Turki dan Normalisasi Hubungan dengan Israel

Rate this item
(0 votes)

Bülent Arınç, deputi Perdana Menteri Turki berbicara mengenai minat negaranya untuk menormalisasikan hubungannya dengan Rezim Zionis Israel. Ia menandaskan akan memimpin delegasi yang dalam waktu dekat akan bertemu dengan delagasi Israel guna berunding soal mekanisme pembayaran ganti rugi kepada korban brutalitas tentara Zionis terhadap kapal Mavi Marmara.

Serangan brutal tentara rezim Zionis Israel terhadap kapal Mavi Marmara yang mengangkut aktivis dan bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza pada bulan Mei 2010 mengakibatkan sembilan aktivis Turki menjadi korban. Peristiwa ini menambah urgensitas pembahasan serta analisa hubungan Turki dan Israel serta normalisasi hubungan keduanya.

Sejumlah elit politik curiga dengan proses normalisasi hubungan tersebut. Mereka yakin dengan kebijakan pro Timur dan kecenderungan Islam pemerintahan Ankara  dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Recep Tayyip Erdogan. Mereka ini meyakini bahwa pemerintah Ankara tidak akan melakukan normalisasi dengan Israel kecuali dengan dasar kepentingan bangsa Palestina dan negara Islam.

Sejumlah elit politik lainnya meyakini bahwa Ankara tidak akan enggan melakukan normalisasi hubungannya dengan Israel demi menjamin kepentingan politik dan ekonominya. Oleh karena itu, sejumlah pihak mengisyaratkan kepentingan kedua pihak dalam normalisasi hubungan Ankara dan Tel Aviv menjadi perioritas. Mereka meyakini bahwa Israel mengingat kecenderungannya untuk memiliki kedalaman strateginya di kawasan senantiasa berusaha keras mempertahankan hubungannya dengan Turki. Khususnya Turki anggota NATO dan memiliki posisi strategis di kubu Timur organisasi ini. Oleh karena itu, Turki mampu mencegah partisipasi Israel di sejumlah sidang NATO.

Baru-baru ini Turki bahkan berhasil menolak kehadiran Israel di pertemuan kelompol yang berafiliasi dengan NATO "Sidang Kelompok Mideterania". Kelompok ini terdiri dari Maroko, Tunisia, Mauritania, Aljazair, Yordania, Mesir dan Israel. Kelompok ini dibentuk tahun 2004 dan bertujuan membantu terciptanya keamanan di kawasan mideterania.

Sebelumnya Turki juga menolak kehadiran Israel di sidang NATO pada bulan Mei tahun lalu di Chicago, Amerika Serikat. Tak hanya itu, Ankara juga menolak permintaan Tel Aviv untuk membuka kantor tetapnya di NATO. Sejumlah elit politik juga meyakini ditemukannya cadangan energi di laut mideterania telah mendorong terbukanya kembali persatuan Israel dan Turki setelah sempat renggang beberapa waktu lalu.

Elit politik ini meyakini bahwa Israel berusaha mengekplorasi sumber energi dari laut Mideterania dan mengekspornya ke Eropa melalui pelabuhan Jihan di Turki dan saluran pipa laut.

Sejumlah elit politik lain lebih cenderung menilai minat Turki dan Israel untuk menormalisasikan hubungannya disebabkan oleh anjuran Amerika Serikat dengan mempertimbangkan kondisi di kawasan. Mereka ini meyakini bahwa minat Israel dan Turki tersebut muncul menyusul lawatan Presiden AS, Barack Obama ke sejumlah negara Timur Tengah. Dalam pandangan strategi AS di kawasan, Turki memiliki peran sangat urgen.

Mingguan al-Manar, cetakan Palestina terkait hal ini menulis, bersamaan dengan berlanjutnya lobi dan pertemuan untuk mensukseskan program AS di kawasan, delegasi militer, intelijen dan keamanan Turki dalam waktu dekat akan melakukan lawatan terang-terangan ke Israel.

Disebutkan juga bahwa setelah lawatan delegasi Turki tersebut, Chuck Hagel, Menteri Pertahanan Amerika akan menggelar lawatan ke sejumlah negara kawasan termasuk ke Palestina pendudukan, Turki dan kemungkinan besar Yordania.

Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya pertimbangan keamanan AS terhadap munculnya pemerintahan Islam di kawasan yang tidak memiliki kecenderungan anti Israel dan Amerika. Oleh karena itu, dalam pandangan Washington menjaga kerjasama dan kesamaan visi dengan Turki serta memperkokoh hubungan Ankara dan Tel Aviv menjadi kebijakan paling urgen saat ini.

Read 1976 times