Pengusaha Inggris di sebuah suratnya yang ditujukan kepada Perdana Menteri David Cameron memperingatkan jika Cameron melontarkan isu keluar dari Uni Eropa maka sektor perdagangan negara ini akan terancam.
Reuters dari London Rabu (9/1) melaporkan, sepuluh pemimpin sektor dagang dan bisnis Inggris termasuk Sir Richard Branson, direktur perusahaan the Virgin Group dan Martin Sorrell, direktur perusahaan WPP mengirim surat ke Koran Financial Times menandaskan, reformasi lebih di Uni Eropa harus segera dijalankan, namun Inggris juga harus berhati-hari untuk tidak menuntut keluar dari organisasi ini.
Di surat tersebut dijelaskan, permohonan untuk keluar dari Uni Eropa di kondisi seperti ini akan mengancam keanggotaan Inggris di organisasi Eropa tersebut serta London akan mengalami kerugian yang tak dapat diprediksikan di sektor perdagangan.
Eksekutif lain yang menandatangani surat itu disertakan Jan du Plessis, ketua penambang Rio Tinto, British Telecoms itu Ketua Michael Rake dan Chris Gibson-Smith, ketua London Stock Exchange.
Cameron tengah menghadapi kritik rakyat akibat kebijakannya terhadap Uni Eropa. Ia menyatakan dirinya menuntut pemulihan hubungan Inggris dan Brussel dan diprediksikan ia akan menyampaikan hal ini dipidatonya akhir Januari.
Saat ini Irlandia memegang ketua periodik Uni Eropa untuk masa enam bulan kedepan. Pada hari Selasa (8/1) Irlandia meminta Inggris untuk tidak terlalu bermusuhan terkait perubahan hubungannya dengan Uni Eropa.
Hubungan Inggris dan Uni Eropa sejak tiga tahun lalu mulai dingin. Puncak friksi kedua kubu terjadi ketika Inggris besara Republik Cheko menentang 25 anggota Uni Eropa lain dan menolak perubahan traktat di organisasi ini. London juga menolak perubahan sistem finansial Uni Eropa yang dianggap menurunkan independensi lembaga finansial dan bank Inggris. Penambahan bujet Uni Eropa juga salah satu poin yang disengketakan antara Inggris dan seluruh anggota.
Seiring dengan meningkatnya keterkucilan Inggris di Uni Eropa, dikungan rakyat negara terhadap keanggotaan London di organisasi Eropa tersebut juga merosot. Jajak pendapat menunjukkan bahwa lebih dari separuh rakyat Inggris menuntut keluarnya negara mereka dari Uni Eropa.
Kubu keras partai Konservatif yang berkuasa dan menentang London mengiringi kebijakan Uni Eropa menekankan referendum terkait masalah ini. Kelompok ini menilai Inggris sebagai kekuatan ekonomi ketujuh dunia tidak seharusnya khawatir kehilangan pasarnya di Uni Eropa. Di sisi lain, sejumlah elit politik dan ekonomi Inggris memilih untuk tetap menjadi anggota Uni Eropa ketimbang keluar dari organisasi ini.
Sementara itu, masih terdapat kelompok lain yang selain menekankan urgensitas keanggotaan Inggris di Uni Eropa, juga menuntut sejumlah reformasi di organisasi ini. Kelompok ini menuntut fokus pada laju ekonomi dan lapangan pekerjaan, reformasi bujet Uni Eropa, menekankan pasar kolektif dan perubahan undang-undang terkait persaingan ekonomi di organisasi Eropa ini.
David Cameron, Perdana Menteri Inggris juga memiliki keyakinan bahwa negara-negara zona euro menjadi faktor perubahan esensi Uni Eropa.
Meski masa depan keanggotaan Inggris di Uni Eropa masih kabur, namun tak dapat disangkal banhwa isu keluarnya London dari organisasi ini bukan hal baru dan tak dapat ditutupi lagi. Berlanjutnya krisis finansial di Uni Eropa juga membuat terkuaknya masalah struktur organisasi ini.
Kini pertanyaan yang muncul adalah apakah berlanjutnya kebersamaan negara-negara anggota Uni Eropa dalam sebuah organiasi politik-ekonomi mungkin terjadi? Apakah Uni Eropa tetap mampu menjawab setiap tuntutan negara anggota dan memerangi kesulitan ekonomi?
Tanpa memperhatikan apakan Inggris masih tetap menjadi anggota Uni Eropa atau tidak, reformasi struktur untuk mempertahankan eksistensi Uni Eropa sepertinya suatu yang sangat urgen saat ini. Oleh karen aitu, para pemimpin Eropa selain harus memikirkan upaya untuk keluar dari krisis finansial, juga harus menseriusi kendala struktur organisasi ini