Shihab al-Din Yahya bin Habsy bin Amirak Abu al-Futuh Suhrawardi yang dikenal dengan Syihab al-Din, Syeikh Isyraq, Syeikh Maqtul (yang terbunuh) dan Syeikh Syahid adalah filsuf, hakim dan arif terkenal Iran di abad keenam HQ (abad 12 Masehi) dan penggagas aliran filsafat Iluminasi dalam filsafat Islam.
Shihab al-Din dilahirkan di kota Suhraward, sebuah desa yang terletak dekat Zanjan, Iran. Sementara terkait dengan tanggal kelahiran Syihab al-Din hanya dapat diperkirakan bahwa ia dilahirkan antara tahun 545 HQ (1150 Masehi) hingga 550 HQ (1155 Masehi). Tapi kebanyakan peneliti kontemporer termasuk Hossein Nasr dan Henry Corbin menyebut kelahirannya tahun 549 HQ (1154).
Suhrawardi
Surawardi melewati masa kanak-kanaknya di kota kelahirannya Suhraward. Para ahli sejarah tidak banyak mengetahui jejak kehidupan masa kecil Suhrawardi. Selama ini yang dibahas para sejarawan mengenai masa kecil Suhrawardi seputar perhatiannya mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan umum dan agama sejak di Suhraward. Selain itu, Suhrawardi belajar di bawah asuhan Sheikh Abd al-Rahman. Sejak masih belia, ia sudah menunjukkan kecerdasan dibandingkan teman-teman seusianya ketika menuntut ilmu di masa itu.
Sheikh Majd al-Din al-Jili penulis buku al-Lami' fi al-Syikl al-Rabi', tokoh teologi dan filsafat termasuk salah satu guru Imam Fakhr al-Razi, filsuf dan mufassir besar IRan abad 6-7 HQ (12-13 Masehi). Imam Fakhr al-Razi belajar lama dengan Majd al-Din dan menuntut ilmu teologi dan filsafat kepadanya dan disebutkan bahwa Syeikh Syihab al-Din Suhrawardi selama tinggal di kota Maragha bersama Imam Fakhr al-Razi belajar kepada Sheikh Majd al-Din al-Jili. Disebutkan bahwa Imam Fakhr al-Din dikenal sebagai penentang keras filsafat dan beberapa tahun setelah belajar bersama Suhrawardi dan setelah ia meninggal, Ketika sebuah naskah buku Talwihat karya Suhrawardi diberikan kepadanya, ia langsung menciumnya dan mengingat teman laman satu kelas sambil meneteskan air mata.
Di tahun 574 Hq, Suhrawardi meninggalkan Maragha menuju Isfahan untuk menuntut ilmu dari ulama lain. Di Isfahan, ia berguru kepada Zahir al-Din al-Farisi dan mempelajari kitab al-Basair al-Nasiriyah karya Umar bin Sahlan Sawi. Di kota ini juga Suhrawardi mulai mengenal pemikiran Ibnu Sina. Selama di Isfahan, Syeikh Isyraq semakin tertarik dan menyukai Hikmah Masyriqi Ibnu Sina dan para sejarawan menyebut Suhrawardi kemudian ia menerjemahkan buku Ibnu Sina Risalah al-Thair ke dalam bahasa Persia dan menulis Bustan al-Qulub dan Qisshah al-Ghurbah al-Gharibah.
Periode kedua kehidupan Suhrawardi setelah tinggal selama dua atau tiga tahun di Isfahan sebelum tahun 579 HQ dimulai dengan perjalanannya. Ia dikenal sebagai orang yang sangat menyukai perjalanan. Dalam perjalanan itu pulalah, Suhrawardi bertemu dengan para ulama dan arif, kemudian ia belajar kepada mereka dan mulai melakukan pensucian diri. Biasanya, Suhrawardi melewati hari-harinya dengan puasa dan hidup dalam kondisi sulit. Banyak yang mengatakan bahwa akibat upaya luar biasa untuk mensucikan diri, ia sampai ke maqam tertinggi para pesalik dan memiliki keramat.
Suhrawardi mengunjungi Anatolia di Turki dan Suriah untuk mengenal lebih dekat aliran-aliran pemikiran di masanya. Di kota Mardin, salah satu kota di Turki saat ini, ia bertemu dengan Fakhr al-Din Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Salam al-Mardini yang berujung pada keakraban keduanya dan menjadi teman akrab. Suhrawardi biasa membacakan buku-buku filsafat kepada filsuf Paripatetik ini dan kemudian mereka mendiskusikannya. Al-Mardini selalu mengakui keutamaan dan keilmuannya. Hasil dari pembahasan dan pembicaraan keduanya, al-Mardini memprediksi Suhrawardi bakal tewas terbunuh.
Selain menguasai filsafat, al-Mardini juga mempelajari berbagai displin ilmu seperti bahasa dan kedokteran. Ia merupakan filsuf Paripatetik yang sulit ditemukan dan menjadi guru terakhir Suhrawardi sebelum dieksekusi mati. Di bidang filsafat, Fakhr al-Din al-Mardini adalah murid Hakim Hamedani. Sedangkan di bidang kedokteran, ia berguru kepada Tilmidz Baghdadi. Suhrawardi bersama al-Mardini dan menjalin persahabatannya hingga tahun 578 HQ dan kemudian Suhrawardi melakukan perjalanan ke Suriah saat ini dan tiba di Aleppo tahun 579 HQ.
Ketika tiba di Aleppo, Suhrawardi memasuki periode lain dari kehidupannya, dimana ia telah melewati sekitar 30 tahun dari usianya. Suhrawardi menulis buku al-Masyari' dan al-Mutharihat dan ia menyelesaikan karya terpentingnya dalam filsafat bernama Hikmah al-Isyraq. Suhrawardi di periode ini dan di tahun 584 dan 585 telah menjadi terkenal dengan karyanya Hikmah al-Isyraq dan mendapat dukungan para rajya Seljuk. Ia pindah dan tinggal dekat dengan lingkarankekuasaan raja-raja Seljuk. Selama itu pula ia menulis dua risalah Parto Nameh dan Alwah Imadi lalu menyerahkan buku Parto Nameh kepada Rokn al-Din Sulaiman dan buku kedua untuk Imad al-Din Abu Bakar.
Suhrawardi di akhir periode kehidupannya setelah tiba di Aleppo, ia memasuki madrasah Halawiyah lalu memasuki madrasah Nuriyah dan melakukan pembahasan denga para ahli fiqih mazhab Hanbali yang berujung pada semua mengakui kemampuannya. Setelah ia berhasil mengungguli mereka, namanya menjadi bahan pembicaraan di kota itu. Malek Zahir, putra Salah al-Din al-Ayyubi mengajaknya ke istana dan memintanya menjadi penasehat utamanya.
Kecerdasan dan pengetahuan yang luas serta kedalaman ilmu Suhrawardi ditambah kecenderungan filsafat dan ilmu-ilmu batin menimbulkan permusuhan dari sebagai kalangan ahli fiqih di istana Malek Zahir. Menurut keyakinan Syahir Muthahhari, "Suhrawardi bukan saja tidak takut melakukan pembahasan dengan para ahli fikih dan teologi yang berujung pada munculnya permusuhan dan dalam menjelaskan rahasia hikmah, bertentangan dengan nasihat Ibnu Sina di akhir buku Isyarat wa Tanbihat, mungkin juga karena masih muda, ia tidak pernah menutupi dan ini menyebabkan permusuhan dan konspirasi terhadapnya."
Dari sini, kalangan ahli fikih menggelar pertemuan dengan Suhrawardi untuk melenyapkannya dan menuduhnya telah kafir dan tidak percaya Tuhan. Mereka meminta Malek Zahir menghukum mati Suhrawardi karena dianggap sesat. Tapi putra Salah al-Din al-Ayyubi itu menolaknya. Para ahli fikih menulis surat dan semua menandatangan lalu mengirimkannya kepada Salah al-Din al-Ayyubi. Salah al-Din yang di masa itu baru saja membebaskan kota Suriah dari tangan pasukan Salib dan untuk mempertahankan reputasinya ia membutuhkan dukungan para ulama, terpaksa menerima tuntutan para ahli fikih lalu memerintahkan putranya untuk menghukum mati Suhrawardi.
Pada awalnya Malek Zahir menolak untuk melaksanakan perintah ayahnya. Ketika ulama Aleppo melihat hukum pengkafiran belum dilaksanakan, mereka kembali menulis surat kepada Salah al-Din yang isinya, bila Malek Zahir tetap mempertahankan Syihab al-Din, maka tidak berapa lama lagi akidahnya akan berubah dan menjadi rusak. Sementara bila mengusirnya, maka kemana saja ia pergi akan menyebarkan kerusakan dan kesesatan masyarakat awam.
Untuk kali kedua, Salah al-Din mengeluarkan perintah dan mengancam putranya bila masih mencoba menahan untuk tidak membunuh Syihab al-Din, saya akan menarik Aleppo dari kekuasaanmu. Malek Zahir terpaksa melaksanakan perintah ayahnya. Ia memenjarakan Suhrawardi pada 587 dan menurut penukilan Ibnu Syidad, hari Jumat akhir bulan Zulkaidah 587 HQ, setelah Syeikh Syihab al-Din Suhrawardi melaksana shalat, ia dibawa keluar dari penjara.
Syeikh Isyraq ketika syahid usianya baru 38 tahun, tapi dalam usia yang masih muda, ia telah menulis sekitar 50 risalah dan buku, yang sampai sekarang sebagian karyanya belum dicetak. Komentar terbaik terhadap karya-karya Suhrawardi yang pernah ditulis dan fokus pada buku Hikmah Isyraq karya paling terpenting Suhrawardi di bidang filsafat ada dua. Yang pertama ditulis oleh muridnya Syams al-Din al-Syahrzuri dan yang kedua oleh Qutb al-Din Syirazi dengan catata pinggir Shadr al-Din Shirazi. Buku in pada dasarnya teori Ibnu Sina untuk menggagas Hikmah Masyriqiyah.
Syeikh Syihab al-Din Suhrawardi adalah pribadi yang membangun aliran filsafat Iluminasi. Ia menyebut filsafatnya Hikmah Isyraq yang berarti cahaya Dalam gugus pemikiran filsafat Syeikh Isyraq menggabungkan pandangan Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme, Zoroaster, Hermes dan pandangan para sufi pertama umat Islam. Karenanya, aliran pemikiran Suhrawardi dapat dikatakan filsafat dan juga bukan. Filsafat karena meyakini akal, tapi tidak mengakui akal sebagai satu-satunya rujukan. Irfan karena menilai mukasyafah, penyaksian dan isyraq sebagai tahapan pengetahuan paling mulia dan tinggi.