Konsistensi Imam Husain as dan sahabatnya di saat-saat paling sulit dan keridhoan mereka terhadap musibah muncul dari pemahaman mereka terhadap hakikat kehidupan dan kematian. Imam Husain senantiasa berdiri kokoh dan tidak pernah kalah, sehingga menjadi teladan bagi keuletan dan konsistensi dalam menghadapi beragam kesulitan dan perang melawan otoritarianisme.
Istiqomah di jalan Tuhan merupakan kesempurnaan tertinggi manusia. Melalui istiqomah, manusia mampu menegakkan kebenaran dan tidak akan pernah mundur melawan kebatilan. Imam Husain di kebangkitan bersejarahnya menyadarkan sahabat dan keluarganya akan rahasia istiqomah, sehingga mereka mampu memahami dengan benar hakikat istiqomah, menerapkannya dan menjadi manusia sempurna.
Di antara sahabat Imam Husain as adalah Nafi’ bin Hilal. Di hari Asyura dengan membawa busur dan anak panah, ia menyongsong musuh. Ketika anak panahnya habis ia berperang menggunakan pedang dan membantai musuh-musuh Allah. Sambil mengacungkan pedangnya ia bersyair, Agamaku adalah agama Husain bin Ali. Jika hari ini aku terbunuh, maka ini adalah harapanku. Konsisten dan istiqomahnya Nafi’ bin Hilal di peperangan membuat musuh ketakutan dan memaksa komandan pasukan musuh memaki bawahannya. Komandan musuh berteriak, Wahai orang-orang bodah! Apakah kalian tahu tengah berperang dengan siapa. Kalian tengah berperang melawan orang yang haus akan kematian dan pemberani. Oleh karena itu, jangan berperang langsung melawannya.
Kinerja sahabat Imam Husain as tak ubahnya seperti bendera yang berkibar, konsisten dan istiqomah. Habib bin Madhahir, salah satu sahabat Imam Ali as dan saat berperang di Karbala telah berusia 75 tahun. Saat bertempur ia melantunkan syair, Namaku Habib dan ayahku Madhahir. Aku adalah pahlawan di medan perang. Meski jumlah kalian lebih banyak dari kami, namun loyalitas kami lebih besar dari kalian. Kami adalah hujjah lebih ungul dan kebenaran yang nyata dan lebih bertakwa dari kalian.
Habib di medan pertempuran telah membuktikan istiqomah dan konsistennya di jalan kebenaran serta mempersembahkan nyawanya. Ia bertempur dengan gigih hingga mereguk cawan syahadah. Konsistensi Imam Husain as dan sahabatnya di saat paling sulit dan ketika mereka mengadapi musibah besar bersumber dari upaya mereka memperjuangkan kebenaran dan pamahamannya atas realita kehidupan dan kematian.
Air mata manusia yang menangisi Imam Husain as sejatinya termasuk salah satu pilar yang mempertahankan misi beliau dan menyampaikan pesannya kepada seluruh umat manusia. Dengan demikian, air mata bagi Husain adalah teriakan protes kepada kubu arogan dan zalim. Sebuah kilat dan guntur yang menembak para pendurjana di mana pun dan kapan pun.
Tentang keberadaan Imam Husain as di Karbala diriwayatkan bahwa ketika beliau tiba di padang ini kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku kendati beliau sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakinya. Karena itu, Imam Husain as nampak mulai curiga sehingga bertanya: “Apakah nama daerah ini?” Orang-orang menjawab: “Qadisiah.”“Adakah nama lain?”, tanya Imam lagi. “Shati' Al-Furat.” “Selain itu ada nama lain lagi?” “Karbala...”
Mendengar jawaban terakhir ini Imam Husain as segera berucap: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan malapetaka.” Imam lalu berseru kepada para pengikutnya: “Kita berhenti disini, karena di sinilah akhir perjalanan kita, di sinilah tempat tumpahnya darah kita, dan di sinilah tempat kita dikebumikan.”
Di tanah itu, Ummu Kaltsum as adik Imam Husain as berkeluh kesah kepada beliau. “Padang sahara terlihat menyeramkan, aku tiba-tiba dicekam ketakutan yang amat besar.” Imam menjawab: “Adikku, dalam perjalanan untuk Perang Siffin, bersama ayahanda kami pernah berhenti di sini. Di sini ayah merebahkan kepalanya ke pangkuan kakakku, Hasan, kemudian tertidur. Aku juga kebetulan ada di sisinya. Begitu terjaga, ayah tiba-tiba menangis sehingga kakakku bertanya mengapa ayah menangis.
“Ayah menjawab: 'Aku bermimpi sahara ini berubah menjadi lautan darah dan Husain tenggelam ke dalamnya sambil berteriak-teriak meminta pertolongan tetapi tak seorangpun mengindahkan teriakannya.' Ayah kemudian bertanya kepadaku: 'Bagaimanakah kalian jika seandainya ini terjadi.' Aku menjawab: 'Tidak ada jalan lain, aku akan sabar.'”
Imam Husain as kemudian berkata: “Sesungguhnya Bani Umayyah telah mencemarkan nama baikku, tetapi aku bersabar. Mereka merampas harta bendaku, aku juga bersabar. Mereka kemudian menuntut darahku, tetapi juga tetap sabar. Demi Allah, mereka akan membunuhku sehingga Allah akan menimpakan kepada mereka kehinaan yang amat sangat dan akan menghunjam kepada mereka pedang yang amat tajam.”
Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad sudah mendapat laporan bahwa Imam Husain as berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid. Ubaidillah mengancam Imam Husain as pasti akan mati jika tetap menolak memberikan baiat. Imam Husain as membaca surat itu kemudian melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir Ubaidillah bahwa surat itu tidak akan dibalas oleh beliau. Ubaidillah murka setelah mendengar laporan sang kurir tentang sikap Imam Husain ini. Dipanggilnya Umar bin Sa'ad, orang yang sangat mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota Rey. “Cepat pergi!” Seru Ubaidillah kepada Umar. “Habisi Husain, setelah itu datanglah kemari lalu pergilah ke Rey untuk menjabat di sana selama 10 tahun.”
Umar bin Sa'ad meminta waktu satu hari untuk berpikir, dan Ubaidillah pun memberinya kesempatan itu. Umar kemudian berunding dengan teman-temannya. Dia disarankan supaya tidak menerima tugas untuk membunuh cucu Rasul itu. Namun, saran itu tidak meluluhkan hatinya yang sudah dilumuri ambisi untuk bertahta. Maka, dengan memimpin 4.000 pasukan dia bergerak menuju Karbala. Begitu tiba di Karbala, mulai adegan-agedan penganiayaan terjadi terhadap Imam Husain beserta rombongannya. Umar bin Sa'ad bahkan tak segansegan mencegah mereka untuk mendapatkan seteguk air minum.
Hur dan pasukannya bergabung di bawah pasukan pimpinan Umar bin Sa'ad. Umar memerintahkan seseorang bernama Azrah bin Qais. “Cepat datangi Husain, dan tanyakan kepadanya untuk apa datang kemari.” Kata Umar. Azrah kebingungan dan malu karena dia termasuk orang yang mengirim surat kepada Imam Husain as supaya beliau datang ke Kufah. Umar bin Sa'ad kemudian menyuruh beberapa orang lain untuk bertanya seperti itu, tetapi tak ada satupun diantara mereka yang bersedia. Mereka keberatan karena mereka juga seperti Azrah bin Qais; ikut mengundang Imam Husain as tetapi malah berada di barisan pasukan yang memusuhi beliau.
Diriwayatkan bahwa Barir bin Khudair meminta izin Imam Husain as untuk berbicara dengan Umar bin Sa'ad mengenai penggunaan air sungai Furat. Beliau mengizinkannya dan Barir pun pergi mendatangi Umar bin Sa'ad. Di depan Bin Sa'ad Barir langsung duduk tanpa mengucapkan salam. Karena itu Umar bin Sa'ad langsung naik pitam.
“Kenapa kamu tidak mengucapkan salam kepadaku? Bukankah aku ini seorang muslim yang mengenal Allah dan rasul-Nya?”, tegur Ibnu Sa'ad geram. “Kalau kamu memang seorang Muslim,” jawab Barir, “kamu tentu tidak akan keluar untuk memerangi keluarga nabimu, Muhammad bin Abdullah, untuk membunuh mereka, untuk menawan para anggota keluarga mereka. Di saat orang-orang Yahudi dan Nasrani bisa menikmati air sungai Furat, Husain putera Fatimah beserta keluarga dan sahabatnya justru terancam maut akibat kehausan karena kamu mencegah mereka meneguk air sungai tersebut, tetapi di saat yang sama kamu mengaku mengenal Allah dan rasul-Nya.”
Ibnu Sa'ad sejenak menunjukkan kepada kemudian mendongak lagi sambil berkata: “Hai Barir, saya yakin siapapun akan masuk neraka jika memerangi dan membunuh Husain dan kaum kerabatnya. Namun, apa yang bisa aku lakukan nanti untuk ambisiku di Ray? Apakah aku akan membiarkannya jatuh ke tangan orang lain? Demi Allah, hatiku tidak berkenan untuk yang demikian.” Barir kemudian kembali menghadap Imam Husain as dan melaporkan apa yang dikatakan Umar bin Sa'ad. Imam pun berkomentar: “Dia tidak bisa mencapai kekuasaan di Ray. Dia akan terbunuh di tempat tidurnya sendiri.”