Abad keenam Hijriyah adalah masa pemerintahan dua dinasti besar Persia yaitu Dinasti Seljuk dan Dinasti Khwarazmian.
Di era itu terutama pada periode Dinasti Seljuk, pemikiran tradisionalisme mengalahkan pemikiran rasionalisme dan banyak buku ilmu-ilmu 'aqli dan filsafat dibakar. Para penguasa Seljuk khususnya menteri terkenal mereka, Khwaja Nizam al-Molk memimpin gerakan untuk melawan kaum rasionalis.
Pecahnya Perang Salib dan invasi Eropa ke Dunia Islam memiliki banyak konsekuensi seperti penjarahan perpustakaan kaum Muslim, tetapi terlepas dari peristiwa-peristiwa di atas, abad keenam patut disebut sebagai abad kebangkitan ilmu pengetahuan. Banyak ilmuwan lahir pada masa itu dan mereka menyumbangkan kontribusi besar kepada Islam melalui kegiatan ilmiah yang tiada henti.
Di antara para ilmuwan pekerja keras itu adalah seorang ulama besar dan pakar hadis, Sa'id Hibat Allah al-Rawandi yang dikenal sebagai Qutbuddin al-Rawandi. Sa'id Hibat Allah Rawandi al-Kashani adalah seorang ahli hadis, mufassir, teolog, faqih, filsuf, dan sejarawan besar Syiah yang hidup di abad keenam Hijriyah.
Cendekiawan besar ini merupakan salah satu murid istimewa dari Syeikh Tabarsi, penulis buku tafsir Majma' al-Bayan. Para ulama menganggap Allamah Qutbuddin al-Rawandi sebagai salah satu perawi hadis Syiah yang terbesar dan memiliki kejeniusan dalam ilmu-ilmu agama, tetapi hanya sedikit yang menyadari kedudukan tingginya.
Allamah Qutbuddin al-Rawandi dilahirkan di desa Rawand di pinggiran kota bersejarah Kashan, Iran. Sayangnya tidak banyak literatur yang menuturkan tentang kehidupan masa kecilnya. Tahun kelahirannya juga tidak diketahui dengan pasti, tetapi ia wafat pada 14 Syawal tahun 573 H, dan hari itu kemudian ditetapkan sebagai "Hari Peringatan Allamah Qutbuddin al-Rawandi."
Tentang kehidupan masa kecil dan keluarganya, diketahui bahwa ayah dan kakeknya adalah seorang ulama besar pada masanya, dan Sa'id Hibat Allah menerima pendidikan dasar dari ayahnya. Setelah itu, ia belajar kepada guru-guru besar seperti Abu Ali Tabarsi, Emad al-Din Tabari, dan Sayid Murtadha Razi.
Sa'id Hibat Allah kemudian hijrah ke kota Qom – pusat keilmuan Syiah – untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Ia berhasil menjadi salah satu tokoh Syiah terkemuka dalam waktu singkat.
Dari segi intelektual, Qutbuddin al-Rawandi berada dalam barisan ulama yang pemikirannya telah mengharumkan Dunia Islam selama berabad-abad. Ia membawa pemikiran para tokoh besar seperti Syeikh Saduq, Sayid Murtadha, Sayid Razi, dan Syeikh Tusi.
Allamah Tabarsi, penulis buku tafsir Majma' al-Bayan merupakan salah seorang guru Qutbuddin al-Rawandi dan nama dari kedua ulama besar ini tidak bisa dipisahkan.
Qutbuddin al-Rawandi telah menukil dan mengumpulkan hadis dari para ulama besar di kota Isfahan, Khorasan, dan Hamedan. Dari sini dapat diketahui bahwa ia telah melakukan tur ilmiah ke berbagai kota.
Meski minimnya fasilitas di masa itu, para ulama tetap harus melakukan tur ilmiah untuk belajar kepada guru-guru besar dan juga mendapatkan akses sumber-sumber ilmu pengetahuan. Jumlah tur ilmiah setiap ulama terkait langsung dengan tingkat keluasan ilmu mereka.
Salah satu perbedaan mencolok Qutbuddin al-Rawandi dengan ulama lainnya adalah kritik konstruktifnya terhadap pendapat ulama dan aliran pemikiran lain. Pemikiran kritisnya tidak hanya berkontribusi pada perkembangan ilmiah dunia ini, tetapi dengan mengajukan kritikannya itu, ia telah menyingkap kelemahan pemikiran pihak lain sehingga menjadi perhatian para ilmuwan. Upaya ini telah mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, Qutbuddin al-Rawandi dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah membahas beberapa ambiguitas dan kontradiksi yang ditemukan dalam pandangan para filsuf. Hal ini mendorong para filsuf untuk memberikan jawaban dan menghilangkan ambiguitas tersebut. Sejatinya, kemajuan manusia di bidang sains tidak lepas dari kritik dan catatan yang diberikan oleh ilmuwan lain.
Karya lain Qutbuddin al-Rawandi adalah Tafsir al-Quran dan Ta'wil al-Ayyat… Dalam buku ini, ia mengkaji sebab-sebab turunnya ayat al-Quran seperti Ayat Tathir (ayat 33 surat al-Ahzab) yang berbicara tentang kedudukan Ahlul Bait. Ia menulis buku, Ayyat al-Ahkam yang secara khusus mengkaji ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum Islam.
Namun, karya terpenting Allamah Qutbuddin al-Rawandi adalah kitab al-Kharaij Wa al-Jaraij yang berisi tentang persoalan teologis dan fiqih. Bagian penting dari buku ini berbicara tentang mukjizat Nabi Muhammad Saw dan para imam maksum. Setelah mengisahkan setiap mukjizat, penulis kemudian menyajikan riwayat-riwayat sahih yang berhubungan dengan peristiwa luar biasa itu.
Allamah Qutbuddin al-Rawandi tidak hanya mengajarkan ilmunya di masjid, rumah, dan madrasah, tetapi juga memberikan pencerahan kepada umat dalam berbagai perjalanannya. Ia mendidik banyak murid untuk mengabdi kepada Dunia Islam dan ia menggunakan setiap kesempatan untuk mentransfer ilmunya kepada para pencari kebenaran.
Kerja keras Allamah Qutbuddin al-Rawandi telah melahirkan para tokoh dan ulama terkemuka. Di antara sekian banyak murid yang telah belajar darinya, terdapat nama-nama anaknya seperti Husein ibn Sa'id Hibat Allah al-Rawandi yang kemudian menjadi ulama besar.
Ibn Shahr Ashub Mazandarani, seorang faqih dan mufassir besar Syiah pada abad keenam, tercatat sebagai murid yang paling berprestasi dari Allamah Qutbuddin al-Rawandi.
Setelah bekerja tanpa henti dalam menyebarkan ajaran Ahlul Bait, Allamah Qutbuddin al-Rawandi menyambut panggilan Ilahi pada 14 Syawal tahun 573 H. Pada hari itu, para ulama, pemikir, dan pecinta Ahlul Bait berkumpul di rumah Qutbuddin al-Rawandi untuk melepas kepergian seorang tokoh besar yang berilmu dan saleh.
Kepergiannya menyisakan rasa duka yang mendalam bagi Dunia Islam. Setelah dilakukan acara tasyi', jasad Allamah Qutbuddin al-Rawandi dimakamkan di samping Makam Sayidah Maksumah as di kota Qom.
Setelah delapan abad berlaku, para insinyur yang sedang melakukan renovasi Kompleks Makam Sayidah Maksumah, secara tidak sengaja membongkar sebagian sisi makam Allamah Qutbuddin al-Rawandi, namun mereka benar-benar terkejut ketika menyaksikan jasad ulama ini masih utuh setelah 800 tahun dikuburkan. Jasadnya tetap utuh seperti buku dan karya-karya yang ditinggalinya.