Jauh sebelum sains berkembang di dunia Barat, pada abad ke-11, lahir sosok jenius dengan mahakarya di banyak bidang ilmu pengetahuan. Kualitas analisisnya dalam beragam bidang pengetahuan, yang bertebaran dalam 180-an buku, membuat banyak sarjana modern, muslim atau nonmuslim, menjulukinya “Ustadz fil Ulum” alias “guru segala ilmu.” Ia sezaman dengan Ibnu Sina dan Ibnu Haytham. Sosok itu adalah al-Biruni.
Bernama lengkap Abu Rayhan Muhammad ibnu Ahmad al-Biruni, dilahirkan di Khwarazm (kini Uzbekiztan) pada 15 September 973. Ia berasal dari keluarga sederhana penganut Mazhab Ahlubait yang berasal dari negara Tajikistan di Asia Tengah, sebelah Barat Tiongkok. Ia juga dikenal sebagai intelektual dengan religiusitas tinggi.
Al-Biruni adalah figur ulama, ahli matematika, astronom, ahli fisika, cendekiawan, penulis ensiklopedia, ahli falsafah, ahli astrologi, pengembara, pakar sejarah, ahli farmasi dan guru yang banyak memberi kontribusi dalam bidang matematika, falsafah, medis, dan sains asal Persia.
Beliau dikenal rajin dan sangat cerdas. Maka tak heran, dengan keluasan intelektual yang dimilikinya itu, ia dimasukkan dalam kelompok elit intelektual besar Muslim sepanjang sejarah peradaban ilmu pengetahuan Islam. Sepanjang hidupnya, ia mengabdikan diri pada pencarian ilmu pengetahuan dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk belajar di istana para sultan. Pemikiran al-Biruni banyak dipengaruhi para pendahulunya. Sebut saja, misalnya, ketika melakukan studi perbandingan agama, ia menggunakan pendekatan yang diilhami al-Sirat al-Falsifah dan beberapa karya al-Razi (865-925 M). Dalam matematika, astronomi, dan geometri, ia banyak dipengaruhi Abu Nashr Manshur bin Iraq (970-1036 M) serta Muhammad al-Khawarizmi (780-850 M).
Abu Raihan Al-Biruni merupakan teman dari filsuf dan ahli obat-obatan Abu Ali Al-Hussain ibnu Abdallah Ibn Sina atau Ibnu Sina. Ia menulis banyak buku dalam bahasa Persia dan Arab. Tercatat lebih dari 180 judul buku telah ditulisnya. Ketika berusia 17 tahun, ia meneliti garis lintang bagi Kath, Khwarazm, dengan menggunakan altitude maksima matahari. Ketika berusia 22 tahun, ia menulis beberapa hasil kerja ringkas, termasuk kajian proyeksi peta, “Kartografi”, yang meliputi metodologi untuk membuat proyeksi belahan bumi pada bidang datar, dan membuat penelitian mengenai jari-jari bumi sebesar 6.339,6 kilometer; hasil ini direproduksi di Barat pada abad ke-16.
Minat dan kecenderungannya dalam mempelajari serta meluaskan dimensi ilmu pengetahuannya telah mendorong Al-Biruni merantau sehingga ke negara India. Namun, semasa berada di India, Al-Biruni sempat ditawan oleh Sultan Mahmood al-Ghaznawi. Semasa berada dalam tawanan itu, Al-Biruni menggunakan seluruh ruang dan peluang yang ada untuk menjalinkan hubungan antara para ilmuwan sekolah tinggi Baghdad dan para sarjana Islam India yang tinggal dalam istana Mahmud al-Ghaznawi. Namun dikarenakan ketinggian ilmunya, Al-Biruni dibebaskan dan ditugaskan di istana sebagai salah seorang ulama. Kesempatan itu digunakan sepenuhnya oleh Al-Biruni untuk mempelajari bahasa Sanskrit dan bahasa lain di India.
Kemudian ia menulis sebuah buku yang berjudul Kitab Tahdid al Nih-ayat al Amakin Lita’shih al Masafat al Masakin. Ia juga turut mendirikan sebuah pusat kajian astronomi mengenai sistem solar yang telah membantu perkembangan kajian ilmu falak pada tahun-tahun mendatang. Kajiannya dalam bidang sains, matematika, dan geometrika telah menyelesaikan banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan sebelumnya. Karyanya tentang sejarah Islam telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul “Chronology of Ancient Nation”.
Kepakarannya dalam ilmu Islam juga tidak bisa diragukan. Saat masih berusia muda, ia sudah menghasilkan sebuah karya besar, berjudul Kitab al-Asar al-Baqiya ‘anil Quran al-Khaliya. Al-Biruni wafat pada 13 Desember 1048 dalam usia 75 tahun. (wikipedia/iqra/tirto)