Pagi itu Kamis (12/1) kurang lebih pukul 07.00, ia datang ke rumah. Musim dingin di Iran membuat suasana masih gelap, matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Wajahnya memucat, kepulan kabut keluar dari mulutnya setiap ia menghembuskan nafas. Topi kupluk, syal yang melilit di lehernya dan jaket tebal berwarna gelap lengkap dengan tas ransel di punggungnya, ia menyunggingkan senyum. "Bang, saya numpang sebentar ya!".
Tidak saya jawab, saya persilahkan masuk rumah. Kusuguhi teh panas dan roti tawar yang telah saya olesi cokelat. "Antum ada urusan apa?" tanyaku membuka pembicaraan.
"Saya dari Gorgan, ada sedikit urusan untuk mengganti visa tinggal. Insya Allah madrasah ada agenda ke Karbala, saya mau ikut. Karena visa saya masih Qom jadi saya harus ubah dulu." Jawabnya. Tampak kelelahan di bola matanya. Saya bisa maklumi itu, Qom dan Gorgan terpisah jarak 350 mil. Ia harus berada dibus selama kurang lebih 9 jam.
"Antum begitu tiba, langsung kesini?".
"Tidak, saya mampir di Haram Sayyidah Maksumah dulu. Shalat subuh sekalian ziarah dan sedikit beristirahat."
Sambil mempersilahkan ia minum teh, saya bertanya. "Antum bilang, tadi mau ke Karbala, madrasah antum punya agenda ke Karbala juga?".
"Iya. Insya Allah pekan depan."
Saya bertanya demikian sebab madrasah tempat ia belajar adalah tempat mahasiswa-mahasiswa asing yang bermazhab Sunni menimba ilmu.
"Antum mau ikut, kenapa?" rasa penasaran saya menggelitik ingin tahu.
"Ziarah ke makam Imam Husain ra bang. Imam Husain ra bukan hanya milik umat Syiah. Bahkan Sunni lebih berhak untuk memuliakannya." Ia menikmati lembaran roti terakhir.
Jiwa jurnalismeku memberontak, ini bisa jadi berita pikirku. Selama ini masyarakat di Indonesia disuguhi berita-berita yang menyeramkan mengenai Iran dan Syiah. Sebut saja seperti, warga Sunni di Iran sebagai warga minoritas ditindas dan dipaksa pindah mazhab oleh pemerintah Iran, mereka dilarang mendirikan masjid, ulama-ulamanya ditangkap dan dibunuhi dan sebagainya. Serasa mendapat durian runtuh, saya pun segera mengambil alat perekam, selembar kertas dan pulpen. Dengan wajah bingung ia menulis di lembar kertas yang saya berikan. Saya meminta ia menulis biodata sekadarnya. Layaknya fotografer professional saya potret ia berkali-kali. Saya suguhi bakwan buatan istri, supaya ia lebih betah.
Dan selanjutnya terjadilah wawancara berikut.
Saya (S) : Coba ceritakan, bagaimana prosesnya antum bisa ke Iran? Dari mana antum dapat informasi dan apa motivasi antum?
Syarif Hidayatullah (SH): Setelah saya lulus sekolah di Pondok Pesantren Daarul 'Uluum 2, mudir (setingkat kepala sekolah) saya yang bernama ust. Nasruddin Latif memberikan sebuah formulir fotokopi pendaftaran belajar di al Mustafa Iran. Bagi yang berminat beliau meminta pula persetujuan wali atau orangtua. Saya tertarik dan mencari informasinya lebih detail di web site resminya. Sayapun mendownload formulir dan mengisinya.
S: Waktu itu teman sekolah antum, ada berapa orang yang mendaftar?
SH: Ada empat. 3 orang santri perempuan dan hanya saya sendiri yang laki-laki.
S: Kesemuanya lulus?
SH: Setelah melalui tes dan wawancara hanya saya saja yang lulus.
S: Menurut antum, mengapa mudir antum menawarkan belajar ke Iran, mengapa bukan ke Madinah atau Mesir?
SH: Mungkin mudir saya memandang Iran sebagai sebuah Negara Islam yang patut untuk dikagumi. Iran mampu meggulirkan sebuah revolusi Islam yang besar. Saking terinsipirasinya dengan Iran, nama-nama anak mudir saya berbau Iran.
S: Antum sendiri mengapa tertarik ke Iran? Sementara teman-teman antum yang lain sama sekali tidak berminat.
SH: Sejak ditawari oleh Mudir, saya banyak mencari tahu tentang Iran. Sayapun turut jatuh hati, termasuk kepada Ahmadi Nejad Presidennya yang katanya sederhana. Saya juga kagum pada keberaniannya menentang imperialisme Amerika. Dan waktu itu memang saya belum terlalu begitu mengenal Syiah.
S: Memang sejak di Indonesia antum tidak pernah punya niat untuk mengenal dan mempelajari Syiah yang merupakan mazhab mayoritas di Iran?.
SH: Niat itu ada. Awalnya begini, saya memang berminat belajar di Timur Tengah sekalian untuk memperdalam kemampuan bahasa Arab saya. Saya cenderung pada sastra Arab. Begitu ada tawaran ke Iran langsung saya sambut. Karena saya juga bisa sekalian mempelajari bahasa Persia. Jadi bisa mempelajari sastra Arab dan Persia.
S: Pengalaman antum sendiri begitu tiba di Iran?
SH: Awalnya agak takut juga. Bagaimanapun Iran masih sangat asing bagi saya. Belum lagi fiqh shalat yang berbeda dengan warga setempat. Waktu pertama kali shalat berjama'ah di Haram, saya turut tidak bersedekap sebagaimana Syiah. Namun dihari-hari selanjutnya, saya mengamalkan fiqh shalat yang saya yakini, yakni bersedekap. Begitupun pada shalat Jum'at.
S: Ada tidak yang memberi komentar?
SH: Iya ada. Pada umumnya langsung bertanya, kamu sunni ya? Yang kemudian beralih bertanya tentang asal Negara dan hal yang umum-umum.
S: Apa diantara mereka ada yang pernah berlaku negatif ke antum?
SH: Pernah ada, orang tua, kakek-kakek. Begitu selesai shalat ia langsung menegur. Saya jawab saja, saya bermazhab Sunni. Eh, ia malah minta saya mengulangi shalat dan harus sesuai dengan tata cara Syiah. Tetapi saya tidak melayani. Saya langsung tinggalkan. Agak ngeri juga he..he.. tapi kejadiannya cuman sekali itu.
S: Kalau di kampus sendiri bagaimana?
SH: Dari awal tiba Senin malam tanggal 13 Juni 2011 bersama 8 teman waktu itu. Saya ditempatkan di Madrassah Al Mahdi, sekolah pelajar asing bermazhab Syiah untuk belajar bahasa Persia. Awalnya memang oleh Mudir madrasah tersebut saya ditawarkan pilihan untuk tetap belajar di madrasah itu atau langsung ke madrasah Sunni di Gorgan. Karena masih ingin bersama teman-teman Indonesia lain, saya memilih untuk tetap di madrasah tersebut, dengan niat nanti setelah belajar bahasa Persia baru pindah ke Gorgan. Awalnya tidak ada masalah, saya shalat bersama teman-teman pelajar lain di mushallah Madrasah dengan tetap pada keyakinan fiqh saya. Namun tetap saja ada segelintir pelajar lain yang kurang sreg dengan keberadaan saya. Kami para pelajar dari Indonesiapun akhirnya dikumpulkan. Mudir memberi saran, untuk membangun kebersamaan, beliau menganjurkan saya shalat meluruskan tangan tidak bersedekap karena dalam mazhab Maliki di Sunnipun menetapkan bahwa dalam shalat tidak harus bersedekap dan boleh meluruskan tangan. Meskipun itu hanya berupa anjuran, saya merasa terpaksa melakukannya. Karena kurang nyaman, sebab saya masih meyakini bersedekap lebih utama, sayapun shalat di kamar, tidak berjama'ah. Di bulan Ramadhanpun saya shalat taraweh sendirian di kamar. Setelah beberapa lama, dalam pertemuan khusus pelajar Indonesia dengan mudir, sayapun mengadukan persoalan saya. Saya mengucapkan minta maaf ke Mudir karena tidak lagi shalat berjama'ah di mushallah yang merupakan program madrasah padahal saya sangat ingin berjama'ah. Namun Mudir tetap pada anjurannya, meminta saya shalat berjama'ah dengan tidak bersedekap, karena shalat lurus tangan di Sunni tidak membatalkan shalat. Meskipun itu hanya anjuran dan sifatnya tidak memaksa, namun tetap tidak nyaman bagi saya. Akhirnya karena kerinduan untuk shalat berjama'ah, sayapun dan seorang teman akhirnya menghadap Mudir dan meminta izin untuk dipindahkan ke Gorgan. Awalnya beliau menolak dan mengatakan itu keputusan yang salah. Namun pada akhirnya beliau mengizinkan dan setelah mengurus administrasi kepindahan, saya berdua dengan temanpun akhirnya ke Gorgan. Sementara 6 teman lainnya masih di Qom.
S: Antum di Gorgan sendiri bagaimana?
SH: Begitu tiba di sana, saya terkagum-kagum dan tidak menyesal kesana. Di masjid madrasah terpampang tulisan penggalan dari ayat Al-Qur'an, "Wa' tashimu bi hablillah jamian wa la tafarraqu, berpegang teguhlah kamu semua pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai." Sayapun tambah merasa yakin dengan pilihan saya. Awalnya saya mengira di kota Gorgan itu masyarakatnya Sunni semua, ternyata tidak, tetap mayoritas Syiah. Di madrasahpun ternyata tidak semua Sunni. Mudirnya tetap Syiah, bagian Darul Qur'annya juga Syiah. Di bagian pendidikannya saja yang Sunni. Yang menarik, di masjid madrasah tertulis jadwal imam shalat berjama'ah. Untuk shalat Dhuhur yang menjadi imam shalat adalah Mudir yang bermazhab Syiah atau terkadang ustad yang bermazhab Maliki. Imam shalat Ashar oleh ustad yang bermazhab Hanafi. Kalau shalat maghrib dan Isya di jadwal itu imamnya ustad yang bermazhab Syafi'i.
S: Kegiatan antara maghrib dan Isya antum apa?
SH: Setelah maghrib ada kegiatan yang dikelola Darul Qur'an, ada pengecekan hafalan Qur'an, kajian pemahaman Al-Qur'an ataupun sekedar tilawah.
S: Di madrasah itu mayoritas mazhab apa? Dan antum sendiri mazhabnya apa?
SH: Disana mayoritas Hanafi, dan saya sendiri Syafi'i.
S: Disana ada Maliki juga? memang shalatnya tidak bersedekap juga sebagaimana Syiah?
SH: Iya ada. Kadang bersedekap, kadang engga. Mungkin karena hukumnya mubah aja kali ya?.
S: Terus pelajaran-pelajaran sendiri disana bagaimana? Apa memang diwajibkan mempelajari semua mazhab atau yang bermazhab Syafi'i khusus belajar Syafi'i juga?
SH: Untuk itu saya belum terlalu banyak tahu. Karena saya baru disana, saya juga masih di program bahasa Persia. Tapi saya pernah lihat buku teman saya yang bermazhab Hanafi. Ia mempelajari pelajaran Hanafi Dasar.
S: Antum se kamar dengan siapa saja? Dan mazhab mereka apa?
SH: Pelajar Afghanistan 2 orang dan Tajekistan juga 2 orang. Mereka bermazhab Hanafi semua.
S: Kalau tanggapan masyarakat sendiri dengan keberadaan pelajar di sana?
SH: Tidak ada masalah. Hanya terkadang memang misalnya di taksi, supirnya tanya dari Negara mana? Mazhabnya apa? Ya hanya pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dari supir taksi juga saya tahu ada kampung yang penduduknya Sunni semua yang tidak jauh dari Gorgan. Cuman saya belum pernah kesana. Kalau tidak salah namanya Harkukolo, katanya warganya bermazhab Hanafi semua.
S: Pandangan secara umum antum sendiri mengenai Iran apa? Apa ada penyesalan datang ke Iran atau menurut antum sesuatu yang harus disyukuri?
SH: Saya terus terang sangat bersyukur bisa ke Iran, dan sama sekali tidak ada penyesalan. Saya merasa beruntung. Maksudnya begini, kita jangan berpikir negatif tentang suatu mazhab yang benar-benar belum kita ketahui apalagi sampai mencapnya kafir atau diluar Islam. Dengan keberadaan saya di Iran dan melihat langsung warga Syiah, saya jadi tahu bahwa ternyata mereka juga punya alasan dan penjelasan yang kuat mengapa dalam beberapa hal memiliki pemahaman yang berbeda dengan Sunni. Ini yang saya maksud keberuntungan. Tidak termasuk orang-orang yang tergesa-gesa memberikan penilaian terhadap sesuatu yang belum sepenuhnya dikenali.
S: Antum masih aktif komunikasi dengan ustad-ustad atau teman-teman antum di Indonesia?
SH: Iya masih.
S: Pandangan ustad antum sendiri, apa ada semacam nasehat sebelum ke Iran untuk antum jangan sampai masuk Syiah dan tetap mempertahankan Sunni?
SH: Oh kalau Mudir saya memberi nasehat, untuk menjadi muslim yang sejati itu, tidak harus mempertahankan Sunni dan juga tidak harus masuk Syiah.
S: Dari biodata antum ini, kedua orangtua antum sudah meninggal? Usia antum berapa tahun saat itu?
SH: Iya. Waktu itu saya berusia 9 tahun.
S: Jadi selama ini yang menanggung biaya sekolah antum siapa?
SH: Saya sekolah selama ini gratis. Karena pondok pesantren Daarul 'Uulum itu membebaskan biaya sekolah buat santri yang yatim piatu.
S: Yang menjadi wali atas antum siapa?
SH: Kakak saya. Beliau yang menanggung saya beserta 3 adik saya selama ini.
S: Kerja beliau apa? Dan apa sudah berkeluarga?
SH: Kakak saya sopir. Iya sudah berkeluarga.
S: Apa tanggapan beliau waktu antum minta izin mau ke Iran? Apa mempersoalkan Syiah?
SH: Tidak. Ia tidak peduli saya mau Sunni atau Syiah. Beliau hanya meminta saya belajar, belajar dan belajar. Dari belajar itu katanya kita bisa mengetahui yang benar.
S: Kalau pandangan antum sendiri mengenai Syiah?
SH: Syiah bagi saya masih bagian dari Islam. Mereka juga shalat, Al-Qur'annya juga sama, mereka juga menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, pokok-pokok aqidahnya juga sama. Kata ustad saya dalam Sunni imamahpun bagian dari aqidah, hanya saja berbeda dengan Syiah yang mengharuskan imam dari kalangan Ahlul Bait, kalau di Sunni tidak.
S: Tanggapan antum mengenai peristiwa di Sampang Madura atau orang-orang di Indonesia yang masih antipati dengan Syiah bagaimana?
SH: Benar-benar sangat miris dan mengenaskan. Sebab Islam sendiri tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Untuk menyikapi yang berbeda Islam mengajarkan kita menyampaikan kebenaran dengan cara hikmah dan bijaksana.
S: Antum bilang tadi mau ke Karbala. Itu program madrasah atau antum sendiri?
SH: Program madrasah.
S: Menurut antum atau madrasah antum ziarah ke Karbala itu sendiri bagaimana? Bukankah ritual itu sangat identik dengan Syiah?
SH: Begini, di Indonesia sendirikan kita sering berziarah kubur. Ke makam orangtua atau anggota keluarga lain yang telah lebih dulu meninggal. Bagi saya, Imam Husain ra itu bukan hanya milik orang Syiah, beliau milik semua kaum muslimin. Jika kita menganggap mulia anak yang sering berziarah ke kuburan orangtuanya, maka tentu lebih mulia lagi seorang muslim yang berziarah ke makam cucu Rasulnya. Dan di Irak, rencananya kami bukan hanya ke makam Imam Husain ra di Karbala, namun juga akan ke Najaf, makam Imam Ali ra, beliau bukan hanya menantu dan kemenakan Rasulullah saw namun juga Amirul Mukminin khalifah atas umat Islam.
S: Cita-cita antum sendiri apa?
SH: Cita-cita saya sih, pengen jadi orang berguna. Khoirunnasi anfauhum linnasi. Sebaik-baik kamu yang banyak berguna bagi orang lain. Kata Nabi saw.
**********
Hampir setengah jam wawancara itu berlangsung. Merasa cukup, saya matikan alat perekam. Karena saya minta, iapun memperlihatkan foto-foto aktivitas belajarnya di madrasah Gorgan. Termasuk memperlihatkan foto Syaikh Abdul Jabbar Mirobi seorang ulama Sunni yang mengajar di Hauzah Sunni Kurdistan. Ulama itu membawa ceramah keutamaan imam Husain pada acara Arbain di madarasahnya. Ia masih mau bercerita banyak. Tapi saya melihat kelelahan yang tidak bisa ditahan lagi dari kelopak matanya. Sayapun mengambilkan bantal, dan meminta ia istrahat sebelum menyelesaikan urusannya. Tidak lama, iapun terlelap di ruang tamu. Saya yang sebentar lagi insya Allah memiliki dua anak, tiba-tiba merasa sok tua dan berdoa, "Semoga Allah SWT memperpanjang usiamu anak muda dan menggapaikan engkau dengan apa yang menjadi cita-citamu." Semoga bermanfaat.
Qom, 21 Januari 2012
Ismail Amin, Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran Program Studi Ulumul Qur'an.
Tidak saya jawab, saya persilahkan masuk rumah. Kusuguhi teh panas dan roti tawar yang telah saya olesi cokelat. "Antum ada urusan apa?" tanyaku membuka pembicaraan.
"Saya dari Gorgan, ada sedikit urusan untuk mengganti visa tinggal. Insya Allah madrasah ada agenda ke Karbala, saya mau ikut. Karena visa saya masih Qom jadi saya harus ubah dulu." Jawabnya. Tampak kelelahan di bola matanya. Saya bisa maklumi itu, Qom dan Gorgan terpisah jarak 350 mil. Ia harus berada dibus selama kurang lebih 9 jam.
"Antum begitu tiba, langsung kesini?".
"Tidak, saya mampir di Haram Sayyidah Maksumah dulu. Shalat subuh sekalian ziarah dan sedikit beristirahat."
Sambil mempersilahkan ia minum teh, saya bertanya. "Antum bilang, tadi mau ke Karbala, madrasah antum punya agenda ke Karbala juga?".
"Iya. Insya Allah pekan depan."
Saya bertanya demikian sebab madrasah tempat ia belajar adalah tempat mahasiswa-mahasiswa asing yang bermazhab Sunni menimba ilmu.
"Antum mau ikut, kenapa?" rasa penasaran saya menggelitik ingin tahu.
"Ziarah ke makam Imam Husain ra bang. Imam Husain ra bukan hanya milik umat Syiah. Bahkan Sunni lebih berhak untuk memuliakannya." Ia menikmati lembaran roti terakhir.
Jiwa jurnalismeku memberontak, ini bisa jadi berita pikirku. Selama ini masyarakat di Indonesia disuguhi berita-berita yang menyeramkan mengenai Iran dan Syiah. Sebut saja seperti, warga Sunni di Iran sebagai warga minoritas ditindas dan dipaksa pindah mazhab oleh pemerintah Iran, mereka dilarang mendirikan masjid, ulama-ulamanya ditangkap dan dibunuhi dan sebagainya. Serasa mendapat durian runtuh, saya pun segera mengambil alat perekam, selembar kertas dan pulpen. Dengan wajah bingung ia menulis di lembar kertas yang saya berikan. Saya meminta ia menulis biodata sekadarnya. Layaknya fotografer professional saya potret ia berkali-kali. Saya suguhi bakwan buatan istri, supaya ia lebih betah.
Dan selanjutnya terjadilah wawancara berikut.
Saya (S) : Coba ceritakan, bagaimana prosesnya antum bisa ke Iran? Dari mana antum dapat informasi dan apa motivasi antum?
Syarif Hidayatullah (SH): Setelah saya lulus sekolah di Pondok Pesantren Daarul 'Uluum 2, mudir (setingkat kepala sekolah) saya yang bernama ust. Nasruddin Latif memberikan sebuah formulir fotokopi pendaftaran belajar di al Mustafa Iran. Bagi yang berminat beliau meminta pula persetujuan wali atau orangtua. Saya tertarik dan mencari informasinya lebih detail di web site resminya. Sayapun mendownload formulir dan mengisinya.
S: Waktu itu teman sekolah antum, ada berapa orang yang mendaftar?
SH: Ada empat. 3 orang santri perempuan dan hanya saya sendiri yang laki-laki.
S: Kesemuanya lulus?
SH: Setelah melalui tes dan wawancara hanya saya saja yang lulus.
S: Menurut antum, mengapa mudir antum menawarkan belajar ke Iran, mengapa bukan ke Madinah atau Mesir?
SH: Mungkin mudir saya memandang Iran sebagai sebuah Negara Islam yang patut untuk dikagumi. Iran mampu meggulirkan sebuah revolusi Islam yang besar. Saking terinsipirasinya dengan Iran, nama-nama anak mudir saya berbau Iran.
S: Antum sendiri mengapa tertarik ke Iran? Sementara teman-teman antum yang lain sama sekali tidak berminat.
SH: Sejak ditawari oleh Mudir, saya banyak mencari tahu tentang Iran. Sayapun turut jatuh hati, termasuk kepada Ahmadi Nejad Presidennya yang katanya sederhana. Saya juga kagum pada keberaniannya menentang imperialisme Amerika. Dan waktu itu memang saya belum terlalu begitu mengenal Syiah.
S: Memang sejak di Indonesia antum tidak pernah punya niat untuk mengenal dan mempelajari Syiah yang merupakan mazhab mayoritas di Iran?.
SH: Niat itu ada. Awalnya begini, saya memang berminat belajar di Timur Tengah sekalian untuk memperdalam kemampuan bahasa Arab saya. Saya cenderung pada sastra Arab. Begitu ada tawaran ke Iran langsung saya sambut. Karena saya juga bisa sekalian mempelajari bahasa Persia. Jadi bisa mempelajari sastra Arab dan Persia.
S: Pengalaman antum sendiri begitu tiba di Iran?
SH: Awalnya agak takut juga. Bagaimanapun Iran masih sangat asing bagi saya. Belum lagi fiqh shalat yang berbeda dengan warga setempat. Waktu pertama kali shalat berjama'ah di Haram, saya turut tidak bersedekap sebagaimana Syiah. Namun dihari-hari selanjutnya, saya mengamalkan fiqh shalat yang saya yakini, yakni bersedekap. Begitupun pada shalat Jum'at.
S: Ada tidak yang memberi komentar?
SH: Iya ada. Pada umumnya langsung bertanya, kamu sunni ya? Yang kemudian beralih bertanya tentang asal Negara dan hal yang umum-umum.
S: Apa diantara mereka ada yang pernah berlaku negatif ke antum?
SH: Pernah ada, orang tua, kakek-kakek. Begitu selesai shalat ia langsung menegur. Saya jawab saja, saya bermazhab Sunni. Eh, ia malah minta saya mengulangi shalat dan harus sesuai dengan tata cara Syiah. Tetapi saya tidak melayani. Saya langsung tinggalkan. Agak ngeri juga he..he.. tapi kejadiannya cuman sekali itu.
S: Kalau di kampus sendiri bagaimana?
SH: Dari awal tiba Senin malam tanggal 13 Juni 2011 bersama 8 teman waktu itu. Saya ditempatkan di Madrassah Al Mahdi, sekolah pelajar asing bermazhab Syiah untuk belajar bahasa Persia. Awalnya memang oleh Mudir madrasah tersebut saya ditawarkan pilihan untuk tetap belajar di madrasah itu atau langsung ke madrasah Sunni di Gorgan. Karena masih ingin bersama teman-teman Indonesia lain, saya memilih untuk tetap di madrasah tersebut, dengan niat nanti setelah belajar bahasa Persia baru pindah ke Gorgan. Awalnya tidak ada masalah, saya shalat bersama teman-teman pelajar lain di mushallah Madrasah dengan tetap pada keyakinan fiqh saya. Namun tetap saja ada segelintir pelajar lain yang kurang sreg dengan keberadaan saya. Kami para pelajar dari Indonesiapun akhirnya dikumpulkan. Mudir memberi saran, untuk membangun kebersamaan, beliau menganjurkan saya shalat meluruskan tangan tidak bersedekap karena dalam mazhab Maliki di Sunnipun menetapkan bahwa dalam shalat tidak harus bersedekap dan boleh meluruskan tangan. Meskipun itu hanya berupa anjuran, saya merasa terpaksa melakukannya. Karena kurang nyaman, sebab saya masih meyakini bersedekap lebih utama, sayapun shalat di kamar, tidak berjama'ah. Di bulan Ramadhanpun saya shalat taraweh sendirian di kamar. Setelah beberapa lama, dalam pertemuan khusus pelajar Indonesia dengan mudir, sayapun mengadukan persoalan saya. Saya mengucapkan minta maaf ke Mudir karena tidak lagi shalat berjama'ah di mushallah yang merupakan program madrasah padahal saya sangat ingin berjama'ah. Namun Mudir tetap pada anjurannya, meminta saya shalat berjama'ah dengan tidak bersedekap, karena shalat lurus tangan di Sunni tidak membatalkan shalat. Meskipun itu hanya anjuran dan sifatnya tidak memaksa, namun tetap tidak nyaman bagi saya. Akhirnya karena kerinduan untuk shalat berjama'ah, sayapun dan seorang teman akhirnya menghadap Mudir dan meminta izin untuk dipindahkan ke Gorgan. Awalnya beliau menolak dan mengatakan itu keputusan yang salah. Namun pada akhirnya beliau mengizinkan dan setelah mengurus administrasi kepindahan, saya berdua dengan temanpun akhirnya ke Gorgan. Sementara 6 teman lainnya masih di Qom.
S: Antum di Gorgan sendiri bagaimana?
SH: Begitu tiba di sana, saya terkagum-kagum dan tidak menyesal kesana. Di masjid madrasah terpampang tulisan penggalan dari ayat Al-Qur'an, "Wa' tashimu bi hablillah jamian wa la tafarraqu, berpegang teguhlah kamu semua pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai." Sayapun tambah merasa yakin dengan pilihan saya. Awalnya saya mengira di kota Gorgan itu masyarakatnya Sunni semua, ternyata tidak, tetap mayoritas Syiah. Di madrasahpun ternyata tidak semua Sunni. Mudirnya tetap Syiah, bagian Darul Qur'annya juga Syiah. Di bagian pendidikannya saja yang Sunni. Yang menarik, di masjid madrasah tertulis jadwal imam shalat berjama'ah. Untuk shalat Dhuhur yang menjadi imam shalat adalah Mudir yang bermazhab Syiah atau terkadang ustad yang bermazhab Maliki. Imam shalat Ashar oleh ustad yang bermazhab Hanafi. Kalau shalat maghrib dan Isya di jadwal itu imamnya ustad yang bermazhab Syafi'i.
S: Kegiatan antara maghrib dan Isya antum apa?
SH: Setelah maghrib ada kegiatan yang dikelola Darul Qur'an, ada pengecekan hafalan Qur'an, kajian pemahaman Al-Qur'an ataupun sekedar tilawah.
S: Di madrasah itu mayoritas mazhab apa? Dan antum sendiri mazhabnya apa?
SH: Disana mayoritas Hanafi, dan saya sendiri Syafi'i.
S: Disana ada Maliki juga? memang shalatnya tidak bersedekap juga sebagaimana Syiah?
SH: Iya ada. Kadang bersedekap, kadang engga. Mungkin karena hukumnya mubah aja kali ya?.
S: Terus pelajaran-pelajaran sendiri disana bagaimana? Apa memang diwajibkan mempelajari semua mazhab atau yang bermazhab Syafi'i khusus belajar Syafi'i juga?
SH: Untuk itu saya belum terlalu banyak tahu. Karena saya baru disana, saya juga masih di program bahasa Persia. Tapi saya pernah lihat buku teman saya yang bermazhab Hanafi. Ia mempelajari pelajaran Hanafi Dasar.
S: Antum se kamar dengan siapa saja? Dan mazhab mereka apa?
SH: Pelajar Afghanistan 2 orang dan Tajekistan juga 2 orang. Mereka bermazhab Hanafi semua.
S: Kalau tanggapan masyarakat sendiri dengan keberadaan pelajar di sana?
SH: Tidak ada masalah. Hanya terkadang memang misalnya di taksi, supirnya tanya dari Negara mana? Mazhabnya apa? Ya hanya pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dari supir taksi juga saya tahu ada kampung yang penduduknya Sunni semua yang tidak jauh dari Gorgan. Cuman saya belum pernah kesana. Kalau tidak salah namanya Harkukolo, katanya warganya bermazhab Hanafi semua.
S: Pandangan secara umum antum sendiri mengenai Iran apa? Apa ada penyesalan datang ke Iran atau menurut antum sesuatu yang harus disyukuri?
SH: Saya terus terang sangat bersyukur bisa ke Iran, dan sama sekali tidak ada penyesalan. Saya merasa beruntung. Maksudnya begini, kita jangan berpikir negatif tentang suatu mazhab yang benar-benar belum kita ketahui apalagi sampai mencapnya kafir atau diluar Islam. Dengan keberadaan saya di Iran dan melihat langsung warga Syiah, saya jadi tahu bahwa ternyata mereka juga punya alasan dan penjelasan yang kuat mengapa dalam beberapa hal memiliki pemahaman yang berbeda dengan Sunni. Ini yang saya maksud keberuntungan. Tidak termasuk orang-orang yang tergesa-gesa memberikan penilaian terhadap sesuatu yang belum sepenuhnya dikenali.
S: Antum masih aktif komunikasi dengan ustad-ustad atau teman-teman antum di Indonesia?
SH: Iya masih.
S: Pandangan ustad antum sendiri, apa ada semacam nasehat sebelum ke Iran untuk antum jangan sampai masuk Syiah dan tetap mempertahankan Sunni?
SH: Oh kalau Mudir saya memberi nasehat, untuk menjadi muslim yang sejati itu, tidak harus mempertahankan Sunni dan juga tidak harus masuk Syiah.
S: Dari biodata antum ini, kedua orangtua antum sudah meninggal? Usia antum berapa tahun saat itu?
SH: Iya. Waktu itu saya berusia 9 tahun.
S: Jadi selama ini yang menanggung biaya sekolah antum siapa?
SH: Saya sekolah selama ini gratis. Karena pondok pesantren Daarul 'Uulum itu membebaskan biaya sekolah buat santri yang yatim piatu.
S: Yang menjadi wali atas antum siapa?
SH: Kakak saya. Beliau yang menanggung saya beserta 3 adik saya selama ini.
S: Kerja beliau apa? Dan apa sudah berkeluarga?
SH: Kakak saya sopir. Iya sudah berkeluarga.
S: Apa tanggapan beliau waktu antum minta izin mau ke Iran? Apa mempersoalkan Syiah?
SH: Tidak. Ia tidak peduli saya mau Sunni atau Syiah. Beliau hanya meminta saya belajar, belajar dan belajar. Dari belajar itu katanya kita bisa mengetahui yang benar.
S: Kalau pandangan antum sendiri mengenai Syiah?
SH: Syiah bagi saya masih bagian dari Islam. Mereka juga shalat, Al-Qur'annya juga sama, mereka juga menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, pokok-pokok aqidahnya juga sama. Kata ustad saya dalam Sunni imamahpun bagian dari aqidah, hanya saja berbeda dengan Syiah yang mengharuskan imam dari kalangan Ahlul Bait, kalau di Sunni tidak.
S: Tanggapan antum mengenai peristiwa di Sampang Madura atau orang-orang di Indonesia yang masih antipati dengan Syiah bagaimana?
SH: Benar-benar sangat miris dan mengenaskan. Sebab Islam sendiri tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Untuk menyikapi yang berbeda Islam mengajarkan kita menyampaikan kebenaran dengan cara hikmah dan bijaksana.
S: Antum bilang tadi mau ke Karbala. Itu program madrasah atau antum sendiri?
SH: Program madrasah.
S: Menurut antum atau madrasah antum ziarah ke Karbala itu sendiri bagaimana? Bukankah ritual itu sangat identik dengan Syiah?
SH: Begini, di Indonesia sendirikan kita sering berziarah kubur. Ke makam orangtua atau anggota keluarga lain yang telah lebih dulu meninggal. Bagi saya, Imam Husain ra itu bukan hanya milik orang Syiah, beliau milik semua kaum muslimin. Jika kita menganggap mulia anak yang sering berziarah ke kuburan orangtuanya, maka tentu lebih mulia lagi seorang muslim yang berziarah ke makam cucu Rasulnya. Dan di Irak, rencananya kami bukan hanya ke makam Imam Husain ra di Karbala, namun juga akan ke Najaf, makam Imam Ali ra, beliau bukan hanya menantu dan kemenakan Rasulullah saw namun juga Amirul Mukminin khalifah atas umat Islam.
S: Cita-cita antum sendiri apa?
SH: Cita-cita saya sih, pengen jadi orang berguna. Khoirunnasi anfauhum linnasi. Sebaik-baik kamu yang banyak berguna bagi orang lain. Kata Nabi saw.
**********
Hampir setengah jam wawancara itu berlangsung. Merasa cukup, saya matikan alat perekam. Karena saya minta, iapun memperlihatkan foto-foto aktivitas belajarnya di madrasah Gorgan. Termasuk memperlihatkan foto Syaikh Abdul Jabbar Mirobi seorang ulama Sunni yang mengajar di Hauzah Sunni Kurdistan. Ulama itu membawa ceramah keutamaan imam Husain pada acara Arbain di madarasahnya. Ia masih mau bercerita banyak. Tapi saya melihat kelelahan yang tidak bisa ditahan lagi dari kelopak matanya. Sayapun mengambilkan bantal, dan meminta ia istrahat sebelum menyelesaikan urusannya. Tidak lama, iapun terlelap di ruang tamu. Saya yang sebentar lagi insya Allah memiliki dua anak, tiba-tiba merasa sok tua dan berdoa, "Semoga Allah SWT memperpanjang usiamu anak muda dan menggapaikan engkau dengan apa yang menjadi cita-citamu." Semoga bermanfaat.
Qom, 21 Januari 2012
Ismail Amin, Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran Program Studi Ulumul Qur'an.