisasi potensi anak. Orang tua hendaknya menanamkan keimanan dan akhlak pada diri anak karena hal itu akan memprotek keselamatan dan kesucian jiwanya yang pada gilirannya akan menjauhkannya dari penyimpangan dan keburukan. Karena itu, Imam Sajjad as mengingatkan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara perlahan dan berkesinambungan. Anak harus lebih dikenalkan kepada kebaikan dan sifat-sifat terpuji dibanding melarangnya dari perbuatan buruk dan sifat-sifat keji.

Salah satu faktor utama dalam membantu perkembangan dan pendidikan anak adalah rasa aman dan kebebasan di lingkungan keluarga. Sebaliknya, suasana ancaman dan kekerasan akan mengganggu pertumbuhan dan kematangan jiwanya. ketenangan dan kebebasan yang cukup ada di lingkungan keluarga, anak akan mudah mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Karena itu, dalam ajaran Islam pendidik diarahkan untuk tidak menjadikan paksaan dan kekerasan sebagai jalan alternatif paling akhir. Islam mengajarkan untuk menghormati anak.

Dalam Islam, anak sejak kecil sudah harus mendapat penghormatan sebagai manusia. Sejumlah riwayat dan hadis menekankan kepada kita untuk memperlakukan anak dengan kasih sayang dan lemah lembut khususnya di saat ia masih kecil dengan fisiknya yang sangat lemah. Perlakuan Rasulullah Saw terhadap cucu-cucunya adalah teladan bagi kita semua. Dalam sebuah riwayat beliau menyebut masa tujuh tahun pertama usia anak sebagai masa untuk memperlakukannya bagai tuan.

Nabi Saw dalam kehidupan sehari-hari dikenal penyayang kepada anak-anak. Jika melewati lorong-lorong kota atau pasar dan berpapasan dengan anak-anak, wajah beliau akan nampak berseri-seri. Tak jarang beliau diajak bermain oleh anak-anak. Setiap berjumpa dengan anak-anak beliau selalu mengucapkan salam kepada mereka. Dalam sebuah hadis yang mengandung sisi psikologis, Nabi Saw bersabda, “Orang yang memiliki anak kecil hendaknya berlaku seperti anak kecil bersamanya.”

Dalam hadis lain beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati ayah yang mengajarkan jalan kebaikan kepada anaknya, berbuat baik kepadanya, memperlakukannya seakan kawan di masa kecil dan membantunya untuk tumbuh menjadi orang yang berilmu dan berakhlak.”

Tak diragukan bahwa dalam rangka menjaga hak-hak anak, ayah dan ibu harus menjadi orang yang paling mengenal tugas dan tanggung jawab dalam mendidik anak mereka. Keberadaan ayah dan ibu yang bijak akan menguatkan tekad dan semangat pada diri anak serta menjadikannya manusia yang berperilaku baik. Anak yang seperti ini akan terpacu untuk mempelajari banyak hal yang bisa membantunya menjadi insan yang berguna bagi masyarakat dan umat manusia. Semoga Allah Swt senantiasa membantu para orang tua untuk mendidik putra putrinya dengan baik sehingga akan menjadi generasi-generasi yang berbobot dan akan memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakatnya.[

 

Apakah perbuatan baik Non-Muslim itu diterima atau tidak? Jika diterima, berarti antara Muslim dan Non-Muslim menjadi tidak berbeda lagi; yang penting, orang tersebut berbuat baik di dunia. Kalau orang itu kita asumsikan Non-Muslim atau tidak beragama sama sekali, ia tidak akan merugi sama sekali. Dan sekiranya tidak diterima, bahkan perbuatannya itu Iaksana debu yang bertebaran, tidak mendapat pahala dari Allah, bagaimana hal itu bisa sejalan dengan keadilan llahi?

Dewasa ini, di berbagai kalangan dari kaum intelektual hingga awam kita menemukan pertanyaan yang menyangkut keadilan Ilahi dan sering diperdebatkan mengenai masalah perbuatan baik Non-Muslim seperti pertanyaan di atas. Dahulu, pertanyaan semacam ini hanya ada dalam perbincangan para filsuf dan dibahas dalam buku-buku filsafat. Sedangkan pada masa sekarang, pertanyaan itu terlontar dari bibir orang di setiap kalangan. Jarang sekali kita temukan orang yang tidak melontarkan pertanyaan seperti itu, paling tidak kepada dirinya sendiri.

Manusia adalah tonggak seluruh makhluk, dan segala sesuatu selainnya diciptakan untuknya, tentunya dengan konsepsi benar yang dipahami oleh ahli-ahli hikmah, bukan yang biasa dikhayalkan oleh mereka yang berpandangan sempit. Lalu, kalau kita berasumsi bahwa manusia itu sendiri diciptakan untuk masuk neraka, orang akan meyakini bahwa kemarahan Allah lebih besar daripada rahmat-Nya. Mengingat kebanyakan manusia terasing dari agama yang benar, bahkan mereka yang mendapat cahaya agama yang benar masih pula banyak yang menyimpang dari segi perbuatan dan pelaksanaannya.

Kira-kira sejak setengah abad lampau -bersamaan dengan semakin mudahnya komunikasi antara kaum Muslim dan selainnya, banyaknya sarana interaksi umum di antara  mereka, dan seringnya  terjadi pertemuan di antara mereka, persoalan amal baik Non-Muslim ini menjadi buah bibir di berbagai kalangan, khususnya di kalangan yang disebut-sebut sebagai kaum intelektual tercerahkan. Mereka mulai mempersoalkan apakah syarat utama diterimanya perbuatan-perbuatan baik itu status pelakunya harus sebagai Muslim?

Tatkala banyak orang membaca biografi para pencipta dan penemu pada zaman modern yang telah memberikan sumbangan tak ternilai kepada manusia, padahal mereka bukan orang-orang Islam, mereka bertanya: apakah orang-orang ini berhak mendapatkan pahala di sisi Allah? Dan mengingat mereka lazim berpikir bahwa perbuatan Non-Muslim itu semuanya sia-sia dan tidak ada artinya, mereka menjadi mangsa kebimbangan dan keguncangan.

Atas dasar itu, persoalan yang tidak pernah lepas dari pikiran para filsuf dan tidak pernah terlewatkan untuk dibahas dalam pertemuan-pertemuan khusus mereka itu kini semakin  menggelisahkan setiap pikiran dan menghangatkan setiap pertemuan. Suara-suara tentangnya pun semakin bermunculan, sebagai keberatan yang dihadapkan pada keadilan Ilahi. Memang, keberatan ini tidak Iangsung menyangkut keadilan llahi, tapi ia secara primer menyangkut perspektif Islam tentang manusia dan segenap perbuatannya. Baru setelah itu, secara sekunder, ia berkaitan dengan keadilan llahi manakala perspektif Islam tentang manusia, perbuatan-perbuatan dan perlakuan Allah terhadapnya itu dianggap berlawanan arah dengan kriteria-kriteria keadilan Ilahi.

Tak pernah hilang dari ingatan saya ketika seorang pria dari kota kelahiran saya datang ke Teheran. Dia adalah Muslim yang taat beragama. Ketika berjumpa dengan saya, dia mendebat saya mengenai persoalan ini. Orang itu telah menyaksikan para perawat Kristen yang merawat dengan ikhlas (paling tidak sesuai dengan keyakinan mereka) sejumlah pasien penderita lepra di rumah sakit Masyhad. Kejadian itu sangat memengaruhi, membingungkan, dan menyebabkannya ragu-ragu dan bertanya-tanya. Sebagaimana Anda ketahui, merawat orang sakit lepra adalah pekerjaan berat yang biasanya dihindari oleh para perawat lantaran tingkat kesulitannya yang demikian tinggi. Saat rumah sakit itu didirikan, tidak banyak dokter yang mau bertugas, demikian pula dengan umumnya perawat lokal yang enggan bekerja di sana.

Untuk itu, dipasanglah iklan di berbagai surat kabar tentang Iowongan tenaga perawat. Hasilnya, tidak seorang pun perawat di seluruh Iran yang mengajukan lamaran. Akibatnya, lowongan itu diisi oleh para perawat asketik Kristen asal Prancis. Mereka datang dan memikul tugas sebagai perawat di rumah sakit kusta tersebut. Pengorbanan, tindakan kemanusiaan, dan keikhlasan yang diperlihatkan oleh para perawat itu begitu berkesan pada diri para pasien yang telah terasingkan, bahkan dari ayah dan ibunya.

Orang tadi menceritakan kepada saya bahwa orang-orang Kristen tersebut mengenakan pakaian panjang yang sangat rapi dan bersih, dan tidak tampak selain wajahnya. Masing-masing memegang rosario panjang, kira-kira berisi seribu biji. Setiap kali berhenti bekerja, mereka berdoa menggunakan rosario.

Selanjutnya, dengan pikiran yang sangat bergejolak dan dengan penuh semangat, ia bertanya, apakah benar pendapat yang menganggap bahwa selain orang-orang Islam itu tidak akan ada yang masuk surga? Di sini, saya tidak akan membicarakan motif sebenarnya yang tersembunyi di balik kedatangan para perawat Kristen tadi. Apakah memang benar-benar karena Allah dan di jalan-Nya, atau kecintaan sejati terhadap kemanusiaan, ataukah ada motif-motif lain yang tidak kita ketahui?

Saya tidak akan pesimistis, sekalipun tidak pula sepenuhnya optimistis. Saya hanya bermaksud menjelaskan bahwa peristiwa dan pelayanan tersebut begitu berpengaruh terhadap masyarakat kita dan mendorong putra-putri kita untuk bertanya dan mencari-cari.

Ketika saya diundang untuk memberikan ceramah di sebuah perkumpulan, hadirin diminta mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka ingin, saya memilih tema ceramah dari salah satu pertanyaan-pertanyaan tadi. Lalu saya temukan bahwa pertanyaan yang paling banyak diulang adalah sebagai berikut: “Apakah Allah akan melemparkan semua Non-Muslim ke neraka? Apakah Louis Pasteur, Thomas Alva Edison, dan Robert Koch termasuk mereka yang akan disiksa di akhirat (mengingat banyaknya asa mereka untuk peradaban dunia)?”

Sejak itu, saya sendiri menyadari betapa pentingnya masalah itu, dan betapa ia telah mengganggu pikiran dan jiwa banyak orang. Melalui diskusi ini, kita tidak bermaksud mengetahui tempat kembalinya seseorang. Kita tidak akan bisa memastikan apakah Pasteur adalah penghuni surga ataukah penghuni neraka. Karena, kita tidak bisa memastikan beberapa pertanyaan penting berikut: Apakah hakikat pemikiran dan keyakinannya? Apakah niat-niat sejatinya? Bagaimana pula watak-watak spiritual dan moralnya? Bahkan, bagaimana keseluruhan perbuatannya dalam hidupnya? Selain pengabdian-pengabdian ilmiahnya, kita tidak tahu banyak tentang dirinya.

Hal demikian tidak terjadi pada Pasteur saja, tetapi juga pada yang lain. Pada dasarnya, seseorang tidak berhak memastikan pendapatnya mengenai orang lain, apakah orang tersebut penghuni neraka atau penghuni surga. Status mereka sepenuhnya di tangan Allah. Dan tak seorang pun berhak mengungkapkan opininya dengan penuh keyakinan terkait apakah seseorang akan masuk surga atau neraka.

Apabila kita ditanya, apakah Syaikh Murtadha Al-Anshari (semoga Allah merahmatinya) dengan segala kezuhudan, ketakwaan, keimanan, dan amal salehnya pasti termasuk penghuni surga atau tidak? Maka jawabannya adalah, sepengetahuan kami yang tidak pernah mendapati beliau melakukan kejelekan ilmiah dan amaliah, seluruh diri beliau adalah baik dan istiqamah. Adapun apakah seratus persen beliau menjadi penghuni surga, haL itu bukan urusan kita. Karena itu adalah hak prerogatif Allah yang Maha Mengetahui hati dan niat seseorang, dan hanya Dia yang Maha Mengetahui rahasia paling tersembunyi dalam jiwa seseorang. Oleh karena itu, urusan mereka terserah kepada Allah. Kita bisa mengutarakan pendapat pasti ihwal orang-orang yang telah diceritakan oleh para wali Allah mengenai status ukhrawi mereka kelak.

Bersambung…..