Muhammad bin Izzuddin Husain atau lebih dikenal dengan Bahauddin al-Amil adalah seorang fakih, ahli hadis, filosof, matematikawan, dan ilmuan yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Bidang lain yang dikuasai oleh ulama besar yang biasa disebut Syaikh Bahai ini adalah Matematika, Teknik Arsitektur dan Mekanika, selain juga mahir dan pakar dalam bidang Geografi dan Astronomi.
Bahauddin Amili lahir pada 17/27 Dzulhijjah 953 H/1546 di kawasan Ba’labak, Lebanon, tepatnya di Jabal Amil. Ayahnya, Izzuddin Husain bin Abdul-Shamad Haritsi (W 984 H/1576), merupakan salah seorang murid dan sahabat Syahid Tsani (W 966 H/1558). Nasab atau garis keturunannya berujung pada Harits Hamdani (W 65 H/684), salah seorang sahabat Imam Ali as. Karena itu, Syaikh Bahai juga terkenal sebagai Haritsi Hamdani.
Setelah ayahnya wafat pada 984 H/1576 di Bahrain, Syaikh Bahai pergi ke Harat atas perintah Syah Tahmaseb dan menggantikan sang ayah sebagai Syaikh al-Islam di tempat itu. Namun, Syaikh Bahai mengundurkan diri dari posisi sebagai Syaikh al-Islam disebabkan keinginannya yang membuncah untuk dapat pergi haji. Ia memulai perjalanan panjangnya untuk menunaikan keinginan ini dan kembali ke Isfahan pada 1025 H/1616. Setelah pulang dari tanah suci, Syaikh Bahai tetap setia kepada Syah Abbas hingga akhir hayatnya. Dalam perjalanannya untuk menunaikan haji, Syaikh Bahai sempat pergi ke Irak, Halab, Suriah, Mesir, Sar Adib, Hijaz dan Baitul Muqaddas. Dalam perjalanan ini, ia ditemani oleh ulama dan para pembesar sufi. Syaikh Bahai dalam beberapa perjalanannya, menyamar dan melakoni diri sebagai seorang fakir dan Darwis. Ia sering berdialog dengan para pembesar agama dan mazhab.
Pasca meninggalnya sang ayah, ia mewarisi perpustakaan yang memiliki empat ribu jilid kitab dari ayahnya dan pada 1030 H/1620, Syaikh Bahai mewakafkannya. Kebanyakan pendidikan Syaikh Bahai ditempuh di Qazwin yang pada masa itu terdapat Hauzah Ilmiah yang aktif menjalankan proses belajar dan mengajar. Pendidikan Syaikh Bahai kemudian dilanjutkan di Isfahan. Guru pertama dan terpenting Syaikh Bahai adalah ayahnya sendiri. Ia belajar dari sang ayah pelajaran Tafsir, Hadis, Sastra Arab, dan sebagian ilmu-ilmu rasional. Syaikh Bahai memperoleh izin dari ayahnya untuk meriwayatkan hadis. Ketenaran ilmu dan kedudukan Syaikh Bahai di tengah masyarakat menarik banyak murid untuk menuntut ilmu kepadanya.
Amini (jld. 11, hlm. 252-260) memberikan laporan terlengkap tentang nama-nama murid Syaikh Bahai dan periwayatnya; Ia menyebutkan 97 nama lengkap dengan referensiya. Di antara murid Syaikh Bahai yang paling terkenal adalah Muhammad Taqi Majlisi, Muhammad Muhsin Faidh Kasyani, Shadr al-Din al-Muta’allihin al-Syirazi (Mulla Sadra) dan masih banyak lagi.
Posisinya sebagai Syaikh al-Islam menjadikannya memiliki posisi tertinggi pejabat kerajaan dalam bidang keagamaan. Gelar dan posisi ini tetap melekat hingga akhir hayatnya. Kedudukan ini sebenarnya tidak disukai Syaikh Bahai sendiri. Ia lebih senang melakukan uzlah dan menjalani hidup sebagai seorang Darwis dan zuhud. Ia bahkan selalu mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri. Terlepas dari posisi dan statusnya sebagai Syaikh al-Islam, kedudukan dan kedekatan khusus dengan istana Dinasti Shafawi membuat Syaikh Bahai menjadi orang terpercaya Syah Abbas dalam masalah ilmu dan takwa. Syah Abbas senantiasa meminta pendapat dan bermusyawarah dengan Syaikh Bahai.
Syaikh Bahai merupakan salah seorang ulama dan fukaha mazhab Syiah Imamiyah. Karya-karyanya cukup banyak dan terus dijadikan referensi hingga hari ini. Dalam syair-syair Arabnya, Bahauddin Amili selalu meluapkan kecintaan dan ketulusannya pada para Imam Ahlulbait serta kerinduan untuk berziarah ke pusara mereka.
Syaikh Bahai adalah seorang fakih Syiah yang moderat dan menaruh perhatian terhadap karya-karya dan ucapan-ucapan ulama Sunni dengan model para pendahulunya. Sebagai contoh, ia menulis catatan pinggir atas kitab Tafsir Kassyaf karya Zamakhsyari. Ia juga menulis catatan pinggirnya pada kitab Tafsir Baidhawi. Meski tidak selesai, namun catatan pinggir Syaikh Bahai ini termasuk catatan pinggir terbaik terhadap kitab tafsir ini.
Syaikh Bahai hidup dalam kondisi fakir dan menjalani kehidupan sebagai Darwis, kendati dirinya termasuk salah seorang ulama yang dekat dengan istana Dinasti Shafawi. Namun demikian, ia memiliki kecenderungan pada Tasawuf dan Irfan. Bahkan, ia lebih condong terhadap Irfan melebihi ulama dan fukaha Ahlulbait lain di masanya.
Syaikh Bahai merupakan salah satu tokoh yang banyak menghasilkan karya ilmiah dan buku dalam dunia Islam dari aspek penyusunan dan keragamannya. Jumlah risalah, catatan pinggir, dan anotasi yang disusun Syaikh Bahai berjumlah 123 judul. Sebagian karya Syaikh Bahai adalah sebagai berikut:
Fikih
Itsna ‘Asyariyah.
Pasukh Soal Syah Abbas Shafawi
Pasukh Soalat Syaikh Saleh Jabiri.
Ajwibah Masail Jazairiyah.
Ahkam Sujud wa Tilawat, dan puluhan karya fikihnya yang lain.
Ulumul Qur’an
Hāsyiyyah Anwār al-Tanzil Qādhi Baidhāwi
Hal al-Huruf al-Qur’āniyah
Hāsyiyyah Kassyāf Zamakhsyari
Tafsir ‘Ain al-Hayāt
Tafsir Ayāt Syarifah (Faghsilū Wujuhakum wa Aidiyakum ila al-Ka’bain), dan lain-lain
Serta masih banyak karyanya tentang Hadis, Ad’iyah wa Munajat (Doa-doa dan Munajat), Ushul I’tiqadāt (Akidah), Ushul Fiqh, Rijal dan Ijazah-ijazah, Sastra Arab dan Ilmu-ilmu Bahasa Arab, Matematika (Riyadhiyah), Hikmah dan Filsafat, ‘Ulum Gharibah dan berbagai karya artistektur. Ia mendesain dan membangun indikator waktu Dhuhur syar’i pada waktu bagian barat Masjid Isfahan dan juga di pelataran Haram Imam Ridha as dan mendesain kubah Masjid Imam Isfahan yang dapat memantulkan tujuh kali suara.
Bahauddin Amili beberapa hari sebelum wafatnya, berziarah ke makam Baba Rukunuddin Syirazi bersama beberapa orang dan murid-muridnya. Ia mengalami mukasyafah yang disimpulkan bahwa usianya tak akan lama lagi berakhir. Pasca mukasyafah itu, Bahai lebih memilih berkhalwat dan menyendiri. Setelah tujuh hari jatuh sakit, Syaikh Bahai mengembuskan nafasnya yang terakhir dan sesuai wasiatnya, jenazahnya dibawa ke Masyhad dan dikebumikan di madrasahnya yang berada di pelataran Haram Imam Ridha. Ia wafat pada 1030 H/1620 M.