کمالوندی

کمالوندی

Selasa, 01 Januari 2019 16:04

Tantangan Imigran Muslim di Eropa (3)

Salah satu kekhawatiran besar negara-negara Eropa mengenai generasi kedua imigran Muslim adalah bahwa mereka yang terpengaruh oleh apa yang disebut Barat sebagai fundamentalisme Islam, akan terjerumus ke arah isolasi budaya. Para imigran dengan isolasi budaya berpotensi melakukan tindakan kekerasan dan terorisme.

Dengan asumsi ini, para pejabat Eropa menganggap budaya Islam memiliki pendekatan agresif terhadap peradaban Barat. Namun, jika mereka benar-benar berkomitmen dengan slogan kebebasan keyakinan dan agama, tidak akan pernah muncul asumsi tentang pertentangan Islam dengan norma-norma budaya dan nilai-nilai kemanusiaan peradaban lain. Dugaan ini sebenarnya muncul karena media-media Barat memperkenalkan Islam secara bias.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sepucuk surat kepada pemuda Eropa dan Amerika pada 21 Januari 2015, mengatakan, "Kenalilah Islam dari sumber-sumber orisinil dan aslinya. Kenalilah Islam melalui al-Quran dan kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw. Di sini, saya ingin bertanya apakah kalian sudah pernah membaca langsung al-Quran kaum Muslim? Apakah kalian sudah mempelajari ajaran Nabi Islam (Muhammad Saw), dan ajaran kemanusiaan dan akhlaknya? Selain media, apakah kalian pernah menerima pesan Islam dari sumber lain? Pernahkah kalian bertanya pada diri sendiri, bagaimana dan atas dasar nilai-nilai apa sehingga Islam ini telah mengembangkan peradaban ilmiah dan intelektual terbesar dunia selama berabad-abad serta mendidik para ilmuwan dan pemikir paling terkemuka?"

Terlepas dari urgensitas mengenal Islam dan kaum Muslim dari sumber-sumber otentik Islam, para pejabat politik, media, dan intelektual Barat memiliki pendekatan sinis terhadap Islam dan Muslim. Pendekatan sinis ini mendorong para pejabat Eropa – sadar atau tidak – mencitrakan Islam dan imigran Muslim identik dengan terorisme.

Sebagai contoh, otoritas kontra-terorisme Inggris memperingatkan ada sekitar 3.000 Muslim ekstrim tinggal di Inggris, yang berpotensi melakukan tindakan teroris. Namun, pihak berwenang di bidang kontra-terorisme Eropa tidak bisa menjelaskan bagaimana cara mengidentifikasi potensi tersebut.

Media-media Barat tidak mampu membedakan antara kelompok radikal dan imigran Muslim yang cinta damai di Eropa, dan karena alasan ini, mereka menyebarkan pandangan biasnya tentang Muslim di antara masyarakat Eropa.

Para pejabat kontra-terorisme Eropa memperkirakan bahwa 1-2 persen dari Muslim di benua itu – antara 250.000 sampai 500.000 orang – terlibat dalam beberapa jenis kegiatan ekstremis. Namun, berapa banyak dari Muslim ini yang benar-benar mendukung terorisme atau melakukan tindakan teroris, tidak jelas.


Ada beragam pandangan tentang penyebab munculnya perilaku kekerasan ini. Beberapa pejabat politik dan intelektual Eropa percaya pada konflik inheren antara Islam dan dunia Barat. Untuk itu, sebagian besar media Barat mengkampanyekan Islamphobia dan kebencian terhadap Islam.

Sebagian lain berpendapat bahwa praktek diskriminatif di ranah politik, sosial, dan ekonomi Eropa terhadap komunitas Muslim di benua itu telah membantu menumbuhkan terorisme di Eropa. Menurut mereka, pelaku aksi teror di negara-negara Eropa adalah warga keturunan Arab yang tidak puas dengan situasi politik dan sosialnya di negara-negara Eropa.

Dari 66 tahanan pertama di penjara Guantanamo, sekitar 20 dari mereka berasal dari negara-negara Eropa Barat. Banyak dari terduga teroris di Eropa adalah generasi muda kelas menengah, yang terdorong ke arah ekstremisme karena pernah mengalami perlakuan diskriminatif.

Jadi, praktik-praktik anti-agama di bawah bendera sekularisme yang mendominasi masyarakat Eropa dan frustrasi sosial, turut mempengaruhi kencendrungan sebagian pemuda Muslim di Eropa ke arah ekstremisme.

Akan tetapi, sebagian besar pemuda Muslim di Eropa adalah imigran atau pecinta damai. Sayangnya, masyarakat Eropa tidak mampu memisahkan antara mereka dan sebagian anasir ekstrem, dan dalam banyak kasus – sebagai respon atas ekstremisme – masyarakat Eropa menjadikan seluruh warga Muslim sebagai sasaran kritiknya.

Dalam beberapa tahun terakhir, media-media Barat memanfaatkan peristiwa serangan teroris Al Qaeda dan Daesh di Eropa untuk menyudutkan komunitas Muslim. Padahal dalam pandangan Islam dan Muslim, teroris secara prinsip tidak punya agama. Namun, media-media Barat selalu memperkenalkan mereka sebagai Muslim dan Barat menutup mata tentang kerjasama para teroris Al Qaeda dan Daesh dengan pemerintah dan dinas-dinas intelijen Eropa dan AS.

Pada dasarnya, Eropa menghadapi dua fenomena terorisme sekaligus yaitu anasir yang lahir akibat diskriminasi budaya di Eropa dan organisasi teroris lain yang disebut teroris domestik atau homegrown teroris (musuh dalam selimut).

Para teroris homegrown Eropa secara prinsip tidak bisa dianggap sebagai imigran. Karena, mereka – meski memiliki akar imigran – dilahirkan atau dibesarkan di negara-negara Eropa sendiri atau memang warga asli Eropa. Tetapi, para pejabat dan media-media Barat memperkenalkan mereka sebagai generasi kedua atau ketiga imigran.  

Ancaman yang terkait dengan teroris domestik mulai tumbuh signifikan di Eropa sejak 2010. Tujuan mereka umumnya adalah melakukan serangan terhadap rel kereta api, bandara, pesawat sipil, bus umum, dan fasilitas publik.

Perasaan miskin relatif, ketergantungan budaya, dan termarjinalkan secara kelompok, adalah motivasi utama para teroris homegrown Eropa dalam melakukan kekerasan, dan hal ini menjadi persoalan internal negara-negara Eropa. Para ekstremis Eropa biasanya memiliki organisasi yang tidak terpusat dan fakta ini menjadi tantangan sendiri bagi negara-negara Eropa.


Sebenarnya, keamanan publik di Eropa sangat terancam oleh pertumbuhan dan penyebaran teroris domestik.

Salah seorang anggota dinas intelijen Denmark mengatakan, "Ancaman utama bagi negara-negara seperti, Denmark dan semua negara lain Eropa datang dari kelompok pemula, tidak profesional, dan kecil. Mereka adalah para pemuda yang termakan tipuan Muslim atau non-Muslim yang terilhami oleh ideologi Al Qaeda yang disebut jihadis. Orang-orang ini secara terang-terangan atau terselubung melakukan tindakan terorisme, sama sekali tidak terkontrol, tidak terencana atau dukungan dari luar. Mereka menentukan sendiri tujuan, perencanaan, dan pada akhirnya melaksanakannya."

Mengenai kelompok kecil dan teroris lone wolf, Direktur Dinas Keamanan Inggris, Eliza Manningham-Buller dalam pidatonya di Queen Mary's College, London pada 2006 mengatakan, "Semakin banyak orang bergerak dari simpati pasif menuju terorisme aktif melalui radikalisasi atau indoktrinasi oleh teman, keluarga, dalam acara pelatihan terorganisir di sini (Inggris) dan di luar negeri, dengan gambar di televisi, melalui ruang chat dan situs web di internet."

Para peneliti Barat memperkirakan bahwa ancaman terorisme domestik bagi keamanan nasional AS dan negara-negara Eropa akan lebih serius di masa depan dibandingkan ancaman dari Al Qaeda dan afiliasinya.

Banyak bukti menunjukkan bahwa Eropa menghadapi ancaman serangan teroris yang lebih serius daripada AS. Serangan ini datang dari teroris domestik yang terpengaruh oleh ideologi kelompok-kelompok sesat seperti, Daesh dan Al Qaeda.

Meski para pejabat, media, dan bahkan think tank di Barat, tidak tertarik untuk memisahkan antara fenomena terorisme dengan imigran, namun faktanya adalah mencampuradukkan isu imigran dan terorisme di Eropa justru akan memperumit masalah.

Pendekatan seperti ini akan menghalangi para pemimpin Eropa menemukan solusi yang rasional untuk mengakhiri krisis imigran dan juga masalah terorisme; sebagai dua persoalan yang terpisah, namun saling mempengaruhi di Eropa.

Selasa, 01 Januari 2019 16:03

Tantangan Imigran Muslim di Eropa (2)

Kelompok etnis terbesar imigran Muslim di Eropa adalah orang-orang Arab, yang membentuk 45 persen Muslim di benua itu. Posisi berikutnya ditempati orang-orang Turki dan pendatang Muslim dari Asia Selatan.

Mayoritas Muslim di Perancis dan Inggris juga berasal dari Afrika dan Asia Selatan. Warga Muslim mulai berimigrasi ke Eropa dari negara-negara bekas koloni Perancis dan Inggris di Afrika dan Asia Selatan sejak pertengahan abad ke-20. Imigrasi ini melahirkan mayoritas kelompok etnis Afrika Utara di Perancis dan mayoritas kelompok etnis Asia Selatan di Inggris.

Migrasi Muslim ke Jerman terjadi bersamaan dengan gerakan apa yang disebut pekerja tamu (Guest Workers), di mana sebagian besar mereka berasal dari Turki dan selama krisis ekonomi pada era Perang Dingin. Warga Muslim mulai mendatangi Eropa untuk mencari pekerjaan selama dekade 1950-an dan 1960-an, setelah kehancuran besar-besaran akibat Perang Dunia II.

Para imigran ini telah memenuhi kebutuhan negara-negara Eropa pada tenaga kerja murah. Jadi, kehadiran populasi imigran Muslim di Eropa terjadi karena kekurangan tenaga kerja di Eropa Barat dan kebijakan imigrasi dekade 1950-an dan 1960-an.

Proses ini berlanjut hingga tiga dekade pasca Perang Dunia II, karena pemerintah-pemerintah Eropa Barat ingin menarik imigran laki-laki muda untuk membangun kembali ekonomi mereka.

Selama beberapa dekade, negara-negara seperti Jerman, Austria dan Swiss, memandang imigran Muslim sebagai kekuatan untuk pemulihan ekonomi Eropa, tetapi pada saat yang sama tidak ada upaya serius untuk memperbaiki kondisi imigran Muslim.


Resesi ekonomi tahun 1970-an di Eropa telah menyebabkan pembatasan yang lebih ketat bagi imigran Muslim. Terlepas dari peran mereka dalam rekonstruksi ekonomi Eropa, peningkatan populasi imigran Muslim memicu kekhawatiran dari beberapa kalangan politik dan media, terutama kubu sayap kanan di Eropa. Mereka berusaha memperkenalkan imigran Muslim sebagai pemicu instabilitas dan ketidakteraturan di Eropa.

Meski diambil keputusan tertentu untuk mengendalikan migrasi tenaga kerja ke Eropa pada awal abad ke-21, namun populasi imigran di Eropa tumbuh semakin banyak. Pertumbuhan ini didorong oleh banyak faktor dan salah satunya penerbitan izin tinggal untuk kunjungan keluarga.

Di masa itu, masalah migrasi belum dianggap sebagai isu keamanan dan politik oleh masyarakat Eropa. Kebebasan bergerak pekerja dari negara-negara berkembang dipandang sebagai hal yang bertujuan membangun kembali pasar domestik negara-negara Eropa.

Setelah itu, Uni Eropa untuk pertama kalinya meloloskan undang-undang yang membedakan antara hak atas kebebasan bergerak individu dari negara-negara anggota dan negara berkembang.

Pada awal abad ke-21, negara-negara Eropa umumnya memandang imigrasi dari sudut ekonomi dan sosial. Salah satu tujuan utama mereka menciptakan pasar tenaga kerja yang terintegrasi, di mana para pekerja dapat bergerak bebas di antara negara-negara Eropa.

Krisis minyak 1974-1973 menyebabkan berakhirnya proses rekonstruksi dan era keemasan ekonomi Eropa, tetapi migrasi Muslim ke Benua Biru terus berlanjut, dan memasuki fase baru yang ditandai dengan kedatangan keluarga-keluarga pekerja.

Sejak akhir dekade 1970-an, negara-negara Eropa berusaha menutup pintunya terhadap arus besar pekerja semi-terampil, tetapi pada masa itu pula, jumlah pasangan dan anak-anak dari pekerja migran yang tinggal di Eropa telah meningkat. Hal ini mendorong keluarga Muslim untuk memikirkan masalah pendidikan, agama, dan sosial serta ditambah lagi ekonomi.

Dengan demikian, pandangan Eropa tentang fenomena imigrasi mulai berubah sejak pertengahan tahun 1980-an. Meningkatnya jumlah imigran Muslim generasi kedua di Eropa dan permohonan suaka dari kerabat mereka di kampung halaman, telah menjadikan masalah migrasi sebagai sebuah isu politik.


Seiring meningkatnya imigran ilegal, negara-negara Eropa merasa perlu menyusun undang-undang bersama dan mengambil kebijakan terpadu terkait pendatang.

Perjanjian Uni Eropa yang dikenal sebagai Perjanjian Maastricht 1992, memperkenalkan masalah migrasi sebagai subjek regulasi antara pemerintah di Uni Eropa.

Sejak akhir dekade 1990-an, terutama pasca 11 September, masalah migrasi secara bertahap bergeser ke isu keamanan dan beberapa pemerintah Eropa mengaitkan imigran Muslim dengan terorisme, ekstremisme, dan kejahatan internasional.

Sejak akhir dekade 1990-an, negara-negara Eropa menerapkan program integrasi yang sejalan dengan pemikiran dan gaya hidup Barat melalui transformasi budaya dan nilai-nilai Muslim serta perubahan dalam sistem normatif mereka yang sesuai dengan nilai-nilai Eropa. Namun, generasi ketiga imigran Muslim belum mampu menyatu dengan identitas Eropa.

Karena program integrasi tidak berjalan efektif pada generasi ketiga imigran Muslim, maka perpecahan dan kesenjangan sosial secara bertahap muncul di antara mereka dan penduduk lokal, dan menciptakan ruang bagi diskriminasi sosial terhadap imigran Muslim, hanya karena status mereka Muslim.

Di sisi lain, sentimen anti-asing dan Islamphobia semakin merebak di tengah masyarakat tuan rumah. Meningkatnya kekuatan partai-partai sayap kanan anti-imigran di beberapa negara Eropa, termasuk Swedia, Belanda dan Denmark, serta terbentuknya kelompok-kelompok anti-Islam dan anti-imigran seperti, PEGIDA di Jerman, adalah salah satu contoh nyata dari bangkitnya sentimen anti-Islam dan anti-Muslim di Barat.

Fenomena Islamphobia di Eropa dengan sendirinya telah membantu menggiring masalah imigrasi ke isu keamanan Eropa.

Bertambahnya jumlah warga Muslim yang eksodus ke Eropa telah mempengaruhi pendekatan studi sosial dalam meneliti fenomena migrasi di Barat dengan orientasi agama. Di Eropa, studi sosiologis imigran termasuk bagian dari studi agama dengan klaim bahwa kehadiran Muslim telah membawa dampak negatif di Eropa.

Di Amerika Serikat, pendatang utama adalah orang-orang Kristen. Namun di Eropa Barat, imigran yang paling banyak adalah Muslim.

Bagi beberapa negara Eropa, terlepas dari klaim mereka tentang demokrasi dan kebebasan, sangat sulit untuk memenuhi tuntutan atas dasar agama. Menurut beberapa pakar Barat, agama para imigran di Eropa Barat bukanlah sebuah peluang, melainkan penghalang dan tantangan bagi integrasi Eropa serta menjadi sumber konflik dengan institusi-institusi Eropa dan sebuah faktor yang bisa merusak komposisi demografi Eropa di masa depan.


Bernard Lewis, dosen dan analis studi Asia Barat di Princeton University dalam sebuah wawancara dengan majalah Jerman, Die Welt pada 2004, memperkirakan Eropa Barat akan menjadi wilayah Islam di masa depan jika jumlah imigran Muslim terus bertambah.

"Orang-orang Eropa menikah terlambat dan memiliki sedikit atau tanpa anak. Tetapi proses migrasi orang-orang Muslim ke Eropa berjalan cepat. Orang-orang Turki di Jerman, Arab di Perancis, dan Pakistan di Inggris akan bertambah. Mengingat tren saat ini, mayoritas Muslim akan tinggal di Eropa paling tidak pada akhir abad ke-21. Jika Eropa tidak bisa menangani kehadiran Islam dan Arab serta menetapkan pedoman untuk asimilasi Muslim dengan nilai-nilai Eropa, maka saat itu kendali persoalan ini akan jatuh ke tangan kaum rasis dan fasis," jelasnya.

Saat ini, pejabat dan negara-negara di Eropa Barat sedang mengkaji masalah penerapan keamanan ekstrim terhadap imigran Muslim dan melemparkan isu tentang ketidakmampuan atau keengganan imigran Muslim untuk menyatu dengan identitas Eropa.

Di sini, banyak politisi dan pemerintah Eropa – untuk lari dari persoalan internalnya – menggambarkan imigran Muslim sebagai sumber utama masalah.

Dampak dari pendekatan semacam ini adalah munculnya kelompok-kelompok rasis, anti-Islam dan anti-imigran di beberapa negara Eropa. Padahal, imigran Muslim memainkan peran utama dalam pembangunan Eropa sejak dekade 1960-an, dan berbeda dengan klaim kubu anti-Islam, mereka bukan bahaya bagi stabilitas Eropa.

Faktor yang memperkuat ekstremisme di Eropa adalah kebijakan keliru yang memandang imigran Muslim dari perspektif keamanan, dan juga dukungan sebagian negara Eropa kepada Arab Saudi yang menjadi sumber ekspor terorisme Wahabi. 

Selasa, 01 Januari 2019 16:02

Tantangan Imigran Muslim di Eropa (1)

Jumlah populasi Muslim dan imigran Muslim di Eropa sampai sekarang tidak diketahui secara pasti. Negara-negara Eropa mengeluarkan angka yang berbeda dengan alasan pertimbangan keamanan.

Berdasarkan data Pew Research Center, populasi Muslim di Eropa pada tahun 1990 mencapai 29,6 juta jiwa. Pada 2010, jumlah mereka naik menjadi 44,1 juta. Populasi Muslim Eropa diproyeksikan melebihi 58 juta orang pada 2030. Muslim saat ini mencapai sekitar 6 persen dari total populasi Eropa, naik dari 4,1 persen pada 1990. Pada tahun 2030, jumlah Muslim diperkirakan mencapai 8 persen dari populasi Eropa.

Jika tren ini terus berlanjut, jumlah Muslim di Eropa diproyeksikan menjadi sekitar 20 persen pada 2050 dari total penduduk negara-negara Eropa.

Jerman dan Perancis memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa. Menurut Pew Research Center, jumlah Muslim Jerman sekitar 4,11 juta pada 2010 atau sekitar 6 persen dari total populasi. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi 5,5 juta jiwa pada 2020.

Populasi Muslim Perancis sekitar 4,7 juta jiwa pada tahun 2010 atau 7,5 persen dari total populasi. Diperkirakan jumlah itu akan naik menjadi 5,5 juta orang pada 2020 atau sekitar 8 persen dari total populasi Perancis.


 

Statistik ini berhubungan dengan populasi Muslim di Eropa, dan belum termasuk pengungsi Muslim yang tiba di negara-negara Eropa sepanjang tahun 2011-2017 atau setelah pecahnya krisis Suriah. Tentu saja jumlah populasi Muslim di Eropa terutama Jerman, akan bertambah jika dihitung para imigran Muslim yang lari dari krisis di negara mereka.

Saat ini negara-negara Eropa menghadapi berbagai tantangan karena gelombang baru imigrasi. Namun, masih ada perbedaan yang tajam di antara anggota blok Eropa tentang pengambilan sebuah kebijakan terpadu terkait pengungsi.

Statistik PBB pada 2015 menunjukkan setidaknya 59 juta orang di dunia sedang melarikan diri atau bermigrasi, terutama karena faktor-faktor seperti perang, perubahan iklim, kekeringan, kemiskinan, dan pengangguran, atau tekanan politik.

Alasan mengungsi tentu saja tidak terbatas pada faktor tersebut, tetapi ia juga dipengaruhi oleh dampak negatif dari globalisasi, kebijakan ekonomi dalam beberapa dekade terakhir di tingkat global, akses yang lebih besar ke media, serta kebijakan militer dan keamanan negara-negara besar.

Dalam beberapa tahun terakhir, arus pengungsi di dalam wilayah Eropa juga meningkat signifikan. Banyak dari warga negara Yunani dan negara-negara Balkan seperti, Albania, Kosovo dan Makedonia – yang terkena krisis ekonomi dan finansial – menganggap migrasi ke negara-negara kaya Eropa (Jerman, Perancis dan Inggris) sebagai cara terbaik untuk mencari kehidupan yang layak.

Perjanjian Schengen yang memungkinkan bepergian ke 26 negara Eropa tanpa visa, telah membuka jalan bagi para imigran Eropa. Oleh karena itu, kelompok-kelompok ekstrimis sayap kanan di Perancis, termasuk Partai Front Nasional yang dipimpin Marine Le Pen, mendesak pembatalan Perjanjian Schengen guna mengendalikan imigran dari negara-negara Uni Eropa yang lemah.

Saat ini, Uni Eropa menghadapi gelombang besar-besaran pengungsi dan pencari suaka dari tiga jalur utama, yaitu dari Afrika melalui rute Libya, dari Asia melalui Turki dan dari dalam benua Eropa melalui Balkan.


 

Menurut laporan Biro Perbatasan Uni Eropa (Frontex), lebih dari 340.000 pencari suaka dan imigran telah memasuki negara-negara Eropa secara ilegal antara Januari-Juli 2015, di mana naik tiga kali lipat dari periode yang sama tahun lalu.

Data Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa pada 2014, lebih dari 170.000 imigran tiba di pantai Italia, dan lebih dari 3.200 orang kehilangan nyawa mereka, terutama karena karamnya kapal di laut.

Menurut statistik Komisi Eropa, pada tahun 2014 saja, Uni Eropa menerima hampir 626.000 permohonan suaka, angka ini tertinggi sejak 1990. Pada 2013, pemerintah-pemerintah Eropa menerima 431.000 aplikasi suaka. Padahal, laporan IOM pada 2014 menyatakan Eropa saat ini adalah tujuan paling berbahaya bagi imigran ilegal di dunia.

Laut Mediterania juga dianggap sebagai rute yang paling berbahaya di dunia. Rute Mediterania Tengah dan Italia merupakan pintu masuk utama ke Eropa, terutama dari Suriah, Irak, Somalia, Mesir dan Eritrea. Setelah diserbu para imigran, isu imigrasi sekarang telah menjadi salah satu masalah yang paling kontroversial dalam kebijakan keamanan Eropa.

Isu ini mulai dikaitkan dengan beberapa tantangan penting seperti terorisme, kejahatan, ketimpangan sosial, dan perekrutan sebagian imigran oleh kelompok-kelompok takfiri.

Beberapa negara Eropa termasuk Perancis, menolak menerima lebih banyak imigran, dan beberapa negara lain termasuk Hongaria, Yunani, Italia, mengadopsi kebijakan yang keras terhadap imigran dan pencari suaka, serta memperketat keamanan perbatasan. Meski demikian, bagi banyak imigran, Eropa adalah simbol kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan.

Ribuan warga dari negara-negara konflik seperti, Suriah, Afghanistan, Libya, Somalia, Irak, dan ... sedang berjuang mencapai Benua Biru melalui rute-rute yang berbahaya dengan harapan menemukan kehidupan baru.

Ribuan orang kehilangan nyawa mereka, khususnya dari 2013 hingga 2017. Sebenarnya, sebagian besar imigran dan pencari suaka gagal meraih mimpinya di Eropa.

Meski demikian, arus migrasi ke Eropa menjadi lebih intens setelah pecahnya krisis Suriah pada 2011, sehingga gelombang pengungsian ini dianggap sebagai krisis migrasi terbesar sejak Perang Dunia II.

Sejak krisis Suriah, lebih dari 4 juta warga Suriah telah tiba di daratan Eropa dari Laut Mediterania atau melalui perbatasan darat Turki dengan Yunani dan Bulgaria. Dalam hal ini, Turki berusaha memanfaatkan isu imigran sebagai tuas tekanan untuk mendapatkan keuntungan finansial dan politik dari Uni Eropa.

Juru bicara Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Melissa Fleming mengatakan,  "Sampai tahun 2015, ada sekitar 2 juta warga Suriah di Turki, 1,1 juta di Lebanon, 630.000 di Yordania, 250.000 di Irak, 132.000 di Mesir, dan 24.000 di negara-negara Afrika Utara. Pada paruh pertama 2015 saja, hampir 700.000 pengungsi tiba di Yunani melalui Republik Makedonia untuk mencapai bagian lain Eropa. Jumlah imigran yang tiba di pantai Yunani meningkat lebih dari 408 persen dalam enam bulan pertama 2015 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu."

Pada Juni 2013, Parlemen Eropa meloloskan sebuah kerangka kerja bersama untuk menghadapi para imigran. Kematian 800 imigran pada April 2015 mendorong Uni Eropa mensahkan resolusi 10 butir untuk mengatasi arus imigran dan pencari suaka. Pada 2018, beberapa negara Eropa juga mendesak pengetatan kebijakan imigrasi.

Perdana Menteri Republik Ceko, Andrej Babis dalam wawancara dengan surat kabar Pravo, cetakan Praha pada Agustus 2018, menyerukan kebijakan pembatasan terhadap imigran dan pengungsi di seluruh Uni Eropa.


 

"Kita pertama-tama dan terutama harus mengirim sinyal yang jelas bahwa Eropa ditutup dan tidak ada yang bisa datang ke sini lagi," tegasnya.

Menurut Babis, pesan Eropa kepada para pengungsi harus berbunyi, "Tetaplah di rumah kalian, dan kami akan membantu kalian di sana!"

"Pesan ini juga harus jelas. Jika saya mengatakan bahwa kami tidak akan menerima satu pun imigran ilegal, maka itulah yang akan terjadi," tandas Babis.

Republik Ceko, bersama dengan Polandia, Hongaria, dan Slovakia dengan keras menentang skema Uni Eropa untuk mendistribusikan para pencari suaka di seluruh blok Eropa.

Sejumlah bukti menunjukkan bahwa Uni Eropa sedang memperketat kebijakannya terhadap imigran Muslim. Padahal, penyebab utama arus imigrasi dari negara-negara Muslim di Asia Barat, terutama Suriah adalah karena perang dan krisis yang diciptakan oleh teroris Takfiri dukungan Amerika Serikat dan Barat. 

Anggota senior gerakan perlawanan Islam Palestina, Hamas mengatakan, Republik Islam Iran memainkan peran langsung dalam mendukung rakyat dan perlawanan Palestina.

Anggota Hamas, Mushir Al Masri yang juga ketua komite hubungan luar negeri dan juru bicara Fraksi Perubahan dan Reformasi di Parlemen Palestina, Ahad (30/12/2018) kepada Tasnim News menuturkan, perlawanan Palestina memaksakan perimbangan baru terhadap Zionis dan dalam perimbangan ini ditegaskan, wilayah Gaza haram bagi Zionis dan jika rezim Zionis Israel berpikir untuk masuk ke Jalur Gaza atau berhadapan dengan perlawanan Palestina di wilayah ini, maka bersiaplah untuk menanggung dampaknya.

Iran dan Palestina

Al Masri menjelaskan, kubu perlawanan berhasil memaksakan perimbangan baru kepada Israel lewat operasi bersama dan menajemen bijaknya dan perimbangan itu adalah hujan rudal dibalas hujan rudal, darah dibalas darah, dan menegaskan bahwa perlawanan mampu memaksakan perimbangan yang lebih besar. 

Selasa, 01 Januari 2019 06:55

The Dome of the Rock

The Dome of The Rock (Qubbat al-Sakhra) adalah sebuah bangunan dengan keindahan luar biasa, soliditas, keanggunan, dan singularitas bentuknya, baik di luar maupun di dalamnya.


Bentuk bangunan yang luar biasa itu sebagian besarnya ditutupi dengan lapisan emas sehingga mata orang yang memandang akan terpesona dengan keindahannya. Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Qubbat al-Sakhra adalah bagian dari Masjid al-Aqsa.

 

The Dome of The Rock berada dalam satu kompleks Haram As-Sharif. Orang Yahudi biasa menyebutnya sebagai Temple Mount.  Kubah Batu ini dibangun pada masa Dinasti Umayyah, antara tahun 691 dan 715 Masehi.

 

Qubbat al-Sakhra berbentuk oktagonal atau persegi delapan. Struktur bangunan mengambil tradisi arsitektur khas Bizantium pada abad ke-7. Tahapan pembangunan sekaligus menunjukkan gaya arsitektur yang berbeda untuk pembangunan masjid.

 

Kubah batu tersebut memiliki diameter sekitar 65 kaki atau 20 meter. Di bawah kubah, terdapat batu yang diyakini sebagai pijakan Nabi Muhammad Saw ketika perjalanan Isra Mikraj. Batu tersebut dilindungi oleh pagar dan terdapat tangga yang mengarah ke gua, yang terdapat di bawah permukaan batu. Gua tersebut dikenal dengan sebutan "The Well of Souls" atau Bir el-Arweh.

 

Di bagian interior dan eksterior dihiasi marmer, mosaik, dan plakat logam. Terdapat pula kaligrafi di sepanjang sisinya. Kemudian pada masa kepemimpinan Ottoman, The Dome of The Rock dipercantik. Kubahnya dilapisi emas serta langit-langit segi delapan juga ditutupi ukiran kayu Ottoman.

 

Bentuk kubah yang menawan menjadikan Qubbat al-Sakhra sebagai pelopor penggunaan kubah berbentuk setengah bola. Selain itu, Dome of The Rock menjadi salah satu bangunan dengan kubah terindah di dunia.

Harapan antrean jamaah calon haji (JCH) agar lebih singkat pupus begitu otoritas Arab Saudi memastikan tidak akan menambah kuota berhaji bagi setiap negara di tahun 2019, termasuk dari Indonesia.

Sebagai gambaran, JCH dari Sulawesi Selatan jika ingin berhaji dan mendaftar saat ini maka harus menunggu setidaknya 38 tahun untuk bisa berangkat. Artinya, apabila calon haji (calhaj) mendaftar pada usia 30 tahun, diperkirakan pada umur 68 tahun yang bersangkutan baru benar-benar menunaikan Rukun Islam yang kelima itu.

Waktu tunggu yang lama untuk naik haji juga terjadi di daerah lain di Indonesia, seperti Jawa Tengah dan Bengkulu yang diperkirakan waiting list bisa mencapai 21 tahun. Intinya, setiap daerah memiliki waktu tunggu yang tidak sebentar, setidaknya lebih dari 15 tahun. Dengan kata lain, semakin mendaftar di usia yang uzur, maka peluang berangkat berhaji semakin tua.

Itulah mengapa calhaj Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci kerap dipenuhi oleh jamaah-jamaah lanjut usia. Pada musim haji 2018, setidaknya 60 persen dari total kuota 221 ribu calhaj adalah jamaah berusia lanjut.


Sebagai hal yang manusiawi jika semakin renta seseorang maka kian memiliki kebugaran tubuh yang menurun, belum termasuk risiko kesehatan dengan berbagai penyakit yang bisa diidap. Dengan usia yang tidak lagi muda, menunaikan haji yang sifatnya ibadah fisik tentu tidak mudah.

Seorang calhaj dari Jawa Tengah, Naimah (perempuan, 50-an tahun), mengatakan dirinya tidak akan gusar berapapun lamanya antrean jamaah haji, termasuk jika nanti berangkat haji di usia yang semakin lanjut. Dia mengaku kurang tahu kapan berangkat lantaran informasinya kerap berubah-ubah.

"Terpenting adalah sudah mendaftar. Berangkatnya kapan itu saya ikhlas, semoga Allah sudah mencatat niat kita berhaji," kata pensiunan yang sudah masuk daftar tunggu haji dalam lima tahun terakhir tersebut.

Direktur Bina Haji dan Umrah Kementerian Agama Khoirizi H Datsir pada medio 2018 mengatakan daftar tunggu yang panjang tidak bisa dihindari karena kuota memang terbatas.

Terkait jamaah usia lanjut, menurut dia, sebaran mayoritas lansia jamaah haji menjadi kendala tersendiri sehingga perlu mitigasi yang baik dengan segala risiko. Manajemen risiko harus dikelola dengan baik dengan tiga prinsip, yakni membina, melayani dan melindungi.

"Kalau dilihat sekilas ini memang seperti beban. Tapi sebenarnya tidak, ini adalah peluang untuk ibadah (bagi para petugas)," kata dia.

 

Pemerintah Indonesia melalui berbagai saluran kerap berupaya melobi ke pemerintah Arab Saudi agar kuota haji jamaah Indonesia bisa ditambah sehingga memangkas waktu tunggu berangkat JCH ke Dua Tanah Suci (Haramain) itu.

Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel pernah menyinggung lobi terkait kuota haji saat berbincang dengan jurnalis, termasuk pewarta Antara, di sela melakukan rukun haji Wukuf di Padang Arafah, Arab Saudi.

Agus mengatakan Indonesia memperjuangkan tambahan kuota haji menjadi 250.000 dari 221.000 yang diberikan Arab Saudi di 2019.

"Sebagai Dubes yang ada di Saudi, kami melakukan diplomasi haji dengan pemerintah Arab Saudi. Untuk tahun depan kuota haji naik 250.000," kata dia saat Saudi belum memutuskan kuota haji 2019 bagi Indonesia.

Baru pada pertengahan Desember 2018, Saudi memberi kepastian soal kuota haji Indonesia tahun 2019 yang tidak berubah dibanding tahun sebelumnya.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Haji dan Umrah Kerajaan Saudi Muhammad Salih bin Taher Benten telah menandatangani nota kesepahaman Penyelenggaraan Haji 1440 Hijriyah/ 2019 Masehi.

Dari Taklimatul Hajj itu, Lukman mengatakan kuota tahun depan sama dengan dua tahun terakhir.

"Dalam MoU tersebut, disepakati bahwa kuota jamaah haji Indonesia 1440 Hijriah/2019 sebanyak 221 ribu orang atau sama dengan 2018 dan 2017. Karena proses renovasi Masjidil Haram, kuota haji Indonesia pernah dipotong 20 persen sehingga hanya 168.800 pada 2013-2016," kata dia.

Fasilitas Terbatas

Siapa saja boleh berandai-andai dengan penambahan kuota jamaah haji. Tetapi jika memantau langsung ke area pelaksanaan haji, bisa jadi akan berpikir ulang saat melihat kepadatan area ibadah haji, baik untuk kategori rukun haji, wajib haji, sunah haji dan hal terkait lainnya.

Salah satu tempat yang disorot adalah kawasan mabit di Mina. Mabit merujuk pada kegiatan menginap sementara. Sementara mabit di Mina adalah tinggal beberapa jam di kawasan itu sebagai bagian dari wajib haji sebelum melakukan lempar batu jumrah di kawasan Jamarat yang berbatasan dengan pinggiran Kota Mekkah.

Fasilitas di Mina cenderung sangat sulit untuk ditata dengan baik agar jamaah yang mabit di kawasan itu tidak berdesak-desakan di tenda.

Segala fasilitas untuk jamaah haji bisa ditingkatkan, tetapi sangat sulit untuk di Mina. Hotel tempat calhaj tinggal, Masjidil Haram, Jamarat, angkutan dan fasilitas terkait haji cenderung mudah ditingkatkan kualitasnya tapi tidak dengan kawasan di antara dua gunung (Baina Jabalain) tersebut.

Dari pengamatan Antara saat pelaksanaan mabit di Mina musim haji 2018, fasilitas tenda tergolong sempit untuk jamaah haji Indonesia. Kira-kira, setiap jamaah yang tinggal di tenda area mabit Mina hanya mendapatkan ruang tidak sampai satu meter per orang atau sekitar 0,8-0,9 meter.

Ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) M Samidin Nashir mengatakan saat ini ruang bagi jamaah dalam satu tenda untuk mabit idealnya lebih lapang sekitar 1-1,5 meter. Dengan begitu jamaah bisa istirahat dengan nyaman.

"Saat ini jamaah hanya bisa tidur dengan kaki tertekuk. Akibatnya, sebagian jamaah tidur di luar tenda," katanya.

Mina merupakan salah satu tempat untuk mabit yang menjadi wajib haji. Daerah itu sudah dibatasi oleh syariat, yaitu diapit dua gunung. Daerah ini sangat penuh sesak dijejali lebih dari dua juta orang dari seluruh dunia untuk melakukan wajib haji. Kawasan gersang ini hanya ramai di musim puncak haji yang tidak sampai sepekan.

Karena wilayahnya dibatasi oleh syariat, cakupan Mina dari zaman Rasulullah hingga kini tetap sama, sementara jumlah Muslim sedunia bertambah. Saat ini setidaknya tiga juta orang berkerumun dalam waktu dan tempat yang sama menjadikan Mina bak lautan manusia.

Mina menjadi tempat tinggal sementara JCH dengan tenda semipermanen memanjang mulai dari Muzdalifah hingga ke pinggir Jamarat. Kawasan yang jauh dari pemukiman penduduk itu hanya ramai di tanggal 11-13 Dzulhijah dalam penanggalan Hijriyah setiap tahunnya. Dalam periode itu jamaah haji sedunia tumpah ruah di satu tempat.

Singkat kata, Mina sangat sentral dalam penyelenggaraan ibadah haji oleh pemerintah Indonesia dan Saudi.

Menag Lukman Hakim menyadari jika penambahan kuota haji bisa menjadi tragedi kemanusiaan jika tidak mengkaji matang-matang terkait Mina. "Sehingga tanpa didahului penambahan sarana dan prasarana ini, menambah kuota jamaah itu bisa menyebabkan tragedi kemanusiaan karena itu mengancam keselamatan jiwa semua kita," kata dia.

Di Mina sendiri terjadi peristiwa berjejal di dalam tenda untuk mabit. Selain itu, antrean di tempat wudhu dan toilet juga sangat panjang di jam padatnya. Maka, Lukman menegaskan sebaiknya dilakukan banyak perbaikan dulu sebelum menambah kuota.

"Fokus kita tidak menambah kuota selama sarana prasarana Mina belum ditingkatkan dengan baik," kata dia. 

Minggu, 30 Desember 2018 07:32

5 Tentara Tewas akibat Bom di Al Arish Mesir

Ledakan bom yang dipasang di jalan yang dilalui kendaraan militer Mesir di kota al-Arish Provinsi Sinai Utara sedikitnya menewaskan lima orang.

Seperti dilaporkan IRIB, ledakan tersebut terjadi pada Sabtu malam (29/12). Polisi dan petugas penyelamat langsung bertolak ke lokasi kejadian.


Militer Mesir

Sampai saat ini belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab serangan tersebut.

Jumat sore (28/12) sebuah bom meledak di dekat salah satu bus yang mengangkut wisatawan asing di dekat Kairo. Ledakan ini sedikitnya menewaskan empat wisatawan asal Vietnam dan menciderai 10 lainnya.

Mesir selama beberapa tahun terakhir khususnya pasca penggulingan Mohammad Morsi oleh militer tahun 2013 mengalami eskalasi instabilitas keamanan dan eskalasi serangan teror.

Mohammad Morsi, presiden sah Mesir menyusul kudeta militer tahun 2013 dilengserkan dari jabatannya atas perindah Abdel Fatah el-Sisi. 

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) Sabtu (29/12) menyatakan, di tahun 2018 lebih dari 29 ribu warga Palestina gugur atau terluka akibat tembakan serdadu rezim Zionis Israel.

IRIB melaporkan, OCHA mengingatkan, militer Israel sejak awal tahun hingga kini menggugurkan 295 warga Palestina dan menciderai lebih dari 29 ribu lainnya.

Berdasarkan laporan OCHA, mayoritas korban gugur dan terluka warga Palestina terjadi selama aksi pawai damai Hak Kepulangan di Jalur Gaza akibat tembakan tentara Israel.

Warga Palestina Protes
Pawai damai Hak Kepulangan digelar sejak 30 Maret 2018 bertepatan dengan Hari Bumi di Jalur Gaza dan sampai saat ini masi terus berlanjut,

Sejak 30 lalu hingga kini tercatat 253 warga Palestina gugur di aksi demo damai akibat tembakan tentara Israel dan lebih dari 26 ribu lainnya terluka.

Mayoritas negara dunia termasuk Iran dan organisasi internasional terus mengutuk kejahatan rezim Zionis terhadap warga tertindas Palestina.

Pawai damai warga Palestina di peringatan hari bumi mengingatkan keputusan Zionis merampas tanah warga Palestina pada 30 Maret 1976. Peringatan Hari Bumi ini digelar setiap tahun.

Israel dengan merampok tanah warga Palestina dan membangun distrik pemukiman Zionis di atasnya berencana mengubah struktur geografi wilayah Palestina dan memberi citra Zionis ke wilayah tersebut sehingga hegemoninya terhadap wilayah Palestina semakin solid. 

Minggu, 30 Desember 2018 06:53

Sertifikasi Halal di Persimpangan Jalan

Penerbitan sertifikasi produk halal dituding jalan di tempat, meski Undang-undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) sudah memberi tenggat waktu yang lama hingga Oktober 2019 dengan semua produk wajib memiliki pengesahan kehalalan.

Berdasarkan regulasi itu, semua produk yang beredar di Indonesia wajib disertifikasi atau dilarang beredar. Karena itu perlu langkah cepat sebelum Oktober tahun depan menyapa.

Sertifikasi Halal bisa dikatakan mandek karena hingga akhir 2018 atau empat tahun sejak diundangkannya UU JPH, tidak ada satupun auditor halal yang dilahirkan oleh Badan Penyelengara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Padahal auditor halal sangat penting dalam rantai proses penerbitan Sertifikasi Halal karena mereka adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk.

Dampaknya, sampai saat ini belum ada satupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang lahir dan mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI sebagaimana dimandatkan UU JPH. LPH sendiri bisa berdiri dengan memiliki sedikitnya tiga orang auditor halal yang telah memperoleh sertifikasi dari MUI.

Terdapat benang kusut yang tak kunjung terurai sehingga pemerintah lewat BPJPH tidak lekas dapat menerbitkan Sertifikasi Halal. Efeknya, dunia usaha gusar tanpa kejelasan bagaimana nasib Sertifikasi Halal produknya sementara masyarakat tidak mendapat kepastian mengenai status kehalalan produk.

Adapun produk yang dimaksud UU JPH itu barang dan atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Sedikit menengok ke belakang, Sertifikasi Halal sebelumnya dikeluarkan beberapa ormas Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Makanan halal
Akan tetapi, MUI sebagai salah satu ormas penerbit sertifikat halal bekerja atas asas kesukarelaan atau voluntary. Produsen juga suka-suka antara ingin mendaftarkan produknya mendapat Sertifikasi Halal atau tidak sama sekali karena belum ada amanah kewajiban atau mandatory bersertifikat sesuai UU JPH.

Kemudian, terjadi loncatan besar bagaimana pemerintah hadir untuk bisa mengatur secara lebih rapi agar ada kewajiban produsen mendaftarkan kehalalan produknya dengan pijakan hukum UU JPH.

Niat baik para perancang UU JPH adalah agar dunia usaha taat akan regulasi mendaftarkan produknya mendapat sertifikat sehingga masyarakat yang di dalamnya terdapat umat Islam bisa terlindungi dari paparan produk nonhalal.

UU JPH juga menjamin pengawasan oleh negara dari sisi penindakan jika dunia usaha tidak taat regulasi dan atau melakukan kecurangan dalam Sertifikasi Halal. Jika terjadi pelanggaran undang-undang maka hukuman perdata atau pidana bisa menjerat.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan UU JPH disahkan pada 17 Oktober 2014, tapi hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah (PP) turunan yang menjadi titik tolak BPJPH bekerja menelurkan sertifikat halal.

UU JPH No 33 tahun 2014 mengamanatkan selamat-lambatnya dua tahun setelah regulasi itu diketok sudah ada aturan turunan, tapi hingga 2018 belum juga ada peraturan turunan soal Jaminan Produk Halal.

Unsur BPJPH mengaku tidak bisa berbuat banyak jika tidak ada landasan peraturan turunan berupa PP. Peraturan Pemerintah yang nantinya terbit bisa menjadi payung hukum BPJPH agar bisa menelurkan auditor halal yang menjadi penggerak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Kepala BPJPH Sukoso, pada medio Desember 2018, memastikan kinerja cepat jika PP sudah terbit. "Sekarang, PP-nya sudah hampir jadi. Tinggal dua kementerian. Setelah dua menteri memberikan paraf selesai sudah, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan".

Saat PP rampung nanti, kata dia, Sertifikasi Halal bisa segera terbit sesuai kewajiban dari UU JPH. Di sisi lain, isu halal sangat sensitif dam BPJPH berupaya meyakinkan banyak pihak, termasuk kementerian dan lembaga negara lainnya terkait implementasi UU itu.

Pemerintah telah bekerja keras agar UU JPH nantinya tidak mengganggu perdagangan Indonesia dengan negara-negara lainnya. Karena itu, penerbitan PP JPH juga dilakukan dengan hati-hati, kata dia.

"Memang lambat, saya akui. Tapi itu untuk meyakinkan semua pihak," katanya menjelaskan soal lambatnya pembuatan peraturan turunan UU JPH.

Tahapan Baru

Skema baru tahapan mengajukan Sertifikasi Halal sesuai UU JPH melibatkan tiga unsur, di antaranya BPJPH, LPH dan MUI. Ikhsan mengatakan LPH belum kunjung ada karena auditor halal bersertifikat tidak juga muncul.

Secara mekanisme penerbitan sertifikat, BPJPH berperan sebagai regulator dan pengelola administrasi Sertifikasi Halal dan LPH menjadi pemeriksa kehalalan produk, sementara MUI menjadi pihak yang memutuskan halal tidaknya produk lewat sidang fatwa.

Saat ada permohonan Sertifikasi Halal dari produsen, maka BPJPH akan menerima pendaftaran dan meneruskannya kepada LPH agar auditor halalnya memeriksa kandungan suatu produk. Setelah hasil keluar maka akan dilanjutkan ke MUI agar dilakukan sidang fatwa kehalalan.

Setelah sidang fatwa maka produk akan mendapat status halal atau tidak halal (tidak ada istilah haram). Apabila MUI memfatwakan halal maka BPJPH akan menerbitkan Sertifikasi Halal suatu produk dan jika sebaliknya status produk menjadi tidak halal. Keterangan dapat berupa gambar, tanda, dan atau tulisan.

Produsen memungkinkan untuk melakukan pengujian ulang dengan membuat produknya menjadi halal sesuai ketentuan syariah atau jika tidak berarti ingin tetap dengan status produknya tidak halal.

UU JPH juga mengatur hukuman pidana bagi pelaku usaha yang mendapatkan Sertifikasi Halal, tetapi dalam pengawasan terbukti melakukan kecurangan atau sengaja tidak menjaga kehalalan produknya. Dengan begitu, negara bisa menindak secara hukum pelanggar UU JPH.

Dituntut Cepat

Belum adanya satupun Sertifikasi Halal membuat BPJPH dituntut bekerja cepat karena pada penghujung 2019 nanti, semua produk harus memiliki pengesahan status kehalalan.

Ikhsan mengatakan pemerintah harus membuat terobosan agar Sertifikasi Halal untuk produk dunia usaha bisa terbit, yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Presiden agar tugas BPJPH bisa diambilalih MUI untuk sementara waktu.

Jika tidak cepat, semakin mepet waktu dengan tenggat waktu pada Oktober tahun depan berarti akan semakin banyak pelaku usaha dan masyarakat yang masuk dalam ketidakpastian.

Menurut dia, MUI memiliki segala infrastruktur untuk menggantikan sementara peran BPJPH sampai badan tersebut siap melakukan tugasnya. BPJPH hingga saat ini belum bisa memenuhi harapan publik untuk bisa menerbitkan banyak Sertifikasi Halal.

Ikhsan mengaku pesimistis BPJPH bisa bergerak cepat di sisa waktu jelang UU JPH memasuki masa mandatory jika tidak dibantu, salah satunya oleh MUI. Terdapat potensi besar BPJPH belum siap hingga UU JPH memasuki masa mandatory.

Kendati demikian, jika MUI benar hadir untuk mengambil alih tugas BPJPH secara temporer, pemerintah tidak boleh lepas tangan begitu saja. MUI bisa berperan dalam administrasi Sertifikasi Halal, mempercepat hadirnya LPH dan melakukan sidang fatwa.

"Jika begitu, pemerintah harus mengintervensi dengan memberi pendanaan yang cukup dan beberapa hal yang dibutuhkan MUI, sementara BPJPH mempersiapkan dirinya," kata dia.

Maka Indonesia Halal Watch meminta pemerintah, dalam hal ini Presiden, agar menjalankan Pasal 59 dan 60 UU JPH dengan memperkuat LPPOM MUI melalui Peraturan Presiden demi keberlangsungan mandatory sertifikasi halal sebagaimana amanat undang-undang dan menjamin kepastian iklim usaha dan hubungan perdagangan internasional, katanya.

Kambing Hitam

Direktur Eksekutif LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan UU JPH mengatur pada Oktober 2019 semua produk sudah bersertifikat. Waktu tersisa sekitar 10 bulan tapi auditor halal dan LPH tidak kunjung jelas nasibnya.

Dari sisa waktu, dia mengatakan tidak akan cukup untuk memproses sertifikat dengan potensi produk yang besar. Jumlah produk yang membutuhkan Sertifikasi Halal sekitar 3,6 juta buah. Sementara produk yang baru disertifikasi halal (bukan oleh BPJPH) baru 30 ribu. Artinya, terdapat 3,57 juta produk belum memiliki Sertifikasi Halal.

Pada persoalan itu, dia mengatakan MUI bisa membantu pemerintah, tapi tidak bisa dijadikan tukang pemadam kebakaran dari sistem penerbitan Sertifikasi Halal yang belum tertata seiring belum moncernya BPJPH dalam menerbitkan sertifikat kehalalan.

MUI, kata dia, tidak boleh dikambinghitamkan jika memang sertifikasi tidak bisa cepat karena sisa waktu untuk mensertifikasi produk yang jumlahnya jutaan tidak bisa dilakukan dengan sekejap.

Lukman, senada dengan Ikhsan, meminta agar pemerintah menjalankan Pasal 59 dan 60 UU JPH sampai BPJPH benar-benar siap menjalanan mandat regulasi.

Produk yang sudah disertifikasi sebagian dilakukan oleh MUI dan lembaga lain yang hingga saat ini masih sah secara undang-undang untuk mengeluarkan status kehalalan produk. Tapi MUI dan lembaga lain itu hanya memiliki masa kerja hingga penghujung 2019. 

Uskup Agung Kepatriakan Ortodoks Baitul Maqdis, Theodosios Sebastia, dengan nama lain Atallah Hanna, menyebut musuh Palestina sebagai musuh Suriah, dan kemenangan Baitul Maqdis bergantung pada kemenangan di Suriah.

Uskup Agung Atallah Hanna dalam wawancara dengan televisi Al mayadeen hari Selasa (25/12) mengapresiasi perjuangan Suriah dalam membantu Palestina.

"Orang-orang Palestina memuji dukungan, persaudaraan, solidaritas dan ketegaran Suriah," ujar  Theodosios Sebastia.

"Orang-orang Palestina akan tetap melanjutkan perjuangannya demi membela tanah airnya," tegasnya.

Selain itu, Uskup Agung Kepatriakan Ortodoks Baitul Maqdis juga mengecam berbagai langkah yang dilakukan rezim Zionis terhadap Palestina yang memanfaatkan dinamika dunia Arab demi kepentingan Israel.