Dewan Kota Tripoli memberi waktu dua pekan kepada pemerintah Libya untuk mengusir semua milisi dari ibukota dengan mengimplementasikan pasal 27 dan 53 undang-undang yang disahkan oleh Kongres Nasional Libya.
Ketua Dewan Kota Tripoli, Sadat al-Badri dalam statemennya mengatakan, jika pemerintah gagal membersihkan Tripoli dari milisi bersenjata sesuai waktu yang ditetapkan, maka warga Tripoli akan kembali melakukan pemogokkan massal dan kampanye pembangkangan sipil.
Dewan tersebut sejak Sabtu, 30 November 2013, menangguhkan aksi protesnya di Tripoli untuk memberi waktu kepada pemerintah agar mengosongkan ibukota dari milisi.
Sejak pertengahan November lalu, Dewan Kota Tripoli menyeru warga ibukota untuk menggelar demonstrasi damai guna memprotes sikap pasif pemerintah dalam menghadapi manuver-manuver kelompok milisi di Tripoli. Protes serupa juga mulai dilakukan di sejumlah daerah di Libya.
Sekarang, pertanyaannya adalah mengapa lembaga lokal seperti Dewan Kota Tripoli berani mengeluarkan ultimatum atau ancaman ke pemerintah pusat?
Kurangnya pengalaman para pemimpin Libya dalam mengatur negara tampaknya telah membuat banyak pihak untuk secara terang-terangan mengeluarkan ancaman kepada pemerintah pusat dan bahkan oleh sebuah lembaga kecil lokal. Di Libya, sampai sekarang belum muncul sebuah pemerintahan yang kuat, efektif dan kompeten.
Sejak penggulingan rezim diktator Muammar Gaddafi, para penguasa baru Libya belum memiliki kekuasaan dari segi politik dan keamanan terhadap berbagai wilayah Libya.
Saat ini, kelompok-kelompok milisi menguasai beberapa wilayah Libya. Di wilayah timur, milisi bersenjata dan para pemimpin suku tidak hanya menduduki sejumlah kilang minyak, tapi juga mendeklarasikan sebuah daerah otonom.
Fenomena itu dengan sendirinya mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah Libya untuk memulihkan stabilitas negara. Perdana Menteri Ali Zeidan tidak mampu melawan gerakan-gerakan yang ingin memecah keutuhan Libya.
Tentu saja, perang kekuasaan di antara berbagai kelompok di Libya berperan dalam menciptakan kekacauan di negara itu. Akan tetapi, kelemahan pemerintah pusat juga membuat kondisi Libya semakin tidak jelas.
Sejak 2011, kota Benghazi telah menjadi tempat berbagai serangan dan teror politik di tengah-tengah meningkatnya perebutan kekuasaan di antara beberapa milisi yang berperang melawan Gaddafi selama pemberontakan. Dan sekarang, perang itu telah menyebar ke seluruh wilayah Libya dan mengancam kehidupan warga.
Pemerintah dinilai gagal dalam mewujudkan persatuan nasional di tengah masyarakat dan mengintegrasikan kelompok-kelompok milisi bersenjata di bawah satu lembaga (militer).
Peredaran senjata di luar militer dan polisi - dengan dalih revolusi atau mempertahankan keamanan nasional - merugikan dan mengancam semua orang, termasuk warga sipil.
Para pengamat mengatakan ketegangan di Libya kemungkinan akan berlanjut sampai negara itu menggelar sebuah pemilu baru, yang merangkul semua kelompok politik dan etnis di negara itu.
Kondisi di Libya diperparah lagi dengan instabilitas politik dan sosial di beberapa negara tetangga, termasuk di Tunisia dan Mesir. Perang perbatasan dan penyelundupan senjata ke wilayah Libya telah menjadi pemandangan sehari-hari.