Michel Djotodia, presiden baru Republik Afrika Tengah meminta bantuan Perancis untuk menghentikan kerusuhan yang tak berkesudahan dan aksi penjarahan di negara ini.
Nicolas Tiangaye, perdana menteri Republik Afrika Tengah melalui pesannya yang disiarkan televisi pemerintah meminta Perancis dan pasukan Afrika (FOMAC) memikirkan pengamanan dan penanggulangan instabilitas di Bangui, ibukota negara ini dan kota-kota lainnya.
Menyusul kudeta sparatis Seleka pada 24 Maret dan tumbangnya pemerintahan Francois Bozize, aksi kerusuhan dan penjarahan menjadi pemandangan sehari-hari di Republik Afrika Tengah. Berbagai kelompok menarik pajak seenaknya dan menjarah harta pribadi warga dan pemerintah termasuk rumah sakit, balai pengobatan dan UGD.
Menurut berbagai laporan, eskalasi instabilitas dalam beberapa hari ini mengakibatkan ratusan warga mengungsi dari ibukota Republik Afrika Tengah. Apa yang ditakutkan saat ini adalah instabilitas tersebut akan membuka peluang bagi intervensi asing.
Menurut para pengamat, permintaan resmi petinggi Afrika Tengah kepada Perancis untuk mengirim pasukannya ke negara ini akan melegalkan kehadiran Paris di Bangui. Sejumlah pengamat lainnya menilai, berpalingnya Perancis dari Francois Bozize yang tidak meraih dukungan dari rakyatnya, sebagai bentuk Paris untuk mencitrakan dirinya sebagai penegak demokrasi.
Francois Bozize selama memerintah tidak pernah komitmen terhadap perjanjian damai, membelakangi rakyatnya dan memberi konsesi besar kepada asing. Hal ini dimaksudkan Bozize untuk memperkokoh posisinya. Di satu sisi, Paris dengan dukungannya di balik layar kepada kelompok sparatis telah jauh hari mempersiapkan kehadirannya di negara Afrika ini.
Pengamat menilai penentuan syarat untuk membantu Afrika Tengah di kondisi saat ini sebagai kelanjutan kebijakan penipuan publik awam. Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius hari Rabu (17/4) telah menyinggung kesiapan Paris untuk memulihkan stabilitas Afrika Tengah. Meski demikian Fabius mensyaratkan bantuan tersebut dengan terbentuknya pemerintahan legal di negara ini.
Menlu Perancis menyatakan, pasukan Perancis dengan mudah dapat mengontrol bandara udara, lalu lintas dalam kota dan menjamin keamanan pusat-pusat bahan makanan. Disebutkan bahwa saat ini sekitar 600 tentara Perancis berada di Republik Afrika Tengah.
Menurut keyakinan para pengamat, permohonan bantuan kepada negara imperialis ini untuk memulihkan keamanan di Afrika Tengah berdampak sangat negatif. Dengan permohonan ini, Perancis beserta sekutunya dengan mudah menduduki Afrika Tengah dan mempermudah kebijakan imperialisnya di benua Afrika ini.
Berbagai bukti menunjukkan bahwa bantuan Perancis terhadap wilayah jajahannya di Afrika hanya dari luarnya saja. Negara Afrika tersebut termasuk negara paling miskin dunia dengan standar pendidikan dan kesehatan terendah. Berlanjutnya kebijakan arogan Perancis di Afrika terjadi di saat Francois Hollande ketika baru berkuasa akan mengakhiri Françafrique.
Tampaknya munculnya kekuatan baru dunia seperti Cina yang menjadi rival utama dan serius Barat untuk menguasai kekayaan alam dan pasar Afrika menjadi dalih utama bagi maraknya kembali Françafrique.