“Sesungguhnya Allah lebih bahagia dengan taubatnya
seorang hamba daripada seseorang yang datang ke suatu
tempat yang gersang. Ia membawa unta tunggangannya. Di
atas untanya itu ada makanan dan minumannya. Ia
beristirahat meletakkan kepalanya dan tertidur lelap.
Ketika ia bangun, untanya hilang.
Ia berusaha mencarinya, sampai ia sangat kepanasan dan
kehausan. Ia berkata: ‘Aku akan kembali ke tempatku
semula. Aku akan tidur sampai mati’. Ia kembali lagi
dan tidur lelap. Kemudian ia bangkit, mengangkat
kepalanya. Tiba-tiba ia melihat untanya itu kembali
lagi kepadanya. Di atasnya masih utuh perbekalan,
makanan dan minumannya. Sesungguhnya Allah lebih senang
dengan tobatnya seorang mukmin ketimbang orang ini
ketika melihat unta dan perbekalannya kembali
kepadanya.” (Kanz al-‘Ummal, hadis 10161).
Dengan kalimat-kalimat inilah Nabi SAW mengambarkan
taubat. Tawbat dalam bahasa Arab berarti “kembali”.
Dalam Al-Qur’an, salah satu nama Allah ialah ‘Al-
Tawwab”, yang banyak bertaubat atau yang banyak
kembali. Maka Adam menerima dari Tuhan-nya kalimat dan
ia bertaubat dengannya. Sesungguhnya Allah Al-Tawwab
dan Maha Pengasih (Al-Baqarah: 37). Kata yang sama
digunakan untuk menunjukkan orang yang bertaubat kepada
Allah: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan
dirinya (Al-Baqarah: 222). Jadi, manusia bertaubat
kepada Tuhan, dan Tuhan pun bertaubat kepada manusia.
Tanpa merujuk kepada makna asalnya, yakni kembali, kita
akan kesulitan memahami doa ini: wa tub ‘alaina innaka
anta al-tawwab al-rahim (dan bertaubatlah kepada kami,
sesungguhnya Engkau Yang Banyak Bertaubat dan Yang Maha
Pengasih).
“Allah bertaubat kepadanya” berarti Dia kembali
kepadanya dengan ampunan, atau kembali kepadanya dengan
anugerah-Nya, dan menerima taubatnya serta
memaafkannya. Karena itulah Allah itu Al-Tawwab. Pada
kata taubat ada makna “kembali”-hamba kembali dari
dosanya dan Tuhan kembali dengan rahmat dan ampunan-
Nya.” (Mu’jam al-Fazh al-Qur’an Karim 1:162).
Ketika seorang hamba berbuat dosa, ia meninggalkan
Tuhan. Tuhan pun meninggalkan dia juga. Seperti
didendangkan Bimbo: “Aku dekat Engkat dekat. Aku jauh
Engkau jauh”. Walaupun, berdasarkan hadis di atas,
kalimat yang benar ialah “aku dekat Engkau lebih dekat
lagi, aku jauh Engkau lebih jauh lagi”. Dalam salah
satu hadis Qudsi yang masyhur, Tuhan berfirman: “Jika
kamu datang kepadaku dengan merangkak, Aku akan
menyongsongmu sambil berjalan. Jika kamu datang
kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan menyambutmu sambil
berlari, karena kasih-Nya yang tidak terbatas.
Betapapun besar dosa yang dilakukan seorang manusia,
Tuhan akan selalu menerima hamba-Nya yang kembali
kepada-Nya.
Dahulu, dua ulama besar dari zaman tabi’in berbincang
tentang dosa dan ampunan. Hasan Al-Bashri berkata,
“Jika aku melihat dosa-dosa manusia, aku heran kalau
masih ada orang yang bisa masuk surga.” Ali Zainal
‘Abidin menukas, “Jika aku melihat kasih sayang Tuhan,
aku heran kalau masih ada manusia yang masuk neraka.”
Memang benar, keadilan Tuhan sangat menakutkan.
Bukankah Nabi SAW bersabda bahwa tidak akan masuk surga
orang yang mempunyai perasaan takabbur walaupun sebesar
debu saja? Siapakah di antara kita yang tidak ditimpa
kepongahan dalam kadar yang bermacam-macam? Tetapi
kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu yang
mengalahkannya. Ridha Tuhan mengalahkan murka-Nya.
Karena itu, dalam Al-Qur’an, Allah meletakkan “Yang
Maha Keras dalam Menyiksa”sebagai salah satu nama-Nya
setelah nama-nama yang mengungkapkan kasih sayang-Nya:
Penghapus Dosa, Penerima Taubat, Yang Maha Keras dalam
Menyiksa (Ghafir: 3)
Dalam hadis berikut ini, Nabi SAW menegaskan hadis di
atas. “Sesungguhnya Allah lebih senang menerima taubat
hamba-Nya daripada seorang perempuan mandul ketika
memperoleh anak, daripada seorang yang sesat ketika
menemukan jalan, daripada seorang yang haus ketika
menemukan minuman” (Kanz al-‘Ummal, 10165).
Apakah Taubat itu? Para sufi melihat perjalanan hidup
ini sebagai perjalanan menuju Tuhan. Mereka menyebut
dirinya salik atau sair (sayr), yang sedang bepergian.
Sepanjang perjalanan itu, ia akan menemui stasiun-
stasiun, atau maqam, manzil. Maqam yang pertama adalah
taubat. Kaena itulah, hampir setiap pengantar tasawuf
membahas pengertian taubat, syarat-syarat taubat, dan
dari apa kita harus bertaubat.
Ketika menjelaskan ayat, “siapa yang tidak bertaubat,
mereka termasuk orang yang zalim” (Al-Hujurat 11), Al-
Tilmisani menulis, “Taubat menurut bahasa artinya
“kembali”. Ketika Anda berkata “taba ‘ala atsarih”,
yang Anda maksud adalah kembali ke tempat semula. Di
sini maksudnya, kembali dari menentang Tuhan kepada
mengikuti-Nya. Seorang yang bertaubat kembali dari
jalan yang dimurkai dan jalan yang sesat ke jalan
orang-orang yang diberi nikmat” (Syarh Manazil al-
Sairin: 61).
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa taubat terdiri dari
tiga unsur: ilmu, keadaan, dan perbuatan. Ilmu
melahirkan keadaan, dan keadaan melahirkan perbuatan.
Ilmu ialah kesadaran akan bahaya dosa yang pernah
dilakukan dan kesadaran akan jatuhnya tirai yang
menghalangi seseorang dengan kekasihnya. Bila ia tahu
Tuhan telah meninggalkannya, ia akan merasakan
kepedihan hati. Ia kehilangan kekasihnya. Hatinya
dipenuhi penyesalan. Inilah keadaan psikologis atau
spiritual, yang tumbuh dari kesadaran akan dosa.
Setelah hatinya dipenuhi penyesalan, ia segera
meninggalkan dosanya pada waktu kini dan bertekad tidak
akan melakukannya pada waktu yang akan datang (Ihya’
‘Ulum al-Din, Kitab al-Tawbah). Al-Ghazali boleh jadi
merujuk pada ucapan Imam Ali bin Abi Thalib kw.,
“Taubat ditegakkan di atas empat fondasi: penyesalan
dalam hati, permohonan ampunan dalam lidah, perbuatan
dalam anggota (badan), dan tekad untuk tidak mengulangi
dosa (Bihar al-Anwar, 78:81). Rasulullah SAW bersabda:
“Penyesalan itu taubat.” (Kanz al-‘Ummal, 10301).
Dari sini para sufi merumuskan tiga syarat taubat:
penyesalan, meninggalkan maksiat, dan tekad untuk tidak
mengulanginya. Tidak sempurna taubat tanpa memenuhi
syarat-syarat ini. Penyesalan adalah suasana psikologis
yang dirasakan seorang hamba sahaya yang bertaubat.
Bayangkanlah keadaan ketika seorang budak melarikan
diri dari tuannya.
Ia tertangkap. Kuduknya diseret dan tubuhnya
dilemparkan ke hadapan tuannya. Ia tersungkur dalam
keadaan lemah, hina dan tidak berdaya. Ia jatuh di
hadapan tuannya yang berkuasa dan siap menjatuhkan
hukuman yang berat baginya. Ia merintih memohon
ampunan. Ia berjanji untuk tidak berbuat hal yang sama.
Seperti itulah, seorang yang bertaubat di hadapan
Tuhan-nya.
Hakikat taubat itu dengan indah digambarkan dalam doa
Ali bin Abi Thalib berikut ini:
Aku datang kini menghadap-Mu, ya Ilahi
dengan segala kekuranganku
dengan segala kedurhakaanku
seraya menyampaikan pengakuan dan penyesalanku
dengan hati yang hancur luluh
memohon ampun dan berserah diri
dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku
Karena segala cacatku ini
tiada aku dapatkan tempat melarikan diri
tiada tempat berlindung untuk menyerahkan urusanku
selain pada kehendak-Mu
untuk menerima pengakuan kesalahanku
dan memasukkan aku pada keluasan kasih-Mu
Ya Allah,
terimalah pengakuanku
kasihanilah beratnya kepedihan
lepaskan aku dari kekuatan belengguku
Ya Rabbi, kasihanilah kelemahan tubuhku
kelembutan kulitku
dan kerapuhan tulangku
Cara Bertaubat. Cara bertaubat bergantung pada jenis
dosa yang dilakukan. Ada dua macam dosa: dosa kepada
Allah dan dosa kepada makhluk-Nya. Bertaubat dari dosa
kepada Allah dapat dilakukan dengan memohonkan ampunan
kepada-Nya langsung atau melakukan berbagai amal yang
menurut syariat dapat menghapuskan dosa itu. Nabi SAW
bersabda: “Apabila dosa seorang hamba sangat banyak dan
amal-amalnya tidak cukup untuk menebusnya, Allah
memberikan padanya berbagai kesusahan sebagai penghapus
dosa-dosanya”(HR Ahmad). “Di antara dosa-dosa, ada dosa
yang tidak dapat dihapus, kecuali dengan kesulitan
mencari nafkah” (HR Ath-Thabrani). Bertaubat dari dosa
kepada sesama manusia hanya bisa dilakukan setelah
mengembalikan hak-hak mereka yang sudah dirampas.
Berkenaan dengan dosa kezaliman, Al-Ghazali mengatakan
bahwa kezaliman menggabungkan kedua dosa; dosa kepada
Tuhan karena Ia melarang kita berbuat zalim, dan dosa
kepada manusia karena kita mengambil haknya dengan
paksa. Kepada Tuhan ia dapat memohonkan ampunan dengan
merintih dan menangisi kesalahan-kesalahannya, serta
berjanji untuk tidak mengulanginya. Kepada manusia, ia
harus menghentikan perbuatan zalimnya dan mengembalikan
hak yang telah dirampasnya. Jika yang diambil itu
hartanya, ia harus mengembalikan harta itu. Jika yang
dihancurkan itu kehormatannya, ia harus merehabilitasi
kehormatan itu. Tanpa pengembalian hak, Tuhan tidak
akan mengampuni dosa-dosanya.
Pada suatu hari, Imam Ali bin Abi Thalib kw. menemukan
seseorang sedang membaca istighfar. Ia berkata,
“Sesungguhnya istighfar itu hanya terjadi setelah
memenuhi enam hal. Pertama, penyesalan terhadap
perbuatan yang telah dilakukan. Kedua, bertekad untuk
tidak mengulangi perbuatan itu selama-lamanya. Ketiga,
mengembalikan hak-hak makhluk yang telah dirampas.
Keempat, menunaikan segala kewajiban yang telah
dilalaikannya. Kelima, berusaha untuk menghilangkan
daging dalam tubuh, yang tumbuh dari makanan yang
haram. Ia menghilangkan daging-daging itu dengan
kesedihannya, sehingga tumbuh daging yang baru.
Keeanam, membiasakan kepada tubuh sakitnya menjalankan
ketaatan sebagaimana sebelumnya telah menikmati
manisnya kemaksiatan. Setelah keenam perbuatan itu,
barulah ia boleh berkata, “Astaghfirullah”.