Kelompok bersenjata Takfiri yang umumnya adalah warga negara asing, membantai warga sipil dan pasukan pemerintah Suriah. Pembunuhan dan pembantaian tersebut, jika pada awalnya sangat mengejutkan, namun sekarang telah menjadi hal yang biasa kita dengar melalui media massa setiap hari. Namun terkadang, kita juga mendengar berita-berita tentang fatwa-fatwa aneh oleh para pemimpin kelompok sesat itu termasuk di antaranya "jihad nikah" yang mengundang reaksi dari berbagai pihak.
Sejak dimulainya instabilitas Suriah, kelompok Takfiri dari berbagai negara berbondong-bondong ke Suriah untuk "berjihad" demi menegakkan "demokrasi". Namun, kelompok-kelompok ini tidak lebih dari sekedar gerombolan perusuh yang tidak memahami makna dan prinsip jihad atau demokrasi. Setelah menguasai sebuah wilayah, pada tahap awal mereka akan memburu para gadis dan perempuan di kawasan itu untuk dijadikan mangsa kebuasan hawa nafsu mereka.
Menyusul perluasan aksi pemerkosaan oleh para teroris Takfiri itu, seorang mufti Wahabi bernama Muhammad Al-Arifi, tampil memberikan legalitas pada aksi-aksi bejat para teroris Takfiri di Suriah. Al-Arifi merilis fatwa aneh yang menyeru para gadis dan perempuan Arab untuk berjihad nikah di Suriah, atau menawarkan tubuh mereka kepada para "pejuang" Takfiri yang sedang berperang melawan rezim Bashar Al-Assad. Mufti sesat ini bahkan membolehkan para ibu yang sudah memiliki suami untuk "berjihad nikah" di Suriah, dan berhubungan intim dengan para "pejuang". Dengan demikian, fatwa tersebut membolehkan perempuan dalam sehari berhubungan intim dengan para anasir Takfiri.
Jihad nikah atau yang oleh sebagian pihak disebut-sebut dengan jihad seks ini, oleh Al-Arifi sendiri disebut dengan pernikahan sementara, yang meliputi kaum perempuan, gadis berusia di atas 14 tahun serta perempuan yang telah diceraikan atau janda. Berdasarkan fatwa Al-Arifi, kaum perempuan yang melakukan jihad ini mendapat jaminan sorga.
Pasca fatwa tidak islami dan tidak manusiawi itu Al-Arifi , muncul gelombang besar kecaman dan kemarahan dari dunia Islam. Para ulama besar Islam baik dari Sunni atau Syiah dengan tegas mengecam fatwa tersebut yang dinilai sebagai upaya menghalalkan zina yang jelas-jelas telah dilarang Allah Swt. Anak yang dilahirkan dari "jihad nikah" itu tetap menjadi anak zina, dan tidak ada jaminan sorga melainkan neraka bagi para pelakunya.
Menghadapi kecaman dan tekanan hebat dari dunia Islam dan Arab, Al-Arifi terpaksa menarik fatwanya dan mengingkari pernah mengeluarkan fatwa tersebut. Akan tetapi masalahnya, pengingkaran Al-Arifi ini tidak mencegah para teroris Takfiri di Suriah mengharamkan jihad nikah, bahkan semakin banyak yang melakukannya, karena hal itu menguntungkan mereka. Para teroris Takfiri memaksa para bapak di Suriah untuk menyerahkan anak perempuan mereka kepada "pejuang" Takfiri. Ini merupakan kezaliman terbesar bagi kaum perempuan dan gadis dengan menggunakan bid'ah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam.
Menyusul fatwa jihad nikah oleh mufti Wahabi itu, sebanyak 90 perempuan keturunan Chechnya dari Inggris dan banyak negara Eropa berangkat menuju Istanbul, Turki dan dari sana mereka masuk ke Suriah bergabung dengan kelompok-kelompok Salafi-Takfiri. Beberapa waktu lalu, tersebar berita tentang upaya anasir Takfiri membujuk dan menjebak para gadis dan perempuan dari Tunisia, Mesir dan Libya untuk berjihad nikah di Suriah. Banyak keluarga Tunisia yang mengeluh bahwa anak gadis mereka berangkat ke Suriah untuk "memenuhi tuntutan seks" para "pejuang" yang memerangi pemerintahan Bashar Al-Assad. Namun banyak pula di antara mereka yang pulang dengan kondisi mengenaskan dan menyesali keputusan mereka. Mereka bahkan berbalik membenci dan mengecam para anasir Takfiri di Suriah.
Sebuah televisi satelit Tunisia bernama Tunis Al-Wataniya, dalam salah satu programnya membahas fenomena ini. Seorang remaja putri bernama Aisyah, menceritakan pengalamannya dalam jihad nikah. Dikatakannya, "Seorang perempuan menghubungi saya. Dia berbicara tentang Islam, burka dan pergi ke Suriah untuk membantu para ‘pejuang' anti-Assad. Dia juga menjelaskan bahwa salah satu cara untuk membantu para ‘pejuang' itu adalah dengan jihad nikah."
Aisyah merasa termotivasi oleh penjelasan perempuan itu dan mengharapkan jaminan sorga, oleh karena itu dia bergegas ke Suriah. Dia bercerita bahwa di Suriah dia dilarang menelaah tentang masalah lain kecuali tentang Wahabisme dan jihad serta membunuh orang-orang kafir yang pada hakikatnya adalah orang-orang Muslim yang mendukung pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad.
Dikatakannya, "Otak saya dicuci sedemikian rupa sehingga saya berpendapat bahwa perempuan-perempuan yang pergi ke Suriah demi jihad nikah dan mati di sana, maka kematian mereka adalah di jalan Allah dan syahid serta masuk sorga." Dia bahkan beranggapan bahwa semua perempuan akan masuk ke neraka kecuali mereka yang melakukan jihad nikah. Namun setelah beberapa waktu di Suriah, dia merasakan keputusasaan dan kekecewaan mendalam karena sikap para anasir Salafi-Takfiri. Ketika itu dia merasa tertipu dan hanya dimanfaatkan untuk memuaskan hawa nafsu para teroris itu. Dikatakannya, "Mereka menjadikan agama sebagai sarana untuk menggapai tujuan bejat dan hawa nafsu mereka."
Kembalinya perempuan dan remaja Muslimah dari Suriah, semakin mengungkap fenomena jihad nikah di Suriah. Hamdihi Said, seorang Mufti Tunisia mengharamkan jihad nikah dan menyebutnya bid'ah. Ditegaskannya, "Jihad nikah tidak ada dalam agama kita, bahkan kita tidak pernah mendengarnya pada masa Rasulullah. Orang yang menyerukan hal ini sebenarnya sedang mengajak melakukan perbuatan haram."
Penentangan tidak hanya datang dari para ulama saja. Fadhel Ashur, seorang pejabat di Kementerian Agama Tunisia menyatakan, "Menurut rencana para imam masjid akan melakukan aksi mogok pada hari raya Idul Adha dalam rangka menentang fatwa tersebut." Pemerintah Tunisia sendiri juga telah mengambil langkah-langkah guna mencegah keluarnya perempuan dan gadis dari negara ini menuju Suriah. Aparat Tunisia juga menangkap sejumlah kelompok yang memprovokasi dan memotivasi perempuan Tunisia untuk pergi ke Suriah.
Abdurrahman Al-Rashed, salah satu anasir media rezim Al-Saud dalam sebuah artikelnya mengkritik jihad nikah. Dia menilai jihad nikah dan aksi-aksi pemerkosaan meluas di Suriah sebagai kezaliman mufti-mufti Wahabi. "Ini kisah nyata, dan menunjukkan kekuatan para syeikh teroris-Takfiri dalam mencuci otak para pemuda. Ini adalah fenomena yang sangat aneh. Para pemuda dicuci otak mereka untuk berjuang sementara para perempuan dicuci otak mereka untuk melayani seks para pemuda dan pejuang . Para syeikh Takfiri itu seperti pedagang yang hanya memikirkan keuntungan. Demi mencapai tujuan, mereka menipu para pemuda atas nama kesyahidan, sorga, bidadari dan lain-lain. Tidak boleh dilupakan bahwa ‘pemerkosaan terhadap otak' lebih buruk dari pemerkosaan fisik, kerena setelah otak dikuasai, seseorang dapat melakukan apapun dan kejahatan terorisme apapun."
Menurut pendapat seorang tokoh Mesir, pengetahuan dan ilmu para ulama Wahabi bahkan tidak selevel dengan para pelajar Al-Azhar. Para ulama Wahabi itu mengklaim sebagai ulama Islam sementara apa yang mereka lakukan tidak lain adalah menghancurkan budaya Islam dan menyebarkan perpecahan antara Syiah dan Sunni. Di mana pun mereka menginjakkan kaki, instabilitas dan fitnah selalu mengikuti.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei ra dalam menjelaskan Wahabisme mengatakan, "Terorisme brutal dan buta, adalah produk politik bejat Amerika Serikat, Inggris, dan antek-antek pemerintah dan non-pemerintah mereka. Wajib bagi semua umat Muslim untuk melawan Wahabisme, produk bejat dan naas yang menjadi bukti nyata perusakan di muka bumi dan perang melawan Allah Swt ini."