Kesimpulan Ulama Ahli Sunnah Tentang Makna “Mawla” dalam Hadits Al-Ghadir

Rate this item
(0 votes)
Kesimpulan Ulama Ahli Sunnah Tentang Makna “Mawla” dalam Hadits Al-Ghadir

Kalimat yang menjadi saksi pada peristiwa Ghadir dan pada hakikatnya pesan utama Ghadir terkandung di dalamnya adalah sabda Nabi Saw bersabda: ”

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ ”

“Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla, maka ‘Ali adalah mawlanya.”

Orang-orang yang ber-istidlal (bernalar) dengan hadits ini memaknai mawla sebagai awla. Dan awlabermakna orang yang lebih layak untuk mengatur. Dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah bahwa yang layak untuk membina dan memimpin.

Dengan demikian, makna hadits ini adalah: “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan pembinanya, ‘Ali As adalah pemimpin dan pembinanya.” Oleh karena itu, barangsiapa yang menerima Nabi Saw sebagai pemimpin dan pembinanya konsekuensinya menerima ‘Ali As sebagai pemimpin dan pembinanya.

Kini yang harus diketahui adalah apakah dalam bahasa Arab, makna ini digunakan atau tidak? Dan yang lainnya adalah apabila kita menerima bahwa mawla dalam bahasa Arab sesuai dengan makna ini, apakah dalam khutbah Ghadir kata mawla bermakna yang sama atau tidak?

Almarhum Allamah Amini menyebutkan empat puluh dua ulama besar dalam bidang tafsir dan bahasa dimana dua puluh tujuh dari mereka berkata: “Mawla bermakna awla.” Lima belas orang yang lain berkata: “Awla merupakan salah satu makna dari mawla.”

Akan tetapi tentang masalah apakah dalam hadits ini kata mawla bermakna yang sama (awla), dengan memperhatikan situasi dan kondisi tatkala hadits ini disampaikan dan menelaah khutbah yang memuat hadits ini, tidak secuil pun syak yang akan tersisa bahwa kata mawla dalam hadits ini adalah bermakna awla.

Lantaran sosok agung seperti Nabi Saw yang merupakan akal keseluruhan (aql kul), insan paripurna dan Nabi teragung dan duta langit, pada hari yang sedemikian panas dan sahara yang sedemikian membakar kaki-kaki para pengelana dan sinar matahari yang sedemikian terik yang membuat otak manusia mendidih, pada sahara yang membara dan tanpa adanya fasilitas dimana apabila daging di letakkan di atas tanah maka akan terpanggang.

Sebuah tempat yang tidak satu pun karavan yang mau berhenti di situ. Nabi Saw menahan puluhan ribu haji di tempat itu dan orang-orang yang telah pergi untuk menantikan orang-orang yang masih tinggal dan menyampaikan khutbah pada saat-saat yang paling terik dan di samping itu, Nabi Saw berulang kali bertanya kepada khalayak ketika itu untuk mencari tahu apakah mereka mendengarkan suara Nabi Saw dengan baik. Dan pada akhirnya menunjukkan ‘Ali As kepada mereka. Nabi Saw menyebutkan nama dan nasabnya lalu bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ

(Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya maka ‘Ali adalah mawlanya)

Lalu ia menugaskan orang-orang yang hadir untuk menyampaikan warta penting ini kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat itu. Dan setelah itu ia meminta orang-orang untuk berbaiat kepadanya dan menyampaikan ucapan selamat, dan mengenakan ammamah kepunyaannya di atas kepala ‘Ali As dan bersabda kepadanya :

“Pakaian kebesaran bangsa Arab adalah ammamah.” Dan Nabi Saw bersabda kepada para sahabatnya, “Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar mengenakan ammamah seperti ini.”

Sekarang apabila kita berasumsi hadits ini sampai di tangan seseorang tanpa qarinah (indikasi), tafsir dan penjelasan dan tanpa ada tujuan memperhatikan hadits ini, ia akan menjumpai – berseberangan dengan ucapan sebagian orang-orang jahil – bahwa Nabi Saw tidak pada tempatnya berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai temannya maka ‘Ali adalah temannya.” Atau “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai penolongnya maka ‘Ali adalah penolongnya.!

Lantaran teman dan penolong tidak memerlukan adanya ucapan selamat, pengenaan ammamah dan secara umum sabda Nabi Saw ini tidaklah sedemikian penting sehingga harus disampaikan pada situasi dan kondisi seperti itu dan dengan adanya pengumuman pendahuluan.

Atas alasan-alasan ini, Sibt bin Jauzi seorang ulama Ahli Sunnah, setelah membahas tuntas masalah ini, sampai pada sebuah kesimpulan bahwa hadits ini (mawla) adalah bermakna awla.

Dan Ibn Thalha dalam kitab Mathâlib as-Su’âl menulis:

“Baginda Nabi Saw setiap makna mawla yang dinisbahkan kepadanya, ia nisbahkan juga kepada ‘Ali dan nisbah ini merupakan kedudukan tinggi yang diberikan kepada ‘Ali As.”

Hal ini merupakan konklusi yang ditunjukkan dari kandungan khutbah Rasulullah Saw dengan seluruh kalimatnya dan hal itu adalah yang dipahami dari sabda Nabi Saw oleh seratus dua puluh ribu Arab, tanpa adanya syak dan keraguan. Dan atas alasan ini, Hassan bin Tsabit bangkit dan berdiri mendeklamasikan syair untuk memuji Amirul Mukminin As dan aksinya itu mendapat sokongan dari Nabi Saw.

Setelah itu, siapa saja yang mendengar berita tentang peristiwa Ghadir memahami bahw Nabi Saw telah menetapkan pengganti dan khalifah selepasnya.

Sepanjang abad selanjutnya, seluruh pakar bahasa dan ulama Islam juga demikian memahami peristiwa Ghadir itu. Dan ratusan pujangga Arab dan non-Arab mendendangkan syair perihal Ghadir, dan dalam lirik-lirik syair mereka menjelaskan bahwa Nabi Saw memilih Amirul Mukminin ‘Ali As sebagai penggantinya dan karena itu mereka memuliakan hari Ghadir.

Amirul Mukminin As pada masa khilafah zahiri-nya (secara resmi) di Kufah acapkali berdalil dengan hadits ini dan meminta para sahabat Nabi Saw untuk bersumpah supaya memberikan kesaksian atas peristiwa Ghadir ini. Padahal kurang-lebih peristiwa Ghadir telah berlalu selama empat puluh tahun dan banyak dari kalangan sahabat Nabi Saw telah meninggal dan yang masih hidup di penjuru negeri. Dan di samping itu, kota Kufah terletak jauh dari pusat pemukiman para sahabat di Madinah.

Amirul Mukminin As tanpa prediksi dan persiapan pendahuluan meminta kesaksian dari mereka. Jumlah orang-orang yang memberikan kesaksian ini layak untuk diperhatikan. Orang-orang yang memberikan kesaksian cukup banyak dan membenarkan perkataan Imam ‘Ali As.

Jumlah saksi yang disebutkan dalam riwayat beragam. Menurut sebagian riwayat terdapat lima atau enam orang, sebagian riwayat melaporkan terdapat sembilan orang , riwayat yang lain menyebutkan dua belas orang , riwayat yang lain menukil dua belas orang ahli Badar (orang-orang yang ikut perang Badar, -AK) , riwayat yang lain terdapat tiga belas orang , dan riwayat yang lain enam belas orang , dan pada riwayat yang lain terdapat delapan belas orang , dan dalam riwayat yang lain terdapat tiga puluh orang , sesuai dengan riwayat yang lain sekelompok orang , sesuai dengan salah satu riwayat terdapat lebih dari sepuluh orang , sesuai dengan salah satu riwayat menyebutkan sebagian dan riwayat yang lain sekelompok orang banyak , dan riwayat lain terdapat tujuh belas orang yang memberikan kesaksian bahwa Nabi Saw pada hari Ghadir bersabda:

“مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ ”

Demikian juga Ahli Bait As dan para pengikutnya dalam banyak hal berdalil dan berdebat dengan menggunakan hadits ini. Almarhum Allamah Amini Ra menukil dua puluh dua entri dari perdebatan (ihtijâjâj).

 

Sumber : Buku “Al-Ghadir dalam Perspektif Ahlu Sunnah” karya Muhammad Ridha Jabbariyan.

Read 3510 times