Bumi bila dilihat dari ruang angkasa merupakan sebuah planet berwarna biru dan penuh air. Air di bumi sekitar 1,3 juta kilometer persegi dan menutupi hampir 71 persen permukaan bumi.
Sekitar 5,97 persen air berada di laut dan danau asin dan air tawar hanya sebesar 5,2 persen. Dari jumlah air tawar ini, 3 persennya adalah air danau, 7,30 persennya air bawah tanah dan 9,68 persennya adalah gunung es abadi. Oleh karena itu, mengingat keterbatasan sumber air, maka air dapat diketegorikan sebagai unsur vital yang dibutuhkan makhluk hidup.
Air berperan bagi kesehatan dan kehidupan manusia serta peningkatan atau penurunan populasi di berbagai belahan dunia. Air juga membantu manusia dan negara untuk memiliki ekonomi, sosial dan politik yang maju. Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki moon di acara pembukaan konferensi internasional the International Decade for Action "Water for Life" yang digelar di Dushanbe, Tajikistan awal Juni 2015 secara transparan menjelaskan urgensitas air bagi kehidupan manusia. Ia mengatakan, “Air adalah kehidupan, air adalah kesehatan, air adalah status dan kehormatan manusia, air adalah hak manusia. Tidak ada yang lebih penting bagi eksistensi kita seperti air.”
Realitanya adalah demikian bahwa air merupakan salah satu sumber penting bagi kelangsungan hidup di muka bumi. Menurut keterangan PBB, setiap manusia setiap hari membutuhkan 20-50 liter air bersih, baik itu untuk minum, memasak makanan atau kebersihan. Namun kini dunia hanya satu miliar manusia, yakni dari setiap tujuh orang, satu diantaranya tidak memiliki akses air bersih. Sekitar 5000 anak di bawah usia lima tahun setiap hari meninggal gara-gara mengkonsumsi air tercemar dan kondisi kebersihan yang buruk. Selain polusi, peringatan internasional menunjukkan bahwa 46 negara dunia dengan populasi lebih dari 2,7 miliar, kini menghadapi krisis kelangkaan air. Penyebab utamanya adalah perubahan iklim.
Kelangkaan air di sejumlah belahan dunia terkadang sangat parah sehingga menjadi kekhawatiran utama dan prioritas aktivitas sehari-hari warga di sejumlah wilayah adalah menemukan setetes air bersih dan layak untuk dikonsumsi. Menurut prediksi pengamat, perubahan iklim yang mengubah curah hujan cenderung menimbulkan kelangkaan air dan setiap tahun dunia semakin kering serta permintaan air bagi industri dan pertanian semakin besar. Menurut sekjen PBB, untuk 10 tahun kedepan, 1,8 miliar manusia di dunia di berbagai wilayah akan hidup dengan cadangan air yang terbatas dan dua pertiga lainnya akan mengalami kelangkaan air serius.
Kelangkaan air akan mendorong penurunan produksi bahan makanan dan energi di berbagai wilayah dan pemerintah akan dihadapkan pada kendala besar. Alexandre Gustave, pengamat internasional air baru-baru ini di majalah Water Politics mengisyaratkan realita ini. “Kelangkaan air di masa depan mempengaruhi laju perekonomian global dan sumber dari banyak kendala serta instabilitas politik.
Perubahan iklim juga memperbesar masalah kelangkaan air dan dampaknya setiap tahun semakin besar, sumber vital ini sangat penting dan bahkan dapat merebut posisi minyak. Hingga tahun 2025 lebih dari separuh penduduk dunia akan menghadapi kelangkaan air dan hingga tahun 2050, lebih dari 75 persen penduduk dunia akan mengalami krisis ini. Bahkan di sejumlah pihak meyakini air sebaagi minyak di abad 21, meski asumsi ini tidak detail,namun realitanya adalah jelas bahwa akses air bersih di masa mendatang menjadi kunci bagi perkembangan ekonomi global dan kebijakan berbagai pemerintah.”
Sebelumnya Shane Harris, pengamat di Foreign Policy di sebuah catatannya atas perubahan iklim dan kendala kelangkaan air sebagai krisis internasional mendatang. Ia menulis, “Mari kita lupakan isu kelompok teroris Takfiri ISIS. Krisis mendatang adalah kelangkaan air yang akan membuat berbagai negara saling konfrontasi.” Ia menambahkan, ada bamyak kendala yang akan memicu bentrokan dan tensi di antara berbagai negara, namun kendala mendatang yang akan memperparah ketegangan di antara negara dunia adalah kelangkaan air yang bisa memicu perang baru.
Shane di artikelnya mengisyaratkan krisis kalangkaan air di Afrika timur dan menulis, “Kekeringan di negara ini memicu pertempuran mematikan di antara kabilah Somalia untuk mendapat air.” Berbagai kajian menunjukkan bahwa saat ini mulai ada indikasi tensi dan friksi soal air. Misalnya dua tahun lalu terjadi friksi antara Mesir dan Ethopia terkait air sungai Nil, di mana kedua negara bahkan hampir terlibat peperangan.
Petinggi Yordania yang kini negaranya mengalami kelangkaan air memperingatkan bahwa perang memperebutkan sumber air, bahkan bisa menjadi peperangan paling berdarah ketimbang kebangkitan Arab yang dikenal dengan Musim Semi Arab. Berbagai laporan menunjukkan bahwa rezim Zionis Israel menggunakan air tiga kali lipat dibanding dengan warga Palestina. Oleh karena itu, salah satu pemanfaatan sumber air menjadi salah satu friksi antara Otorita Ramallah dan Israel. Friksi terkait sumber air antara Turki dan Suriah juga kasus lain dalam masalah perebutan sumber air.
Mayoritas pengamat hidropolitik meyakini bahwa salah satu dalih Turki mendukung kelompok oposisi Suriah dan kehancuran pemerintah Damaskus adalah friksi negara ini dengan Suriah terkait Dajlah dan Furat. Sementara itu, Suriah berulang kali juga memanfaatkan beragam metode politik untuk menekan Turki terkait sumber air.
Selain itu, India dan Pakistan juga terlibat sengketa soal sungai Indus. Cina, Nepal, India dan Bangladesh juga terlibat perseteruan penamaan sungai yang mengalir dari pegunungan Himalaya. Mereka berusaha merebut bagian terbesar dari sungai tersebut. Patut dicatat, sungai yang bersumber dari pegunungan Himalaya ini menghidupi sekitar 500 juta orang.
Sementara itu, di Asia Tengah juga terjadi friksi antara Uzbekistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan terkait sungai Amu Darya dan Syr Darya serta sejumlah sungai yang mengalir dari Laut Aral. Sementara di Amerika Selatan, Argentina dan Uruguai juga terlibat friksi terkait sungai Plata. Perseturan ini semakin seru sehingga berkasnya sampai dibawa ke Pengadilan Kriminan Internasional Den Haag (ICC). Sementara itu, Amerika Serikat dan Mexico mengklaim memiliki saham terbesar dari sumber air di sungai Rio Grande dan Colorado. Sengketa ini sampai saat ini masih tetap terjadi di antara kedua negara tersebut.
Adapun di Afrika sebuah sungai milik bersama antara negara-negara Botswana, Mozambik, Zambia dan Zimbabwe telah memicu ketegangan di antara empat negara tersebut. Tak hanya itu, friksi antara Mauratania dan Sinegal terkait penguasaan sumber air yang dimiliki keduanya juga tak dapat dipadamkan.
Presiden Republik Islam Iran, Hassan Rouhani tahun 2014 di pidatonya di KTT Perubahan Iklim di New York menekankan realita ini dan menandaskan, “Pada dasarnya setiap sumber alam yang dibutuhkan manusia dan kemudian menjadi langka, dapat menjadi pemicu bentrokan dan bahkan perang.” Ini adalah sebuah realita yang tak dapat dipungkiri.
Oleh karena itu, dunia di masa mendatang akan menjadi dunia air dan pada dasarnya hal ini pula yang mendorong kecenderungan perusahaan raksasa untuk berinvestasi di bidang ini. Misalnya Inggris yang mengalami kelangkaan air mulai mengakaji pemasangan pipa air dari Scotlandia ke London. Adapun Turki juga berencana membangun pipa air untuk dijual ke Eropa tengah, Cyprus, Yunani, Mesir dan Malta.
Oleh karena itu, dapat dikatakan di perdagangan global, negara-negara yang independen dalam memenuhi kebutuhan air akan memiliki kondisi lebih kondusif di banding dengan negara lain. Negara yang mampu menjadikan air sebagai produk dagang di dekade mendatang akan mampu meraih keuntungan besar. Namun demikian maraknya proses seperti ini akan menuai reaksi dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka meyakini bahwa air sama seperti air dan tidak selayaknya diperdagangkan.
Berbagai negara menekankan bahwa air adalah hak manusia dan bukan seperti harta. Karena menghalangi seseorang untuk mendapat air tak ubahnya dengan menghapus hak kehidupan manusia.