Suriah baru saja menggelar hajatan besar pemilu presiden kedua dalam satu dekade terakhir yang berlangsung pada 26 Mei 2021.
Pada pilpres kali ini, Bashar al-Assad memenangkan 95,1 persen suara dalam pemilu presiden kali ini, dan kembali menjabat selama tujuh tahun lagi. Ada beberapa poin penting tentang pemilu ini.
Poin pertama tentang pemilu presiden Suriah adalah suksesnya penyelenggaraan pemilu. Faktanya, syarat utama terselenggaranya pemilu di suatu negara adalah keamanan dan stabilitas. Pemilu Suriah berlangsung pada saat keamanan di negara itu berada di bawah ancaman serius.
Meskipun stabilitas relatif terwujud di Suriah, terutama selama tiga tahun terakhir, dan tidak ada kekhawatiran tentang penggulingan sistem politik negara, tapi kehadiran pasukan asing dari AS dan Turki bersama para pendukungnya termasuk ribuan teroris di beberapa bagian Suriah telah membayangi keamanan Suriah.
Dalam keadaan seperti itu, pemilu presiden Suriah diadakan di sebagian besar geografi negara itu. Lebih dari itu, penyelenggaraan pemilu tanpa tantangan keamanan dan dalam lingkungan yang aman sebagai capaian penting bagi pemerintah Suriah.
Selain menyelenggarakan pemilu yang sukses dan aman, jumlah pemilih yang tinggi juga merupakan prestasi penting bagi pemerintah Suriah. Ketua Parlemen Suriah, Hamouda Sabbagh, menyatakan jumlah pemilih mencapai 78 persen. Ia mengatakan, "dari 14.239.140 pemilih yang memenuhi syarat berpartisipasi dalam pemilihan ini, sebanyak 13. 540.860 orang memilih Assad,".
Kandidat lain dalam pemilu presiden ini, Mahmoud Ahmad Marie hanya meraih 470.276 suara, mendapat 3,3 persen suara, dan kandidat ketiga, Abdullah Salom Abdullah, hanya meraih 213.968 suara, atau 1,5 persen suara."
Tingginya jumlah pemilih dalam pemilu presiden Suriah datang ketika kubu lawan asing dan domestik memfokuskan kampanye mereka untuk memboikot pemilu dan mempertanyakan legitimasi penyelenggaraannya. Dengan demikian, 78 persen jumlah pemilih yang memenuhi syarat dalam pemilu menunjukkan legitimasi pemerintah Suriah, dan kekalahan besar bagi oposisi.
Salah satu strategi penting kubu oposisi pemerintah Suriah adalah mengadopsi strategi perpecahan dan disintegrasi atau pelemahan sistem sentral negara ini. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu presiden Suriah menunjukkan bahwa strategi oposisi domestik dan asing telah gagal.
Bashar al-Assad, yang telah menjabat sebagai presiden Suriah sejak tahun 2000, akan menjadi presiden keempat selama tujuh tahun berikutnya, dan jika konstitusi Suriah tidak berubah, ini akan menjadi masa jabatan terakhirnya. Situs Al-Najah menulis, “Teroris mencoba menodai citra Assad dengan memecah-belah dan menciptakan kekacauan di Suriah, tetapi kebanyakan rakyat memihak pemerintahnya dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam pemilu kali ini,". Dengan demikian, pemilu kali ini menunjukkan kegagalan strategi menggulingkan rezim Suriah. Faktanya, musuh-musuh rezim Suriah yang gagal menggulingkan rezim Suriah secara militer, juga belum mampu mempengaruhi konstruksi kekuasaan di negara itu secara politik.
Pemilihan presiden Suriah juga menunjukkan kegagalan strategi memecah belah antara rakyat dan pemerintah Suriah. Situs Ramallah menulis, "Pemilu presiden kedua yang diadakan di negara yang menghadapi perang panjang dan menghancurkan berbagai infrastruktur dan fasilitas produksi vitalnya, serta kehancuran ekonomi yang sangat besar. Tetapi hal ini tidak mencegah orang-orang pergi ke tempat pemungutan suara, sehingga orang-orang Suriah, dengan tekad bajanya membuat partisipasi skala besar yang menggambarkan optimisme mereka terhadap masa depan yang cerah,".
Mengingat konsekuensi internal dari pemilu presiden ini, Suriah akan melihat perubahan negaranya di era baru. Perubahan ini dimulai bahkan sebelum pemilu presiden Suriah, dan dengan diadakannya pemilu dengan partisipasi 78 persen rakyat, yang dimenangkan Bashar al-Assad di atas 95 persen.
Suriah diperkirakan akan kembali ke Liga Arab, dan beberapa negara Barat diperkirakan akan melanjutkan hubungan dengan Damaskus, sambil mengurangi tekanan asing terhadap Suriah. Mengomentari hasil pemilu Suriah, situs berita Al-Ain menulis, "Pemilu yang dikuti dengan partisipasi tinggi dan kemenangan Bashar al-Assad dengan suara mayoritas akan mengurangi tekanan internasional terhadap negara ini. Sebab, Barat menyadari bahwa rakyat Suriah masih setuju dengan rezim Assad dan krisis internal tidak dapat menghentikan mereka untuk memilihnya."
Pemilu presiden Suriah merupakan salah satu pemilu yang memiliki konsekuensi eksternal selain internal. Kini empat negara yaitu: Amerika Serikat, Turki, Iran, dan Rusia menjadi aktor asing yang paling menonjol di kancah politik Suriah. Amerika Serikat dan Turki telah menjadi penentang utama rezim Suriah saat ini. Penyelenggaraan pemilu terbaru di Suriah bertentangan dengan kepentingan keduanya hadir secara ilegal dan membela militan di bagian utara dan timur Suriah.
Sebaliknya, Republik Islam Iran dan Suriah mendukung terselenggaranya pemilu presiden di Suriah, dan menekankan urgensi menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah negara ini. Pemilu presiden Suriah juga merupakan kemenangan bagi Iran dan Rusia dalam persaingan dengan Turki dan Amerika Serikat.
Pada saat yang sama, pemilu presiden telah menantang kehadiran ilegal militer Turki dan AS di wilayah Suriah, yang telah berulang kali diprotes oleh pemerintah Damaskus. Masalah ini akan ditindaklanjuti lebih serius dalam masa jabatan baru Presiden Bashar al-Assad, karena Amerika Serikat dan Turki meninggalkan wilayah Suriah dan menghormati kekuasaan Damaskus.
Robert Ford, mantan duta besar AS untuk Suriah mengatakan, "Pemilihan umum dan kemenangan Bashar al-Assad menunjukkan kegagalan diplomasi AS, dan kebijakan Biden tidak mencerminkan niatnya untuk aktif di Suriah," Ditegaskannya, "Pemilu Suriah menunjukkan kegagalan diplomasi Amerika, yang selama tujuh tahun di bawah naungan PBB dan melalui jalur politik Jenewa mencoba menggulingkan Assad, tetapi tidak berhasil.Pemilihan ini menunjukkan kurangnya pengaruh Amerika. Jika tidak, Assad tidak akan mampu melanjutkan pemerintahannya dengan dukungan penuh dari pasukan keamanannya, dan kekuatan besar seperti Amerika Serikat tidak dapat menggulingkannya."