کمالوندی

کمالوندی

Suami dan Kewajibannya dalam Hadis Maksumin as

 

Dalam surah ar-Rum ayat 21 Allah swt menjelaskan bahwa diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk seorang laki-laki pasangan dari perempuan yang dengan itu ia mendapatkan ketentraman dan saling berkasih sayang. Begitupun hadis dari Nabi Muhammad saw yang menyebutkan, bahwa ketika seorang laki-laki memandang istrinya dengan pandangan cinta dan istrinya pun memandangnya juga dengan cinta, maka Allah swt akan memandang keduanya dengan penuh cinta dan rahmat Allah swt turun untuk keduanya. 

 

Kebanyakan persoalan rumah tangga dalam kehidupan modern saat ini adalah kurangnya rasa cinta dan kasih sayang antara pasangan suami istri. Pertengkaran dan ketidak cocokan kerap kali mewarnai kehidupan rumah tangga yang diawali dari ketidak tahuan atau ketidak pedulian atas kewajiban masing-masing pasangan. 

 

Berikut ini sejumlah hadis dari Nabi Muhammad saw dan Aimmah as yang dihimpun dalam kitab-kitab muktabar Syiah yang dapat dijadikan tuntunan dan pedoman seorang laki-laki dalam membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis. 

Mencintai Istri

Nabi Muhammad saw bersabda, "Setiap keimanan seorang hamba bertambah, maka kecintaan pada istrinya juga akan bertambah." (Biharul Anwar, jld. 103, hlm. 228)

 


Berlaku Mesra pada Istri

 

Nabi Muhammad saw bersabda, "Seorang suami yang menyuapkan makanan ke mulut istrinya, akan mendapatkan pahala." (Al-Hujjah al-Baidhah, jld. 3, hlm. 70)

 

Romantis

 

Nabi Muhammad saw bersabda, "Perkataan seorang suami kepada istrinya, aku mencintaimu, akan terus membekas di hati istrinya." (Wasail al-Syiah, jld. 14, hlm. 10)

 

Berusaha Memahami dan Memaklumi Istri 

 

Nabi Muhammad saw bersabda, "Selalulah berupaya memahami istrimu, dan berbuat baiklah padanya sehingga kehidupanmu mendapatkan ketenangan." (Makarim al-Akhlak, hlm. 218)

 

Mencintai Istri adalah Tanda Kecintaan pada Ahlulbait

 

Imam Shadiq as bersabda, "Barangsiapa yang memiliki kecintaan yang besar kepada kami, akan juga memiliki kecintaan yang besar pada istrinya." (Biharul Anwar, jld. 103, hlm. 227)

 

Memberikan Rezeki yang Halal

 

Imam Ridha as bersabda, "Barangsiapa yang bekerjakeras mencari rezeki untuk keluarganya dijalan yang halal, maka ia seperti seorang mujahid yang sedang berjihad di jalan Allah swt." (Biharul Anwar, jld. 104, hlm. 72)

 


Berhias dan Tampil Rapi di Hadapan Istri

 

Imam Shadiq as bersabda, "Sebagaimana seorang laki-laki menyukai istrinya berhias, perempuan pun menyukai melihat suaminya tampil rapi dan berhias." (Makarim al-Akhlak, hlm. 80)

 

Tidak Berlaku Kasar 

 

Nabi Muhammad saw bersabda, "Sebaik-baik laki-laki dari umatku, adalah yang tidak arogan dan kasar kepada keluarganya melainkan penuh kelembutan dan mengasihi keluarganya dan juga tidak menyengsarakan keluarganya." (Makarim al-Akhlak, hlm. 216)

 

Betah Duduk dengan Istri

 

Nabi Muhammad saw bersabda, "Duduknya seorang laki-laki bersama keluarganya, lebih disukai Allah swt dari seseorang yang iktikaf dan duduk di masjidku." (Mizan al-Hikmah, jld. 4, hlm. 287)

 

Tidak Lupa Membawakan Ole-Ole

 

Imam Shadiq as bersabda, "Barangsiapa diantara kalian yang bepergian dan ketika kembali, jangan lupa membawa ole-ole buat keluarga semampu kalian." (Wasail al-Syiah, jld. 8, hlm. 227) 

 

Memenuhi Kebutuhan Duniawi dan Ukhrawi Istri

 

Nabi Muhammad saw bersabda, "Hak seorang istri dari suaminya adalah perutnya dikenyangkan, diberi pakaian, serta mengajarkan hukum-hukum salat, puasa dan zakat." (Mustadrak al-Wasail, jld. 14, hlm. 243)

 

Memberikan Hadiah

 

Nabi Muhammad saw, "Barangsiapa yang ke pasar dan membelikan buat keluarganya hadiah maka pahalanya seperti seseorang yang memberikan sedekah pada yang membutuhkan, dan ketika memberikan hadiah, harus mendahulukan memberikannya pada anak perempuan karena barangsiapa yang membahagiakan perempuan seperti memerdekakan seorang budak dari keturunan Nabi Ismail dan barangsiapa yang dengan hadiah membuat mata anak laki-lakinya berbinar karena senang, maka ia seperti seorang hamba yang menangis karena takut pada Tuhannya, dan barangsiapa yang takut pada Allah swt, Allah swt akan memasukkannya ke dalam surga-Nya." (Wasail al-Syiah, jld. 15, hlm. 227)

 

Tidak Menyakiti Istri secara Fisik

 

Nabi Muhammad saw bersabda, "Barangsiapa yang menampar wajah istrinya, maka Allah swt memerintahkan api neraka untuk kelak menampar wajahnya 70 kali di neraka." (Mustadrak al-Wasail, jld. 14, hlm. 250)

 

Tidak Berkata Kasar

 

Imam Shadiq as bersabda, "Janganlah engkau mengumpat dan memaki istrimu, karena dengan perlakuan tersebut, kamu akan mendapatkan penyesalan yang berkepanjangan dan masalah yang akan menyulitkanmu." (Biharul Anwar, jld. 102, hlm. 249)

Rabu, 09 Januari 2019 23:42

Makna dari Ucapan "Insya Allah"

“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki.” (Qs A’la [87]: 6)

Makna frase insya Allah adalah jika Allah menghendaki. Seseorang yang mengucapkan kalimat ini meyakini bahwa terdapat iradah di atas iradahnya sendiri artinya, jika Ia tidak menghendaki sesuatu maka tidak ada sesuatu yang bisa terjadi.

Dalam sebagian perkara, kalimat “Insya Allah” merupakan bentuk mengambil berkah dan orang-orang selalu mengucapkan “Insya Allah’ dan “Masya Allah”.

Al-Quran berdasarkan ayat

«لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرامَ إِنْ شاءَ اللهُ آمِنِینَ»
“Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman” (Qs Al-Fath [48]: 27)

Pada ayat lain, Allah Swt berfirman:

«سَنُقْرِئُکَ فَلا تَنْسى‏ إِلَّا ما شاءَ اللهُ»

“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya dan berkata, “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah kamu dalam keadaan aman.” (Qs Yusuf [12]: 99)

«سَنُقْرِئُکَ فَلا تَنْسى‏ إِلَّا ما شاءَ اللهُ»

“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki.” (Qs A’la [87]: 6)

Dalam perkara-perkara ini frase insya Allah dinyatakan sebagai bentuk tabarruk (mengambil berkah) dan menyinggung tentang keagungan dan kekuasaan Allah Swt.

Atas dasar itu, di kalangan Arab bahkan pekerjaan yang telah selesai dilakukan sekalipun maka mereka menyandarkannya kepada kehendak dan iradah Allah Swt dengan berkata Hajajjtu insya Allah (Aku akan pergi haji insya Allah) dan “zurtu insya Allah” (Aku akan pergi berziarah insya Allah).

Dalam riwayat dari Imam Shadiq As disebutkan bersbada “Awali hari kalian dengan berbuat kebaikan dan diktekan kepada malaikat yang mencatat amal kebaikan pada awal dan akhir hari sehingga insya allah apa-apa yang menimpa kalian di antara awal dan akhir hari akan mendapatkan pengampunan Ilahi.”

Frase Insya Allah disebutkan dalam akhir hadis untuk bertabaruk/mengambil berkah dan tayamun atau untuk menghindari manusia dari kesombongan.

Ayat-ayat suci Alquran, tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki keterikatan dan keterkaitan satu sama lain. Allamah Thabathabai penulis Tafsir Almizan, ulama bermazhab Syiah berkebangsaan Iran menyebut, penafsir terbaik dari Alquran adalah Alquran itu sendiri.

 

Seorang pendakwah bernama Evie Effendi (selanjutnya disingkat EE) dalam salah satu video ceramahnya menafsirkan وجدك ضالا فهدى yang terdapat dalam surah Ad-Dhuha ayat 7 dengan "Ketika Allah mendapatimu dalam keadaan sesat, kemudian Allah memberikan petunjuk." Sesat yang dimaksudnya adalah sesat aqidahnya, sebab dipertegas dengan kalimat selanjutnya, bahwa Maulid Nabi itu menurutnya, adalah memperingati kesesatan Muhammad. 

 

Sontak pernyataan kontroversial yang disampaikan didepan generasi muda Islam yang sedang bertumbuh tersebut mendapat kecaman dan protes keras. Tidak lama setelah video tersebut menjadi viral dan menjadi bahan pembicaraan netizen, EE pun merilis video yang menampilkan dirinya meminta maaf kepada ulama dan ummat Islam atas pernyataan yang dinilai melecehkan Nabi Muhammad saw tersebut. 

 

Apa yang dilakukan EE dengan menerjemahkan ضال dengan sesat, bukan sesuatu yang salah, sebab memang salah satu artinya adalah sesat. Namun ketika itu dikaitkan dengan tafsir Alquran yang dari tafsir tersebut umat Islam membangun aqidahnya, maka yang dilakukan EE adalah penyimpangan. Yang dilakukan EE dalam hal ini adalah berpikir parsial, sepenggal-sepenggal, sepotong-sepotong tanpa melihat konteks keseluruhan Alquran dari ayat yang ditafsirkan sehingga kesimpulan yang diambil pun menjadi rancu dan salah. Setengah kebenaran bukanlah kebenaran.

 

Ayat-ayat suci Alquran, tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki keterikatan dan keterkaitan satu sama lain. Allamah Thabathabai penulis Tafsir Almizan, ulama bermazhab Syiah berkebangsaan Iran menyebut, penafsir terbaik dari Alquran adalah Alquran itu sendiri. Ia memperkenalkan metode tafsir Alquran bil Quran yang digalinya dari hadis-hadis Nabi, bahwa yang pertama kali menafsirkan Alquran dengan Alquran, yaitu menafsirkan satu ayat dengan berpedoman pada ayat lainnya, adalah Nabi Muhammad saw sendiri. 

 

Bagaimana Allamah Thabathabai menafsirkan وجدك ضالا فهدى? 

 

Allamah Thabathabai menyebut ضالا dalam kalimat tersebut bukan bermakna sesat namun bermakna ketidaan hidayah dan maksud dari ketiadaan hidayah adalah terlepas dari bimbingan Ilahi. Dengan kata lain, yang hendak disampaikan ayat tersebut adalah, jika hidayah Ilahi tidak ada, maka kamu (Muhammad) dan begitu juga yang lain, tidak ada seorang pun yang akan mendapat hidayah, kecuali Allah swt yang memberikannya. Sehingga, Rasulullah saw sendiripun membutuhkan hidayah yang tanpa itu akan tersesat dan tanpa tujuan. Dan penyampaian itu bukan bermaksud Rasulullah saw pernah berada dalam kesesatan melainkan ketiadaan ilmu. Ini bisa dilihat pada surah Asy-Syura ayat 52 ما كنت تدرى ما الكتاب و لا الايمان (sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Alquran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu). Demikian pula dalam kisah Nabi Musa as yang termaktub dalam surah Asy-Syu'ara' ayat 20 قَالَ فَعَلْتُهَا إِذًا وَأَنَا مِنَ الضَّالِّينَ yang dimaksud disini bukan kesesatan, melainkan ketiadaan petunjuk. Sebagaimana diayat selanjutnya disebutkan, "…kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul."

 

Dalam kitab Tafsir Almizannya, lebih lanjut Allamah Thabathabai menjelaskan tafsir lainnya, bahwa yang dimaksud dhalalah adalah kehilangan ilmu atau lupa, sebagaimana dalam surah Albaqarah ayat 282 ان تضل احديهما فتذكر احديهما الاخرى (supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya). Selanjutnya Allamah Thabathabai juga menukil pendapat mufassir lainnya yang menyebut bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut, adalah bahwa Allah swt menjadikan Nabi Muhammad saw ibarat sesuatu yang hilang di tengah-tengah masyarakat yang karena itu Nabi Muhammad saw tidak dikenali demikian pula maqam dan kedudukannya tidak diketahui orang-orang sampai kemudian orang-orang tersebut diberi petunjuk oleh Allah swt untuk mengenali maqam dan kedudukan Nabi Muhammad saw. 

 

Sekarang bagaimana dengan pandangan ulama Syiah lainnya?.

 

Dalam Tafsir al-Amtsal, Ayatullah Makarim Shirazi menyebut makna dari ضلالت dalam ayat 7 surah Ad-Dhuha bukanlah penolakan atas iman dan tauhid atau ketiadaan kesucian dan ketakwaan, melainkan ketidaktahuan atas rahasia-rahasia kenabian, aturan-aturan Islam dan ketidak tahuan atas hikmah-hikmah dan rahasia dibaliknya yang kemudian dengan petunjuk Allah swt semua urusan-urusan itu diketahui hakikatnya secara sempurna oleh Rasulullah saw.  

 

Ayatullah Makarim Shirazi juga dengan berpedoman pada surah Albaqarah ayat 282 mengenai falsafah dibalik perintah menuliskan perjanjian saat muamalah dan harus disertai dengan kehadiran saksi menunjukkan bahwa ضلالت tidak melulu berarti sesat melainkan juga dapat memiliki arti lupa. 

 

Tafsir lain dari ayat tersebut, adalah Nabi Muhammad saw sebelumnya adalah seseorang yang tidak dikenal dan bukan siapa-siapa yang kemudian Allah swt memberikan kepadanya anugerah yang luar biasa sampai kemudian dikenal dimana-mana. 

 

Tafsir lainnya, bahwa Nabi Muhammad saw telah berkali-kali tersesat dan tidak tahu arah pulang (pertama kali di Mekah, saat berada dalam asuhan kakeknya Abdul Muthalib. Kedua saat berada dibawah pengasuhan Halimatu Sa'diyah, ia sempat hilang di perjalanan dan ketiga, saat bersama dengan pamannya Abu Thalib yang membawanya turut serta berdagang ke arah Syam, dan pada satu malam yang gelap gulita ia tertinggal dan tersesat. Pada semua peristiwa tersebut, Allah swt lah yang memberikan petunjuk kepadanya, sampai ia berhasil kembali berada dalam pelukan orang-orang yang mengasihinya).

 

Ayatullah Makarim Shirazi menyebutkan kata Dhal (ضال) secara bahasa memiliki dua arti: yang hilang dan tersesat. Misalnya dikatakan الحكمة ضالة المؤ من artinya Alhikmah adalah barang hilang milik orang beriman. 

 

Dalam surah Sajadah ayat 10, kata ضال yang memiliki pengertian sama dengan hilang adalah lenyap dan hancur أَإِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَإِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ(Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?)

 

Jika dalam ayat yang jadi bahasan (yaitu surah Ad-Dhuha ayat 7) kata ضال diartikan sesuatu yang hilang, maka kita tidak akan menemukan ada masalah. Begitupun ketika kata ضال diartikan dengan kondisi Nabi Muhammad saw sebelum Bitsah (diangkatnya menjadi Nabi dan Rasul) belum mengetahui kitab, iman dan syariat Islam yang kemudian setelah mendapat petunjuk dari Allah swt, Nabi Muhammad saw mengetahui semua itu, maka juga kita tidak menemukan ada masalah dari penafsiran yang demikian. 

 

Namun ketika kata ضال diartikan dengan sesat yang memiliki pengertian sesat aqidahnya, maka penafsiran yang demikian bukan hanya salah namun bisa terjatuh pada keyakinan yang melecehkan Rasulullah saw. Dalam hadis Nabi Muhammad saw disebutkan: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ (Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani). Pertanyaannya, siapakah yang menjadikan Muhammad sesat?. Beliau sejak lahir berada dalam pengasuhan ibunya, Halimatu Sa'diyah, Abdul Muthalib dan Abu Talib dan tidak seorang dari mereka yang mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw untuk mengimani dan menyembah berhala, sebab sejarah mencatat pengasuh-pengasuh Muhammad kecil dan remaja adalah orang-orang yang beragama hanif dan mengikuti tradisi leluhurnya, Nabi Ibrahim as. Dan faktanya, tidak satupun riwayat dan catatan sejarah yang menuliskan bahwa Nabi Muhammad saw pernah menyembah berhala dan melakukan hal-hal yang keji. 

 

Jika EE meyakini Nabi Muhammad saw pernah sesat sebelum diangkat menjadi Nabi, apa bentuk kesesatannya?.

Rabu, 09 Januari 2019 23:40

Keridhaan Allah Selalu Lebih Besar

Pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil.

Ridha berasal dari bahasa arab yang secara etimologi terbentuk dari kata-kata rhadiya-yardhaa,  yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang biasa kita padankan dengan kata ikhlas atau puas menerima ataupun telah merestui sesuatu bagaimanapun keadaannya. Di antara asma’ul husna (nama-nama Allah yang indah) kita mengenal, Ar-Ridhwan, yang artinya, yang Maha Meridhai. Kata ridha dalam berbagai variannya terulang setidaknya 32 kali dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an.

Dari beberapa ayat tersebut, kita bisa mengklasifikasikan kelompok orang-orang yang diridhai Allah.

Pertama, orang-orang yang beriman, takut kepada Tuhannya dan mengerjakan kebajikan. Terdapat dalam surah Al-Bayyinah ayat 7 dan 8. Allah SWT berfirman, “Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” Juga pada surah Al-Mujaadilah ayat 22 dan Al-Haaqqah ayat 21.

Kedua, Assabiquna awwalun, generasi awal Islam yang pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. (baca Qs. At-Taubah: 100 dan juga Al-Fath ayat 29).

Ketiga, orang-orang yang benar. Allah SWT berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. Al-Maidah: 119).

Keempat, orang-orang yang ridha terhadap pemberian dan keputusan Allah. Allah SWT berfirman, “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Qs. At-Taubah: 59).

Kelima, orang-orang yang bersegera menuju Allah, “Dia (Musa) berkata, ‘…aku bersegera kepada-Mu ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Qs. Taahaa: 84). Ataupun dalam surah Al-Fajr ayat 28, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

Keenam, orang-orang yang setia pada perjanjiannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath: 18).

Ketujuh, orang-orang yang bersyukur, “…dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu” (Qs. Az-Zumar: 7).

Kedelapan, orang-orang yang diberi izin untuk memberi syafaat termasuk orang-orang berdosa yang disyafaati, “Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Qs. Thaahaa: 109). Juga terdapat dalam surah Al-Anbiyaa’ ayat 8 dan surah An-Najm ayat 26).

Kesembilan, orang-orang yang menyeru untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, “Dan ia menyuruh ahlinya (umatnya) untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Qs. Maryam: 55). Juga pada surah ar-Rum ayat 38-39. Termasuk orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari (Qs. Al-Kahfi: 28).

Kesepuluh, orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan jiwanya tenang dalam ketaatan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Qs. Al-Fajr: 27-28).

Kesebelas, orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah (baca surah Al-Lail ayat 20, Al-Insan ayat 9, Al-Baqarah: 265 dan lain-lain).

Keduabelas, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat pertama, Al-Hasyr ayat 8 dan Al-Ankabut ayat 69.

Ketigabelas, orang-orang yang senantiasa berkurban. (Qs. Al-Hajj: 37) Juga pada surahAl-Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Dari penjabaran di atas, setidaknya ada tiga belas kelompok yang mendapat keridhaan Allah. Sementara yang tidak diridhai Allah hanya ada tiga kelompok. Pertama, orang-orang kafir, “Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Qs. Az-Zumar: 7). Kedua, kelompok orang-orang yang berkhianat, “..dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52). Ketiga, orang-orang yang fasik, “Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (Qs. At-Taubah: 96). Jika dibandingkan jumlah kelompok mereka yang diridhai dibanding yang tidak, menunjukkan keridhaan Allah lebih besar dalam banyak hal. Ada satu hal lagi yang mesti kita perhatikan, ayat yang berbunyi, “Rhadiallahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” dan yang semakna dengan itu hanya berulang setidaknya empat kali. Hal ini berarti, keridhaan Allah terhadap hamba-Nya jauh lebih besar dari keridhaan hamba kepada Tuhan-Nya.

Ridha Ilahi, Karunia Terbesar

Keridhaan Allah sesungguhnya adalah sebesar-besarnya karunia Allah yang diberikan-Nya kepada manusia. Melalui Kumayl ibn Ziyad, imam Ali as mengajarkan kepada kita sebuah rangkaian do’a yang panjang, yang dikenal dengan nama Do’a Kumayl atau Do’a Hadhrat Khaidir. Diantara penggalannya, Imam Ali as bermunajat dengan mengucap, “…wa taj’alani biqismika radhiyan qani’an, wa fi jami’il-ahwali mutawadhi’an, dan jadikan aku ridha dan qana’ah akan pemberian-Mu, dan dalam segala keadaan tunduk dan patuh kepada-Mu.” Pada penggalan do’a ini, kita melihat, Imam Ali as lebih mendahulukan memohon maqam keridhaan dan qana’ahdibanding memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.

Pada umumnya di antara kita, menilai sebesar-besarnya karunia Allah pada hamba-Nya adalah keimanan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya (sehingga sering diulang-ulang di setiap khutbah). Namun, setidaknya oleh Imam Ali as, tidak. Karunia terbesar Allah adalah keridhaan-Nya. Mengapa?. Ayatullah Husain Mazhahiri ketika mensyarah penggalan do’a tersebut membantu kita menemukan jawabannya. Dalam kitab Syarh_e wa Tafsir_e Dua_ye Kumayl, beliau menulis, “Sebab, bahkan oleh Rasulullah saww sendiri dengan berbagai ibadah yang beliau lakukan, ketaatan, perjuangan dan kesetiaannya di jalan Allah, kemudian semuanya itu diletakkan pada satu sisi timbangan, sementara anugerah berupa akal, pemikiran, kekuatan, kemaksuman dan anugerah lainnya berada pada sisi timbangan lainnya, maka karunia dan pemberian Ilahi masih lebih berat dibanding semua ibadah, ketaatan dan perjuangan beliau saww.” Beliau (semoga Allah merahmatinya) melengkapkan jawabannya dengan menukilkan, kisah Nabi Musa as dan Nabi Daud as yang berkata, “Bagaimana mungkin kami mampu untuk bersyukur kepada-Mu dengan sepenuhnya. Sementara kecenderungan untuk bersyukur kepada-Mu itu sendiri adalah anugerah dan karunia dari-Mu, dan itu juga memerlukan syukur yang lain?”. Allah kemudian menurunkan wahyu kepada keduanya, “Jika demikian, maka Aku telah ridha akan syukurmu.”

Ya, demikianlah, pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil. Sebab jika sekiranya perlakukan Allah pada hamba-hamba-Nya berdasarkan pada keadilan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang bisa meraih kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan  akhirat, terlebih lagi kenikmatan dunia bagi orang-orang yang kafir dan durhaka kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabiullah saww itu beristighfar, memohon ampun kepada Allah setiap harinya sampai 70 kali. Kalau kita ingin sedikit kritis, sebenarnya, apa faedah Rasulullah saww memohon ampun kepada Allah, sementara yang beliau lakukan  keseluruhannya adalah kebaikan yang dijadikan tauladan, terlebih lagi bukankah beliau telah disucikan oleh Allah?. Bagi Rasulullah, istighfar bukan hanya untuk memohon pengampunan dari kesalahan dan dosa, namun juga berkaitan dengan amal kebaikan. Yakni, permohonan ampun dari setiap kebaikan yang telah dilakukan, dimaksudkan adalah sudilah kiranya Allah mengampuni kekurangan dan cacat dari amal kebaikan yang telah dilakukan. Kita sadar, bahwa kebaikan semacam apapun pada akhirnya tetaplah kurang dan cacat jika dibanding dengan kebaikan Allah yang tercurah buat kita. Istighfar Rasulullah adalah, permohonan agar kiranya dalam memperhitunngkan setiap amal ibadah, Allah lebih mendahulukan keridhaan-Nya dan bukan keadilan-Nya. Bisa jadi inilah falsafahnya, dalam bacaan shalat mayyit, kita diminta untuk membaca do’a, “Allahummagfirh lihadzal mayyit, Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.” Kita tidak diminta untuk mendoakan, “Semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas kebaikan-kebaikannya”, namun sayangnya, doa semacam ini yang sering kita hadiahkan buat si mayyit.

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.

Sebagaimana yang telah kami katakan, mustahil bagi manusia untuk mengenal hakikat dzat Tuhan. Pengenalan rasionalitas atas-Nya hanya bersifat universal atau pengenalan melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, salah satu tujuan utama al-Quran yang dalam berbagai ayatnya berbincang tentang sifat-sifat Tuhan adalah melakukan rekonstruksi, memperdalam, dan memperluas pengenalan manusia terhadap Tuhan. Ratusan ayat al-Quran kadangkala secara langsung membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan menyebutkan tentang asma Tuhan. Dari sebagian ayat bisa pula ditemukan adanya prinsip-prinsip universal dalam penyifatan Tuhan.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mengenali Tuhan melalui sifat-sifat-Nya merupakan cara yang sangat rumit karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, karena sedikit saja kita salah menganalisanya bisa mengarahkan kita kepada pen-tasybih-an atau “penyerupaan” yang berujung pada kehilangan sebagian makrifat kita dari al-Quran.

Salah satu hal yang mendasar untuk dilakukan adalah berpegang pada ayat-ayat yang muhkam (ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas) tentang sifat-sifat Ilahi untuk dijadikan pijakan dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabiyah (ayat-ayat yang tidak memiliki makna yang jelas), seperti menafsirkan ayat-ayat yang secara lahiriah menyifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.

 

Bukan tasybih dan ta’thil

Al-Quran pada satu sisi menegaskan bahwa pengenalan terhadap hakikat dzat Tuhan merupakan hal yang mustahil bagi manusia, Tuhan bersabda, “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”[1] (Qs. Thahaa: 110)

Dari sisi lain, dalam berbagai ayat telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sedikitpun kemiripan dengan maujud lain dan tidak ada sesuatupun yang bisa digambarkan setara dengan dzat suci-Nya. Ayat ini pada dasarnya merupakan ayat muhkam yang menegaskan kesalahan berpikir aliran Tasybih dan segala konsep yang memandang ada kemiripan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dia bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. As-Syura:11)

Pada pembahasan Tauhid dipahami bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dzat, akan tetapi sepertinya ayat-ayat tersebut selain menafikan kemiripan maujud lain dengan dzat Tuhan, juga menafikan kemiripan antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat selain-Nya. Sebenarnya ayat itu menceritakan bahwa baik dari sisi dzat mutlak Tuhan maupun dari sifat-sifat-Nya tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan tidak ada pula sesuatu yang bisa digambarkan mempunyai kemiripan dan kesamaan dengan-Nya. Makna ayat ini bisa ditemukan pula dalam sebagian ayat seperti pada ayat terakhir surah at-Tauhid.[2]

Ayat al-Quran di atas dalam posisinya menjelaskan kesalahan maktab Tasybih, selain itu juga menafikan segala bentuk kemiripan dan kesetaraan Tuhan dengan eksistensi lain dalam dzat dan sifat. Pada ayat-ayat yang lain juga mengetengahkan tentang sifat-sifat salbi Tuhan seperti penafian kebinasaan dan keterikatan dengan ruang dan waktu dimana akan dibahas kemudian dalam tema “sifat-sifat negasi dan salbi Tuhan”.

Demikian juga, al-Quran meninggikan dzat Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dan pen-tasybih-an. Pada banyak ayat setelah menukilkan pemikiran-pemikiran keliru dari para musyrikin tentang Tuhan, al-Quran menegaskan poin bahwa penyifatan mereka atas Tuhan adalah tidak layak untuk maqam suci ketuhanan (uluhiyat), Dia bersabda, “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”[3] (Qs. al- An’am: 100). “Mereka tidak Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[4](Qs. al-Hajj: 84)

Ketika berhadapan dengan kelompok ayat seperti di atas, bisa jadi kita menyangka bahwa al-Quran hanya memiliki makrifat Tuhan secara terbatas dan tidak memberikan makrifat atas-Nya kepada manusia lewat penjabaran akal serta pemahaman rasional. Akan tetapi kesimpulan seperti ini merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dan tidak benar, dengan melakukan kontemplasi terhadap ayat-ayat yang lain akan menjadi jelas bahwa al-Quran selain menegaskan pensucian Tuhan secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, juga menekankan tentang adanya kemungkinan untuk mengenali-Nya.

Ayat-ayat yang bisa menjadi saksi paling baik untuk klaim ini sangat banyak dimana di dalamnya menyebutkan tentang asma dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memperhatikan bahwa al-Quran mengajak manusia untuk berfikir dan berkontemplasi tentang ayat-ayat-Nya maka tidak bisa diterima bahwa penyebutan asma Tuhan secara berulang pada ayat-ayat yang berlainan murni hanya sekedar sebuah bacaan tanpa memberikan makna.[5]

Oleh karena itu, al-Quran dalam masalah penyifatan Tuhan menolak mutlak metode tasybih maupun metode ta’thil lalu mengambil jalan tengah antara keduanya, dari satu sisi metode ini meletakkan sifat-sifat jamal dan jalal-Nya pada jangkauan pemahaman manusia, dan di sisi lain menegaskan ketakserupaan Dia dalam dzat dan sifat dengan makhluk serta mengingatkan bahwa sifat-sifat Tuhan jangan dipahami sedemikian sehingga menyebabkan pen-tasybih-an dengan selain-Nya, tapi seharusnya makna-makna dari sifat-sifat Ilahi ini dilepaskan dari warna kemakhlukan dan keterbatasan serta diletakkan sebagaimana selayaknya untuk dzat suci Tuhan.

Tentunya jumlah ayat-ayat yang secara tegas menafikan pandangan tasybih lebih banyak dari ayat-ayat yang menolak pandangan ta’thil, hal ini muncul mungkin karena para penganut teisme lebih sering terkontaminasi dengan pandangan tasybih dibandingkan dengan pandangan ta’thil.

Sifat Tuhan dalam Hadis

Dengan merujuk pada literatur-luteratur hadis, menjadi jelas bahwa pembahasan sifat Tuhan dalam hadis juga mengikuti langkah al-Quran. Dalam sebuah hadis dari Amirul Mukminin Ali as dikatakan bahwa dalam tafsir ayat 110 surah Thaha, beliau bersabda, “Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”[6]

Imam Ali as pada awal perkataannya menjelaskan bahwa tak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari “meletakkan tirai pada mata hati” adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat tak terbatas Tuhan. Imam Ali as dalam kelanjutan tema ini menegaskan  bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita.

Tentang hal ini terdapat beberapa riwayat, sebagai contoh kita bisa melihat dalam “Khutbah Asybâh“, beliau bersabda, “Sesungguhnya berbohonglah mereka yang meletakkan sesuatu setara bagi-Mu, mereka menyerupakan-Mu dengan patung-patung sembahan dan memakaikan pakaian makhluk kepada-Mu dengan khayalannya dan menganggap-Mu sebagaimana benda jasmani yang memiliki organ dan mereka menisbahkan indera-indera makhluk kepada-Mu sesuai dengan pikirannya”[7]

Dengan demikian, metode pensucian al-Quran yang bukan tasybih dan ta’thil telah jelas dalam sebagian hadis itu. Mungkin salah satu dalil yang paling tegas untuk klaim ini adalah perkataan Imam Ali as yang bersabda, “Akal-akal tidak dapat menjangkau semua sifat-Nya dan tidak pula terhalang memahami sebagian dari sifat-Nya untuk memakrifat-Nya.”[8]

Selain itu, sebuah hadis yang dinukilkan dari Rasulullah saw dan ahluibaitnya dalam masalah makrifat Tuhan, dalam hadis itu dijelaskan mengenai makrifat berharga atas sifat-sifat Tuhan dan jelas bahwa makrifat ini bersandar pada realitas bahwa manusia pada batas tertentu mampu mengenali Tuhan melalui pengenalan sifat-sifat-Nya.

[1]. Tentunya, penyimpulan ayat bersandar pada bahwa dhamir pada “bihi” kembali kepada Tuhan, akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa dhamir di atas kembali pada perbuatan orang-orang yang bersalah.

[2]. “… Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”, Qs. at-Tauhid: 5

[3].  Juga rujuk: surah Anbiya: 22, Mukminun: 91 dan Az-Zuhruf: 82.

[4].  Ayat seperti ini terdapat pula pada surah al-An’am: 91, Az-Zumar: 67.

[5].  Qs. An-Nisa: 82, Muhammad: 24, as-Shad: 29.

[6]. Al-Hawizi, Tafsir Nur ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 394, hadis 117. Riwayat ini melegitamasi bahwa dhamir “bihi” pada ayat “La yuhithuna bihi ‘ilman” kembali kepada Tuhan.

[7]. Nahjul Balaghah, khutbah 91.

[8] . Nahjul Balaghah, khutbah 49.

Rabu, 09 Januari 2019 18:43

Tips-tips Mengatasi Sikap Pamer

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik ashghar (syirik terkecil).” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik terkecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu riya’ (pamer).” (HR ahmad)

Khutbah I 

اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. 

قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ 

Jamaah shalat Jum’at hadâkumullah, 

Syirik atau menyekutukan Allah adalah predikat yang tidak main-main. Ia dianggap berat karena ada penyembahan, keyakinan, atau sekadar harapan kepada selain Allah. Jenis syirik tidak tunggal. Syirik memiliki tingkatan, tergantung kadar “penghambaan” seseorang terhadap hal-hal di luar Allah. 

Ada sitilah “syirik kecil” dan ini sering tidak dipahami atau diperhatikan oleh kebanyakan manusia. Padahal, syirik kecil inilah yang paling dikhawatirkan Rasulullah menimpa umatnya. Apa itu syirik kecil? 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ . قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ : الرِّيَاءُ 

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik ashghar (syirik terkecil).” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik terkecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu riya’ (pamer).” (HR ahmad) 

Sikap Rasulullah yang menempatkan riya’ sebagai paling ditakuti mengindikasikan betapa gawat perbuatan tercela tersebut. Gawat pertama karena muncul harapan selain Allah, dan gawat kedua karena dosa ini nyaris tak terasa lantaran “kelezatan” yang diterima pelakunya, seperti berupa pujian, sanjungan, hingga kenaikan kedudukan dari orang-orang di sekitarnya. 

Inilah merupakan bentuk dari berwujudan tauhid sejati. Artinya, syirik tak mesti dialamatkan kepada para penyembah pohon atau batu, tapi juga pada orang-orang yang bergantung pada pujian dan pandangan orang lain. Allah tak lagi menjadi ukuran utama terhadap segenap nilai perbuatan baik. Karena itu, betapa banyak orang memperlihatkan, memotret, atau memperdengarkan kedermawanan, kesalehan, prestasi, bukan agar orang lain meneladani melainkan sekadar mengetahui, syukur-syukur melontarkan puji-pujian. Fenomena ini kita temui dengan sangat mudah di era media sosial ini. 

Riya’ merupakan penyakit hati. Ia virus yang tergolong sukar diobati dan menggerogoti habis nilai pahala di mata Allah subhanahu wata‘ala. Riya’ bisa berlangsung dalam tiga waktu: sebelum, saat, dan setelah perbuatan baik dilakukan. Lantas bagaimana cara mengatasinya? 

Jamaah shalat Jum’at yang semoga dirahmati Allah, 

Pertama, orang yang terbesit riya sebelum mengerjakan amalan dan memang berniat mengerjakannya semata karena riya’, maka agar selamat orang semacam ini harus menunda amalannya sampai timbul rasa ikhlas. Untuk menimbulkan rasa ikhlas, seseorang perlu merenung bahwa kritikan dari orang lain lebih sering meningkatkan kualitas diri ketimbang sanjungan yang memacu perasaan ujub lalu menjatuhkan. 

Kedua, bila riya’ muncul di saat melakukan amalan, seseorang dianjurkan untuk menghalau gangguan itu sambil meneruskan amalannya. Kalau godaaan riya terus hadir, ia tidak perlu menggubrisnya. Insyaallah amalannya diterima karena tetap berpijak pada niatnya semula. Keterangan ini bisa kita temukan dalam kitab Maqashidur Ri‘ayah li Huquqillah karya Izzuddin bin Abdus Salam. 

Ketiga, niatan awal bisa saja karena Allah, saat melakukannya pun tak ada kendala dalam hati. Tapi, hawa nafsu yang pantang menyerah bisa menjerumuskan ahli amal dengan berbuat riya’ setelah kebaikan dan kesalehan itu dilakukan. Orang yang dihadang godaan seperti ini perlu serius membentengi diri dan selalu berpikir bahwa kebaikan tak datang dari dirinya tanpa pertolongan dan karunia Allah. Di saat yang sama, penting juga menginsafi bahwa keburukan masih lebih banyak bersemanyam dalam diri daripada kebaikan. 

Jamaah shalat Jum’at hadâkumullah, 

Penjelasan ini memberi pesan kepada kita semua bahwa siapa pun bisa dihinggapi rasa syirik, bahkan orang yang kerap memvonis syirik orang lain pun. Manusia dituntut untuk selalu berhati-hati, mengutamakan instropeksi daripada menghakimi. Riya’ termasuk syirik yang samar (khafi), tidak terasa, dan justru karena kesamarannya inilah membuatnya lebih berbahaya dan paling dikhawatrikan oleh Nabi. 

Orang yang rajin beribadah sekalipun belum tentu bersih dari sifat tercela ini. Karena penyakit riya’ bisa menjangkiti kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan apa saja. Riya juga bisa muncul ketika seseorang memanjangkan ruku’ atau sujud di dalam shalat, saat berpakaian yang mengesankan kealiman, menghitam-hitamkan bekas sujud di dahi, atau memfasih-fasihkan lidah saat berceramah dengan mengumbar hafalan dan keluasan ilmu. Adapula yang bersikap sedemikian rupa agar dikatakan orang lain mengaggap dirinya tak suka pamer, ini pun tergolong riya'. Artinya, riya' juga dapat menyelinap di balik sifat-sifat terpuji dan amal ibadah. 

Namun demikian, semuanya bisa dicegah dan disembuhkan. Jangan karena takut riya’ amal ibadah tidak terjalani. Segalanya tergantung pada kesungguhan berjihad dengan diri sendiri dan kelurusan niat hati kita. Menghindari riya’ sesungguhnya adalah upaya memurnikan peruntukkan seluruh amal kebaikan bagi Allah semata. 

Khutbah II 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا 

اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 

Ananto Pratikno, [27.05.16 08:57] 
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ 

Ketua perwakilan Majma Jahani Ahlulbait di Irak mengadakan pertemuan dengan Ayatullah Syaikh Isa Qassim di Najaf Irak pada Selasa (8/1). Hujjatul Islam Pahlavan Zadeh Behbani dalam pertemuan dengan pemimpin spritual gerakan revolusi Bahrain Syaikh Isa Qassim mengawalinya dengan menyampaikan salam dari Sekretaris Jenderal Majma Jahani Ahlulbait Hujjatul Islam Syaikh Akhtari.

 

Menurut Kantor Berita ABNA, Ketua perwakilan Majma Jahani Ahlulbait di Irak mengadakan pertemuan dengan Ayatullah Syaikh Isa Qassim di Najaf Irak pada Selasa (8/1).  Hujjatul Islam Pahlavan Zadeh Behbani dalam pertemuan dengan pemimpin spritual gerakan revolusi Bahrain Syaikh Isa Qassim mengawalinya dengan menyampaikan salam dari Sekretaris Jenderal Majma Jahani Ahlulbait Hujjatul Islam Syaikh Akhtari. 

 

Lebih lanjut, Hujjatul Islam Behbani melaporkan sejumlah kegiatan dan aktivitas sosial, budaya, pendidikan dan keagamaan yang telah dilaksanakan dan sedang dirancang oleh Majma Jahani Ahlulbait di Irak, diantaranya melaporkan aktivitas pendidikan di universitas, husainiyah, masjid dan lembaga-lembaga pendidikan, menyukseskan agenda Arbain Walk, serta majelis-majelis keagamaan. 

 

Hujjatul Islam Behbani juga memberikan laporan lengkap mengenai rangkaian kegiatan Majma Jahani Ahlulbait yang mendukung gerakan revolusi rakyat Bahrain, diantaranya Majma Jahani Ahlulbait telah mengirimkan surat kesejumlah tokoh berpengaruh dunia yang menceritakan mengenai penangkapan pemimpin gerakan revolusi Bahrain dan meminta dukungan agar rakyat Bahrain bisa dipenuhi tuntutannya oleh rezim al-Khalifah. 

 

"Termasuk ketika anda menjadi tahanan rumah, Majma Jahani Ahlulbait mengadakan rangkaian konferensi di Najaf dan banyak negara dengan membeberkan fakta mengenai ketertindasan rakyat Bahrain." Ungkap Hujjatul Islam Behbani. 

 

Ayatullah Syaikh Isa Qassim menanggapi positif kegiatan-kegiatan Majma Jahani Ahlulbait termasuk dukungan Majma pada perjuangan rakyat Bahrain yang menuntut keadilan dan dihentikannya penindasan. "Iya, saya tahu mengenai banyaknya aktivitas Majma Jahani Ahlulbait termasuk aktif dalam memberi dukungan pada perjuangan rakyat Bahrain, dan saya sangat berterimakasih dengan semua itu."

 

 

Diakhir pembicaraan, Hujjatul Islam Behbani juga menginformasikan mengenai anggota Majma Jahani Ahlulbait yang saat ini mencapai 3 ribu tokoh intelektual dari berbagai negara dan memiliki 70 kantor cabang diseluruh dunia, termasuk di Eropa.

 

Disebutkan Ayatullah Syaikh Isa Qassim sempat menjalani tahanan rumah selama 2 tahun oleh rezim Ali Khalifah dengan tuduhan memprovokasi rakyat Bahrain untuk berbuat kekacauan. Ia sempat dibawa ke London Inggris untuk menjalani pengobatan karena sakit dan saat ini sedang berada di Najaf Irak. Selama di Najaf ia telah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh penting Irak termasuk politisi dan ulama. 

Rabu, 09 Januari 2019 18:37

Safavi: AS Harus Menerima Kekuatan Iran

Asisten dan Penasihat Rahbar, Sayid Yahya Rahim Safavi mengatakan, Republik Islam Iran saat ini merupakan kekuatan pertama di kawasan dan Amerika harus menerima kekuatan ini.

Safavi Rabu (9/1) seraya menjelaskan bahwa kekuatan Amerika tengah runtuh menambahkan, kekuatan lunak Iran yakni kekuatan budaya dan Islam mulai menyebar dan al-Hashd al-Shaabi serta Hizbullah Lebanon adalah contohnya.
 

Seraya menekankan perang Islam untuk menyelamatkan dunia, Safavi mengatakan, ideologi murni Islam satu-satunya penyelamat dunia.

Ia juga mengisyaratkan konspirasi musuh anti revolusi Islam dan mengatakan, dewasa ini sebuah operasi psikologis, media dan ekonomi anti Iran tengah dilancarkan oleh AS, Arab Saudi dan rezim Zionis Israel.

"Dengan kewaspadaan dan kecerdasan Iran, konspirasi ini bakal dijinakkan," tegas Safavi. (

Rabu, 09 Januari 2019 18:35

Kompleks Makam Saudara Imam Ridha as

Berikut ini adalah sekilas kompleks makam Imamzadeh Abdullah bin Musa bin Ja'far as, keturunan Imam Musa Kadhim as dan saudara Imam Ali Ridha as.


Kompleks tersebut terdapat di pusat kota Bafq, Provinsi Yazd, Republik Islam Iran. Bangunan ini berbeda dalam hal gaya, kubah, ubin dan dekorasi interior, di mana ini adalah karya yang berharga.

 

Kompleks makam Imamzadeh Abdullah tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang dari berbagai kota terutama penduduk Bafq sendiri. (

Media-media Afghanistan mengabarkan pembatalan perundingan Taliban dengan utusan pemerintah Amerika Serikat di Qatar.

IRNA (9/1/2019) mengutip media Afghanistan melaporkan, Taliban membatalkan perundingan dua hari dengan utusan pemerintah Amerika yang rencananya akan digelar di Qatar karena perubahan tema pembahasan.

Taliban, Selasa (8/1) mengumumkan, perundingan dengan Amerika yang sedianya akan dilaksanakan hari Rabu (9/1) di Qatar, batal.

Menurut keterangan Taliban, karena tema pembahasan perundingan diubah oleh pihak Amerika, maka Taliban tidak akan menghadiri perundingan tersebut.

Sebelumnya perundingan damai dengan Taliban akan dihadiri oleh wakil pemerintah Afghanistan dan Amerika di Jeddah, Arab Saudi namun karena Taliban menolak berunding dengan pemerintah Kabul, maka mereka memutuskan tidak hadir, namun sepakat dengan perundingan di Qatar.