Sidang tingkat menteri Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) ke-10 yang digelar di Kuwait telah berakhir dengan meninggalkan friksi antara Arab Saudi dan Qatar terkait berbagai isu regional.
Berbagai laporan media menyebutkan, Sekjen P-GCC, Abdullatif Bin Rashid Al Zayani dalam pidatonya di sela-sela sidang komite tingkat menteri organisasi ini di Kuwait mengakui eskalasi friksi antara Arab Saudi dan Qatar terkait berbagai isu kawasan khususnya Mesir. Ia menandaskan, mediasi emir Kuwait sampai saat ini belum mampu meredakan tensi yang ada antara Riyadh dan Doha.
Sekjen P-GCC seraya menyatakan kekhawatirannya atas tensi dalam hubungan Riyadh dan Doha mengatakan, di saat organisasi ini menghadapi beragam kesulitan di negara-negara Arab, berlanjutnya ketegangan antara Qatar dan Arab Saudi akan menurunkan peran P-GCC di percaturan regional dan internasional.
Pengakuan Abdullatif Bin Rashid Al Zayani terkait friksi antara Arab Saudi dan Qatar terjadi di saat Riyadh selama ini di antara negara anggota P-GCC senantiasa memainkan peran saudara tertua. Sementara Qatar juga tercatat sebagai pemain utama organisasi ini dalam transformasi regional.
Di sisi lain, berbagai laporan dari negara-negara Arab Teluk Persia menunjukkan bahwa Emir Kuwait, Sheikh Sabah al-Ahmad masih terus melanjutkan peran mediatornya guna menekan krisis hubungan Qatar dan Arab Saudi. Sejumlah berita menunjukkan jika Riyadh malah berusaha mengeluarkan Doha dari P-GCC.
Berdasarkan sejumlah info, Emir Kuwait yang negaranya bulan depan menjadi tuan rumah KTT P-GCC dalam kondisi apa pun tidak ingin friksi antara Riyadh dan Doha mempengaruhi pertemuan ini dan keputusan yang bakal diambil.
Menurut para pengamat, friksi antara Arab Saudi dan Qatar secara transparan juga berdampak pada krisis regional khususnya Mesir. Di mana Qatar yang mendukung Ikhwanul Muslimin dan Muhammad Mursi, presiden terguling. Sementara, Arab Saudi lebih memilih mendukung pemerintah interim Mesir dan militer negara ini serta telah menyalurkan bantuan lebih dari tujuh miliar dolar ke Kairo.
Adapun petinggi Qatar meyakini bahwa Arab Saudi bersama Uni Emirat Arab, Kuwait dan Bahrain menggalang koalisi anti Doha. Dan Pangeran Bandar bin Sultan, kepala Dinas Intelijen Arab Saudi memimpin koalisi tersebut.
Dalam hal ini terdapat poin yang patut dicermati bahwa safari Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani ke negara-negara kawasan Teluk Persia dalam dua pekan terakhir hanya ditujukan ke negara seperti Uni Emirat Arab, Kuwait dan Bahrain. Sementara Arab Saudi tidak masuk dalam agenda lawatan sang emir muda Qatar. Sheikh Tamim juga tercatat sebagai pemimpin pertama yang meninggalkan pertemuan pasca pembukaan KTT Liga Arab dan Uni Afrika di Kuwait.
Sejatinya sidang terbaru negara anggota P-GCC di Kuwait dapat dicermati sebagai pertemuan yang menunjukkan borok serta friksi sesama anggota, karena negara anggota termasuk Arab Saudi dan Qatar dihadapkan pada luka lama pasca meletusnya kebangkitan Islam, berkuasanya pemerintahan Islam dan semakin rumitnya krisis Suriah, Yaman dan Bahrain.
Mencermati sidang P-GCC sebelumnya akan tampak bahwa meski berbagai propaganda telah dipublikasikan, namun sidang ini sampai kini tidak memberi hasil politik atau keamanan yang dapat dirasakan bangsa kawasan. Atau dengan kata lain, pertemuan organisasi ini sia-sia.
Sejatinya P-GCC dengan membentuk struktur politik yang bersandar pada sistem monarki al-Saud, sampai saat ini masih belum mampu memberi jawaban dan solusi bagi tuntutan berbagai bangsa kawasan.