Pesan Berdarah bagi Senat Amerika Serikat

Rate this item
(0 votes)

Pembunuhan terhadap seorang opsir polisi di universitas paling terkenal di Amerika Serikat merupakan pesan berdarah bagi Senat negara ini yang menolak pengetatan kontrol peredaran dan kepemilikan senjata di negeri Paman Sam ini.

Hari Rabu lalu, senator Amerika enggan mendukung draf pengetatan kontrol senjata dan tepat satu hari kemudian Kamis (18/4/2013) seorang bersenjata menembak  polisi di universitas Teknologi Massachusetts (MIT), Amerika Serikat (AS).

Petugas itu menurut kantor kejaksaan distrik setempat, ditembak ketika ia tengah memeriksa laporan gangguan keamanan. Ia tewas dengan sejumlah luka tembak. Anggota kepolisian negara bagian, dan Biro Investigasi Federal Amerika (FBI), segera merapat ke lokasi penembakan di Gedung 32 kampus MIT.

Saat pertama kali ditemukan petugas masih dalam keadaan hidup, ia dilarikan ke Rumah Sakit Umum Massachusetts, di mana ia dinyatakan meninggal dunia. Pascapenembakan, pihak berwenang menutup sementara bangunan gedung, dan meminta orang-orang tidak memasukinya.

Pembunuhan seorang polisi di MIT  terjadi ketika Presiden Barack Obama hanya berada beberapa kilometer tepatnya  di Boston dalam rangkan menghadiri acara peringatakan korban ledakan bom di kota ini. Aksi terorisme di Amerika semakin besar ketika Obama berbicara mengenai tekad pemerintah untuk menemukan pelaku pemboman di Boston.

Sementara itu, jumlah korban teroris di Amerika dalam dua dekade lalu jika dibandingkan dengan korban tewas akibat penembakan di jalan-jalan akan disadari bahwa undang-undang pembebasan untuk membawa senjata merupakan ancaman terbesar bagi masyarakat Amerika Serikat. Contohnya, tragedi 11 September 2001 yang menjadi dalih AS menggelar perang di berbagai negara dunia dengan alasan memerangi terorisme hanya menelan korban kurang dari 3.000 orang, namun setiap tahunnya warga yang tewas akibat tembakan di jalan-jalan, pusat pendidikan, pusat rekreasi dan perdagangan di negara ini mencapai lebih dari 25 ribu orang.

Arsitek serangan bom di kota Boston hanya mampu menewaskan tiga orang, namun pelaku penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook di Newton, Connecticut, Amerika Serikat berhasil membantai 25 orang termasuk 20 anak usia di bawah enam tahun. Jumlah korban tewas dalam aksi penembakan di Aurora Colorado, universitas Colorado, kampus Universitas Virginia Tech, Sekolah Dasar Sandy Hook di Newton, Connecticut dan universitas Teknologi Massachusetts (MIT) tercatat paling besar dalam sejarah negara ini.

Jumlah korban penembakan tersebut sangat mengerikan dan kira-kira separuh dari korban teroris terhadap Gedung Federal Alfred P. Murrah di Oklahoma City. Peristiwa ini sebelum tragedi 11 September tercatat sebagai serangan teroris terbesar di wilayah Amerika Serikat.

Pastinya saat ini keamanan warga Amerika Serikat terancam dari dua fenomena yang hampir serupa. Dari satu sisi, para kriminal, penjagal, psikopat dan sampah masyarakat memiliki peluang untuk membantai warga tanpa alasan atau motif pribadi. Dan dari sisi lain, kelompok dalam negeri atau asing kian mendapat angin untuk melakukan aksi teroris baik itu di dalam negeri Amerika atau di luar perbatasan negara ini.

Oleh karena itu, dalam satu atau dua tahun terakhir setiap minggunya warga Amerika disuguhi dengan adegan penembakan membabi buta atau upaya untuk melakukan aksi teroris. Sementara itu, pemerintah Amerika menerapkan kebijakan yang menelan anggaran besar untuk mencegah aksi teroris. Pembentukan berbagai lembaga seperti manajeman intelijen nasional dan departemen keamanan nasional memaksa mengalirnya puluhan miliar dolar bujet tambahan ke dinas intelijen dan keamanan, perang di Afghanistan dan Irak serta program perang anti terorisme internasional. Ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah AS dan Kongres untuk menghadapi ancaman terorisme.

Kampanye Presiden Barack Obama untuk mengurangi kasus kekerasan akibat senjata setelah terjadinya pembantaian di sekolah dasar Sandy Hook, Newtown, dihadang Senat Amerika Serikat. Dalam sidang Rabu 17 April 2013, Senat menolak rencana untuk memperluas pemeriksaan latar belakang untuk pembeli senjata.

Dalam pemungutan suara di Senat, regulasi baru itu mendapatkan suara 54-46, kurang enam dari 60 suara yang dibutuhkan untuk disetujui badan perwakilan ini. Dalam proposal yang diajukan ke Senat, Obama meminta perluasan pemeriksaan latar belakang untuk pembelian senjata. Termasuk untuk mereka yang membeli senjata secara online atau di acara pameran.

Langkah-langkah lain yang didukung Obama --termasuk usulan untuk melarang senjata serbu- juga gagal dalam serangkaian penilaian Senat. Perkembangan ini mencerminkan keengganan Senator untuk mengubah regulasi itu, selain menunjukkan kuatnya kekuatan politik pembela hak-hak untuk memiliki senjata, yaitu Asosiasi Senapan Nasional.

Di luar dua usulan itu, Senat juga menolak dengan suara 52-48, kurang delapan dari 60 suara yang dibutuhkan, atas amandemen Undang Undang Kontrol Senjata yang ada saat ini. Melalui amandemen itu, senator Chuck Grassley mengusulkan agar regulasi baru hanya fokus pada penuntutan kejahatan menggunakan senjata, ditingkatkannya catatan kesehatan mental bagi pemilik senjata, dan mendanai langkah-langkah pengamanan sekolah yang lebih baik.

Di masyarakat yang dengan mudah mendapat senjata perang otomatis dan senapan serbu dengan dengan harga beberapa ratus dolar atau petunjuk pembuatan bom dibeberkan di internet serta mudah di akses oleh siapa saja, maka sudah tidak ada tempat aman bagi warga dan aksi tembakan atau serangan teroris mudah terjadi. Kondisi ini hanya akan meninggalkan kesedihan bagi keluarga korban dan hadirnya pejabat di acara peringatan insiden berdarah serta kian maraknya senjata di tengah masyarakat Amerika.

Read 1939 times