13 Juli bukanlah hari yang normal bagi Libanon, tetapi perlawanan Islam dan rakyatnya pada tanggal itu sekali lagi memasuki catatan kemenangan besar lainnya bagi dunia Islam; mereka meraih kemenangan ini setelah melakukan peperangan yang sangat tidak berimbang, hingga hal tersebut menjadi sangat penting dan bersejarah bagi Libanon serta menjadi pukulan telak bagi Israel yang sombong karena merasa tidak pernah terkalahkan.
Koresponden Kantor Berita Qods (Qodsna) melaporkan dari Beirut:
13 Juli bukanlah hari yang normal bagi Libanon, tetapi perlawanan Islam dan rakyatnya pada tanggal itu sekali lagi memasuki catatan kemenangan besar lainnya bagi dunia Islam; mereka meraih kemenangan ini setelah melakukan peperangan yang sangat tidak berimbang, hingga hal tersebut menjadi sangat penting dan bersejarah bagi Libanon serta menjadi pukulan telak bagi Israel yang sombong karena merasa tidak pernah terkalahkan. Kemenangan tersebut sekaligus menjadi sejarah baru bagi dunia perlawanan dan menciptakan awal lain untuk kemenangan Arab serta mengakhiri mitos bahwa tentara Israel tidak pernah kalah.
Pada peringatan ke-12 kemenangan Ilahi Lebanon dalam perang 33-hari tahun 2006, Mehdi Shakibai, direktur Media Berita Quds (Qudsnah) dan Wakil Sekretaris Jenderal Tentara Rakyat Palestina, dan Mehdi Azizi Dastgerdi, Qudsar dan kepala editor dari Media Berita Quds (Qudsnah) Libanon Selatan mengunjungi pangkalan militer di pelbagai bagian Selatan Libanon.
Mereka bertemu dengan Militansi di stasiun pertama yang memandu dan menceritakan bagian penting dari sejarah perlawanan Islam di Libanon. Militansi di stasiun pertama adalah pergerakan Jihadi, yang bertujuan untuk melindungi tempat-tempat di mana mujahidin hidup saat terjadi perang. Sehingga dengan cara ini, orang-orang dapat mengetahui pengalaman unik yang dimiliki para pejuang Islam dalam melawan musuh Zionis dari awal penjajahan Libanon pada tahun 1982 sampai Peperangan 33 hari pada tahun 2006.
Miltansi tersebut selalu bersama kelompok Qudsina sebagai pemanduan, menjelaskan kebangkitan perlawanan dan kekalahan telak para penjajah. Kunjungan pertama kali dimulai dengan penjelasan atas kekalahan Zionis, dengan memperlihatkan tank dan senjata yang digunakan Zionis. Fasilitas tersebut adalah milik tentara Zionis Israel dari awal penjajahan tahun 1982 hingga kemenangan dalam perang tahun 2006. Setelah itu adalah daerah keras di mana ribuan Mujahidin dan pejuang hidup dan berjuang selama tahun penjajahan dan dari sana operasi Jihadi melawan musuh mulai terbentuk hingga menghasilkan suatu kemengangan. Ekspedisi kemudian memasuki sebuah gua yang dibangun untuk mengerahkan pasukan yang resisten. Penggalian gua berlangsung 3 tahun dan lebih dari 1.000 pejuang perlawanan pernah berada di sana. Kedalaman gua sekitar 200 meter dan memiliki ruangan-ruangan untuk seluruh persediaan dan peralatan. Dari gua tersedia akses ke alun-alun Tahrir dan bukit-bukit serta sumur-sumur di sekitarnya, dan semua tempat ini adalah bukti para pahlawan perlawanan.
Gerbang Fatimah di wilayah Safrakala yang dibatasi oleh kota yang menghadap Palestina menjadi stasiun kedua team Qudsnah. Di sini para prajurit berdiri dan mengalahkan tentara Israel pada malam 25 Mei tahun 2000, setelah 22 tahun pendudukan dan penjajahan Israel. Mereka memiliki keinginan untuk membebaskan tanah Palestina dari jajahan Zionis dan menancapkan bendera Palestina. Dan hal ini akan segera terwujud di masa depan dengan pembebasan Yerusalem yang merupakan ibu kota Palestina dari Israel.
Al-Khayyam adalah stasiun ketiga di mana ada terdapat penjara para penjajah walau semuanya hampir hancur dan tidak ada yang tersisa selain pilar penyiksaan. Penjara tersebut menjadi saksi bisu tentang sadisnya penyiksaan para tahanan oleh para para penjajah Zionis.
Ahmad Amin, salah satu bekas tawanan penjara ini berbicara dengan delegasi Qudsina dan bercerita tentang sejarah penjara tersebut sambil mengunjungi reruntuhan penjara yang sengaja dibom oleh pesawat tempur Israel pada perang tahun 2006 untuk menghancurkan bukti dari penindasan mereka terhadap para tawanan. Reruntuhan tersebut menggambarkan fase-fase penyiksaan fisik dan psikologis para tahanan dan mengisahkan bagaimana kehidupan ribuan narapidana di ruangan-ruangan kecil dan sempit.
Tujuan utama dari kunjungan tersebut adalah kota Bint Jabeil, kota yang menjadi sejarah pahit penjajah Zionis, karena pertempuran yang menakutkan para Zionis terjadi di kota tersebut.
Delegasi Qudsina disambut oleh Haji Abu Huraa, Haji Karar dan Haji Sajed, para militer jihad perlawanan penjajahan Zionis. "Bint Jabeil, seperti kota-kota lain, telah hancur, tetapi puing-puing kota ini lebih dari hanya sekedar kemenangan dan kekalahan musuh," katanya. Hajj Sajed memulai sejarah Pertempuran Jabeil dengan perkataan tersebut dan melanjutkan dengan menjelaskan langkah-langkah yang disiapkan untuk mengalahkan tentara Israel setelah beberapa kali mengadakan upaya untuk membebaskan Samir Qantar, yang Zionis menolak untuk melepaskannya.
Haji Sajed mengatakan bahwa "Khalah Wardah" adalah tempat terbaik untuk beroperasi bagi Perlawanan Islam. Setelah penyelidikan ke daerah tersebut dalam kurun waktu 3 bulan, dan pemetaan serta penyusunan rencana penyergapan, pada 12 Juli 2006 pasukan perlawanan berhasil memimpin penangkapan di bawah pengawasan Haji Ridwan, yang hasilnya adalah penangkapan puluhan tawanan tentara Israel.
Israel, yang tidak pernah mengalami pukulan seperti itu, beberapa jam setelah operasi melancarkan serangan besar-besaran terhadap Libanon. Libanon Selatan, Daghia Selatan, dan Baalbek dihujani oleh tembakan para tentara Israel. Haji Sajed berkata: Bint Jabeil memiliki bagian penting dari kehancuran musuh yang telah kalap karena telah menyaksikan salah satu perang tersulit, setelah kekalahan Israel di Maroun al-Rasa. Akibat kekalahan yang terus dialami oleh tentara rezim Zionis, menyebabkan para tentara Zionis menjadi lelah berperang, ditambah konflik internal antara komandan militer menyebabkan kekalahan telak harus diterima oleh Penjajah Zionis.
Pasukan Zionis, telah memilih daerah di sekitar Bint Jabeil sebagai pangkalan militer. Hajj Sajed menggambarkan serangan di kota Bint Jabeil sebagai berikut: Tahap pertama setelah penangkapan militer Israel terjadi, yang berlangsung dari 12 hingga 24 Juli, menjadikan kota ini tidak mengalami penyerangan udara maupun darat. Fase kedua, yang berlangsung dari 24 Juli hingga 29 bulan ini, dilakukan untuk menduduki kembalitersebut, tetapi pada fase ketiga operasi, yang berlangsung dari 29 Juli sampai 8 Agustus kota Bint Jabeil menjadi sasaran dan dihancurkan karena kegagalan tentara Israel untuk masuk dan mendudukinya.
Hajj Sajed melanjutkan, bahwa jumlah tentara Israel yang tewas selama Pertempuran Bint Jabeil lebih dari 35 orang, dan di samping itu, sekitar 20 tank Israel dihancurkan, sementara pasukan militer Israel yang berkontribusi dalam pertempuran ini adalah Brigade 7 dan Brigade Pasukan Khusus Golan. Berbeda dengan jumlah pejuang perlawanan, kami hanya kehilangan antara 5% sampai 10% dari jumlah total pasukan Israel yang tewas dalam perang, tetapi dua pemimpin kami Qassem Bazi dan Khaled Basi telah shahid dalam pertempuran tersebut.
Hajj Sajed mengatakan, selain mengalahkan musuh Zionis dalam perang 2006, perlawanan Islam, dengan bantuan para komandan dan legitimasi yang setia telah berhasil mematahkan plot Amerika-Zionis di Libanon, dan kemenangan ini dapat mengubah konsep kekalahan dan tak terkalahkan tentara Israel.
Haji Sajed, pada akhirnya, mengatakan bahwa perang 33 hari dan kemenangan Perlawanan Islam yang menghantam keamanan Israel merupakan faktor ketakutan terbesar untuk rezim Zionis. Dan hal ini akan lebih menakutkan ketika pemukiman Israel menjadi zona perang dan menjadi sasaran rudal seperti yang telah mereka lakukan di Libanon.
Maroun al-Rasa adalah stasiun lain yang menjadi tujuan ekspedisi, karena fakta yang ada pada kota Maroun al-Rasa menjadikan wilayah ini sangat penting di mana.
kota ini merupakan perbatasan pertama dengan banyak desa di sepanjang garis batas daerah. Delegasi tersebut melakukan perjalanan dengan salah satu prajurit di jalan-jalan bekas reruntuhan di wilayah pendudukan, yang mengekspresikan pertempuran yang melumpuhkan tentara Israel di Maroun al-Rasa.
Desa Muhyiyat Selatan juga memiliki saham dalam kunjungan delegasi Qudsina, karena di kota ini banyak terdapat Shahid yang menumpahkan daranya serta di desa ini terdapat makam Nabi Daniel yang menjadi pusat ziarah masyarakat Muslim.
Delegasi media melanjutkan untuk mengunjungi Wadi al-Hajir, di mana kota ini menjadi manifestasi kemenangan pada bulan Juli dan Agustus, dan di lembah dan perbukitan ini tank-tank Israel menjadi sasaran para pejuang Islam dan menjadi saksi terhinanya para penjajah Israel karena telah mendapatkan kekalah yang telak walau merka jauh lebih memiliki akomodasi dan fasilitas perang.
Delegasi media juga mengunjungi distrik Jabshit dan berziarah pada para Shahid di daerah itu dan memberi penghormatan kepada Syeikh Ragheb Hab Sheikh Shohada dari Perlawanan Islam. Para hadirin menekankan bahwa perlawanan kemenangan mereka akan terus berlanjut karena hal ini merupakan tunas yang diairi dengan darah dari para Shuhada seperti Ragheb Harb, Seyyed Abbas Mousavi, Haj Emad Mughniyeh dan semua Shahid perlawanan di tanah Selatan, dan buah dari tunas tersebut akan menjadi martabat dan kehormatan bagi para masyarakat yang tangguh.
Delegasi Media Berita Qudsina telah melakukan kunjungan di daerah Selatan Libanon tempat di mana kemenangan Islam menjadi sebuah kebangaan dan keyakinan akan lemahnya musuh-musuh Islam dan kemanusian.
Perlawanan dilakukan oleh seluruh kalangan masyarakat, dari Laki-laki, perempuan, muda maupun tua melawan para tentara yang terlatih khusus dan bersenjata canggih. Akan tetapi kemenangan diraih dengan keyakinan dan ketakwaan serta rasa cinta tanah air. Zionis mengira mereka akan berhasil karena teknologi yang mereka miliki, akan tetapi perlawanan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang membuat sejarah dan merobek rencana baru di Timur Tengah, dan mencatat kemenangan baru melawan semua penjajah.