Pengaruh film telah disadari sejak awal munculnya dunia sinema oleh kekuatan penjajah. Dengan munculnya sinema, banyak pemerintah yang mampu melakukan definisi ulang atas berbagai isu hingga mendekati batas kenyataan bagi para audiens.
Dalam hal ini, Hollywood dan media propaganda lain seperti yang dimiliki Nazi Jerman, berusaha memanfaatkan secara maksimal fakta sinematik tersebut. Pasca Perang Dunia II khususnya di Italia, kehausan akan revisualisasi fakta-kata yang ada dalam komunitas seniman kembali muncul ke permukaan dan ditemukan pula berbagai sarana baru perfilman.
Pada era terebut, Hollywood nyaris mengalahkan seluruh media propaganda lain dan tampil sebagai kekuatan media adidaya di dunia. Sebagai sebuah media propaganda politik, Hollywood memahami apa yang diinginkan audiens dan mengolahnya dengan berbagai trik dan teknik khususnya. Hasilnya adalah munculnya film-film realism seperti The Deer Hunter pada dekade 70-an.
Secara bertahap berbagai elemen dokumentasi, berita dan serial televisi juga reality show, bahkan rekaman film rumahan masuk dalam gerakan propaganda Hollywood. Hollywood sedemikian menguasai trik dan teknik merekayasa fakta untuk tujuan-tujuannya, sehingga penguraiannya nyaris tidak mungkin dilakukan oleh audiens non-ahli.
Hollywood sekarang telah mampu meredifinisi atau bahkan mengubah segala macam fakta di jalur yang diinginkannya untuk para audiens. Pada hakikatnya, para audiens pada umumnya tidak mengetahui fakta yang sebenarnya dan mereka merekam fakta-fakta tersebut bukan dari sumber lain kecuali dari definisi yang diberikan media-media propaganda. Hollywood mampu melabel musuh-musuhnya sebagai kekuatan ankara dengan berbagai teknik khusus sehingga terkesan riil. Dan salah satu masalah yang sangat diperhatikan dalam sinema Hollywood adalah masalah realisme.
Agar dapat mentransfer ideologinya, Hollywood mempersiapkan pondasi realistis untuk berbagai peristiwa dan kejadian dalam film-filmnya. Khususnya untuk film yang berhubungan dengan masa dan peristiwa nyata di masa lalu, Hollywood berusaha keras untuk mendekatkan seluruh elemen yang ada dengan sejarah kala itu. Dengan bantuan teknik alur penceritaan termasuk di antaranya menampilkan tulisan di awal film, secara tidak langsung, Hollywood telah menanamkan perspektif kepada audiens bahwa apa yang mereka saksikan adalah fakta riil. Dan masih banyak trik Hollywood dalam hal ini termasuk pengambilan gambar dari kamera yang aktif bergerak ala film dokumentasi untuk menarik kepercayaan audiens.
Hollywood berusaha menciptakan para pahlawan berkekuatan super. Mereka mengetahui dengan baik bahwa untuk mentransfer pesan mereka harus mengalirkannya melalui tahap filtering. Yaitu perantara lama, sebuah idol superhero, karakter yang telah lama disukai oleh para audiens. Dengan demikian, jika sang superhero memiliki pandangan khusus, dengan cepat akan meresap dan diiringi oleh audiens. Selama bertahun-tahun, cara tersebut terbukti efektif untuk menggalang dukungan audiens dalam penyebaran Islamphobia.
Kekhawatiran para pemeran utama atau karakter superhero terhadap Islam sepanjang penayangan film secara langsung akan mempengaruhi opini audiens. Dengan cepat, mereka juga akan mengambil sikap anti-Islam. Melalui cara ini, Hollywood ingin menyatukan perasaan pemeran utama dalam filmnya dengan perasaan dan kondisi para audiens.
Dengan demikian, Hollywood memiliki dua teknik yang digunakan untuk menyebarkan Islamphobia. Pertama memanfaatkan legenda dalam alur cerita yang berujung pada lahirnya pahlawan yang membangkitkan simpati para audiens. Dengan memanfaatkan proses transformasi sosok manusia biasa menjadi superhero yang memiliki karakter tipikal kaum hegemoni.
Dengan mengikuti proses tersebut, audiens diajak untuk menyatukan opini dan perspektif dengan para superhero itu. Namun untuk sampai pada tujuan tersebut, diperlukan pondasi realisme sehingga apa yang disaksikan dalam tayangan fantasi dan fiksi itu tampak nyata dan riil. Di sinilah peran teknik kedua tampil, yakni kecenderungan realisme dan pemanfaataan kode atau tanda-tanda yang akan memposisikan audiens di sebuah kondisi penuh gejolak dan mendebarkan, akibat ketidakamanan yang disebabkan ketidakmampuan mereka dalam membedakan antara yang fakta dan kebohongan. Pada tahap selanjutnya, keamanan akan diwujudkan kembali dalam benak audiens dan mereka tidak akan memiliki pilihan lain kecuali meyakini sutradara dan produsen film tersebut.
Para sutradara juga menggiring audiens dengan bantuan struktur legenda yang didirikan di atas pondasi realisme, sehingga audiens akan meyakini bahwa dunia fantasi yang telah ditayangkan dalam film merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat diganggu-gugat. Metode tersebut digunakan dalam berbagai film Hollywood untuk mempersiapkan opini publik dunia dalam menyikapi berbagai politik intelijen dan keamanan Amerika Serikat, serta dalam program imperialisme dalam menyerang Irak dan Afghanistan, juga kehadiran militernya di negara-negara kawasan untuk melawan apa yang disebut Hollywood sebagai musuh besarnya yaitu Islam.
Dewasa ini, Muslim dan Arab telah menjadi topik klise sinema Hollywood. Menurut para pengamat Barat, setelah peristiwa 11 September, Amerika Serikat dengan alasan kelompok teroris berniat mengancam keamanan warga Amerika, negara ini langsung berada dalam kondisi perang. Para kritikus menilai serangan 11 September sebagai awal dari perang baru untuk mewujudkan tujuan-tujuan makro politik Amerika Serikat.
Amerika Serikat menilai serangan 11 September sebagai aksi teror dan langsung mengumumkan perang terhadap terorisme. Kali ini, perang tersebut tidak dikobarkan untuk musuh di satu negara tertentu saja, melainkan sebuah ideologi dan keyakinan, yaitu Islam. Dan untuk memulai perang besar ini, diperlukan lengan propaganda kuat yaitu Hollywood, sebagai pihak yang akan memikul tanggung jawab berat untuk mencitrakan Arab dan Islam berbahaya.
Para kritikus Barat berkeyakinan bahwa guna memuluskan politik imperialisme Amerika Serikat, Hollywood menciptakan alur klise tentang kaum Arab dan Muslim. Terkadang untuk menjustifikasi aksinya itu, Hollywood menambahkan unsur kebebasan sebagai bumbu dalam film produksinya, yang berarti untuk membawa kebebasan atau membebaskan umat Muslim. Selain itu, guna memberikan pengaruh yang lebih besar, lokasi dan tempat-tempat Muslim selalu berusaha dikesankan terbelakang dan tidak maju.
Film Zero Dark Thirty, adalah salah satu film yang tepat untuk mengenal mekanisme kerja Hollywood di sektor Islamphobia. Film itu diproduksi tahun 2012 oleh perusahaan Columbia Pictures. Film menceritakan proses pemburuan seorang kriminal yang paling berbahaya di dunia. Film ini mengisahkan operasi pencarian dan pembunuhan Osama bin Laden, pemimpin al-Qaeda, oleh militer Amerika Serikat. Film ini perlu diperhatikan dari dua sisi. Pertama berniat untuk menunjukkan bagaimana struktur legenda dapat dimanfaatkan di jalur politik Islamphobia Hollywood dalam sebuah film yang berdasarkan alur cerita perjalanan sang pemeran utama.
Film tersebut juga menunjukkan tentang bagaimana proses pembentukan pahlawan Barat dalam prosesnya. Bagaimana penyatuan tujuan dan opini mereka dengan opini dan sikap audiens. Dan pada akhirnya, bagaimana sang pemeran utama dalam film itu dapat berubah menjadi delegasi humanisme Barat. Film tersebut juga menunjukkan kehandalan sinema Hollywood untuk menggandeng audiens bersama-sama memerangi sebuah kekuatan yang terus berkembang yaitu Islam, dan akhirnya mereka menang bersama-sama.
Adapun sisi kedua yang paling menarik dari film ini adalah pemilihan perempuan sebagai pemeran utamanya. Dalam hal ini, Hollywood ingin menggabungkan feminisme dengan konsep-konsep legenda dan kemudian dalam perjalanan cerita mereka menggiring audiens untuk memahami bahwa Islam adalah agama anti-perempuan.