Setiap manusia mempunyai karakter yang berbeda-beda. Ada yang ramah, sopan, keras, tengil, pelit, dan lain sebagainya. Maka dari itu cara berdakwahnya pun berbeda antara satu sama lain.
NUOnline mengabarkan bahwa menjelang sepertiga malam, kira-kira pukul dua dini hari, setelah menempuh perjalanan dari sore, kami berhenti sejenak sekedar mengisi perut, sebelum pulang ke desa masing-masing.
Sambil menikmati ayam dan lele bakar di sebuah warung Lamongan, di depan kantor kecamatan, kami berbincang dan berbagi cerita pengalaman dengan kiai kami, yang sudah berusia 70-an.
Ada santri paling sepuh di antara kami, yang pengalaman bersama Kiai lebih banyak, apalagi dia ikut rewang (membantu) di tambak dan sawah, sehingga pelajaran yang ia terima lebih kaya. Bukan hanya di surau pesantren, tapi juga di tambak dan sawah.
Ia bercerita, dulu pernah diajari oleh Kiai metode mencangkul. Ada tiga metode yang dicontohkan Kiai: mencangkul dengan cara miring, tegak dan membungkuk.
Santri itu disuruh Kiai mencoba apa yang telah dicontohkan. Namun sampai beberapa kali, menurut penilaian Kiai, santri tersebut belum bisa melakukannya secara tepat.
Baca juga: Kisah Abu Nawas; Cara Mudah Berkebun
Kiai menyuruh santrinya berpikir, lalu kira-kira Kiai berkata:
“Metode mencangkul yang bermacam-macam itu sesuaikanlah dengan keadaan tanah. Apakah tanah itu keras atau lunak, itu beda cara mencangkulnya. Tanah itu sama dengan manusia, ada yang keras atau kaku, ada yang lunak, ada yang labil. Cara mengajak atau mengarahkan mereka juga beda, seperti mencangkul tadi.”
Santri pun tertegun atas nasihat Kiai. “Sampai sekarang saya belum menangkap jelas nasihat beliau itu,” kata santri mengenang.
Aku yang mendengarkan tertegun pula. Tak menyangka sebelumnya, Kiai akan menautkan cara mencangkul dan metode mengajak manusia kepada kebaikan: dakwah.