Pada segmen ini, kita sudah memasuki tema seputar keluarga dan prinsip-prinsip yang melandasi hubungan antar anggotanya dalam gaya hidup Islami. Sebelumnya, kita sudah memaparkan beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh keluarga yang seimbang seperti, keinginan untuk maju bersama, rasa cinta, dan kasih sayang, berpikir positif dan berbaik sangka, dan gotong royong dan saling membantu dalam pekerjaan-pekerjaan di rumah.
Di antara masalah yang ditekankan dalam gaya hidup Islami adalah membangun hubungan keluarga khususnya interaksi antara suami-istri atas dasar logika. Dewasa ini, banyaknya tuntutan dan keinginan yang tidak rasional dari masing-masing pihak telah menjadi salah satu fenomena yang mengancam keutuhan rumah tangga.
Ketenangan hidup kadang terusik dengan munculnya tuntutan-tuntutan yang tidak rasional. Pasangan muda atau mereka yang baru menikah biasanya sangat rentan dengan masalah ini, karena zona pembatas antara tuntutan rasional dan tidak rasional di mata mereka masih belum jelas. Kasus ini kadang membuat perasaan mereka tersakiti.
Titik krisis dalam kehidupan dimulai ketika tuntutan-tuntutan yang tidak rasional dan tidak terpenuhi bertumpuk menjadi satu dan daya tolak suami-istri terhadap tuntutan tersebut juga menyusut secara perlahan. Akhirnya, sentimen negatif tumbuh berkembang dan hubungan mereka merenggang dan penuh konflik. Sementara keluarga yang seimbang menutup celah munculnya benih-benih konflik dan perseteruan dalam kehidupan dengan cara mengatur dan menetapkan tuntutan yang rasional. Dengan begitu, mereka mencapai kata sepakat tentang tuntutan-tuntutannya dan tetap memelihara semangat kesepahaman dan kekompakan dalam kehidupan.
Dalam kehidupan bersama, karena munculnya hubungan dan interaksi baru, maka kepentingan dan selera pribadi antara suami-istri sering berbenturan. Pada akhirnya, konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan pribadi tampak lebih jelas. Dalam situasi seperti ini, jika suami-istri memiliki akhlak dan pendidikan yang baik, maka ia dapat menjadi landasan yang kuat untuk mencari jalan dalam menyelesaikan perselisihan dan memperkuat kehadiran logika dalam lembaran kehidupan.
Namun, ada keluarga tertentu di mana salah satu pihak memaksakan kehendaknya kepada para anggota keluarga dan memimpin rumah tangga dengan tangan besi. Keluarga seperti ini mengabaikan logika dan menciptakan iklim yang buruk dan penuh konflik di tengah keluarga. Karena, para anggota yang lain sama sekali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Aturan hidup diperlukan untuk mengatur hubungan antara suami dan istri. Tetapi, aturan itu baru dapat mendefinisikan secara benar hubungan tersebut ketika disusun berdasarkan hak-hak dan sesuai dengan kebutuhan jiwa mereka. Semua hak baik dari pihak pria maupun wanita harus diakui dalam aturan itu. Masalah gender, usia, dan pendidikan, semua tidak boleh melangkahi logika dan kebenaran. Oleh karena itu, mereka sama-sama tidak boleh memaksakan selera dan pandangannya kepada pihak lain.
Di antara anjuran moral dalam Islam adalah mengikuti kebenaran dan memiliki sikap rasional. Mengikuti kebenaran di lingkungan keluarga tentu saja akan membawa dampak-dampak positif dalam hubungan suami-istri. Ciri khas orang beriman dan berakhlak adalah mencintai kebenaran. Rasulullah Saw bersabda, “Katakanlah kebenaran meskipun itu akan merugikanmu.” Suami dan istri perlu memperhatikan bahwa kadang dalam pertikaian dan konflik, kebenaran justru berada di pihak lawan.
Dalam kondisi seperti ini, ia harus mengakui dan menerima kebenaran sesuai dengan kewajiban moral, a
Cinta dan kasih sayang
gama, dan komitmen hidup berumah tangga. Pengakuan tersebut akan menurunkan emosi dan kemarahan pasangannya. Jelas bahwa lari dari logika dan kebenaran, sama seperti menabur benih kedengkian dalam hati dan juga menghilangkan kepercayaan dan keyakinan pasangan.
Lingkungan keluarga akan berantakan dan suami-istri juga kehilangan kemesraan jika pertikaian dan konflik terjadi di antara mereka. Penelitian menunjukkan bahwa konflik rumah tangga sama sekali tidak akan membuat masing-masing pihak bahagia. Jika akhir dari konflik tampak menguntungkan satu pihak, tapi kondisi ini tidak akan membuat ia sukses.
Hukum Islam tidak mengizinkan suami untuk berperilaku tidak rasional terhadap istrinya. Aturan-aturan Islam lebih menekankan sikap toleran dengan istri. Kaum pria lebih tahan banting daripada wanita dan mereka perlu menaruh perhatian khusus terhadap perasaan lembut wanita.
Suami dan istri berdasarkan ajaran agama dan akhlak, harus mengesampingkan sikap egois di tengah keluarga dan dalam kasus pertikaian, masing-masing pihak perlu mengabaikan hak-hak tertentu demi maslahat yang lebih besar. Dalam gaya hidup Islami, suami dianjurkan untuk menggunakan argumentasi yang kuat dalam berdiskusi dengan istrinya. Jika sang istri susah untuk menerima realitas dan ada kemungkinan akan melukai perasaannya, maka suami perlu mengubah nada bicara dari bahasa perintah menjadi saran yang terkesan akrab dan bersahabat.
Suami kadang perlu memutar ulang memori mereka berdua di masa lalu, di mana mereka mengakhiri setiap perselisihan dengan cara yang rasional dan logis. Kita tidak akan menemui kasus penghinaan dan pelecehan jika sebuah keluarga mengedepankan logika dan argumentasi.
Dalam gaya hidup Islami, sifat pemaaf dan toleran merupakan prinsip lain yang harus diterapkan di tengah keluarga. Memaafkan memiliki tempat khusus dalam Islam dan ia dianggap sebagai bagian dari sifat-sifat orang Mukmin. Sejarah kehidupan Rasulullah Saw dan para pemuka agama menunjukkan bahwa sikap pemaaf dan toleran yang mereka tunjukkan telah menarik banyak orang untuk mengkaji Islam dan membuka jalan hidayah untuk mereka yang tersesat. Panduan akhlak Islami menganjurkan toleransi di tengah keluarga dan masyarakat serta mengajak suami-istri untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan jauh dari konflik.
Suami dan istri harus menunjukkan jiwa besarnya melebihi komunitas-komunitas lain. Kehidupan bersama menuntut kedua pihak untuk saling mengetahui kondisi mental dan kekurangan masing-masing, tapi masalah ini jangan membuat mereka mengumbar aib atau saling menghina. Jika ini terjadi, ketenangan rumah tangga akan hilang dan mendorong mereka untuk saling curiga dan bermusuhan.
Sifat pemaaf dan toleran menuntut kita untuk menutupi aib pasangan dan dalam kasus tertentu, kita harus berpura-pura lupa atas sebuah kesalahan kecil pasangan. Dengan kata lain, kita bersikap seakan-akan kita sudah lupa dengan kesalahan itu.
Dengan melupakan atau menutupi kesalahan kecil pasangan, berarti kita sudah menunjukkan kebesaran jiwa. Toleransi terhadap perilaku keliru, juga dapat menjadi cara untuk memelihara ketenangan keluarga. Berlanjutnya sikap ini tentu memiliki dampak-dampak positif dan memancing pihak lain untuk memperbaiki perilakunya.
Para psikolog menjelaskan manfaat sikap pemaaf dan toleran dalam rumah tangga, mereka mengatakan, "Dengan menutup mata terhadap kekurangan pasangan, telah memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki perilakunya. Saat hempasan kritikan dan celaan menimpa dirinya, segala bentuk keinginan dan keberanian untuk menebus menjadi berkurang. Menutup mata dari kesalahan kecil pasangan berpotensi mewujudkan kesepahaman dalam keluarga.”
Akan tetapi untuk sampai pada tujuan itu, kita harus memiliki strategi tertentu sehingga perilaku-perilaku yang keliru tidak keterusan. Oleh sebab itu, kita perlu menciptakan ruang untuk menumbuhkan perilaku-perilaku positif. Toleransi kadang dapat diperlihatkan dengan sikap diam yang penuh makna dan ini sangat menyentuh pasangan kita. Sikap ini bahkan mendorong pasangan kita untuk meninjau kembali perilaku dan perbuatannya.
Setiap individu – dengan memperhatikan bentuk kepribadian dan perasaan pasangannya – dapat memilih cara yang tepat untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pasangan, dengan catatan cara tersebut harus memperkuat perilaku positif pada diri pasangannya.