Tahun ini, peringatan hari ulang tahun kemenangan Revolusi Islam memasuki usia ke-43 tahun.
Perjalanan pasang surut Revolusi Islam hingga hari ini terus menyita perhatian banyak kalangan, termasuk para peneliti dari Indonesia. Bagaimana Revolusi Islam Iran dipandang secara obyektif dari kacamata akademisi Indonesia ?
Yusli Effendi, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya dalam wawancara baru-baru ini dengan jurnalis Parstoday Indonesia menjelaskan pandangannya mengenai Revolusi Islam Iran yang saat ini berulang tahun ke-43 tahun.
"Selama ini Iran telah menunjukkan ketegasan, kekukuhan posisi untuk mempromosikan tata dunia yang adil dan setara. Iran konsisten untuk memperjuangkan global order atau tata dunia yang tidak didominasi oleh satu atau dua aktor tunggal," ujar intelektual muda Muslim Indonesia ini.
"Ketegasan sikap Iran inilah dalam posisi yang kita sebut sebagai negara revisionis karena tidak mendukung status quo yang tidak adil terutama bagi negara berkembang itu memang harus dibayar mahal," tegasnya.
Menurut Yusli, Iran sudah bertahun-tahun sejak Revolusi Islam meletus tahun 1979 dijatuhi sanksi dan diembargo oleh Amerika serikat. Namun selama ini kita melihat Iran mampu menunjukkan ketangguhannya.
"Iran mampu memperlihatkan resiliensinya. Iran mampu membuktikan tingginya daya tahan terhadap tekanan-tekanan internasional dengan tetap bersikap independen. Kita juga melihat Iran di masa-masa sulit embargo ini tumbuh menjadi negara yang mandiri," papar dosen HI Universitas Brawijaya Malang ini.
"Dalam amatan saya kunci Iran bisa mandiri adalah bahwa Iran melibatkan banyak aktor untuk bisa berdiri tegak menghadi kesulitan embargo ini. Iran didukung oleh masyarakatnya.Negara ini juga menguatkan kerja sama dengan negara-negara tetangga, negara-negara Muslim, temasuk Indonesia," jelasnya.
Masalah lain yang disoroti Yusli mengenai perjalanan Revolusi Islam Iran ke-43 mengenai kemampuan Iran memproduksi barang-barang dalam negeri, sekaligus menciptakan inovasi-inovasi baru dengan melihat produk-produk baru dengan melihat produk-produk luar negeri baru, bahkan peralatan militer yang kemudian bisa diambil dari kancah peperangan.
"Ini yang menarik buat saya, karena Iran dalam keterbatasan embargo itu bisa memproduksi tidak hanya persenjataan militer yang paling mutakhir, tapi juga alat-alat yang berteknologi tinggi yang digunakan untuk membantu manusia.Misalnya kita melihat Iran bisa memproduksi alat-alat untuk mengantisipasi atau mengscreening Covid-19, dan juga dia bisa membuat beberapa terobosan-terobosan baru dalam bidang kedokteran seperti pembedahan menggunakan robot atau robot Surgery," timpalnya.
Ia melengkapi argumentasinya dengan pengalaman langsung datang ke Iran di tahun 2019, termasuk berkunjung ke Pardis Technology Park, di Tehran.
"Saya luar biasa takjub dengan kemajuan inovasi teknologinya di tengah keterbatasan embargo yang dimilikinya, itu luar biasa. Di Pardis Technology Park Tehran, saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Iran tumbuh menjadi salah satu negara terdepan dalam inovasi teknologi," ungkapnya.
Mengenai hubungan Iran dan Indonesia yang terjalin sangat baik, Yusli menjelaskan banyak aspek yang harus terus diperbaiki dan disempurnakan.
"Sudah lama kita menjalin hubungan dengan Iran. Kalau melihat fase, kita sudah sangat lama. Kalau fase historis kita sudah bahkan jauh sebelum Indonesia menjadi negara, sejak di zaman Nusantara, kita sudah punya jalinan paradaban dan perdagangan dengan Persia," kata peneliti Timur Tengah ini.
"Nah, kalau dihitung dengan itungan modern, Iran termasuk jajaran negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indonesia, sudah sekitar 71 tahun. Iran mengakui dan memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Tapi yang patut disayangkan adalah bahwa di Indonesia, informasi tentang Iran masih belum cukup berkembang, salah stau penyebabnya adalah informasi yang terdistorsi. Karena tidak berimbang itu," tegasnya.
Ia mengamati hampir semua, atau sebagian besar media di Indonesia itu mengambil sumber pemberitaannya dari kantor berita luar negeri (Barat), sehingga citra Iran belum bergerak dari citra lama. Padahal masyarakat Indonesia bisa melihat Iran tumbuh menjadi salah satu negara garda depan dalam terobosan teknologi.
Mengenai isu perempuan di Iran, Yusli memandang Iran sudah melakukan terobosan yang maju ke depan. Ia menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi tiga tahun lalu.
"Kalau di pardis Technopark, saya juga melihat ada beberapa pekerja perempuan. Tidak hanya pekerja, bahkan beberapa petinggi dan ilmuwannya adalah perempuan. Ini sangat berbeda dengan citra atau kehebohan media yang lebih banyak menyoroti bagaimana keterbukaan untuk perempuan mulai bisa menyetir sendiri, bisa menikmati ruang publik di Arab Saudi. Sementara hal itu sudah lama dimiliki oleh Iran. Bahkan dari apa yang kita lihat di jalan-jalan di Tehran, di kota-kota besar di Iran, juga di Pardis Technopark, bahwa perempuan menikmati kebebasan, menikmati keleluasan untuk mengakses pendidikan tinggi, bahkan menjdi saintis atau ilmuwan terkemuka," papar dosen Indonesia ini.
Ia menyoroti banyak perempuan Iran juga menjadi mastermind atau tokoh kunci dalam terobosan-terobosan teknologi ini. Nah ini yang layak untuk kemudian diceritakan di Indonesia, sehingga tidak hanya image lama yang masih mendekam dan tidak bergerak dalam pencitraan publik di Indonesia.
Menginjak usia Revolusi Islam yang memasuki 43 tahun, Yusli berharap hubungan Iran dan Indonesia yang sudah sangat lama terlain semakin meningkat di berbagai sektor.
"Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dengan mayoritas Sunni dan Iran dengan mayoritas Syiah, saya rasa bisa saling mengeratkan hubungan. Kita tidak lagi memperbesar atau membesar-besarkan perbedaan mazhab. Saya rasa kita harus bergerak lebih dewasa untuk menjalin ikatan atau kerja sama yang lebih bermanfaat," ungkapnya.
Menurut pengamatan Yusli, hubungan bilateral Indonesia dan Iran lebih banyak dicoraki oleh kepentingan ekonomi dan fungsional yang sangat pragmatis.
"Saya melihat ada peningkatan besar dari kerja sama perdagangan Indonesia di tahun 2012, tapi kemudian turun, sempat naik lagi. Nah ini masalah kalau kita kemudian mengandalkan hubungan dari kepentingan ekonomi yang pragmatis," tegasnya.
Menurutnya, ada jalan lain yang bisa mempererat hubungan kedua negara itu dari kepentingan atau kerja sama sosial dan kultural. Sebab, harus diakui ada batasan atau hambatan psikologis atau psycological barrier, karena perbedaan mazhab di dunia bangsa ini, dan itu sedikit banyak mempengaruhi hubungan kedua negara. Ada citraan-citraan, persepsi dan distorsi informasi yang berpengaruh pada perilaku dan sikap pada tingkat kedalaman kerja sama kedua negara.
Intelektual muda NU kota Malang ini memberikan contohnya peningkatan hubungan sosial dan budaya, dengan mengatakan, "Upaya untuk mempererat hubungan sosial dan kultural, misalkan dengan pertukaran informasi atau kerja sama kantor berita antara IRIB dengan RRI atau Antara. Terus juga ada upaya untuk membangun kerja sama pendidikan, ada pertukaran tokoh-tokoh kunci, tokoh-tokoh pemuda, ditambah pula dengan manajemen pemberitaan dan informasi yang baik, saya rasa kedua negara ini bisa akan lebih mendekat, lebih erat,"
Dia berkeyakinan, jika hubungan sosial dan budaya lebih erat, maka sektor lainnya ikut terkerek naik, termasuk kerja sama teknologi.
Ia menjelaskan pengalamannya bertemu beberapa petinggi di Tehran Pardis Technopark, dan mereka menyayangkan bagaimana mungkin kedua negara Muslim terbesar hanya sedikit memiliki kerja sama dalam bidang teknologi. Memang ada dari kementerian, ada dari beberapa kampus, tapi boleh dikatakan relatif kecil untuk melihat kedekatan identitas antara kedua negara Muslim ini.
"Nah, kalau kita punya kerja sama sosial kultural yang mendalam, itu Insya Allah akan naik menjadi kerja sama yang lebih melebar, kerja sama teknologi, yang lebih erat dan lebih banyak dan akan merambah ke banyak hal, termasuk kerja sama politik," papar Yusli.
"Itu harapan saya dalam melihat bagaimana peringatan Revolusi Islam Iran dan kerja samanya dengan Indonesia. Semoga dalam masa-masa yang panjang ini, Iran tetap mempertahankan konsistensinya untuk mempromosikan tata dunia yang lebih adil dan egaliter. Saya rasa dalam sisi ini, Indonesia akan ketemu dengan visi Iran untuk mempromosikan tata dunia yang damai dan setara. Itu harapan kami sebagai orang Indonesia yang juga melihat revolusi Iran punya pengaruh besar dalam gerakan sosial di dunia Muslim, termasuk di Indonesia," pungkasnya.