Pertemuan kelompok G20 di tengah-tengah kondisi ekonomi dunia khusunya negara-negara Barat memiliki poin tersendiri. Di sisi lain sejak digelarnya pertemuan ini berbagai prediksi mulai bermunculan, seperti bakal munculnya perang mata uang. Namun prediksi ini sempat ditolak oleh negara anggota sidang, khususnya Eropa. Uni Eropa saat ini tengah menghadapi krisis finansial serius. Berbagai kebijakan yang telah mereka tempuh pun hingga kini belum membuahkan hasil.
Isu sentral yang menyita perhatian seluruh delegasi adalah trend pelonggaran moneter di banyak negara, atas nama kepentingan ekonomi nasional. Kebijakan moneter yang lebih renggang memang terbukti mampu mengangkat gairah bisnis dan industri, akan tetapi di sisi lain efek atau imlementasinya selalu terkait erat dengan pelemahan nilai tukar negara bersangkutan. Siapa yang nilai kursnya paling rendah, maka dialah yang akan meraih keuntungan ekonomis dari kerjasama perdagangan multilateral.
Gejala kebijakan tidak sehat ini mulai dikritisi oleh banyak pihak, baik organisasi maupun individu. 'Perang mata uang' dinilai berpotensi menciptakan kesemrawutan di pasar uang dan konflik perdagangan antar negara. Institute of International Finance (IIF) memperingatkan anggota G20 akan dampak buruk dari iklim pelonggaran moneter belakangan ini. Hobi pemerintah untuk melemahkan nilai tukar mata uang domestik rentan memicu perselisihan, khususnya di sektor perdagangan.
"Kami sarankan bank sentral utama dunia fokus pada perbaikan kerjasama dan komunikasi, untuk memenuhi harapan pelaku ekonomi," tulis IIF dalam sebuah surat yang dikirimkan pada Menteri Keuangan Rusia, Anton Siluanov, yang juga akan memimpin meeting G20. Lembaga peneliti yang mewakili hampir 500 institusi keuangan ini juga meminta semua negara menghentikan program pelemahan nilai tukar untuk menghindari disorientasi pasar uang.
Pelaku pasar finansial sudah menyaksikan adanya devaluasi mata uang di luar kebiasaan dalam beberapa waktu terakhir. Di antaranya adalah pelemahan kurs Yen terhadap nyaris seluruh mata uang utama dunia dan penguatan Euro versus Dollar. Yen telah melemah sejalan dengan popularitas Shinzo Abe dalam kancah politik Jepang. Ia adalah sosok yang sejak lama menginginkan lahirnya kebijakan stimulus yang agresif demi kemajuan ekonomi negerinya. Abe benar-benar membuktikan pidato-pidato kampanyenya saat resmi menduduki jabatan perdana menteri. Rangkaian kebijakan anti-deflasi dan stagnasi sudah dicanangkan melalui penggelontoran uang negara dalam jumlah masif. Pemerintah bahkan ngotot meminta Bank of Japan untuk mengubah target inflasi menjadi 2%. Lebih dari itu, program pembelian obligasi pemerintah dalam jumlah tidak terbatas telah membuat kurs Yen melemah sebanyak 20% terhadap Dollar sejak awal Oktober. Sementara untuk bulan ini, Yen sudah tercatat melemah sebanyak 9% versus Euro.
Beberapa politisi maupun ekonom negara barat mulai jengah dengan apa yang dilakukan oleh Jepang, dan negara lain dengan karakteristik kebijakan serupa. Pada pertemuan bulan ini, Presiden European Central Bank (ECB) Mario Draghi mengaku tidak melihat ada upaya devaluasi mata uang secara sengaja. Akan tetapi ia siap bertindak apabila nantinya ECB menemukan korelasi antara kinerja kurs Euro dan prospek inflasi di wilayahnya. Penguatan Euro mencerminkan kembalinya kepercayaan investor di tengah pemulihan krisis hutang Eropa. Namun di sisi lain juga menggambarkan fakta bahwa likuiditas menciut karena bank-bank sedang giat membayar pinjaman daruratnya, tepat di saat Bank of Japan dan Federal Reserve memompa dana ke sistem perekonomian.
"Baik negara maju maupun berkembang kini ditantang untuk menciptakan strategi tepat di tengah iklim suku bunga rendah dan trend pelonggaran kuantitatif," tambah IIF. Terlepas dari apapun rekomendasi banyak pihak kepada menteri keuangan G20, kemungkinan belum akan ada pakta atau kesepakatan baru terkait dengan isu ini. Selama ini semua negara berdalih bahwa pelemahan nilai tukar bukanlah suatu alat untuk menaikkan daya saing ekonomi, namun lebih kepada efek kebijakan moneter. Fed telah mengungkapkan pembelaan itu, dan Jepang kemungkinan akan menjawab dengan asumsi yang sama jika ditanya soal kinerja valutanya. Currency wars yang dulu didengungkan oleh Brazil bukan tidak mungkin benar-benar datang dalam waktu dekat apabila negara lain ikut menyusul gaya yang diusung oleh The Fed, Bank of Japan maupun ECB.
Sementara itu, situs MarketWatch memprediksikan akan muncul perang valuta antara Perancis dan Jerman mengingat kondisi ekonomi kedua negara Eropa ini. Menurut laporan Mehr News mengutip laman MarketWatch, meski sejumlah negara besar industri dunia serta peserta sidang G 20 menyatakan kesiapannya untuk tidak memulai perang valuta, namun muncul indikasi bahwa perang ini bakal melatus antara Perancis dan Jerman.
Prediksi ini didorong oleh tuntuan Perancis untuk mencegah naiknya nilai mata uang Euro terhadap seluruh mata uang asing dan sebaliknya Jerman menuntut kenaikan nilai mata uang bersama Eropa tersebut.
Perang valuta adalah manipulasi sengaja nilai mata uang untuk meraih keuntungan perdagangan. Dalam hal ini sebuah negara sengaja menurunkan nilai mata uangnya. Di sisi lain, negera tersebut mulai mencetak uang dan di sisi lain, berlomba-lomba membeli mata uang negara rival dengan tujuan menaikkan nilai mata uang negara lawan. Di kondisi seperti ini maka negara yang nilai mata uangnya rendah, produknya akan menelan biaya murah dan produk tersebut dengan mudah menguasai berbagai negara.
Di sektor surplus perdagangan, Perancis selama tahun lalu mengalami penurunan sebesar dua persen dan Jerman untuk tahun yang sama mengecap penurunan sebesar enam persen.
Oleh karena itu, Jerman mampu menyesuaikan diri dengan nilai satu Euro sebesar satu dolar tiga puluh sen atau satu dolar empat puluh sen. Namun sebaliknya hal ini bagi Perancis tidak dapat diterima. Oleh karena itu, friksi antara Berlin dan Paris terkait nilai mata uang euro dapat memunculkan krisis baru di Eropa.