Fardiana Fikria Qur’any, M. Ud-Tanah fadak adalah suatu area tanah kecil padang penggembalaan[1] yang telah dikelola oleh Fatimah di masa Nabi Muhammad SAW dan diwarisinya setelah wafat ayahhnya. Tempat ini merupakan ladang keluarga kecil Ali dan Fatimah membangun kekuatan ekonominya. Kekuatan ekonomi yang dibangun bukan semata untuk kebutuhan keluarganya, melainkan juga untuk membantu orang yang membutuhkan, fakir-miskin dan kaum mustadh’afin.
Fatimah sebagai sosok manusia dengan spiritualitas yang tinggi apakah mungkin memperjuangkan fadak hanya untuk kebutuhan materialnya belaka atau ia punya tujuan politis yang jauh lebih besar dan lebih tinggi daripada tanah fadak itu sendiri? Oleh karena itu, kita perlu kembali melihat catatan sejarah yang telah merekam jejak perjuangan Fatimah yang ingin meminta haknya kembali yang telah dirampas oleh khalifah di masanya dengan klaim bahwa tanah tersebut adalah miliki umat dan yang mengelolanya haruslah wali dari umat tersebut.
Asal Usul Tanah Fadak
Pemberian tanah fadak dari Nabi Muhammad SAW kepada Fatimah Zahra didasari oleh ayat al-Qur’an yaitu, surah al-Rum ayat 38.[2] Ayat ini turun ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam ayat tersebut disebutkan “Kerabat Dekat” dan para mufassir menafsirkan kata tersebut pada sosok Ali, Fatimah, Hasan dan Husein yang memiliki hubungan dekat sebagai menantu, anak dan cucu dengan Nabi Muhammad SAW. Terkait dengan asbabunnuzul ayat, Abu Sa’id Khudri pada tafsir Suyuti, Durrul Mantsur mengatakan bahwa Ketika ayat ini turun, Rasulullah SAW memanggil Fatimah dan memberinya tanah fadak.[3]
Dalam Riwayat Majlisi juga disebutkan bahwa pada pertemuan Rasulullah SAW dengan Fatimah diserahkan juga tanah fadak dan ditegaskan bahwa tanah fadak merupakan mahar ayahnya untuk ibunya, Khodijah. Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Putriku, sesungguhnya Allah SWT telah memberi fa’I pada ayahmu berupa Fadak dan mengkhususkannya untuknya. Tanah itu khusus baginya bukan untuk kaum muslim. Aku berbuat sekehendakku terhadap Fadak. Tanah ini adalah Mahar ayahmu untuk ibumu, Khadijah. Dan ayahmu telah menjadikan Fadak ini untukmu, memberinya untukmu dan untuk anak-anakmu sepeninggalm.” Kemudian Nabi memanggil Adim dan Ali, berkata “Tuliskanlah, Fadak ini ntk Fatimah sebagai pemberian Rasulullah SAW.”. Ali bin Abi Thalib dan mmu Aiman merupakan saksi atas penyerahan warisan tersebut. [4] Dengan demikian, tanah fadak bukanlah sesuatu yang dimiliki Fatimah setelah wafat ayahnya, melainkan diberikan secara langsung oleh ayahnya di saat ia masih hidup. Namun sangat disayangkan klaim khalifah saat itu bahwa Fadak adalah tanah milik umat Islam dan diambil paksa dari Fatimah.
Khotbah Fadak; Sebuah Perjuangan Politik Perempuan
Fatimah Zahra merespon perampasan tanah fadak dengan sangat tegas mengambil langkah dengan berkhutbah di depan kaum Anshar untuk memberikan kesadaran bahwa ada yang tidak benar dari pemimpin saat itu yang melakukan perampasan atas warisannya yang diklaim dan digabungkan ke dalam Baitul mal.
Baqir Syarif Qarasyi membagi-bagi khotbah Fatimah Zahra terkait tanah Fadak ini menjadi empat bagian. Di mana masing-masing khotbah memiliki penekanannya sendiri. Pada khotbah bagian pertama, Fatimah Zahra menekankan pada warisan dalam syariat Islam. Hal pertama yang disampaikan Fatimah ialah bahwasanya warisan dalam syariat Islam diberikan kepada kerabat terdekat orang yang meninggal yaitu, isteri, anak dan orangtua. Adapun konteksnya Nabi Muhammad, kerabat terdekatnya adalah Fatimah Zahra sebagai anak. Hal kedua ialah, halangan terputusnya warisan seorang anak dari ayahnya karena keduanya tidak seagama, namun dalam konteks Nabi dan Fatimah tidak ada halangan yang menyebabkan terputusnya warisan dari ayahnya, Rasulullah SAW.[5]
Khotbah bagian kedua, secara terang-terangan Fatimah menghadapkan diri pada Abu Bakar untuk mengatakan bahwa, Fatimah meyakini janji Allah SWT yang kelak mengadili hamba-hamba Tuhan yang tidak adil dalam konteks ini ialah, merampas tanah Fadak dan menggunakannya.[6]
Penekanan khotbah bagian ketiga terhadap pengingatan kembali kaum Anshar yang acuh tak acuh terhadap hak-haknya Fatimah yang dirampas. Membiarkan Fatimah dizalimi dan dirampas haknya berarti tidak memelihara dan menjaga kedudukannya sama dengan tidak hormatnya mereka pada Nabi Muhammad SAW. Karena “Penghormatan pada seseorang akan terpelihara dan terjaga pada anak-anaknya.” Penekanan lainnya pada bagian ini, Fatimah melihat bahwa umat Islam dalam satu musibah besar yaitu, mereka tidak melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara komprehensif terutama dalam hal mendukung kebenaran dalam mengembalikan hak-hak waris pada Fatimah sebagai anak dari Nabi Muhammad SAW.[7]
Pada bagian keempat khotbah Fatimah mengajak kaum Anshar untuk bergerak mendukungnya mengambil haknya kembali. Gerakan kaum Anshar dalam menekan pemerintahan saat itu untuk mengembalikan haknya Fatimah sama dengan berjuang di medan perang dalam menyebarkan Islam dan memperjuangkan kebenaran. Penekanan lainnya adalah, Fatimah memberikan kritik atas diamnya kaum Anshar terhadap perampasan hak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.[8]
Setelah itu, Fatimah menutup khotbahnya dengan mengingatkan bahwa apa yang telah disampaikannya merupakan peringatan akan adanya pembalasan atas setiap sikap dan Tindakan manusia di dunia ini.[9]
Tanah Fadak: Perempuan dan Kebangkitan
Sebagai seorang perempuan, Fatimah memiliki peran yang cukup penting dan besar dalam memperjuangkan hak-hak dirinya dan suaminya yang diyakininya sebagai pengganti pasca wafatnya sang ayah. Perjuangan Fatimah bukanlah perjuangan dalam gerak sejarah material, tetapi didasari oleh gerak spiritualnya sebagai anak yang lahir dari Rahim kenabian.
Khotbah tanah Fadak yang disampaikan oleh Fatimah bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan material hidupnya saja, melainkan ada visi besar yang ingin dicapai oleh Fatimah yaitu, kembalinya hak suaminya, Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin yang telah dibai’at oleh umat Islam di Haji Wada’ saat itu.
Warisan adalah isu yang terkesan sangat berhubungan dengan keluarga dan Fatimah berangkat dari rumah untuk memperjuangkan hal besar, kepemimpinan dan wilayah Ali bin Abi Thalib, suaminya. Dengan demikian, kita bisa mengambil contoh dari gerakan Fatimah dalam memperjuangkan tanah Fadak tanpa menurunkan derajatnya sebagai seorang perempuan.
[1] Ali Syariati, Fatimah adalah Fatimah: Perempuan sebagai Rumah Cinta, Air Mata dan Kebangkitan. (Yogyakarta: RausyanFIkr Institte, 2013), hal. 244.
[2] “Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat juga kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Rum: 38).
[3] The Ahl-Ul-Bayt World Assembly, Teladan Abadi. Terj. Zayadi. (Jakarta: Al-Huda, 2008), hal. 170.
[4] The Ahl-Ul-Bayt World Assembly, Teladan Abadi. Terj. Zayadi, hal. 171.
[5] Baqir Syarif Syarafi, Biografi, Kehidupan dan Perjuangannya. (Jakarta: Nur al-Huda, 2008), hal. 377.
[6] Baqir Syarif Syarafi, Biografi, Kehidupan dan Perjuangannya, hal. 378.
[7] Baqir Syarif Syarafi, Biografi, Kehidupan dan Perjuangannya, hal. 379.
[8] Baqir Syarif Syarafi, Biografi, Kehidupan dan Perjuangannya, hal. 380.
[9] Baqir Syarif Syarafi, Biografi, Kehidupan dan Perjuangannya, hal. 381.