Salah satu etika komunikasi adalah penggunaan kata-kata yang sopan dan juga penyampaian dengan baik. Kita semua tahu bahwa karakter dan kondisi emosional manusia memiliki pengaruh langsung pada perilaku dan gaya bicaranya.
Kita dapat memahami tingkat pertumbuhan kepribadian seseorang dari ucapan baik yang keluar dari lisannya dan kesantunannya dalam menyampaikan pesan. Pertumbuhan dan keluhuran kepribadian dengan sendirinya menjadi faktor untuk memelihara norma dan nilai-nilai sosial termasuk etika berbicara.
Individu yang memiliki etika dan kepribadian luhur tidak akan pernah bersedia mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai dengan karakternya, meski ia berada dalam kondisi sulit sekalipun. Etika berbicara sangat penting kedudukannya sehingga ajaran Islam memberikan banyak anjuran praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Lidah anak kecil untuk berbicara
Salah satu etika berbicara dalam Islam adalah memulai pembicaraan dengan ucapan salam. Dengan kata lain, kita memuliakan dan menghormati lawan bicara sebelum membuka pembicaraan. Kita mengawalinya dengan cara memberi salam sejahtera untuk lawan bicara.
Membuka pembicaraan dengan ucapan salam memiliki arti bahwa pembicara membawa misi persahabatan dan kasih sayang serta kecintaan kepada pendengar. Ia ingin membangkitkan emosi dan perasaan pendengar serta menarik kepercayaannya. Pada akhirnya, audien mendengar baik-baik materi pembicaraan yang ingin disampaikan oleh pembicara.
Mengingat tujuan pembicara adalah ingin menyampaikan pesan kepada audien, maka ia – sebagai langkah pertama – harus menarik konsentrasi dan perhatian pendengar sehingga seluruh fokusnya tertuju ke arahnya. Memberi ucapan salam merupakan cara ideal untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Ini adalah metode yang dipakai oleh malaikat ketika menyapa para nabi as, seperti disinggung dalam surat Hud ayat 69 dan Hijr ayat 52. Pengaruh ucapan salam sangat besar dalam membangun komunikasi dengan masyarakat sehingga Allah Swt dalam surat al-An’am ayat 54, memerintahkan Rasul Saw untuk menggunakan metode ini. “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah; ‘Salaamun alaikum.’”
Menyebut nama Allah Swt di awal pembicaraan, merupakan sebuah tradisi mulia yang bisa ditemukan dalam al-Quran, sabda Nabi Saw dan juga perkataan Ahlul Bait as. Tradisi baik ini selain memberikan nuansa sakralitas, juga dapat mengundang perhatian dan fokus para pendengar.
Menyebut nama Allah Swt akan menambah nilai dan keberkahan pembicaraan kita dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi. Tentu saja, kita tidak perlu menerapkan metode ini dalam kasus-kasus seperti, percakapan harian yang dilakukan berulang kali atau dalam memulai setiap komunikasi harian.
Poin lain etika berbicara adalah sikap proporsional dan menjaga keseimbangan. Sikap seimbang membuat pembicara terhindar dari kesalahan dalam menyampaikan materi dan pendengar juga tidak jenuh karena menyimak pembicaraan yang panjang.
Imam Ali as berkata, “Sebaik-baiknya perkataan adalah yang tidak melelahkan dan juga tidak terlalu sedikit.” Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, “Banyak bicara membuat orang bijak terperosok dalam kesalahan dan menjadikan orang-orang yang sabar lelah.” (Ghurar al-Hikam, juz 2, hal 241)
Etika lain komunikasi adalah berbicara dengan rasional dan berpikir sebelum menggerakkan lisan. Dengan kata lain, kajian menyeluruh sebelum mulai berbicara akan mencegah potensi terjadinya kesalahan dan kekeliruan. Pada dasarnya, orang bijak berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara, sementara orang bodoh bersua dahulu dan kemudian baru berpikir.
Ucapan yang tidak terukur kadang akan menciptakan masalah besar bagi pembicara. Etika komunikasi juga melarang seseorang untuk menghina dan melecehkan pihak lain melalui ucapannya. Menghina dan mengubar aib orang lain akan memperluas ruang permusuhan di tengah masyarakat dan mengurangi semangat persaudaraan dan gotong royong.
Allah Swt mengajarkan kaum Muslim dengan seperangkat etika pada saat memerintahkan Rasulullah Saw untuk membentuk Madinah Fadhilah. Ayat 11 surat al-Hujurat berkata, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Etika komunikasi dalam Islam juga melarang kita bergunjing (ghibah) yaitu, membicarakan keburukan orang lain di belakangnya. Al-Quran secara tegas memerangi kebiasaan buruk era Jahiliyah yang sampai sekarang masih ditemukan di tengah kaum Muslim.
Kitab suci ini menganggap ghibah seperti memakan bangkai saudara kita sendiri dan ayat 12 surat al-Hujurat berbunyi, “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Akar ghibah adalah mencari-cari keburukan orang lain. Untuk itu, al-Quran pertama melarang perbuatan buruk tersebut dan kemudian melarang ghibah. Mencari-cari aib orang lain merupakan sebuah pekerjaan yang sangat buruk di mana membuat individu saling curiga terhadap sesama. Dalam gaya hidup Islami, menjauhi keburukan ini akan memunculkan keramahan dan persahabatan di tengah masyarakat.
Perlu diingat bahwa dalam etika Islam setiap perkataan ada tempatnya. Ada banyak ucapan dan omongan yang tidak boleh disampaikan di banyak tempat pula. Sebuah tamsil berbunyi, “Anak Adam hanya butuh waktu dua tahun untuk bisa berbicara, tapi mereka perlu waktu 30 tahun untuk belajar bagaimana dan dimana harus berbicara.” Kita harus menerima fakta ini bahwa siapa saja yang berbicara tidak pada tempat dan momen yang tepat, ia sama seperti ayam jantan yang telah lupa dengan waktu sahar dan akhirnya berkokok di siang hari yang membuat orang-orang terganggu.
Etika lain komunikasi adalah mengeluarkan ucapan yang bisa dimengerti. Seorang pembicara harus menyampaikan perkataannya dalam batas yang bisa dipahami oleh para pendengar. Imam Ali as berkata, “Sebaik-baiknya perkataan adalah ucapan yang tidak ditolak keluar oleh telinga dan juga tidak menyiksa orang yang berakal dalam memahaminya.” (Ghurar al-Hikam, juz 2)
Pembicara juga harus mengemasnya dengan baik dan menarik sehingga ucapannya berpengaruh besar pada diri audien. Perkataan seperti ini bisa menciptakan kredibilitas dan kepribadian bagi diri pembicara. Sebaliknya meski pembicara punya banyak pengetahuan, tapi tidak mampu mengemas dan menyampaikannya dengan baik, maka ia akan membuat para audien jenuh.
Profesor John J. B. Morgan dalam bukunya “Debrett's New Guide to Etiquette and Modern Manners” menulis, “Saat kita berkomunikasi dengan seseorang dan kita justru menyaksikannya fokus ke tempat lain, kita harus segera memahami poin ini bahwa kita tidak mampu menariknya ke arah kita. Ada jarak yang sangat jauh antara tema pembicaraan kita dengan perkara yang disukai oleh dia.”
Berbicara dengan lembut juga termasuk salah satu etika komunikasi dalam ajaran Islam, di mana ia berperan dalam mendidik masyarakat. Cara ini bahkan wajib dipakai untuk menghadapi orang-orang yang paling kejam sekalipun. Ketika Allah Swt memerintahkan Nabi Musa dan Harun as untuk bertemu Fir’aun, Dia berfirman, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Surat Taha, ayat 44)
Dari sisi lain jika kita berbicara dengan kata-kata kasar dan nada tinggi, sikap ini selain tidak beretika juga menyiksa telinga para pendengar dan membuat mereka berpaling dari kita. Imam Ali as dalam sebuah nasehatnya berkata, “Biasakanlah lisan kalian untuk berbicara dengan lembut dan mengucapkan salam sehingga memperbanyak jumlah sahabatmu dan mengurangi jumlah musuhmu.” Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, “Cara orang-orang saleh adalah bertutur dengan lembut dan menyampaikan salam.” (Ghurar al-Hikam, hal 343 dan 377).