Gaya hidup mencakup cara berpakaian, pola konsumsi makanan, cara bekerja dan mengisi waktu luang, adat-istiadat dan tatanan sosial, serta hubungan kemanusiaan. Ini semua adalah komponen dari gaya hidup yang terinspirasi dari pandangan dunia dan sistem ideologi manusia.
Gaya hidup dalam pemikiran meterialisme atau pandangan Barat, memiliki perbedaan esensial dengan pemikiran agama atau tauhid. Berdasarkan kedua pandangan ini, terdapat dua bentuk gaya hidup dalam kehidupan manusia. Pemikiran agama percaya bahwa setiap aspek dari kehidupan manusia memiliki program dari langit dan sarat tujuan.
Gaya hidup Islami – berbeda dengan kehidupan Barat – tidak hanya bersandar pada kenikmatan-kenikmatan individual, tapi juga memperhatikan aspek tujuan dan menjalani hidup dengan kebijaksanaan, bahkan ketika manusia sedang menikmati liburan dan waktu istirahat. Waktu luang dalam bentuk yang sekarang ini adalah produk dari era industrialisasi dan modernitas serta gaya hidup masyarakat metropolis. Manusia harus selalu mengisi saat-saat dalam hidupnya dengan beragam kegiatan dan mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk bekerja di lingkungan yang terbatas. Kondisi ini tentu saja mengganggu kesehatan fisik dan mental.
Sebagian orang berpikir untuk mengelola waktu luang guna mengoptimalkan kinerja para pegawai. Sebagian yang lain menganggap waktu luang sebagai masa kebebasan dari semua belenggu dan waktu untuk melepas semua kekangan hukum dan moral. Menurut mereka, waktu luang adalah masa untuk melepas tanggung jawab, kebebasan mutlak, dan waktu untuk lepas dari semua tanggung jawab sosial. Pandangan seperti ini tentu saja tidak sejalan dengan pemikiran Islam. Waktu luang menurut perspektif Islam sama sekali tidak bermakna momen untuk melepas tanggung jawab atau waktu untuk menganggur.
Selama manusia masih memiliki akal, ikhtiyar, kesadaran, dan kemampuan, maka di sana juga terdapat tanggung jawab. Oleh karena itu, waktu luang sama sekali tidak bisa disebut sebagai waktu tanpa tanggung jawab, kebebasan mutlak, dan lepas dari tugas. Waktu luang juga tidak berarti sebagai kesempatan untuk menganggur. Menganggur dalam artian bahwa seseorang sama sekali tidak memiliki tugas untuk dikerjakan. Sementara dalam waktu luang, ada banyak tugas untuk diselesaikan. Dalam beberapa riwayat, Islam mencela waktu luang yang diartikan sebagai waktu untuk menganggur dan penganggur dianggap sebagai orang yang memperoleh murka Tuhan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa “Sesungguhnya Tuhan menganggap musuh orang yang banyak tidur dan menganggur.” (Kitab Ushul al-Kafi, juz 5, hal 84)
Salah satu indikasi dari waktu luang adalah bahwa manusia terbebas dari kerja resmi dan rutinitas harian. Mungkin karena indikasi ini juga sehingga sebagian orang menganggap waktu luang sebagai waktu untuk menganggur. Namun jelas bahwa ketika seseorang sudah menyelesaikan pekerjaan resminya, hal ini bukan berarti ia boleh menganggur. Indikasi lain dari waktu luang adalah bahwa seseorang bebas memilih kegiatan sesuai hobinya dan ia tidak melakukan pekerjaan atas dasar keterpaksaan. Dengan kata lain, waktu luang memberi seseorang kemampuan dan opsi yang lebih besar untuk memilih aktivitas yang disenanginya.
Di waktu luang, manusia bebas melakukan segala bentuk kegiatan sesuai dengan hobi masing-masing. Dan bahkan mungkin juga ada orang-orang yang lebih memilih pekerjaan yang berat dan penuh tantangan di waktu luangnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa tata cara menghabiskan waktu luang ditentukan oleh bentuk karakter, identitas sosial, pendidikan, dan moralitas individu. Pada waktu luang, orang-orang umumnya tidak memiliki motivasi materi atau mengejar keuntungan. Meski waktu luang masyarakat dapat dikelola untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan perputaran arus modal yang lebih besar di tengah mereka.
Waktu luang tidak mengenal golongan atau usia tertentu. Semua individu masyarakat membutuhkan waktu luang. Kebutuhan ini membuktikan tentang pentingnya perencanaan untuk mengisi momen tersebut. Mengingat ajaran Islam sangat menghargai waktu dan mencela orang-orang yang malas, maka dapat dikatakan bahwa Islam memandang masalah waktu luang dari aspek pendidikan dan etika dan sama sekali tidak bermakna menghabiskan waktu dengan sia-sia.
Waktu luang dapat menjadi salah satu peluang terbaik untuk membangun sebuah model budaya. Dengan pengelolaan waktu luang, orang-orang dapat mengarahkan keyakinan, nilai-nilai, perilaku, dan keinginannya ke tempat yang benar. Di era modern, investasi terbesar di ranah budaya di negara-negara Barat fokus pada pembuatan film, sinetron, animasi, sarana hiburan, dan game komputer, di mana semua itu ditujukan untuk mengisi waktu luang masyarakat. Produk-produk budaya itu menyebarluaskan nilai-nilai Barat dan sekarang mempengaruhi masyarakat lain.
Waktu luang dapat memiliki beragam fungsi sehingga kehidupan menjadi penuh warna dan menghapus segala bentuk kelelahan fisik dan mental serta kejenuhan dalam menjalani aktivitas. Waktu luang akan memperbarui kekuatan manusia dan mengoptimalkan kinerja mereka. Waktu luang dapat mengontrol sebagian besar gangguan mental, kegelisahan, stress, dan emosi. Pada akhirnya, manusia akan meraih kembali kedamaian jiwa dan ketenangan raga. Jika waktu luang diisi dengan kegiatan-kegiatan sosial, maka hal ini akan membantu mereka mengembangkan aspek sosial dan memperbaiki interaksi sosialnya. Mengelola waktu luang dengan benar bisa menghapus penyakit-penyakit sosial dan individual.
Salah satu kegiatan mulia pada waktu luang adalah memperbanyak kegiatan ibadah dan keagamaan. Manusia harus meningkatkan pengetahuan dan wawasan keagamannya. Imam Ali as berkata, “Janganlah kalian lupa untuk menggunakan kesehatan, kekuatan, waktu luang, masa muda, dan kesenangan kalian untuk mencari akhirat.” (Kitab Maani al-Akhbar, hal 325). Waktu luang di samping semua sisi positifnya, jika tidak dikelola dengan benar, maka dapat menjadi salah satu ancaman serius untuk kesehatan moral dan mental masyarakat. Mungkin dapat dikatakan bahwa salah satu faktor utama penyimpangan adalah ketiadaan program untuk mengisi waktu luang. Imam Ali as berkata, “Bersama waktu luang, keinginan untuk mengikuti bisikan syaitan akan muncul.” (Kitab Uyun al-Hikam wal Mawaiz, hal 485, vol 9048)
Ajaran al-Quran dan sirah Nabi Muhammad Saw serta para imam maksum telah menetapkan aturan umum dan standar-standar dasar serta pedoman kerja untuk mengisi waktu luang. Islam menginginkan umatnya agar tidak kehilangan satu kesempatan pun untuk mengejar kesempurnaan. Setelah menyelesaikan sebuah urusan penting, kita harus mengisi waktu kita dengan kegiatan lain. Untuk bisa melaksanakan aturan-aturan tersebut, kita harus menyusun sebuah program dalam hidup ini dan selalu bergerak ke arah tujuan utama. Allah Swt dalam surat al-Insyirah ayat 7 dan 8 berfirman, “… maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”
Allah Swt meminta Rasulullah Saw agar tidak kehilangan kesempatan untuk mengejar kemajuan dan kesempurnaan. Berdasarkan budaya Islam, kita tidak punya hak untuk menghabiskan usia kita dengan sia-sia, karena kita akan diminta pertanggung jawaban atas setiap detik dari usia kita. Salah satu hal yang akan ditanyakan pada hari kiamat kelak adalah tentang bagaimana kita menghabiskan umur kita. Oleh sebab itu, para imam maksum dan pemuka agama senantiasa memperingatkan kita agar mawas terhadap kesempatan dan waktu yang kita miliki, karena waktu tidak bisa didepositokan dan juga tidak dapat dikembalikan.
Imam Jakfar Shadiq as berakata, “Aku tidak senang melihat pemuda seperti kalian kecuali dalam dua kondisi ini; alim atau masih menjadi pelajar. Aku bersumpah kepada Dzat yang telah mengutus Nabi Muhammad, jika kalian tidak berada di salah satu kondisi itu, kalian telah lalai dan menyia-nyiakan umur kalian, dan orang yang telah menyia-nyiakan umurnya, ia adalah pendosa dan orang yang berbuat dosa tempatnya di neraka.” (Kitab Bihar al-Anwar, juz 1, hal 170)
Apa yang diinginkan Islam dari kita adalah menyikapi secara aktif waktu luang kita dan memanfaatkannya dengan baik melalui perencanaan yang benar dan komprehensif. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as dalam kitab Sahifah Sajjadiyah menyeru kepada Tuhan, “Ya Tuhanku! Jika engkau menetapkan waktu luang untuk kami, maka jadikanlah ia selamat di mana tidak ada dosa dari kami di dalamnya dan tidak membuat kami lelah sehingga malaikat pencatat amal keburukan kembali dengan tidak membawa dosa-dosa kami dan pencatat amal kebajikan bahagia karena kebaikan-kebaikan kami yang ia catat.”