Islam dan Gaya Hidup (34)

Rate this item
(0 votes)
Islam dan Gaya Hidup (34)

 

Kajian tentang masalah pergaulan (mu’asyarah) dan hubungan sosial ini merupakan sebuah pengantar sebelum kita memasuki pembahasan seputar gaya hidup Islami di tengah keluarga dan hubungan kekeluargaan. Interaksi dan komunikasi sosial berperan sangat penting dalam memperbaiki persoalan masyarakat.

Manusia adalah makhluk sosial dan sifat sosial ini menuntutnya untuk mengenal tentang bagaimana cara membangun hubungannya dengan orang lain dan kemudian mengaturnya dengan benar. Agama Islam juga menaruh perhatian khusus terhadap perkara tersebut.

Seperangkat aturan dan ajaran Islam serta pendidikan moralnya berhubungan dengan masalah perilaku sosial dan tata cara menjalin hubungan di masyarakat. Dengan memperhatikan ajaran Islam tentang etika mu’asyarah dan hubungan sosial, maka kita dapat membaginya ke dalam dua kelompok yakni hukum Salbi dan Ijabi (mencegah larangan dan memerintah kebaikan).

Dalam artian, sebagian dari etika itu memerintahkan kita untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak benar, dan sebagian lagi justru menyuruh kita untuk mengamalkan perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji.

Setiap perbuatan tercela tentu saja dapat melencengkan arah mu’asyarah dan jalur hubungan antar-sesama. Allah Swt dalam banyak ayatnya menyinggung masalah penyimpangan perilaku dan dekadensi moral serta menyebutnya sebagai faktor penting dalam keruntuhan masyarakat dan menjadi penyebab munculnya krisis dalam hubungan sosial.

Untuk itu, ada banyak perilaku menyimpang (penyimpangan sosial) dan tidak sehat yang diperkenalkan oleh Islam dan meminta umatnya untuk meninggalkan perbuatan tercela itu. Seperti kita ketahui bersama, eksistensi dan keberlangsungan kehidupan sosial tercipta melalui hubungan erat antara semua individu masyarakat dalam bingkai cinta, kesepahaman, dan saling menghormati.

Setiap individu dalam kehidupan sosialnya harus berkomitmen dengan perilaku baik sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan seperti itu oleh masyarakat. Jika ia ingin diperlakukan baik oleh masyarakat, maka ia juga harus bersikap baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Jika kita senang dengan kejujuran, kebenaran, kesetiaan, dan komitmen dengan janji, maka kita juga harus bersikap seperti itu. Jika kita mengharapkan perlakuan baik masyarakat, dan jika kita membenci sikap arogan dan berharap orang lain menghormati hak-hak kita, maka kita sendiri harus menjadi teladan dalam hal ini dan menghormati hak-hak orang lain.

Kitab suci al-Quran mencela orang yang melalaikan tugas-tugas sosialnya, sementara ia mengharapkan masyarakat untuk melakukan itu dan menganggapnya sebagai orang-orang yang tidak berpikir. Dalam surat al-Baqarah ayat 44, Allah Swt berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” Oleh sebab itu, setiap individu masyarakat memiliki hak-hak dan semua berkewajiban untuk menunaikannya.

Suatu hari, seseorang bertanya kepada Imam Jakfar Shadiq as tentang hak seorang mukmin atas mukmin lainnya, beliau berkata, “Hak terendah saudaramu atasmu adalah mencintai untuknya sesuatu yang engkau cintai atas dirimu sendiri dan membenci untuknya sesuatu yang engkau benci untuk dirimu sendiri.”

Di antara perilaku tercela dan kemerosotan moral yang paling utama adalah menciptakan perpecahan, mengganggu orang lain, melecehkan orang lain, menyebarkan fitnah, bersikap pelit, mencari-cari kesalahan orang lain, bersikap sombong, melakukan kezaliman, berkhianat, dan berburuk sangka. Al-Quran dalam berbagai ayatnya melarang perbuatan tersebut.

Menjaga norma perilaku dan etika merupakan sebuah prinsip, di mana Allah dalam berbagai ayat al-Quran menyebutnya sebagai tata cara bermu’asyarah. Di antara norma terpenting yang perlu kita perhatikan dalam bergaul adalah menghormati orang lain, berbuat baik dan membantu antar-sesama, menjaga amanah, bersikap jujur, menegakkan keadilan, bersikap rendah diri, menunaikan janji, berjiwa besar dan pemaaf, dan bermusyawarah dalam membuat keputusan, di mana al-Quran sangat menekankan masalah tersebut.

Setelah memperhatikan perintah dan larangan al-Quran dalam urusan mu’asyarah, kita dapat memahami bahwa menjaga norma-norma yang berlaku di masyarakat, aturan agama dan akal, serta menghindari penyimpangan sosial, sangat berkontribusi dalam membentuk hubungan sosial yang konstruktif. Sikap tersebut juga akan membawa banyak dampak positif bagi individu terkait dan masyarakat.

Misalnya saja, memaafkan kesalahan orang lain dan tidak membesar-besarkan kesalahan kecil masyarakat, merupakan salah satu bentuk perilaku baik. Perbuatan baik ini memberi kesempatan kepada pelaku kesalahan untuk memperbaiki sikapnya dan tidak lagi berjalan di jalur menyimpang.

Kita harus memberi kesempatan kepada orang lain untuk meniti jalan kesempurnaan, di mana dampaknya akan dirasakan oleh orang pemberi maaf dan pelaku kesalahan. Sebab, manusia tidak hidup di sebuah lingkungan yang sempit dan mereka membutuhkan kontak sosial untuk memenuhi kebutuhan jiwa dan mental serta keperluan ekonomi. Kita tentu saja tidak bisa mengabaikan perkara alamiah ini. Memperbaiki dan membenarkan perilaku orang lain melalui kata maaf dan perbuatan baik, akan memberi peluang kepada pelaku untuk melestarikan hubungan sosial di sebuah lingkungan yang lebih sehat dan menikmati pengaruh-pengaruh positifnya.

Dalam perspektif Islam, hubungan sosial manusia pada batasan niat harus berorientasi pada kebaikan, kecintaan, dan prasangka baik. Dengan kata lain, kaum Muslim perlu menjaga kebersihan isi pikiran dan kesucian niatnya terhadap saudara-saudaranya. Kita perlu terus memelihara pikiran positif, sikap saling mengingatkan, dan semangat persaudaraan serta menghindari perbuatan makar terhadap mereka. Berkenaan dengan hal ini, Imam Ali as berkata, “Allah Subhanahu Wa Ta'ala mencintai orang yang memiliki niat baik tentang saudaranya.”

Islam pada batasan amal, juga menetapkan rambu-rambu dan tugas-tugas untuk mengatur hubungan sosial manusia. Islam membangun landasan hubungan itu atas dasar keimanan kepada Allah Swt, ketakwaan, keutamaan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat teliti dan menetapkan sesuatu yang selaras dengan fitrah, di mana jika diamalkan dan mu’asyarah juga dibangun atas nilai-nilai ketuhanan, maka wajah kehidupan akan memiliki warna baru. Di antara parameter utama yang ditetapkan Allah Swt untuk mu’asyarah dan persahabatan dengan orang lain adalah iman, karena hubungan antara kaum muslim dengan non-muslim dapat membawa dampak-dampak negatif.

Manusia yang menanamkan pengaruhnya pada orang lain, mungkin juga menerima pengaruh dari pihak lain dengan kadar yang sama. Oleh sebab itu, Islam menekankan aspek keimanan dalam membangun persahabatan dan mu’asyarah. Dalam surat an-Nisa ayat 144 disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?”

Kaidah umum tata cara mu’asyarah pada batasan amal adalah bahwa manusia harus bersikap baik terhadap orang lain, menjaga keadilan, memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, menginginkan untuk orang lain sesuatu yang kita inginkan untuk diri kita sendiri, membenci untuk orang lain sesuatu yang kita benci untuk diri kita sendiri, bersikap toleran, dan memperhatikan urusan-urusan mereka.

Penggalan surat wasiat Imam Ali as kepada putranya, Hasan bin Ali as menyebutkan, “Wahai putraku! Jadikanlah dirimu sendiri sebagai tolok-ukur bagi orang lain. Hargailah apa yang mereka sukai seperti engkau sendiri menyukainya. Janganlah engkau berbuat zalim, sebagaimana engkau sendiri juga tak suka menjadi sasaran penganiayaan. Berlaku baiklah (kepada orang lain) sebagaimana engkau sendiri suka mendapat perlakuan baik.”

Berkenaan dengan pentingnya partisipasi di tengah masyarakat dan tata cara membangun hubungan dengan mereka, Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Berbaurlah dengan masyarakat dan ikut serta dalam perkumpulan mereka dan bantulah mereka dalam pekerjaan-pekerjaannya. Janganlah engkau menyendiri dan menjaga jarak dari masyarakat, dan berbicaralah dengan mereka sebagaimana firman Allah, ‘Bertuturlah dengan baik kepada mereka.”

Pertemanan termasuk salah satu faktor penting dalam membentuk karakter setiap individu serta berpengaruh langsung pada pola pikir dan perilakunya. Oleh karena itu, Islam melarang umatnya untuk bergaul dan berteman dengan komunitas tertentu. Mereka adalah para penindas, pendosa, pembohong, orang-orang bodoh, dan musuh-musuh Allah Swt.

Read 601 times