Lima Istilah Keislaman
Dalam usaha menelaah sumber-sumber syariat Islam menurut dua mazhab, kita akan memulainya dengan mempelajari lima istilah berikut ini:
Alquran.
Sunah.
Bid‘ah.
Fiqih.
Ijtihad.
Setelah itu, kita akan menelaah pandangan kedua mazhab tentang masing-masing istilah itu. Di sela-sela pembahasan, kita juga akan menelaah beberapa istilah lain yang berkaitan, insyâ Allah.
Alquran
Alquran adalah firman Allah yang telah diturunkan kepada pamungkas para nabi-Nya secara berangsur-angsur, kebalikan dari syair dan prosa (natsr) yang terdapat di dalam bahasa Arab. Atas dasar ini, bahasa Arab dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori: Alquran, prosa, dan syair. [1]
Sebagaimana buku yang memuat sekumpulan syair seorang penyair (dîwân) disebut syiar, kasidah yang terdapat di dalamnya dinamakan syair, satu bait dari sebuah syair disebut syair, dan separuh bait syair juga dinamakan syair, begitu juga seluruh isi Alquran disebut Alquran, satu surah juga dinamakan Alquran, dan satu ayat juga disebut Alquran, serta kadang-kadang sebagian ayat juga disebut Alquran,[2] seperti ayat yang berfirman:
“Dan dari apa yang telah kami anugerahkan kepada mereka” yang terdapat di dalam surah Al-Baqarah. Alquran dengan arti seperti ini adalah sebuah istilah Islami dan hakikat syar‘î. Hal ini dikarenakan sumber dari seluruh penggunaan itu adalah penyebutannya di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw. yang mulia.
Nama-Nama Lain Alquran
Para ulama telah berhasil menemukan nama-nama lain bagi Al-Qur’an dalam Al-Qur’an itu sendiri. Nama-nama itu—sebenarnya—termasuk dalam kategori menyebutkan sesuatu dengan sifat-sifatnya (dzikr Asy-syai’ bi shifâtih).
Di antara nama-nama Al-Qur’an yang termasyhur adalah ‘Kitab’. Allah swt. berfirman: “Itulah Al-Kitab, tiada keraguan padanya.” (QS. Al-Baqarah:2)
Yang dimaksud dengan ‘Al-Kitab’ di sini adalah Al-Qur’an yang terdapat di tangan muslimin, bukan kitab Taurat milik para pengikut agama Yahudi dan kita Injil milik para pengikut agama Kristiani. Dia telah menegaskan maksud dari ‘Al-Kitab’ tersebut dengan membubuhi alif dan lam ‘ahd di depannya.
Kosa kata ‘Al-Kitab’ juga disebutkan di dalam Al-Qur’an dan yang dimaksud darinya adalah kitab Taurat. Allah swt. berfirman: “Dan sebelumnya [terdapat] kitab Mûsâ.” Di sini, Dia telah menegaskan maksudnya dengan menyandarkan kata tersebut kepada pemilik kitab tersebut. Di kalangan para ahli ilmu Nahwu, buku Nahwu karya Sibawaeh dikenal dengan sebutan ‘Al-Kitab’. Penulis buku Kasyf azh-Zhunûn, bab Al- Kitab menulis: “Kitab Sibawaeh di dalam ilmu Nahwu: kitab Sibawaeh ini disebut ‘Al-Kitab’ karena kemasyhuran dan keutamaannya di dalam bidang ilmu di kalangan para ahli ilmu Nahwu. Di kota Bashrah sering disebutkan, Si Polan telah membaca Al-Kitab.’ Diketahui oleh khalayak bahwa kitab itu adalah kitab Sibawaeh. Atau, ‘Ia telah membaca setengah Al-Kitab.’ Mereka tidak ragu bahwa kitab itu adalah kitab Sibawaeh ….’
Abul Hasan Ali bin Muhammad yang dikenal dengan nama Ibn Khurûf An-Nahwî Al-Andalusî Al-Asybîlî (wafat 609 H.) telah menulis syarah atas buku Sibawaeh ini dan memberinya judul Tanqîh Al-Abwâb fî Syarh Ghawâmidh Al-Kitâb. Abul Baqâ’ Abdullah bin Husain Al-‘Ukburî Al-Baghdâdî Al-Hanbalî (wafat 616 H.) telah menulis syarah atas syair-syair yang terdapat dalam buku Sibawaeh tersebut dan nama bukunya adalah Lubâb Al-Kitâb.
Abu Bakar Muhammad bin Hasan Az-Zubaidî Al-Andalusî Al-Asybîlî (wafat 380 H.) juga mempunyai syarah atas buku Sibawaeh ini yang berjudul Abniyah Al-Kitâb.” [3]
Atas dasar ini, ‘Al-Kitab’ bukanlah sebuah nama yang khusus dimiliki oleh Alquran, tidak di dalam Al-Qur’an dan tidak juga di dalam tradisi (‘urf) muslimin. Di antara nama-nama Al-Qur’an itu adalah ‘Nur’. Allah swt. Berfirman: “Dan Kami telah menurunkan kepadamu cahaya yang benderang.” (QS. An-Nisâ’ : 174)
Nama yang lain adalah ‘Maw‘izhah’. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya telah datang nasihat [baca: pelajaran] kepadamu.” (QS. Yunus : 57)
Begitu juga, ‘Karim’. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya ia adalah Al-Qur’an yang mulia.”
Nama-nama yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an itu — sebenarnya—bukanlah nama Al-Qur’an (yang sesungguhnya). Semua nama itu hanya digunakan untuk mengungkapkan sifat-sifat Al-Qur’an.
Di antara nama-nama Al-Qur’an yang terdapat di kalangan para pengikut mazhab Khulafâ’ adalah ‘Mushaf’. Kosa kata ini tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan juga tidak di dalam hadis Nabi saw.
Az-Zarkasyî dan selainnya meriwayatkan: “Ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an, ia berkata, ‘Berikanlah nama untuknya.’ Sebagian dari mereka berkata, ‘Namailah dengan Injil.’ Mereka tidak setuju. Sebagian dari mereka berkata, ‘Namailah dengan Sifr.’ Mereka tidak setuju, karena nama itu adalah nama yang telah digunakan oleh para pengikut agama Yahudi. Ibn Mas‘ûd berkata, ‘Aku pernah melihat sebuah kitab milik penduduk Habasyah dan mereka menamakannya Mushaf.’ Akhirnya, mereka menamakannya dengan nama itu.” [4]
Dengan demikian, penamaan Al-Qur’an dengan ‘Mushaf’ termasuk penamaan yang dilakukan oleh muslimin dan termasuk istilah yang ditentukan oleh muslimin, bukan istilah Islami dan hakikat syar‘î.
Kondisi nama ‘mushaf’ dalam penamaan ini tidak berbeda dengan kondisi syârî di kalangan kaum Khawârij. Menurut mereka, syârî adalah nama bagi setiap orang yang mempersiapkan dirinya untuk memerangi muslimin. Di selain kalangan kaum Khawârij, kata ini berarti musytarî (pembeli) sebagai lawan kata bâ’i‘ (pembeli) dalam transaksi jual beli. Jika kita menemukan ungkapan syârî di dalam ucapan selain kaum Khawârij, kita dapat memahami bahwa kata itu berarti musytarî (pembeli), bukan orang yang telah menyiapkan dirinya untuk memerangi muslimin. Sebaliknya, di kalangan kaum Khawârij.
Begitu juga halnya dengan kata mabsûth di kalangan penduduk Suriah dan Irak. Di kalangan penduduk Irak, kata ini berarti madhrûb (orang yang dipukul) dan di kalangan penduduk Suriah, kosa kata ini berarti masrûr (orang yang berbahagai). Jika kata itu disebutkan di dalam percakapan penduduk Suriah, kita akan mengetahui bahwa artinya adalah orang yang berbahagia dan jika ia disebutkan di dalam percakapan penduduk Irak, kita akan mengetahui bahwa artinya adalah orang yang dipukul.
Atas dasar ini, jika kata ‘Mushaf’ disebutkan di dalam percakapan para pengikut mazhab Khulafâ’, kata ini memiliki arti Al-Qur’an yang mulia, dan jika ia disebutkan di dalam percakapan para pengikut mazhab Ahlul Bait as. dan mereka mengatakan ‘Mushaf Fathimah’, sebagaimana mereka juga mengungkapkan Ash-Shahîfah As-Sajjâdiyah untuk buku doa Imam As-Sajjâd yang sudah terkenal dan dicetak itu, maka maksud dari ungkapan itu adalah kitab Fathimah dan kita Imam As-Sajjâd.
Selanjutnya Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [2/5]
Catatan Kaki
1. Ini adalah salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an., hal itu lantaran ucapan seluruh umat manusia dalam setiap bahasa tersusun dalam bentuk syair atau prosa. Sementara itu, Al-Qur’an dalam bahasa Arab tidak tersusun dalam bentuk syair atau pun syair. Tetapi, kitab ini adalah Al-Qur’an yang tersusun dalam bahasa Arab yang nyata, yaitu
kalam Allah Yang Maha Agung, bukan termasuk ucapan Bani Adam.
2. Al-haml wa at-tabâdur (kelayakan sebuah kata untuk dijadikan obyek dan kemunculan arti di dalam benak ketika kita mendengarnya—pen.) adalah sebuah pertanda akan kehakikian arti sebuah kata, sebagaimana telah dipaparkan oleh para ulama dalam buku-buku pembahasan ilmiah.
3. Kasyf Azh-Zhunûn, karya Haji Khalifah Musthafa bin Abdullah (wafat 1076 H.), cet. Turki, jil. 2, hal. 1427-1428. Sibawaeh adalah Abu Mubasysyir atau Basyar ‘Amr bin Utsman bin Qanbar Al-Bashrî, budak Bani Hârits bin Ka‘b. Ia meninggal dunia pada tahun 180 Hijriah.
4. Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, karya Az-Zarkasyî (wafat 794 H.), cet. Kairo, bab
kelima belas: Mengenal Nama-Namanya, jil. 1, hal. 273 dan 276.
Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah