Tantangan Merekonstruksi Hubungan AS-Iran

Rate this item
(0 votes)

Salah satu ujian berat para politisi adalah bahwa mereka tidak hanya bertanggung jawab atas keputusan dan perilaku mereka sendiri, tetapi juga harus mempertanggung jawabkan keputusan para pendahulu mereka.

 

Berdasarkan prinsip itu, hukum internasional menganggap semua perjanjian internasional akan mengikat meskipun adanya pergantian pemerintah.

 

Kekuasaan di Amerika Serikat juga selalu berpindah tangan dengan mewarisi segudang beban dari pemerintahan sebelumnya, warisan yang pada dasarnya, dalam hal kebijakan luar negeri, penuh dengan perang, kudeta dan intervensi dalam urusan internal negara lain.

 

Dengan kata lain, AS adalah sebuah negara, di mana kebijakan domestik dan luar negeri selain tidak saling melengkapi, tapi juga mewakili dua wajah kontradiktif.

 

Meskipun AS di dalam negeri mendukung demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan sipil – beberapa pengamat mungkin menentang pandangan ini – namun rekam jejak Washington dalam kebijakan luar negeri secara praktis – dan bukan slogan – dipenuhi dengan tindakan menentang demokrasi dan HAM serta pengekangan kebebasan sipil di negara-negara lain.

 

Intervensi CIA dalam urusan internal Iran pada tahun 1953 untuk mendukung front dogmatis dan otoriter dan melawan gerakan demokratis dan progresif adalah sebuah contoh kasus. Dari sudut pandang rakyat Iran, intervensi itu telah menunda proses demokrasi, nasionalisme, dan pembangunan selama tiga dekade.

 

Dalam budaya Iran, faktor utama di balik ketertinggalan ini adalah, pertama, kebijakan konfrontatif AS terhadap bangsa Iran dan kedua permusuhan dan konspirasi pemerintah Inggris.

 

Pengakuan AS atas perannya dalam kudeta anti-demokrasi di Iran setelah 60 tahun tentu saja merupakan kabar usang bagi Iran, sebab sejak awal, semua orang menyadari peran Washington-London mendepak pemerintah Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddeq.

 

Demikian pula, rakyat Iran mengetahui peran penting Washington di banyak insiden tragis dalam sejarah kontemporer Iran, termasuk pembentukan SAVAK (badan intelijen era Syah Pahlevi) untuk meredam protes masyarakat, invasi Irak ke Iran pada tahun 1980, dan pengenaan sanksi yang tidak manusiawi untuk mengisolasi Iran. Tentu saja Tehran tidak perlu menunggu pengakuan Washington untuk membuat penilaian dalam kasus-kasus tersebut.

 

Washington tampaknya telah gagal untuk mempertimbangkan kembali kebijakan bermusuhan terhadap Tehran dalam beberapa dekade terakhir dan bahkan telah melangkah maju dengan kebijakan yang lebih keras, tanpa memperhatikan konsekuensinya. Selain itu, Washington selalu menemukan alasan untuk menyesatkan opini publik AS dan masyarakat internasional.

 

Namun, AS belum berhasil untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakannya meskipun menguasai media-media dunia.

 

Tuduhan-tuduhan seperti, mensponsori terorisme, berusaha untuk mengembangkan senjata nuklir, pelanggaran hak asasi manusia dan perlawanan terhadap demokrasi, kemungkinan akan diterima dalam jangka pendek, tetapi tudingan tak berdasar ini akan kehilangan esensinya dalam jangka panjang. Selain itu, tuduhan tak berdasar telah merugikan kredibilitas Amerika sendiri.

 

Saat ini, banyak pemerintah dan negara menganggap pemerintah Washington tersandera oleh lobi Zionis, dan mereka menyeru rakyat Amerika untuk waspada terhadap ancaman nyata demokrasi di AS.

 

AS menunda untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya terhadap Iran, perilaku yang dikenal sebagai semangat arogansi dalam literatur revolusioner. Ketidakefektifan kebijakan tersebut tampak jelas bagi kalangan intelektual Amerika dan bahkan bagi politisi dan pemikir pragmatis. Dalam kondisi seperti itu, melanjutkan kebijakan tersebut selain tidak efektif, tapi bahkan tidak layak didukung.

 

Sekarang di Iran, sebuah pemerintahan rakyat telah lahir dari pemilu demokratis. Pemerintahan ini didukung oleh rakyat, bahkan mereka yang tidak memilih Presiden Hassan Rohani. Pemerintahan ini dikenal dengan tiga fitur kebijaksanaan, moderasi, dan harapan, dan siap untuk menyelesaikan masalah kebijakan luar negeri yang ada melalui dialog dan diplomasi.

 

AS menghadapi dua pilihan yang menentukan. Opsi pertama adalah melanjutkan kebijakan arogan dan tidak fleksibel seperti di masa lalu. Dalam hal ini, semua harapan yang dinantikan dari Washington untuk perubahan akan sirna dan rakyat Iran dapat membuktikan kepada dunia bahwa permusuhan AS tidak terbatas pada Republik Islam, tapi juga menargetkan bangsa Iran, sejarah, dan identitas mereka.

 

Adapun opsi kedua menuntut tekad kuat Washington untuk mengubah kebijakan bermusuhan terhadap Tehran, dimulai dengan permintaan maaf kepada bangsa Iran atas perilaku masa lalu dan janji untuk sebuah awal baru dalam interaksi dengan Iran.

 

Pilihan kedua ini dapat membantu memperbaiki citra gelap AS di benak rakyat Iran. Dalam jangka panjang, juga dapat melayani kepentingan regional AS, sebagai kekuatan utama, berdasarkan pada win-win model, tapi sejauh tidak melanggar hak-hak bangsa lain.

 

Banyak pengamat politik, khususnya di Iran dan Timur Tengah, sedang menanti untuk melihat opsi mana yang akan dipilih oleh AS sebagai kebijakan masa depannya.

 

Dokumen yang mengungkapkan peran penting AS dalam kudeta 1953 terhadap pemerintah Mosaddeq telah memberikan secercah harapan kepada para pendukung opsi kedua.

 

Kita harus menunggu dan melihat apakah pengakuan itu hanya sebuah kebetulan belaka atau awal dari proses baru, sebuah proses yang harus mengarah pada permintaan maaf resmi kepada bangsa Iran sebagai langkah pertama dan mengakhiri kebijakan yang tidak manusiawi terhadap sebuah bangsa besar, yang menginginkan independensi dan kebebasan.

Read 1766 times