Sunah Dan Bid‘ah
Baca sebelumnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/5]
Sunah dan bid‘ah adalah dua istilah yang mengetahui arti salah satunya tergantung kepada yang lain, dan untuk memahami suatu penggunaan kita juga perlu membandingkan antara keduanya. Penjelasan kedua istilah ini adalah sebagai berikut:
Sunah
Secara Linguistik, sunah berarti metode dan cara jalan hidup (tharîqah wa sîrah), baik yang terpuji maupun yang tercela. Dan di dalam syariat Islam, sunah adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan
oleh Rasulullah saw., baik berupa ucapan maupun tindakan, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an yang mulia.
Arti ini juga meliputi seluruh persetujuan (taqrîr) beliau, yaitu beliau melihat seorang muslim mengerjakan suatu amalan dan tidak melarangnya. Dengan tindakan diam tersebut, beliau telah melegitimasi keabsahan amalan itu. [1] Oleh karena itu, disebutkan bahwa dalil-dalil (yang diakui dalam) syariat Islam adalah kitab dan sunah, yaitu Alquran dan hadis.
Bid‘ah
Secara Linguistik, Bid’ah adalah sesuatu yang diciptakan untuk pertama kalinya. Bid‘ah di dalam agama adalah mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu tindakan di mana pengucap dan pelakunya tidak mengikuti pemilik syariat dalam semua itu.
Sunah Sebagai Salah Satu Sumber Syariat Islam
Sunah Rasulullah SAW termasuk salah satu dari sumber-sumber syariat lantaran firman-firman Allah Swt.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7)
Dan tiadalah ia berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya].” (QS. An-Najm: 3-4)
Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzâb: 21)
Katakanlah: “Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali ‘‘Imrân: 31)
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummî yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia ….” (QS. Al-A‘râf: 158)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain. Di dalam banyak hadis juga disebutkan bahwa beliau menganjurkan
muslimin untuk mengikuti sunah beliau dan melarang mereka untuk menentangnya. Seperti sabda beliau: “Barang siapa yang membenci sunahku, maka ia bukanlah dari aku.”
Atas dasar ini, sunah adalah sebuah istilah Islami dan hakikat syar‘î, dan cara penyampaian sunah Rasulullah SAW, yaitu sirah, hadis, dan persetujuan beliau, kepada kita hanya terbatas melalui hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari beliau sendiri dan telah dibukukan pada masa kita sekarang ini dalam buku-buku referensi hadis, sirah, tafsir, dan sumber-sumber kajian Islam lainnya, seperti hadis-hadis berikut ini:
Di dalam hadis ‘Aisyah diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Pernikahan adalah sunahku. Barang siapa tidak mengamalkan sunahku, ia bukan dariku.”[2]
Diriwayatkan dari ‘Amr Al-Muzanî bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menghidupkan sebuah sunah dari sunah-sunahku dan orang lain mengamalkannya, ia akan memiliki pahala seperti pahala orang yang
mengamalkannya dan Allah tidak akan mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa menciptakan bid‘ah dan diamalkan oleh orang lain, ia akan menanggung dosa orang yang telah mengamalkannya dan Allah tidak akan mengurangi dosa-dosa orang yang telah mengamal-kannya sedikit pun.”
Menurut sebuah riwayat: “Barang siapa menghidupkan sebuah sunah dari sunah-sunahku yang telah dilupakan setelahku ….”[3]
Diriwayatkan dari Jâbir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ammâ ba‘du. Sesungguhnya sebaik-baik segala sesuatu adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk segala sesuatu adalah sesuatu yang dibid‘ahkan, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.”
Menurut sebuah riwayat: “Sesungguhnya petunjuk yang paling utama adalah petunjuk Muhammad SAW ….”[4]
Diriwayatkan dari Ibn Mas‘ûd bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Akan menguasai urusanmu setelahku orang-orang yang memadamkan sunah, mengamalkan bid‘ah, dan mengakhirkan salat dari waktunya.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, jika aku sempat hidup bersama mereka, apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab: “Engkau bertanya kepadaku tentang apa yang harus kau lakukan, hai anak Ummi ‘Abd? Tiada ketaatan terhadap orang yang menentang Allah.”[5]
Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah enggan untuk menerima amalan seorang pelaku bid‘ah sehingga ia meninggalkan bid‘ahnya.”[6]
Diriwayatkan dari Hudzaifah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah tidak akan menerima puasa, salat, sedekah, haji, umrah, jihad, amalan sunah, dan amalan wajib seorang pelaku bid‘ah. Ia keluar dari Islam sebagaimana sehelai rambut keluar dari adonan tepung.”[7]
Allah swt. menyebutkan bid‘ah di dalam firman-Nya: “Dan mereka mengada-adakan rahbâniyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka.” (QS. Al-Hadid: 27)
Kesimpulan
Syariat Islam adalah segala sesuatu yang terdapat di dalam kitab dan sunah, serta seluruh ajaran yang disimpulkan dari keduanya. Bid‘ah adalah segala ajaran yang dimasukkan ke dalam agama menurut pendapat seseorang yang tidak terdapat di dalam kitab dan sunah, serta tidak juga disimpulkan dari keduanya, meskipun kita menyebutnya sebagai ijtihad, mashâlih mursalah, atau Islam modern yang sesuai dengan perkembangan zaman—seperti istilah orang-orang masa kini. Seluruh ancaman yang terdapat di dalam hadis-hadis Rasulullah saw. tentang bid‘ah dapat diterapkan atasnya.
Bersambung……….
Catatan Kaki
Sunan Abu Dâwûd, jil. 2, hal. 274-275. Diriwayatkan dari seorang sahabat yang bernama Sahl bin Sa‘d: “Segala perbuatan yang pernah dilakukan di hadapan Nabi SAW. (dan beliau tidak melarangnya) adalah sunah.”
Sunan Ibn Mâjah, kitab An-Nikâh, bab Mâ Jâ’a fî Fadhl An-Nikâh, hal. 592, hadis ke-1845.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab Man Ahyâ Sunah, hadis ke-209-210; Sunan At-Tirmidzî, jil. 1, hal. 147-148.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab Ijtinâb Al-Bida‘, hal. 17, hadis ke-45. Hadis kedua terdapat di dalam Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab Ijtinâb Al-Bida‘, jil., hal. 69, hadis ke-45.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, kitab Al-Jihâd, bab Lâ Thâ‘ah fî Ma‘shiyatillâh, hal. 956, hadis ke-2865; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 400.
Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab 17, hal. 19, hadis ke-49 dan 50.
Ibid.
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah