Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam Dalam Dua Mazhab (3)

Rate this item
(0 votes)
Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam Dalam Dua Mazhab (3)

 

Fiqih

sebelumnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/5]

Secara Linguistik, fiqih—seperti disebutkan di dalam kamus-kamus (bahasa Arab)—adalah pemahaman. Fiqih di dalam di dalam kitab dan sunah, penjelasannya adalah sebagai berikut:

Allah Swt berfirman: Mengapa tidak pergi dari beberapa golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka [liyatafaqqahû] tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apa mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Rasulullah SAW bersabda: “Semoga Allah membahagiakan seorang hamba yang mendengar sabdaku ini, lalu menyampaikannya. Alangkah banyak-nya pembawa fiqih yang ia sendiri tidak faqih dan alangkah banyaknya pembawa fiqih kepada orang yang bisa lebih faqih dari dirinya.”[1]

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Satu orang faqih lebih berat atas setan daripada seribu orang ‘abid.”[2]

Beliau bersabda: “Orang yang faqih dalam agama Allah dan bermanfaat terhadapnya ajaran yang Allah telah mengutusku untuk mengembannya, lalu ia mengetahui dan mengajarkan (adalah lebih berat bagi setan).”[3]

Rasulullah SAW bersabda: “Orang terbaik di kalangan kamu adalah orang-orang yang paling terpuji akhlaknya jika mereka faqih (dalam agama).”[4]

Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang yang terbaik pada masa Jahiliyah adalah orang terbaik pada periode Islam jika mereka faqih (dalam agama).”[5]

Rasulullah bersabda: “Dua karakteristik tidak akan pernah berkumpul dalam diri seorang munafik: kebaikan dalam cara hidup dan kepahaman dalam agama.”[6]

Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan atasnya, Dia akan memberikan kepahaman yang dalam tentang agama.” [7]

Rasulullah bersabda: “Ada beberapa orang yang akan datang kepadamu dari segala penjuru dunia yang mereka memiliki kepahaman (fiqih) dalam agama. Jika mereka datang kepadamu, maka mintalah wasiat kebaikan kepada mereka.” [8]

Rasulullah saw. pernah berdoa untuk Ibn Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepahaman kepadanya tentang agama.” [9]

Di dalam dialog-dialog yang pernah terjadi antara Ahlulbait  dan para sahabat sepeninggal Rasulullah SAW juga telah disebutkan sebagai berikut ini:

Imam Ali as. bertanya kepada para sahabat: “Ketahuilah, maukah kuberitahukan kepadamu tentang seorang faqih yang sejati?” Mereka menjawab: “Iya, wahai Amirul Mukminin.” Beliau melanjutkan: “Dia adalah orang yang tidak membuat orang lain putus asa terhadap rahmat Allah, tidak memberikan rasa aman terhadap siksa Allah, dan tidak mengizinkan mereka untuk berbuat maksiat kepada Allah.”[10]

Yahya bin Sa‘îd Al-Anshârî berkata: “Aku tidak pernah menjumpai fuqaha di dunia kita ini kecuali mereka mengucapkan salam pada setiap dua waktu di siang hari.” [11]

Umar berkata: “Perdalamlah (agama) sebelum kamu menjadi pemimpin.”[12] Barang siapa diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin berdasarkan pemahamannya (terhadap agama), maka ia akan menjadi sumber kehidupan bagi dirinya sendiri dan bagi mereka, dan barang siapa diangkat oleh kaumnya menjadi pemimpin bukan atas dasar pemahamannya (terhadap agama), maka ia akan menjadi sumber kebinasaan bagi dirinya sendiri dan bagi mereka. [13]

Ketika menjelaskan karakteristik Ibn Abbas, Ibn Abdurrahman berkata: “Ia adalah seorang qârî kitab Allah dan seorang faqih dalam agama Allah.” [14]

Di dalam Sunan Ad-Dârimî, bab Ikhtilâf Al-Fuqahâ’ disebutkan: “Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat ke seluruh penjuru negara Islam supaya setiap kaum menentukan hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati oleh para faqih mereka.” [15]

Dalam kitab itu juga disebutkan: “Jika mereka duduk pada salat Isya’, mereka duduk (sambil mendiskusikan) fiqih”, [16]

“Tidak ada masalah kita begadang malam demi memperdalam fiqih”,[17] dan “Mereka selalu mem-bentuk majelis pada malam hari dan mendiskusikan masalah fiqih.” [18]

Hal ini juga disebutkan di dalam kitab Shahîh Al-Bukhârî, bab As-Samr fî Al-Fiqh. [19] Asy-Sya‘bi berkata: “Ketika ‘Adî bin Hâtim tiba di Kufah, kami mendatanginya bersama beberapa orang faqih penduduk Kufah.” [20]

Diriwayatkan dari ‘Imrân Al-Minqarî bahwa ia pernah memprotes Hasan berkenaan suatu ucapannya seraya berkata: “Hai Abu Sa‘îd, bukan demikian pendapat fuqaha.” Ia menimpali: “Celaka engkau. Engkau belum pernah melihat seorang faqih sama sekali. Seorang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, selalu merindukan akhirat, memahami agamanya, dan selalu menghamba kepada Tuhannya.” [21]

Ini adalah sebagian hadis yang telah disebutkan dalam buku-buku referensi hadis mazhab Khulafâ’. Hadis-hadis tentang masalah ini juga disebutkan dalam buku-buku referensi mazhab Ahlul Bait as. berikut ini:

a. Rasulullah saw. bersabda: “Fuqaha adalah orang-orang kepercayaan para rasul selama mereka tidak masuk dalam urusan dunia” [22] dan “Barang siapa menghafal untuk kepentingan umatku empat puluh hadis tentang agama mereka dan memanfaatkannya demi urusan agama mereka, maka Allah akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan faqih dan alim.” [23]

b. Di dalam Nahjul Balâghah, Imam Ali berkata: “Barang siapa melakukan perdagangan tanpa berbekal fiqih, maka ia akan tenggelam ke dalam lautan riba”, [24] “… dan musim semi bagi kalbu fuqaha”,[25]  “Dan perdalamilah pemahaman tentang agama.”[26]

c. Imam Ash-Shâdiq as. berkata: “Aku akan meletakkan cemeti di atas kepala para sahabatku sehingga mereka memperdalam pengetahuan tentang halal dan haram”[27] dan “Setiap individu dari kamu tidak akan menjadi seorang faqih sehingga ia mengetahui seluk-beluk ucapan kami.” [28]

Begitu ucapan beliau: “Jika ada di antara fuqaha yang menjaga dirinya, memelihara agamanya, menentang hawa nafsunya, dan menaati perintah Tuhannya, maka bagi masyarakat awam untuk mengikutinya.” [29]

Ini semua adalah arti kata fiqih di dalam kitab dan sunah. Setelah itu, istilah fiqih di kalangan mazhab Ahlul Bait as. hanya dikhususkan untuk sebuah disiplin ilmu tentang hukum-hukum syariat yang disimpulkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Di dalam Ma‘âlim Ad-Dîn yang lebih dikenal dengan nama Ma‘âlim Al- Ushûl, Jamâluddîn Hasan bin Zainuddîn (wafat 1011 H.) berkata: “Secara Linguistik, fiqih berarti pemahaman, dan secara terminologis, fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang termasuk kategori furû‘uddîn dengan disimpulkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.” [30]

Yang ia maksud dengan terminologi (istilah) di sisi adalah terminologi para ulama mazhab Ahlulbait as.

bersambung………

Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

Catatan Kaki

Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 18 Man Balagha ‘Ilman, hadis ke-23, 231, dan 236 dan kitab Al-Manâsik, bab Al-Khuthbah Yaum An-Nahr; Sunan Abi Dâwûd, bab Fadhl Nasyr Al-‘Ilm, hadis ke-3660 dan bab 10; Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab 7 Mâ Jâ’a fî Al-Hats ‘alâ Tablîgh As-Simâ‘, jil. 10, hal. 124 dan 136; Sunan Ad- Dârimî, Al-Muqadimah, bab 24, jil. 1, hal. 74-76; Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 225, jil. 4, hal. 80 dan 82 dan jil. 5, hal. 173.
Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl Al-Fiqh ‘alâ Al-’Ibâdah, jil. 10, hal. 154.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab al’Ilm, bab 20, jil. 1, hal. 18; Shahîh Muslim, kitab Al- Fadhâ’il, hadis ke-15; Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 399.
Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 467, 469, dan 481.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 2, hal. 175; Shahîh Muslim, kitab Al-Fadhâ’il, bab Khiyâr An-Nâs, hadis ke-199; Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab 24, hal. 73; Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 257, 260, 391, 431, 485, 498, 525, 539, jil. 3, hal. 367 dan 383 dan jil. 4, hal. 101.
Sunan At-Tirmidzî, kitab Al-‘Ilm, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl Al-Fiqh ‘alâ Al-’Ibâdah, jil. 10, hal. 157.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 1, hal. 16; Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 74; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 306, jil. 2, hal. 234, jil. 4, hal. 91, 93, 95-99, dan 101.
Sunan At-Tirmidzî, jil. 10, hal. 119; Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 22.
Shahîh Al-Bukhârî, jil. 1, hal. 28; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 266, 314, 328, dan 335.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 89; Al-Kâfî, jil. 1, hal. 36; Tuhaf Al-‘Uqûl, bab Mâ Ruwiya ‘an Amiril Mukminin, pasal Wa Ruwiya ‘anhu fî Qishâr Hâdzihil Ma‘ânî; Ma‘ânî Al-Akhbâr, karya Ash-Shadûq, bab Ma‘nâ Al-Faqîh Haqqan; Kanz Al- ‘Ummâl, kitab Al-‘Ilm, bab At-Targhîb fîhi, jil. 10, hal. 103, hadis ke-278; Hilyah Al- Awliyâ’, jil. 1, hal. 77; Bihâr Al-Anwâr, jil. 17, hal. 407.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab At-Tahajjud, bab 25, jil. 1, hal. 141.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-‘Ilm, jil. 1, hal. 16; Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 79.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 79.
Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 349.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 151.
ibid., hal. 149.
Ibid., hal. 150.
Ibid.
Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Mawâqît, bab 40, jil. 1, hal. 79.
Sunan Ibn Mâjah, hadis ke-87.
Sunan Ad-Dârimî, jil. 1, hal. 89.
Bihâr Al-Anwâr, jil. 2, hal. 110.
Ibid., hal. 156, hadis ke-10. Begitu juga hadis ke-9 serupa dengannya.
Nahjul Balâghah, Hikmah, no. 447, jil. 3, hal. 259.
Ibid. ketika beliau menjelaskan karakteristik Alquran, Pidato ke-196, jil. 2, hal. 252.
Ibid. Wasiat Imam Ali kepada Imam Hasan, no. 31, jil. 3, hal. 42.
Al-Mahâsin, karya Al-Barqî, hadis ke-161; Bihâr Al-Anwâr, cet. Amin adh-Dharb, jil. 1, hal. 66.
Bihâr Al-Anwâr, jil. 2, hal. 184, hadis ke-5.
Safînah Al-Bihâr, jil. 2, hal. 381, kata [فقه.[
Ma‘âlim Ad-Dîn, dengan penelitian ulang oleh Abdul Husain Muhammad Ali Al- Baqqâl, hal. 66.

Read 1101 times