Sahifah Sajadiyah, Warisan Abadi Imam Ali Zainal Abidin

Rate this item
(0 votes)
Sahifah Sajadiyah, Warisan Abadi Imam Ali Zainal Abidin

 

Suatu hari Allamah Thabathabai dalam pertemuan dengan professor Henry Corbin, berkata, “Kami orang-orang Syiah bermunajat, berdoa dan menangis! Jika kami ditimpa kesulitan, kami mencoba berbicara dengan Tuhan dan hati kami tentram. Bagaimana dengan Anda ketika ditimpa masalah di Prancis ?”.

“Saya juga menangis. Saya pun memiliki kitab Sahifah Sajadiyah. Ketika ditimpa masalah, saya membuka dan membacanya disertai terjemahan. Saya menangis. Munajat menentramkanku,” jawab Corbin.

Jawaban filsuf Prancis ini memperlihatkan bagaimana perhatiannya terhadap kitab Sahifah Sajadiyah. Tentu saja, ini hanya satu dari sekian pengakuan sarjana Barat yang tertarik terhadap karya Imam Ali Zainal Abidin. Di luar dari apresiasi para sarjana Barat terhadap kitab Sahifah Sajadiyah, kandungan isinya sangat tinggi dan agung, dengan gaya bahasa yang fasih dan menawan. Semua itu buah dari kebesaran sang empu kitab, Imam Sajjad. Dan di hari ini kita memperingati kesyahidannya.

Salah satu peran dan jasa berharga Imam Sajjad pasca tragedi Asyura ialah penyebaran risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam satu kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat imam Sajjad merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup dan penciptaan, keyakinan, etika pribadi dan sosial, serta masalah politik.

Baca  Imam Ali Zainal Abidin As, Penyebar Misi Asyura

Salah satu kandungan penting dalam doa beliau ialah semangat menentang kezaliman, dan upaya menegakkan keadilan, penyebaran nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan. Di salah satu doanya, Imam Sajjad berkata, “Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan penyelewengan, serta melaksanakan kewajiban Amar Makruf dan Nahi Munkar.”

Tanggal 12 Muharam atau riwayat kedua pada 25 Muharram merupakan hari syahadah Imam Sajjad. Imam Sajjad sebagai saksi mata pembantaian Karbala, setelah peristiwa itu bertanggung jawab memimpin umat Islam. Putra Imam Husein ini ditakdirkan oleh Allah Swt sebagai salah satu orang yang hidup demi melanjutkan pesan Asyura.

Imam Sajjad lahir pada tahun 36 Hijriah. Beliau hidup hingga usia 57 tahun. Periode penting dalam hidup beliau dimulai di masa Imamah-nya setelah kesyahidan Imam Husein. Ketika peristiwa Karbala terjadi, beliau dalam keadaan sakit. Itulah sebabnya mengapa beliau waktu itu tidak pergi ke medan perang.

Hamid bin Muslim, sejarawan Karbala menulis, “Di hari Asyura, setelah kesyahidan Imam Husein, pasukan Yazid mendatangi Ali bin Husein yang tengah berada di atas pembaringan karena sakit. Mereka mendapat perintah untuk membunuh seluruh laki-laki dari keluarga Imam Husein. Kedatangan mereka dengan niat membunuhnya. Tapi ketika melihatnya dalam kondisi sakit, mereka kemudian membiarkannya. Jelas di balik penyakit beliau di hari Asyura tersimpan rahasia ilahi, agar dapat melanjutkan jalan ayahnya.”

Pasca tragedi Karbala dan kesyahidan Imam Husein, kondisi masyarakat Islam berada dalam periode yang sensitif. Di satu sisi, berbagai dimensi kebangkitan Imam Husein harus dijelaskan kepada masyarakat, sekaligus menghadapi propaganda bohong Bani Umayah. Sementara dari sisi lain, perjuangan melawan penyimpangan akidah dan moral harus dilakukan demi menegakkan nilai-nilai agama.

Dalam kondisi demikian, Imam Sajjad menjalankan berbagai programnya dengan mengatur skala prioritas. Pada awalnya, beliau menerapkan program jangka pendek untuk meredam kondisi penuh ketegangan pasca kesyahidan ayahnya. Imam Ali Zainal Abidin menyampaikan pidato mencerahkan mengenai kebenaran jalan Imam Husein. Sedangkan untuk program jangka panjang, beliau berusaha memperkaya serta menguatkan pemikiran dan akhlak masyarakat Muslim dengan mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam.

Pada 12 Muharam 61 Hijriah, rombongan tawanan Karbala yang terdiri dari perempuan dan anak-anak tiba di kota Kufah. Di antara tawanan itu ada dua pribadi agung; Imam Sajjad dan Sayidah Zainab. Keberadaan keduanya mampu menentramkan para tawanan Karbala. Ketika rombongan memasuki kota Kufah, sudah banyak orang berkumpul di sana. Imam Sajjad memanfaatkan kesempatan ini dengan menyampaikan pidatonya.

Beliau berkata, “Wahai warga Kufah! Saya Ali putra Husein. Anak dari orang yang kalian hancurkan kehormatannya. Ingatkah kalian, Allah Swt menyebutkan kebaikan kami Ahlul Bait. Kemenangan, keadilan dan ketakwaan bersama kami, sementara kesesatan dan kehancuran berada pada musuh kami. Apakah kalian tidak menulis surat berisi baiat kepada ayahku? Tapi kalian licik setelah itu dan bangkit menentangnya. Betapa perilaku dan pikiran kalian sangat buruk. Bila Rasulullah berkata mengapa kalian membunuh keturunanku, menghancurkan kehormatanku dan bukan umatku, bagaimana rupa kalian menangis di hadapannya?”

Di lain waktu, ketika tiba di Syam (Suriah saat ini), yang menjadi pusat kekuasaan Yazid, Imam Ali Zainal Abidin menyampaikan pidato. Sedemikian tegas pidato yang disampaikan, sehingga rezim Bani Umayah menghadapi kondisi yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Pidato beliau sangat mempengaruhi opini masyarakat waktu itu. Pidato Imam Sajjad dan Sayidah Zainab di istana Yazid mampu menyadarkan masyarakat, sehingga sebagian orang setelah mendengar langsung bangkit memrotes Yazid.

Dalam pidatonya, beliau berkata,“Wahai warga Syam! Barang siapa yang mengenalku, berarti telah mengetahui siapa diriku. Tapi mereka yang tidak tahu, perlu mengetahui bahwa aku putra dari orang yang terhormat. Pribadi yang paling baik dalam menunaikan haji…. Aku putra wanita terbaik, Fatimah az-Zahra as. Aku putra orang yang syahid berlumuran darah di tanah Karbala.”

Ketika pidatonya sampai pada ucapan tersebut, masyarakat yang mendengarnya sangat terpengaruh, sehingga sebagian berteriak mengungkapkan kesedihan. Pidato yang menjelaskan hakikat dirinya mampu membangkitkan kebencian masyarakat kepada Bani Umayah. Yazid yang menyaksikan kondisi tersebut merubah sikap. Untuk menghentikan pidato Imam Sajjad dan mengubah keadaan, ia memerintahkan seseorang untuk mengumandangkan azan.

Ketika mendengar suara azan, Imam Sajjad diam sejenak mendengarkannya. Ketika ucapan muazin sampai pada kalimat “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, dengan segera Imam Sajjad menatap Yazid. Beliau berkata, “Apakah Nabi yang disebutkan dalam azan itu kakekku atau kakekmu? Bila engkau menjawab itu adalah kakekku, semua orang tahu bahwa engkau telah berdusta. Dan bila engkau mengatakan itu adalah kakekmu, lalu apa dosa ayahku yang merupakan cucu Nabi Saw, sehingga kau bunuh, hartanya kau rampas dan istrinya kau tawan? Betapa celakanya engkau di Hari Kiamat!”

Sejarawan mencatat, Ahlul Bait Imam Husein dalam pertemuan itu membawakan kidung kesedihan tentang Imam Husein dan syuhada Karbala. Yazid yang berusaha memanfaatkan kondisi tersebut untuk meningkatkan popularitasnya ternyata harus menerima kenyataan yang lain. Tapi tetap saja berusaha untuk membohongi masyarakat. Yazid mengubah strateginya dengan mencoba mendekati para tawanan dan memberikan penghormatannya kepada mereka.

Yazid jelas takut masyarakat bangkit melawan kekuasaannya. Oleh karenanya ia berusaha menenangkan para tawanan.Menurutnya, apa yang dilakukannya dapat menutupi dosanya. Untuk itu, ia menerima permintaan para tawanan membacakan kidung kesedihan tentang Imam Husein dan syuhada Karbala.

Yazid mempersiapkan sebuah tempat bernama Dar al-Hijarah. Para tawanan selama sepekan berada di sana membacakan kidung kesedihan. Masyarakat mulai berdatangan dan perlahan-lahan masyarakat semakin tahu akan hakikat kebangkitan Imam Husein. Yazid semakin ketakutan menyaksikan apa yang terjadi. Ia terpaksa memindahkan para tawanan ke Madinah.

Di Madinah, Imam Sajjad kembali melaksanakan tanggung jawab yang diembannya. Masyarakat Madinah menyambut mereka. Di tengah masyarakat Madinah, Imam Sajjad naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya.

Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt, beliau berkata, “Wahai warga Madinah! Allah Swt menguji kami dengan musibah yang agung. Tidak ada musibah yang dapat menyamainya. Wahai warga Madinah! Siapa yang hatinya dapat bergembira ketika mendengar tragedi besar ini? Hati siapa yang tidak sedih setelah mengetahui kesyahidan Husein bin Ali? Mata siapa yang tidak menangis? Kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari musibah luar biasa ini. Kami mengorbankan jiwa di jalan Allah demi menghadapi segala musibah. Karena kami tahu Allah akan membalas semuanya.” 

Read 1268 times