Perpecahan antar Sunni – Syiah sengaja didesain agar umat Islam selalu ribut dan melupakan urusan yang lebih penting, kerukunan Suni dan Syiah akan menguatkan umat Islam. Sebaliknya, perpecahan di antara kedua mazhab Islam ini akan semakin melemahkan Islam. Persatuan Sunni dan Syiah sudah lama digagas oleh para ulama beasar di berbagai negara.
Di kondisi saat ini, kembali pada ajaran Islam dan sirah Rasulullah Saw menjadi kebutuhan sangat penting, karena musuh umat Islam paling diuntungkan dari perpecahan di antara pengikut Nabi Muhammad. Padahal cahaya gemilang nabi akhir zaman ini bukan saja pelita hidayah bagi umat manusia, bahkan sandaran bagi pengokohan persatuan seluruh umat Islam di dunia.
Di berbagai ayat Alquran, Allah Swt menyeru umat Muslim bersatu dan Rasulullah beserta para Imam Maksum dengan mengikuti ajaran Alquran, baik di perkataan maupun perilaku senantiasa membela persatuan umat Islam. Misalnya di awal ayat 103 surat Al Imran, Allah menyeru umat Islam berpegang teguh pada Hablullah (tali Allah) dan menyebut persatuan sebagai salah satu nikmat besar.
Allah Swt berfirman di surat Al Imran ayat 103 yang artinya, ” Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara…”
Sejarah permulaan Islam membuktikan bahwa Rasulullah dengan prinsip La Ila ha Illa Allah, telah mencegah perpecahan dan kembalinya nilai-nilai perpecahan di era jahilihah di antara umat Islam melalui sabda dan sunnah beliau. Meski Muhammad Saw diutus di tengah kaum Arab dan Alquran turun dengan bahasa Arab, namun risalah dan seruan beliau tidak mengenal batas teritorial dan etnis atau bahasa. Namun begitu sangat disayangkan meski ada pesan dan ajaran Rasulullah yang menekankan untuk menjaga kehormatan dan keagungan umat Muslim, setelah beliau meninggal benih-benih perpecahan mulai tumbuh di tubuh umat Islam.
Benih perpecahan ini bermula di peristiwa Saqifah. Api perpecahan yang sebelumnya terpendam kini mulai bangkit, namun berkat kewaspadaan dan pemikiran jangka panjang Imam Ali bin Abi Talib, perpecahan ini dapat diredam dan persatuan umat Islam tetap terjaga. Di fase penting sejarah ini, Imam Ali rela melepas haknya sebagai Amirul Mukmin umat Islam yang telah dikukuhkan oleh Rasulullah di Ghadir Khum dan hal ini dilakukan Imam Ali untuk menjaga persatuan dan solidaritas umat Islam. Selama pemerintahan para khulafa, Imam Ali juga tidak menunjukkan sikap menentang terhadap penguasa.
Tapi setelah gugurnya Imam Ali bin Abi Thalib, benih-benih perpecahan dan pemikiran jahiliyah kembali terkuak dan para pengobar perpecahan mulai berkoar dan menghidupkan gaya aristokrasi dan fanatisme etnis. Mereka pun mulai merusak sendi-sendi persatuan dunia Islam. Di era ini, pada awalnya penunjukan menjadi sistem pemilihan khalifah dan kemudian sistem ini berubah menjadi warisan.
Selama periode pemerintahan Bani Umayah, penguasa ini menerapkan strategi memecah belah antar etnis dan kebijakan ini menjadi peluangbagi aktifnya perpecahan sosial di tengah umat Islam. Oleh karena itu, penguasa terakhir bani Umayah menghadapi pemberotakan warga yang tak puas. Ketidakpuasan ini muncul dalam bentuk beragam pemberontakan, namun di antara pemberontakan ini yang mampu menggoyang kekuasaan penguasa adalah kebangkitan Allawi dan Abbasi.
Kubu Allawi dan Abbasi bergabung dan mampu menumbangkan pemerintahan Bani Umayah. Namun begitu yang menggantikan pemerintahan ini adalah kelompok Abbasiah bukannya Allawi. Penguasa baru ini mengklaim akan menciptakan era baru penuh keadilan, ketakwaan dan kemakmuran. Berbeda dengan yang dijanjikan Bani Abbasiyah, di periode ini bukan saja tidak ada era baru keadilan, ketakwaan dan kemakmuran di masyarakat Islam, bahkan peluang perpecahan semakin besar.
Di tengah-tengah berkecamuknya perpecahan ini, dunia Islam sempat mengalami masa gemilang dan kekuasaan Islam merambah ke Eropa. Namun tak lama kondisi ini berbalik dan era kolonialisme dunia Islam oleh Barat dimulai. Di sisi lain, meski masuknya negara-negara Barat dan Eropa ke negara Islam membuat perpecahan semakin besar, tapi hal ini juga menciptakan peluang bagi sejumlah reaksi positif yang menyeru persatuan. Kebangkitan tersebut serta kebangkitan politik dan sosial di tengah umat Islam dunia tersebut adalah terhadap penguasa despotik di dalam negeri dan kolonialisme asing.
Banyak tokoh yang muncul memberi pencerahan dan menyeru persatuan kepada umat Islam. Di antara mereka adalah Sayid Jamaluddin Asadabadi, Abd al-Rahman al-Kawakibi, Iqbal Lahore dan banyak tokoh lainnya menyadari bahwa akar ketertinggalan umat Islam adalah perpecahan dan perpecahan dunia Islam akibat kinerja para penguasa despotik dan imperalis asing yang terkadang saling bekerja sama. Kebangkitan Islam menentang despotisme dan kolonialisme tidak terbatas pada ideologi, dan muncul dalam pentas politik dan sosial, meski hal ini tidak berhasil menciptakan persatuan sejati di tengah masyarakat Islam.
Jamaluddin Asadabadi
Jamaluddin Asadabadi adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta pengaruhnya terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia dikenal sebagai seorang pembaharu politik di dunia Islam pada abad sembilan belas. Ia juga perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa persatuan Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi Barat.
Dia juga tokoh yang pertama kali menganjurkan untuk kembali pada tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem, mengusik Timur Tengah di abad sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan Islam secara tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap Barat di pihak lain. Asadabadi menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas politik, serta kekuatan militer dan politik.
Sheikh Shaltut
Ia merupakan sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang hebat dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional dan pemikiran yang bijak.
Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, saat Shaltut diutus Majelis Tertinggi Al-Azhar untuk mengikuti muktamar tentang Al-Qanûn Ad-Dauli Al-Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Belanda. Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya, tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan zaman. Sontak, pandangannya ini mendapat sambutan peserta.
Dalam upaya kontekstualitas Islam, Shaltut mencoba merumuskan suatu konsep yang memudahkan umat Islam. Formulasi itu secara ringkas dapat dijelaskan dalam pandangannya, bahwa Islam sebagai sebuah ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika zaman dan karenanya akan selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah dan akidah yang karena keduanya manusia akan menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup.
Berkaitan dengan perbedaan pendapat, Shaltut menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar. Perbedaan pendapat, jelasnya, disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada seorang mujtahid dalam memahami nash syar’i, juga cara pandang yang berbeda dalam sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnya pun berbeda. Perbedaan yang muncul akhirnya menjadi sekte atau aliran dan merupakan proses menyejarah. Hal demikian pun terjadi pada zaman nabi dan sahabat. Namun perbedaan itu pada hakikatnya memiliki sasaran yang sama yaitu, upaya pribumisasi Islam.
Karena antara satu mazhab dengan mazhab lainnya, khususnya Sunni dan Syiah, berbeda pandangan dalam memahami nash-nash, Syaltut melontarkan gagasan jalan tengah yang dikenal sebagai Taqrîb Al-Madzâhib (rekonsiliasi mazhab-mazhab). Artinya, kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan tanpa melihat simbol-simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir fanatisme mazhab yang selama ini membekas dalam perilaku keagamaan.
Ayatullah Boroujerdi
Ayatullah Boroujerdi, salah satu pelopor persatuan di dunia Islam. Beliau adalah salah satu marji besar Syiah dan penggagas dibentuknya Majelis Pendekatan Antar Mazhab Islam, khususnya antara Syiah dan Sunni. Ide persatuan dunia Islam dan mengabaikan friksi sejarah Sunni-Syiah oleh ulama dan marji besar seperti Imam Khomeini bukan saja sekedar teori, tapi juga dalam praktek dijalankan.
Imam Khomeini
Bertahun-tahun lalu, Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran memanfaatkan rentang waktu perbedaan keyakinan dua mazhab Islam ini untuk menggalang persatuan dan mendekatkan mazhab-mazhab Islam.
Imam Khomeini menetapkan rentang waktu tersebut sebagai pekan persatuan. Dengan demikian untuk selanjutkan, pekan persatuan menjadi moment penting untuk memperkokoh solidaritas dan persatuan di antara umat Islam. Ajaran Islam sendiri sangat menekankan persatuan, tapi sayangnya saat ini kita menyaksikan bentrokan dan konfrontasi serius antar umat Islam.