Islamophobia di Barat (13)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (13)

 

Salah satu tokoh anti-Islam yang terkenal di Barat adalah Ketua Partai Kebebasan Belanda, Geert Wilders. Dalam wawancara terbaru dengan surat kabar Inggris, Daily Telegraph ia menyebut Islam bukan agama, tapi ideologi berbahaya yang menganjurkan kekerasan. Tokoh anti-Islam Belanda ini ingin menghapus Islam dari lingkup kebebasan beragama.

Konstitusi Belanda sangat menekankan kebebasan beragama. Sebelumnya Geert Wilders berjanji jika berkuasa ia akan menutup masjid-masjid, melarang pengajaran Al Quran dan mencabut izin tinggal imigran di Belanda.

Partai Kebebasan Belanda pada pemilu parlemen bulan Maret 2017 berhasil merebut 20 kursi dari total 150 kursi parlemen negara itu dan berada di peringkat kedua partai terbesar di parlemen Belanda.

Ini adalah kemenangan signifikan bagi Partai Kebebasan Belanda yang anti-Islam itu. Salah satu protes keras yang ditujukan kepada negara-negara Barat adalah pembatasan-pembatasan terhadap umat Islam, karena ini merupakan pelanggaran aturan kebebasan beragama yang ditegaskan dalam undang-undang negara Eropa.

Kebebasan beragama merupakan salah satu nilai terpenting di Uni Eropa, namun pemerintah negara-negara Eropa dalam praktiknya melanggar undang-undang ini dalam perlakuan mereka terhadap Muslim.

Geert Wilders sebagai ketua partai sayap kanan ekstrem Belanda jelas sedang berusaha menerapkan kebijakan anti-Islam di negaranya. Ia bahkan sempat beberapa kali berurusan dengan pengadilan karena perilaku anti-Islamnya itu dan dijatuhi hukuman. Akan tetapi pemerintah Belanda menjustifikasi beberapa penghinaan Wilders terhadap Islam sebagai bentuk kebebasan berpendapat.

Salah satu aksi anti-Islam paling parah yang dilakukan Geert Wilders adalah pembuatan film pendek berjudul Fitna. Bagian awal film ini menampilkan pembacaan ayat Al Quran disusul dengan cuplikan insiden serangan 11 September di Amerika Serikat. Film berdurasi 15 menit ini dibuat tahun 2008 dan menyebut Islam sebagai musuh kebebasan.

Pemerintah Belanda mereaksi protes negara-negara Muslim terkait pembuatan dan penayangan film menghina Islam ini dengan mengklaim sebagai bentuk komitmennya pada kebebasan berpendapat di Belanda yang sama sekali bertentangan dengan film Wilders tersebut, dan tidak berusaha mencegah penayangan film itu.

Standar ganda yang diterapkan pemerintah dan media Barat dalam membela kebebasan beragama adalah dengan menciptakan berbagai jenis pembatasan untuk umat Islam. Dalam dua dekade terakhir pemerintah negara-negara Eropa dengan berbagai dalih seperti perang melawan ekstremisme atau runtuhnya nilai-nilai sekuler, menerapkan sejumlah banyak pembatasan terhadap umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya.

Perancis adalah salah satu negara yang terdepan dalam masalah ini. Perancis adalah negara Barat pertama yang melarang murid-murid sekolah perempuan Muslim berhijab di sekolah. Perancis yang mengaku sebagai pelopor demokrasi dan kebebasan di dunia adalah negara pertama yang menerapkan pembatasan-pembatasan agama bagi umat Islam.

Di sisi lain umat Yahudi yang kencang berbicara soal pelanggaran hak mereka di media-media Barat, bebas menjalankan ajaran agamannya termasuk mengenakan pakaian khusus. Standar ganda semacam ini ditimbulkan oleh upaya pemerintah negara-negara Barat untuk menampilkan ajaran Islam sebagai ajaran ekstrem.

Diskriminasi terhadap umat Islam bukan bersumber dari ketidaktahuan para politisi dan media Barat. Statemen-statemen para politisi Barat dalam beberapa tahun kebelakang yang membedakan ajaran Islam dengan kesimpulan keliru dan ekstrem kelompok-kelompok Takfiri serta teroris tentang ajaran Islam, adalah bukti bahwa mereka mengetahui dengan baik ajaran Islam hakiki menganjurkan perdamaian dan keadilan.

Sampainya para teroris Takfiri dari negara-negara dilanda perang di Timur Tengah ke kota-kota Eropa, memaksa para politisi Barat, dalam retorika bukan praktik, membedakan Islam hakiki dengan Islam yang disimpangkan oleh kelompok Takfiri dan teroris. Sebagian pemerintah dan media Barat yang secara sadar berusaha menampilkan Islam sebagai agama ekstrem dan penganjur kekerasan, bersikeras mempertahankan kebijakan anti-Islam mereka di Eropa dan di luar benua ini.

Pembatasan-pembatasan yang diterapkan terhadap umat Islam di Eropa didasari oleh sejumlah alasan yang dibuat-buat. Di Swiss pelarangan pembangunan menara masjid yang merupakan salah satu ciri khas arsitektur Islam, bahkan sampai ke tingkat referendum dan akhirnya disahkan.

Di banyak negara Eropa, pembangunan masjid dan tempat aktivitas umat Islam dilarang. Oleh karena itu banyak umat Islam terpaksa menggunakan tempat parkir untuk melaksanakan shalat jamaah.

Di banyak negara Eropa, berbagai pembatasan terhadap perempuan Muslim untuk mengenakan hijab di tempat umum telah diundang-undangkan. Partai-partai politik sayap kanan ekstrem dan anti-Islam di Eropa sedang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sekarang.

Pertumbuhan tersebut diduga sebagai akibat dari kebijakan dan peraturan anti-Islam yang diterapkan di negara-negara Eropa dalam beberapa dekade terakhir. Islamofobia merupakan salah satu ciri khas bersama seluruh partai kanan ekstrem di Eropa. Selama para imigran yang membanjiri Eropa berasal dari negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara, maka selama itu pula anti imigran dan anti Islam akan tetap menyebar luas.

Partai-partai ekstrem kanan Eropa tidak ingin melakukan pembedaan dalam masalah ini, karena dengan begitu mereka akan mendapat protes lebih kecil dari lembaga-lembaga pembela hak asasi manusia dan lebih mudah menyerang umat Islam dengan dalih anti imigran.

Partai sayap kanan ekstrem dan anti imigran Jerman, Alternative for Germany terhitung sebagai partai ekstrem kanan baru di Eropa yang berhasil meraih kemenangan besar di pemilu Jerman. Partai Alternative for Germany pada September 2018 meraih kemenangan dalam pemilu dengan menduduki 89 kursi parlemen.

Ini adalah untuk pertama kalinya sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua sebuah partai berideologi sayap kanan ekstrem berhasil masuk parlemen Jerman. Setelah kemenangan ini, kita mungkin akan menyaksikan fenomena meluasnya sentimen anti imigran dan anti Islam di Jerman. Secara umum di Eropa angka gangguan terhadap perempuan berhijab di Eropa terus mengalami peningkatan.

Lembaga yang mengurusi hak fundamental di Uni Eropa, Fundamental Rights Agency, FRA dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukannya terhadap 10.527 Muslim dari 15 negara Eropa mengumumkan, 53 persen umat Islam Eropa berhadapan dengan rasisme dan mengalami kesulitan mencari tempat tinggal dan 39 persen dari mereka kesulitan mendapat pekerjaan karena pakaian yang mereka kenakan.

Dari semua, 39 persennya adalah perempuan. 94 persen perempuan Muslim yang menjadi responden jajak pendapat ini mengaku selalu diganggu dan dilecehkan secara verbal maupun fisik karena mengenakan hijab. 31 persen mendapat serangan verbal, 39 persen dengan tindakan dan 22 persen mendapat kata-kata tidak pantas.

Berdasarkan informasi sebuah pusat analisa media sosial di Inggris, pasca serangan teror terbaru di Eropa, penggunaan kata-kata kasar terhadap Islam dan Muslim di media sosial Twitter mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Read 537 times