Tobat

Rate this item
(0 votes)
Tobat

 

“Sesungguhnya Allah lebih bahagia dengan taubatnya

seorang hamba daripada seseorang yang datang ke suatu

tempat yang gersang. Ia membawa unta tunggangannya. Di

atas untanya itu ada makanan dan minumannya. Ia

beristirahat meletakkan kepalanya dan tertidur lelap.

Ketika ia bangun, untanya hilang.
Ia berusaha mencarinya, sampai ia sangat kepanasan dan

kehausan. Ia berkata: ‘Aku akan kembali ke tempatku

semula. Aku akan tidur sampai mati’. Ia kembali lagi

dan tidur lelap. Kemudian ia bangkit, mengangkat

kepalanya. Tiba-tiba ia melihat untanya itu kembali

lagi kepadanya. Di atasnya masih utuh perbekalan,

makanan dan minumannya. Sesungguhnya Allah lebih senang

dengan tobatnya seorang mukmin ketimbang orang ini

ketika melihat unta dan perbekalannya kembali

kepadanya.” (Kanz al-‘Ummal, hadis 10161).

Dengan kalimat-kalimat inilah Nabi SAW mengambarkan

taubat. Tawbat dalam bahasa Arab berarti “kembali”.  

Dalam Al-Qur’an, salah satu nama Allah ialah ‘Al-

Tawwab”, yang banyak bertaubat atau yang banyak

kembali. Maka Adam menerima dari Tuhan-nya kalimat dan

ia bertaubat dengannya. Sesungguhnya Allah Al-Tawwab

dan Maha Pengasih (Al-Baqarah: 37). Kata yang sama

digunakan untuk menunjukkan orang yang bertaubat kepada

Allah: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang

bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan

dirinya (Al-Baqarah: 222). Jadi, manusia bertaubat

kepada Tuhan, dan Tuhan pun bertaubat kepada manusia.

Tanpa merujuk kepada makna asalnya, yakni kembali, kita

akan kesulitan memahami doa ini: wa tub ‘alaina innaka

anta al-tawwab al-rahim (dan bertaubatlah kepada kami,

sesungguhnya Engkau Yang Banyak Bertaubat dan Yang Maha

Pengasih).

“Allah bertaubat kepadanya” berarti Dia kembali

kepadanya dengan ampunan, atau kembali kepadanya dengan

anugerah-Nya, dan menerima taubatnya serta

memaafkannya. Karena itulah Allah itu Al-Tawwab. Pada

kata taubat ada makna “kembali”-hamba kembali dari

dosanya dan Tuhan kembali dengan rahmat dan ampunan-

Nya.” (Mu’jam al-Fazh al-Qur’an Karim 1:162).

Ketika seorang hamba berbuat dosa, ia meninggalkan

Tuhan. Tuhan pun meninggalkan dia juga. Seperti

didendangkan Bimbo: “Aku dekat Engkat dekat. Aku jauh

Engkau jauh”. Walaupun, berdasarkan hadis di atas,

kalimat yang benar ialah “aku dekat Engkau lebih dekat

lagi, aku jauh Engkau lebih jauh lagi”. Dalam salah

satu hadis Qudsi yang masyhur, Tuhan berfirman: “Jika

kamu datang kepadaku dengan merangkak, Aku akan

menyongsongmu sambil berjalan. Jika kamu datang

kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan menyambutmu sambil

berlari, karena kasih-Nya yang tidak terbatas.

Betapapun besar dosa yang dilakukan seorang manusia,

Tuhan akan selalu menerima hamba-Nya yang kembali

kepada-Nya.

Dahulu, dua ulama besar dari zaman tabi’in berbincang

tentang dosa dan ampunan. Hasan Al-Bashri berkata,

“Jika aku melihat dosa-dosa manusia, aku heran kalau

masih ada orang yang bisa masuk surga.” Ali Zainal

‘Abidin menukas, “Jika aku melihat kasih sayang Tuhan,

aku heran kalau masih ada manusia yang masuk neraka.”

Memang benar, keadilan Tuhan sangat menakutkan.

Bukankah Nabi SAW bersabda bahwa tidak akan masuk surga

orang yang mempunyai perasaan takabbur walaupun sebesar

debu saja? Siapakah di antara kita yang tidak ditimpa

kepongahan dalam kadar yang bermacam-macam? Tetapi

kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu yang

mengalahkannya. Ridha Tuhan mengalahkan murka-Nya.

Karena itu, dalam Al-Qur’an, Allah meletakkan “Yang

Maha Keras dalam Menyiksa”sebagai salah satu nama-Nya

setelah nama-nama yang mengungkapkan kasih sayang-Nya:

Penghapus Dosa, Penerima Taubat, Yang Maha Keras dalam

Menyiksa (Ghafir: 3)

Dalam hadis berikut ini, Nabi SAW menegaskan hadis di

atas. “Sesungguhnya Allah lebih senang menerima taubat

hamba-Nya daripada seorang perempuan mandul ketika

memperoleh anak, daripada seorang yang sesat ketika

menemukan jalan, daripada seorang yang haus ketika

menemukan minuman” (Kanz al-‘Ummal, 10165).

Apakah Taubat itu? Para sufi melihat perjalanan hidup

ini sebagai perjalanan menuju Tuhan. Mereka menyebut

dirinya salik atau sair (sayr), yang sedang bepergian.

Sepanjang perjalanan itu, ia akan menemui stasiun-

stasiun, atau maqam, manzil. Maqam yang pertama adalah

taubat. Kaena itulah, hampir setiap pengantar tasawuf

membahas pengertian taubat, syarat-syarat taubat, dan

dari apa kita harus bertaubat.

Ketika menjelaskan ayat, “siapa yang tidak bertaubat,

mereka termasuk orang yang zalim” (Al-Hujurat 11), Al-

Tilmisani menulis, “Taubat menurut bahasa artinya

“kembali”. Ketika Anda berkata “taba ‘ala atsarih”,  

yang Anda maksud adalah kembali ke tempat semula. Di

sini maksudnya, kembali dari menentang Tuhan kepada

mengikuti-Nya. Seorang yang bertaubat kembali dari

jalan yang dimurkai dan jalan yang sesat ke jalan

orang-orang yang diberi nikmat” (Syarh Manazil al-

Sairin: 61).

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa taubat terdiri dari

tiga unsur: ilmu, keadaan, dan perbuatan. Ilmu

melahirkan keadaan, dan keadaan melahirkan perbuatan.

Ilmu ialah kesadaran akan bahaya dosa yang pernah

dilakukan dan kesadaran akan jatuhnya tirai yang

menghalangi seseorang dengan kekasihnya. Bila ia tahu

Tuhan telah meninggalkannya, ia akan merasakan

kepedihan hati. Ia kehilangan kekasihnya. Hatinya

dipenuhi penyesalan. Inilah keadaan psikologis atau

spiritual, yang tumbuh dari kesadaran akan dosa.

Setelah hatinya dipenuhi penyesalan, ia segera

meninggalkan dosanya pada waktu kini dan bertekad tidak

akan melakukannya pada waktu yang akan datang (Ihya’

‘Ulum al-Din, Kitab al-Tawbah). Al-Ghazali boleh jadi

merujuk pada ucapan Imam Ali bin Abi Thalib kw.,

“Taubat ditegakkan di atas empat fondasi: penyesalan

dalam hati, permohonan ampunan dalam lidah, perbuatan

dalam anggota (badan), dan tekad untuk tidak mengulangi

dosa (Bihar al-Anwar, 78:81). Rasulullah SAW bersabda:

“Penyesalan itu taubat.” (Kanz al-‘Ummal, 10301).

Dari sini para sufi merumuskan tiga syarat taubat:

penyesalan, meninggalkan maksiat, dan tekad untuk tidak

mengulanginya. Tidak sempurna taubat tanpa memenuhi

syarat-syarat ini. Penyesalan adalah suasana psikologis

yang dirasakan seorang hamba sahaya yang bertaubat.

Bayangkanlah keadaan ketika seorang budak melarikan

diri dari tuannya.

Ia tertangkap. Kuduknya diseret dan tubuhnya

dilemparkan ke hadapan tuannya. Ia tersungkur dalam

keadaan lemah, hina dan tidak berdaya. Ia jatuh di

hadapan tuannya yang berkuasa dan siap menjatuhkan

hukuman yang berat baginya. Ia merintih memohon

ampunan. Ia berjanji untuk tidak berbuat hal yang sama.

Seperti itulah, seorang yang bertaubat di hadapan

Tuhan-nya.

Hakikat taubat itu dengan indah digambarkan dalam doa

Ali bin Abi Thalib berikut ini:

Aku datang kini menghadap-Mu, ya Ilahi
dengan segala kekuranganku
dengan segala kedurhakaanku
seraya menyampaikan pengakuan dan penyesalanku
dengan hati yang hancur luluh
memohon ampun dan berserah diri
dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku

Karena segala cacatku ini
tiada aku dapatkan tempat melarikan diri
tiada tempat berlindung untuk menyerahkan urusanku
selain pada kehendak-Mu
untuk menerima pengakuan kesalahanku
dan memasukkan aku pada keluasan kasih-Mu

Ya Allah,
terimalah pengakuanku
kasihanilah beratnya kepedihan
lepaskan aku dari kekuatan belengguku
Ya Rabbi, kasihanilah kelemahan tubuhku
kelembutan kulitku
dan kerapuhan tulangku

Cara Bertaubat. Cara bertaubat bergantung pada jenis

dosa yang dilakukan. Ada dua macam dosa: dosa kepada

Allah dan dosa kepada makhluk-Nya. Bertaubat dari dosa

kepada Allah dapat dilakukan dengan memohonkan ampunan

kepada-Nya langsung atau melakukan berbagai amal yang

menurut syariat dapat menghapuskan dosa itu. Nabi SAW

bersabda: “Apabila dosa seorang hamba sangat banyak dan

amal-amalnya tidak cukup untuk menebusnya, Allah

memberikan padanya berbagai kesusahan sebagai penghapus

dosa-dosanya”(HR Ahmad). “Di antara dosa-dosa, ada dosa

yang tidak dapat dihapus, kecuali dengan kesulitan

mencari nafkah” (HR Ath-Thabrani). Bertaubat dari dosa

kepada sesama manusia hanya bisa dilakukan setelah

mengembalikan hak-hak mereka yang sudah dirampas.

Berkenaan dengan dosa kezaliman, Al-Ghazali mengatakan

bahwa kezaliman menggabungkan kedua dosa; dosa kepada

Tuhan karena Ia melarang kita berbuat zalim, dan dosa

kepada manusia karena kita mengambil haknya dengan

paksa. Kepada Tuhan ia dapat memohonkan ampunan dengan

merintih dan menangisi kesalahan-kesalahannya, serta

berjanji untuk tidak mengulanginya. Kepada manusia, ia

harus menghentikan perbuatan zalimnya dan mengembalikan

hak yang telah dirampasnya. Jika yang diambil itu

hartanya, ia harus mengembalikan harta itu. Jika yang

dihancurkan itu kehormatannya, ia harus merehabilitasi

kehormatan itu. Tanpa pengembalian hak, Tuhan tidak

akan mengampuni dosa-dosanya.

Pada suatu hari, Imam Ali bin Abi Thalib kw. menemukan

seseorang sedang membaca istighfar. Ia berkata,

“Sesungguhnya istighfar itu hanya terjadi setelah

memenuhi enam hal. Pertama, penyesalan terhadap

perbuatan yang telah dilakukan. Kedua, bertekad untuk

tidak mengulangi perbuatan itu selama-lamanya. Ketiga,

mengembalikan hak-hak makhluk yang telah dirampas.

Keempat, menunaikan segala kewajiban yang telah

dilalaikannya. Kelima, berusaha untuk menghilangkan

daging dalam tubuh, yang tumbuh dari makanan yang

haram. Ia menghilangkan daging-daging itu dengan

kesedihannya, sehingga tumbuh daging yang baru.

Keeanam, membiasakan kepada tubuh sakitnya menjalankan

ketaatan sebagaimana sebelumnya telah menikmati

manisnya kemaksiatan. Setelah keenam perbuatan itu,

barulah ia boleh berkata, “Astaghfirullah”.

Read 786 times