Langkah-langkah yang diambil oleh sekelompok sahabat di kota Madinah dan Saqifah Bani Sa'idah, telah melenceng dari ketetapan yang sudah diumumkan oleh Rasulullah Saw di Ghadir Khum.
Isu krusial yang disampaikan Rasulullah dalam khutbahnya di Ghadir Khum adalah masalah kepemimpinan (imamah) Sayidina Ali as. Menurut kitab al-Ghadir, khutbah Rasulullah di Ghadir Khum dinukil oleh lebih dari 110 sahabat, 84 tabi'in, serta 360 ulama dan perawi dari Syiah dan Sunni.
Di salah satu bagian khutbahnya, Rasulullah berkata, "Sesungguhnya Malaikat Jibril as sudah tiga kali turun kepadaku dan menyampaikan salam Tuhanku serta memerintahkan agar berdiri di tempat perkumpulan ini untuk menyampaikan pada kalian baik yang berkulit putih maupun berkulit hitam, bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washiku, khalifahku bagi umatku, dan imam setelahku.
Kedudukan dia di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku. Dia sebagai pemimpin kalian setelah Allah dan Rasul-Nya…
Ketahuilah wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kalian, dan telah mewajibkan kepada setiap orang dari kalian untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.
Namun apa yang terjadi di Saqifah bertentangan dengan perintah Allah. Di saat Imam Ali as dan beberapa sahabat sedang mempersiapkan pemakaman Nabi Saw, sebagian pemuka Anshar yang dipimpin Sa'd bin 'Ubadah berkumpul di Saqifah untuk memilih pemimpin setelah Nabi.
Saqifah adalah sebutan untuk bangunan yang memiliki teras dan wadah berkumpul bagi sebuah kabilah. Hampir semua kabilah di Arab memiliki tempat seperti ini untuk dipakai sebagai balai musyawarah untuk memutuskan berbagai kepentingan umum.
Tempat yang dipakai oleh tokoh Muhajirin dan Anshar untuk memilih khalifah waktu itu adalah milik Bani Sa'idah dari Khazraj, sehingga ia dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.
Sebelum Islam datang, Bani Sa'idah secara rutin menggelar pertemuan di tempat itu dan setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, Saqifah mereka kehilangan fungsinya. Saqifah ini baru dihidupkan kembali ketika para tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di sana untuk menentukan khalifah pengganti Nabi Saw.
Sebagian sejarawan meyakini bahwa musyawarah kaum Anshar di Saqifah – setelah wafatnya Nabi Saw – hanya untuk memilih pemimpin untuk kota Madinah. Namun, kedatangan orang-orang Muhajirin telah menggeser egenda musyawarah ke arah pemilihan khalifah untuk umat Islam.
Para tokoh Saqifah bergerak menyimpang dari jalur yang ditetapkan oleh Nabi Saw mengenai sosok pemimpin umat setelah wafatnya. Mereka telah menambah daftar panjang pembangkangannya terhadap perintah Rasul. Keputusan mereka telah menjauhkan Imam Ali as dari haknya sebagai pemimpin umat selama 25 tahun.
Semua aktor yang membentuk gerakan agama-politik – sejak awal periode kenabian Muhammad Saw di Mekkah sampai berakhirnya masa kekhalifahan Usman bin Affan – selalu hadir dalam berbagai peristiwa dan memainkan peran dalam urusan pemerintahan dan kekhalifahan.
Lebih tragis lagi bahwa beberapa alumni Saqifah Bani Sa'idah membunuh karakter Imam Ali as dan membangun opini di masyarakat bahwa Ali mengincar kekuasaan, tetapi kalah dari rivalnya dan tidak punya pilihan lain kecuali menjauh dari poros kekuasaan. Padahal, Imam Ali as telah memilih bersabar dan menutup mata dari hak sahnya demi menjaga keutuhan kaum Muslim dan wilayah teritorial Islam.
Seseorang yang sinis datang menemui Imam Ali as dan berkata, "Wahai putra Abu Thalib, engkau sangat menginginkan posisi khalifah dan lebih rakus dari orang lain."
Imam Ali membantah fitnah dan tuduhan miring itu dan berkata, "Demi Allah, engkau malah lebih serakah, walaupun lebih jauh, sementara aku lebih layak dan lebih dekat (dengan Rasulullah Saw). Aku menuntutnya sebagai hakku, sedang engkau menghalangi antara aku dan hak itu, dan sekarang engkau hendak memalingkan wajahku darinya. Apakah orang yang menginginkan haknya dianggap lebih rakus atau mereka yang mengincar hak orang lain?" (Kitab Nahjul Balaghah, khutbah 171).
Mungkin sebagian bertanya, jika Ali as menganggap posisi imamah sebagai haknya, mengapa ia memilih diam dalam menghadapi situasi saat itu? Mengapa ia tidak bangkit untuk membela hak yang diberikan Tuhan kepadanya?
Beginilah jawaban Imam Ali as atas pertanyaan penting itu, "Aku melihat kesabaran lebih baik daripada memecah barisan kaum Muslim dan pertumpahan darah mereka, sebab masyarakat baru memeluk Islam…(Nahjul Balaghah, khutbah 119)
Makam Imam Ali as di kota Najaf, Irak.
Imam Ali as memilih bersabar dan memprioritaskan maslahat Islam dan kaum Muslim, meski ia mengetahui bahwa dirinya – atas perintah Allah Swt – telah diangkat sebagai khalifah pada hari Ghadir Khum, dan dirinya lebih layak untuk memimpin umat daripada orang lain.
Ketika periode kekuasaan khalifah kedua berakhir, Imam Ali as diundang untuk menghadiri musyawarah sebuah dewan yang beranggotakan enam orang dan Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah berkat suara Abdurrahman bin Auf. Ketika itu Imam Ali as berkata, "Kalian tahu bahwa aku lebih layak dari semua untuk posisi khalifah. Demi Allah, selama urusan kaum Muslim berjalan dan hanya aku yang tersakiti, maka aku tidak akan menentang kalian." (Nahjul Balaghah, khutbah 72)
Setelah wafatnya Nabi Saw, seluruh perhatian Imam Ali as tercurahkan pada dua isu utama yaitu: pertama menjaga agama Islam sebagai hasil kerja keras dan perjuangan Rasulullah Saw selama 23 tahun, dan kedua mempertahankan persatuan dan kesolidan kaum Muslim.
Imam Ali as mengetahui dengan baik bahwa musuh dari dalam dan luar, sedang berusaha untuk merusak persatuan dan kekuatan masyarakat Muslim sehingga bisa mencapai tujuan mereka yaitu, menghancurkan Islam dan kaum Muslim.
Menurut satu riwayat, Sayidah Fatimah Az-Zahra as suatu hari berkata kepada suaminya Imam Ali, "Mengapa engkau tidak membela hakmu?" Mendengar itu, Imam Ali langsung memakai baju perang untuk melawan orang-orang yang merampas haknya. Suara adzan terdengar dari masjid dan pekikan kalimat La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah membahana. Ali menolehkan wajahnya ke Fatimah sambil berkata, "Apakah engkau ingin seruan tauhid dan kenabian ini tetap terdengar? Jika engkau sependapat denganku, maka kita harus bersabar, jika tidak aku akan keluar dan menumpas semua penentangku."
Sayidah Fatimah memilih diam sebagai tanda setuju dengan keputusan suaminya itu. Sebab bagi mereka, menjaga agama Islam lebih penting dari apapun dan mereka terlibat aktif di berbagai kesempatan untuk menjaga semua pencapaian yang diraih kaum Muslim.